BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, sekolah dasar (SD) merupakan salah satu jenjang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (GBHN 1973).

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. negara (citizen s right) pada BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dapat menentukan tingkat sosial, dan tingkat ekonominya di masa mendatang. Pada

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia semakin

BAB V PENUTUP. kurikulum di sekolah inklusi antara SMP Negeri 29 Surabaya dan SMP Negeri. 3 Krian Sidoarjo. Dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

PENYUSUNAN KTSP. Sosialisasi KTSP 1

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education

PENYUSUNAN PENYUSUN KTSP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan pendidikan yang bermutu bagi warga negaranya. Pendidikan

KATA PENGANTAR. Maranatha akan mengadakan suatu penelitian mengenai Resiliency Building

DIKLAT/BIMTEK KTSP 2009 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL HALAMAN 1

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. berkebutuhan khusus ke dalam program program sekolah reguler. Istilah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan manusia dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan penegasan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah yakni: input, proses, dan out put (Rivai dan Murni, 2009).

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

Kelompok Materi : Materi Pokok

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

PROFIL UKS SMA NEGERI 3 KUNINGAN. Mewujudkan warga SMA Negeri 3 Kuningan yang sehat lahir dan batin. 2. Mewujudkan pendidikan kesehatan yang optimal.

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. sekolah dengan keefektifan Sekolah Menengah Pertama di Kota Medan. Hal

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

KONSEP DASAR KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

masalah penelitian yaitu gaya kepemimpinan kepala sekolah, sistem pelayanan administratif, sistem penyelenggaraan proses pendidikan (pembelajaran dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Organisasi merupakan sekumpulan orang-orang yang saling bekerja sama

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. adalah Sekolah Dasar (SD). SD merupakan jenjang pendidikan setelah taman kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. 1. Penghayatan hidup tak bermakna yang menyertai pengalaman derita di

PENGUATAN EKOSISTEM PENDIDIKAN MELALUI BATOBO SEBAGAI OPTIMALISASI PENDIDIKAN INKLUSI DI PAUD

BAB I PENDAHULUAN. karena itu, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) senantiasa harus dikembangkan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara. Begitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia. Perkembangan suatu bangsa dapat dipengaruhi oleh mutu pendidikan.

PERTEMUAN 13 PENYELENGGARAAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING PADA JALUR PENDIDIKAN

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan, sehingga menjadi orang yang terdidik. dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Di negara kita ini pendidikan menjadi

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pusat sumber belajar untuk siswa Sekolah Dasar (SD). SDN ini terletak sangat

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. tergolong cukup (48.51%). Komitmen afektif masih tergolong cukup dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu organisasi pendidikan yang utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. bertahan. Setiap organisasi dituntut untuk siap menghadapi perkembangan

PROFIL AISYIYAH BOARDING SCHOOL BANDUNG

TUGAS RINCI/ LANGKAH LANGKAH. Guru bimbingan konseling. turut menandatangan i komitment tertulis untuk menginisiasi SRA

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG

Hayyan Ahmad Ulul Albab

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

139 Dwi Lestari Yuniawati, 2013 Manajemen Sekolah Berbasis Program Akselerasi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

BAB I PENDAHULUAN. meliputi segala bidang, diantaranya politik, sosial, ekonomi, teknologi dan

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF

warga negara yang memiliki kekhususan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikannya. Salah satu usaha yang tepat dalam upaya pemenuhan kebutuhan khusus

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam dunia pendidikan, sekolah dasar (SD) merupakan salah satu jenjang pendidikan dasar yang ditempuh oleh individu. Tanpa menyelesaikan pendidikan pada jenjang SD, murid tidak akan dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya. Guru yang bertugas untuk mengajar pada jenjang SD memegang salah satu peranan penting dalam hal mendidik murid. Menurut Rosalina (2013), tugas yang dilakukan oleh guru SD dapat dikatakan sebagai tugas yang sulit karena harus mendidik para murid yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung. Adapun tujuan dari pendidikan di SD menurut Rahman (2015) ialah membekali para murid dengan kemampuan dan keterampilan dasar sehingga mereka mampu mengantisipasi permasalahan yang terjadi di dalam kehidupannya sehari-hari, serta dipersiapkan untuk mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, setiap guru SD diharapkan memiliki kesabaran dalam mengajar dan melatih para murid yang belum terampil dalam hal melakukan kemampuan-kemampuan dasar sehingga tujuan dari pendidikan dapat tercapai. Jenis-jenis sekolah yang terdapat di Indonesia ialah sekolah umum, sekolah kejuruan, sekolah keagamaan, sekolah khusus, dan lain sebagainya. Sejak dahulu, lembaga sekolah yang ada pada umumnya diselenggarakan untuk memfasilitasi murid yang normal untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia telah menetapkan untuk menyelenggarakan salah satu sekolah khusus di Indonesia untuk memfasilitasi anak berkebutuhan khusus (ABK), yaitu sekolah inklusi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan sekolah inklusi bagi ABK dan juga 1

2 bagi yang memiliki kecerdasan atau bakat istimewa. Musfah (2016) menyatakan bahwa ABK adalah anak yang mengalami disfungsi secara fisik, mental, intelektual, sosial, serta emosional yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kemiskinan, bencana, konflik, atau akibat pola asuh yang kurang tepat di dalam keluarga. Pada tahun 2008, jumlah sekolah inklusi secara nasional dari jenjang SD hingga SMA hanya terdapat 254 sekolah. Namun pada tahun 2014, jumlah sekolah tersebut meningkat secara signifikan menjadi 2.430 sekolah, dimana terdapat sejumlah sekolah umum lainnya yang turut berpartisipasi dalam menyelenggarakan sekolah inklusi. Hal tersebut juga didukung oleh peningkatan jumlah ABK di Indonesia pada tahun 2013, dimana menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) jumlahnya dapat dikatakan besar, yaitu mencapai 4,2 juta orang anak (Musfah, 2016). Oleh karena itu, keberadaan sekolah inklusi merupakan salah satu hal yang penting di dalam memajukan pendidikan serta memerlukan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas. Menurut Tarsidi dalam Puspitasari (2015), sekolah inklusi bertujuan untuk mendidik ABK di dalam kelas reguler bersama-sama dengan anak normal lainnya, mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh ABK, serta memberikan kesempatan kepada ABK untuk bersosialisasi dengan anak normal lainnya. Dalam hal ini, ABK yang dapat diikutsertakan di dalam kelas reguler ialah ABK yang dianggap masih dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dengan anak normal lainnya. Untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran di sekolah inklusi, pada tahun 2007 Direktorat PLB telah mengembangkan beberapa kurikulum yang disesuaikan dengan keberadaan ABK, yaitu model kurikulum reguler dimana ABK mengikuti kurikulum reguler sama seperti anak normal lainnya di dalam ruang kelas yang sama, model kurikulum reguler dengan modifikasi dimana ABK memiliki program pembelajaran berdasarkan kurikulum reguler dan juga Program Pembelajaran Individual (PPI), dan model kurikulum PPI yang diperuntukkan bagi murid yang memiliki hambatan belajar sehingga tidak memungkinkan untuk dapat mengikuti kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum reguler.

3 Penyelenggaraan sekolah inklusi memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh anak normal maupun ABK. Bagi anak normal, mereka dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya yang didukung oleh berkembangnya rasa empati dan solidaritas, memiliki kesempatan untuk belajar secara langsung, nyata, serta objektif mengenai berbagai karakteristik teman sebaya, serta mampu menyadari bahwa setiap individu adalah unik dengan kekhasan dan kemampuan yang berbeda-beda. Sedangkan, manfaat bagi ABK ialah mereka dapat memiliki perasaan bersatu dengan anak normal lainnya sehingga terhindar dari label negatif akibat adanya pemisahan pendidikan, mempunyai kesempatan untuk belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya, serta mendapatkan pengalaman hidup yang nyata dan realistis sebagai persiapan untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Di dalam sekolah inklusi, guru yang bertugas untuk mengajar para murid ialah guru reguler dan guru pembimbing khusus (GPK). Tugas pokok dan fungsi guru reguler, yaitu membuat program pengajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, melaksanakan kegiatan penilaian baik itu ulangan harian, ujian tengah semester atau ujian akhir semester, mengisi daftar nilai murid dan mengisi rapor, membuat alat bantu mengajar atau alat peraga, membuat catatan tentang kemajuan murid, dsb. Para GPK tidak ditugaskan untuk berdiri di depan kelas dalam mengajar ABK. Adapun tugas-tugas GPK ialah mengadakan pencatatan dan dokumentasi berdasarkan segala unsur administrasi para ABK, menyelenggarakan asesmen terhadap para ABK (asesmen yang dilakukan tersebut berkaitan dengan kondisi dan tingkat kebutuhan khusus murid; kondisi kesehatan murid; kemampuan akademik dan keterbatasan murid; kondisi psikososial murid; bakat dan minat murid; serta prediksi tentang kemampuan dan kebutuhan murid di masa mendatang), menyusun PPI bagi para ABK bersama dengan guru lainnya, memberikan bimbingan atau pengajaran bagi para ABK, mengadakan remidiasi terhadap penyimpangan-penyimpangan belajar para ABK, membina komunikasi para ABK dengan para guru pada saat berlangsungnya kegiatan pembelajaran, membeli atau membuat

4 sendiri alat bantu pengajaran, melakukan kunjungan dan konseling terhadap para orang tua atau keluarga dari para ABK, serta mengembangkan dan membina program pendidikan inklusi secara terus-menerus (Rudiyati, 2005). Dengan demikian, para guru reguler dan GPK memiliki peran penting untuk menjaga agar kehadiran para ABK di dalam kelas reguler tidak mengganggu pelaksanaan kegiatan pembelajaran di lembaga sekolah yang bersangkutan. Interaksi dan komunikasi merupakan dua komponen yang utama untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran. Kekurangan salah satu komponen tersebut dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman. Efektivitas sekolah harus dievaluasi secara berkala dengan cara menganalisis iklim sekolah. Perilaku guru ditentukan oleh adanya peran iklim sekolah. Bagaimana guru merasakan lingkungan sekolah mereka menentukan konsentrasi dan usaha yang akan dikerahkan untuk dapat mencapai visi dan misi sekolah sebagai suatu organisasi pendidikan. Dengan menganalisa iklim sekolah, pihak lembaga sekolah dapat mengetahui efektivitas dari kepemimpinan kepala sekolah, serta membantu kepala sekolah untuk mengidentifikasi hal-hal apa saja yang perlu diatasi atau diperbaiki sehingga guru dapat bekerja secara efektif guna mencapai kinerja yang optimal. Kekuatan yang telah dirasakan oleh lembaga sekolah dapat ditingkatkan, diperkuat, serta dimanfaatkan untuk dapat mendukung kelemahan yang masih terdapat di dalam lembaga sekolah tersebut (Gomez, 2012). Oleh karena itu, merupakan hal yang penting bagi setiap lembaga sekolah untuk menguji persepsi guru terhadap iklim sekolah yang dihayati agar lembaga sekolah dapat memeriksa kesehatan dan stabilitas sekolah guna untuk meningkatkan kualitas lembaga sekolah. SD X di Kota Bandung yang didirikan pada tahun 1959 merupakan salah satu SD reguler yang berstatus swasta dengan akreditasi A yang menerima ABK. SD X merupakan salah satu lembaga sekolah yang mendapatkan kepercayaan dari Pemerintah secara langsung untuk menyelenggarakan sekolah inklusi dikarenakan sebelum Pemerintah menetapkan

5 penyelenggaraan sekolah inklusi, SD X tersebut telah menerima ABK sebagai murid untuk dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah ini. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan sekolah inklusi lainnya yang masih berada di dalam tahap penyesuaian dalam menjalankan sistem pendidikannya, SD X ini telah berada di dalam tahap pengoptimalisasian sistem pendidikan yang telah berlangsung selama sekian waktu. SD X tersebut memiliki jumlah murid sebanyak 670 orang dan menetapkan batas sebanyak 35 orang murid di dalam setiap kelas. Kemudian, di dalam setiap kelas terdapat 2-3 orang ABK dengan jumlah keseluruhan ABK sebanyak 72 orang. Jenis ABK yang dapat diterima oleh SD X di Kota Bandung ini ialah ADD, ADHD, autis ringan, slow learner, tuna rungu, tuna grahita, dan down syndrom. Hal tersebut telah disesuaikan dengan jumlah sumber daya pengajar yang masih terbatas serta sarana belajar yang masih belum memadai dalam menunjang proses belajar mengajar ABK. Guru yang berperan untuk mengajar di SD X ini ialah 43 orang guru reguler dan 6 orang GPK. Guru yang mengajar di SD X ini juga mendapatkan pelatihan, pendampingan, serta pengawasan dari kelompok kerja (Pokja) sekolah inklusi di Kota Bandung. Guru reguler yang bekerja di SD X di Kota Bandung mengajar murid pada jenjang kelas yang berbeda-beda, yaitu dimulai dari kelas 1 SD hingga kelas 6 SD. Guru yang mengajar pada kelas kecil (kelas 1-3 SD) menghadapi situasi kerja yang relatif berbeda jika dibandingkan dengan guru yang mengajar pada kelas besar (kelas 4-6 SD). Guru yang mengajar pada kelas kecil lebih sering menghadapi murid yang sulit untuk diatur atau dibimbing jika dibandingkan dengan guru yang mengajar pada kelas besar, misalnya dalam mengatur ABK yang sedang mengikuti kegiatan pembelajaran agar tidak mengganggu kelancaran proses pembelajaran di kelas. Selain itu, guru reguler juga dapat menghadapi situasi dimana mereka harus menghadapi keluhan orang tua murid, misalnya anak mereka merasa terganggu oleh perilaku ABK selama kegiatan pembelajaran berlangsung di kelas.

6 Pada saat hal itu terjadi, guru reguler yang lainnya turut membantu guru tersebut untuk mengatasi keluhan tersebut atau dengan cara memberikan semangat kepada guru yang menerima keluhan tersebut agar dapat menemukan solusi yang efektif. Selain guru reguler, GPK juga turut berperan untuk mengajar di SD X di Kota Bandung. Salah satu tugas GPK SD X di Kota Bandung ialah mengajar ABK secara berkala setelah kegiatan pembelajaran selama di kelas berakhir agar dapat membantu ABK dalam memahami materi yang telah dipelajari di kelas, misalnya mengajar ABK untuk membaca atau menulis. SD X di Kota Bandung menggunakan kurikulum 2013 yang memuat delapan mata pelajaran utama, dua mata pelajaran muatan lokal wajib, dan tiga mata pelajaran muatan lokal unggulan. Sebagai sekolah dasar yang menerima ABK, SD X ini juga mengembangkan kurikulum pendidikan inklusif. Kurikulum yang digunakan merupakan modifikasi dari kurikulum tingkat satuan pendidikan yang telah disesuaikan dengan hambatan para ABK yang bervariasi, mulai dari hambatan yang bersifat ringan, sedang, sampai berat. Dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan inklusif, SD X ini mengembangkan dua model kurikulum, yaitu model kurikulum tingkat satuan pendidikan yang sesuai standar nasional dimana para ABK mengikuti kurikulum satuan pendidikan seperti teman-teman lainnya di dalam kelas yang sama dan model kurikulum akomodatif dimana para guru melakukan modifikasi pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan ABK. Penggunaan model kurikulum akomodatif dilakukan dengan cara membagi ABK menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ABK dengan IQ standar dan kelompok ABK dengan IQ di bawah standar. Dengan demikian, ABK yang memiliki IQ standar akan mengikuti kurikulum standar. Sedangkan, ABK yang memiliki IQ di bawah standar akan mengikuti kurikulum yang bersifat pragmatis, yaitu menggunakan sistem yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan ABK.

7 Pengembangan kurikulum dalam pendidikan inklusif tersebut bertujuan untuk membantu para murid dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang dialami oleh siswa dengan sebaik mungkin dalam setting inklusi, membantu para guru dan orang tua untuk mengembangkan program pendidikan bagi para siswa ABK, baik yang diselenggarakan di dalam sekolah, di luar sekolah, maupun di dalam rumah, menjadi pedoman bagi sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan, menilai, dan menyempurnakan program pendidikan inklusif. SD X di Kota Bandung mengembangkan program standar pendidikan khas (SPK) yang dapat diartikan sebagai pola perilaku yang menjadi ciri khas bagi SD X tersebut. Para guru yang mengajar di SD X bekerja sama dengan para orang tua murid untuk membantu para murid agar memiliki sifat yang jujur, bertanggung jawab, peduli, disiplin, memiliki rasa kekeluargaan dan memiliki sifat mandiri di dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun ketika berada di lingkungan masyarakat. Program SPK tersebut juga diharapkan menjadi landasan bagi para guru SD X dalam hal memberikan pendidikan karakter kepada para muridnya. Pendidikan karakter tersebut merupakan salah satu fungsi dari pendidikan yang harus dilakukan oleh pihak yang terlibat di dalam usaha pendidikan, khususnya para guru yang mengajar di SD X. Selain mengajar di dalam kelas, guru SD X di Kota Bandung juga bertugas untuk membimbing para murid dalam melakukan kegiatan pengembangan diri (pembiasaan). Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada para murid sehingga dapat mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan potensi, kebutuhan, bakat, dan minatnya masing-masing. Kegiatan tersebut dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu kegiatan rutin harian, kegiatan rutin mingguan, kegiatan spontan, kegiatan terprogram, serta kegiatan keteladanan. Kegiatan rutin harian dilakukan dengan cara para guru SD X membimbing para murid untuk bersama-sama membaca surat pendek dari Al-Quran sebelum masuk kelas,

8 kegiatan rutin mingguan dilakukan dengan cara para guru SD X melakukan shalat Jumat berjamaah di sekolah bersama dengan para murid, kegiatan spontan dilakukan dengan cara membiasakan diri untuk membuang sampah pada tempatnya, kegiatan terprogram dilakukan dalam bentuk seminar pelestarian lingkungan, kunjungan daerah terkena bencana, lombalomba akademis (misalnya, olimpiade MIPA), dan pentas seni, serta kegiatan keteladanan yang dilakukan dengan cara memberikan contoh tentang cara berbicara yang ramah dan santun. Selain jenjang SD, terdapat jenjang sekolah lain yang berada di bawah satu yayasan dengan SD X di Kota Bandung, yaitu TK, SMP, dan SMA. Setiap sekolah, tentu memiliki peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh warga sekolah agar seluruh kegiatan di sekolah dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur. Yayasan memberlakukan aturan yang sama bagi seluruh jenjang sekolah yang dibawahinya, namun terdapat aturan kepala sekolah yang turut membentuk kekhasan SD X di Kota Bandung jika dibandingkan dengan jenjang sekolah lain yang berada di bawah satu yayasan maupun dengan sekolah lain yang tidak berada di dalam satu oleh para guru, karyawan, dan siswa. Selain itu, kepala sekolah juga mengatur jadwal pelaksanaan kegiatan pembiasaan dan ekstra kurikuler, serta menentukan pelatih ekstra kurikuler. Aturan yang berlaku pada sekolah akan menciptakan iklim tertentu bagi para warga sekolah yang bekerja di dalam suatu lembaga sekolah. Warga sekolah yang paling banyak berperan dalam menghayati iklim yang terjadi di sekolah ialah para guru dikarenakan guru yang memiliki tugas untuk berhadapan secara langsung dengan para murid dalam hal mengajar dan juga berhadapan secara langsung dengan para orang tua dalam hal melaporkan tentang kemajuan/hambatan pada kegiatan pembelajaran murid tertentu, dsb. Menurut Hoy, Miskel, dan Tagiuri dalam Hoy (1991) iklim sekolah merupakan sekumpulan karakteristik internal yang membedakan satu sekolah dari sekolah yang lain dan mempengaruhi perilaku para anggotanya. Iklim sekolah memiliki enam dimensi yang dibagi dalam dua kategori

9 umum, yaitu tiga dimensi yang menggambarkan perilaku kepala sekolah dan tiga dimensi lainnya menggambarkan perilaku guru. Kategori umum pertama ialah perilaku kepala sekolah yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu supportive principal behavior, directive principal behavior, restrictive principal behavior. Supportive principal behavior dapat dicerminkan melalui sikap kepala sekolah yang bersedia mendengarkan dan terbuka terhadap saran dari para guru tentang metode maupun media pembelajaran yang akan digunakan untuk mengajar para murid. Directive principal behavior dapat ditunjukkan melalui sikap kepala sekolah yang melakukan pemantauan secara terus-menerus terhadap kegiatan yang dilakukan para guru ketika sedang mengajar di dalam kelas dengan cara berkeliling dan memasuki setiap kelas atau bahkan mengecek lembar kehadiran para guru setiap hari. Terakhir, restrictive principal behavior dapat digambarkan melalui perilaku kepala sekolah yang memberikan para guru tugas administrasi tambahan selain dari tanggung jawab utama sebagai guru yang justru dapat menghambat kinerja mereka. Selanjutnya, kategori umum kedua ialah perilaku guru yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu collegial teacher behavior, intimate teacher behavior, dan disengaged teacher behavior. Collegial teacher behavior dapat ditunjukkan melalui perasaan bangga para guru terhadap sekolah, akreditasi, solidaritas, serta kebersihan dan juga para guru menikmati saat bekerja dengan satu tim guru yang berada pada satu tingkat kelas yang sama, misalnya guru dengan sesama tim guru yang mengajar kelas 3 SD. Intimate teacher behavior dapat digambarkan melalui para guru saling menceritakan kemajuan ataupun hambatan mengenai kegiatan pembelajaran yang mereka jalani kepada rekan sejawat serta para guru saling memberikan dukungan sosial yang kuat untuk satu sama lain ketika melihat guru lainnya sedang menghadapi keluhan dari orang tua murid. Terakhir, disengaged teacher behavior dapat dilihat melalui perilaku para guru yang sering kali lebih berpusat pada ketidakcocokan diri mereka dengan aturan yang diberlakukan oleh kepala sekolah ataupun yayasan sehingga

10 memunculkan keluhan-keluhan dan perasaan tidak suka terhadap sekolah dan para guru lainnya. Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti terhadap 13 orang guru SD X di Kota Bandung diperoleh data sebagai berikut : seluruh guru (100%) menyatakan bahwa kepala sekolah bersedia untuk mendengarkan keluhan para guru tentang kegiatan pembelajaran dan kebijakan/aturan sekolah, serta keluhan yang berkaitan dengan perilaku para murid selama di kelas, kepala sekolah menerima saran dari para guru untuk meningkatkan kegiatan pembelajaran, serta kepala sekolah memberikan pujian dan kritik yang membangun baik secara personal maupun pada saat sedang diadakan rapat sekolah. Seluruh guru (100%) menyatakan bahwa kepala sekolah melakukan pemantauan terhadap kegiatan para guru di dalam ruang kelas hanya pada saat jam supervisi dimana kepala sekolah melakukan pemantauan tersebut dengan cara mengamati saja tanpa berinteraksi dengan para guru yang sedang mengajar di dalam kelas. Tidak ada guru (0%) menyatakan bahwa kepala sekolah memberikan tugas administrasi di luar tanggung jawab utama para guru, seperti melakukan persiapan untuk kegiatan lomba di sekolah atau menjadi guru ekstrakurikuler, namun tidak sampai menggangu tanggung jawab utama sebagai guru. Sebanyak 12 orang guru (92,31%) menyatakan bahwa para guru saling menceritakan tentang kemajuan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dengan rekan guru lainnya, serta merasa bangga terhadap akreditasi, kredibilitas, disiplin, kebersihan, solidaritas, dan eksistensi sekolah mereka. Sebanyak 12 orang guru (92,31%) menyatakan bahwa para guru saling berbagi cerita mengenai masalah pribadi kepada rekan guru yang memiliki hubungan akrab dengan mereka serta mengajak berdiskusi dan memberikan solusi apabila melihat rekan guru lainnya mengalami masalah atau pun mendapatkan keluhan dari pihak orang tua murid. Seluruh guru (100%) menyatakan bahwa para guru saling bekerja sama untuk mempersiapkan materi

11 dengan matang sebelum kegiatan belajar dimulai serta saling membantu rekan guru lainnya yang menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Peneliti menyadari bahwa iklim sekolah merupakan salah satu karakteristik yang penting bagi setiap lembaga sekolah untuk dapat mencapai optimalisasi dalam pelaksanaan setiap program pendidikan yang telah direncanakan. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti iklim sekolah pada guru SD X di Kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran tipe iklim sekolah pada guru SD X di Kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk memperoleh data dan gambaran mengenai iklim sekolah pada guru SD X di Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui gambaran tentang tipe-tipe iklim sekolah serta dimensi-dimensi iklim sekolah pada guru SD X di Kota Bandung yang dikaitkan dengan data demografis responden. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Memberikan informasi mengenai gambaran tentang tipe-tipe iklim sekolah ke dalam bidang ilmu Psikologi Pendidikan.

12 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai iklim sekolah. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada kepala sekolah SD X di Kota Bandung mengenai tipetipe iklim sekolah yang dihayati oleh para guru. Informasi ini dapat digunakan untuk menjadi bahan evaluasi bagi kepala sekolah SD X di Kota Bandung terhadap aturan dan kebijakan yang telah diberlakukan selama ini dalam rangka mencapai iklim sekolah yang optimal. Memberikan informasi kepada guru SD X di Kota Bandung mengenai tipe-tipe iklim sekolah yang dihayati oleh diri mereka sendiri maupun oleh guru-guru lainnya. Diharapkan melalui informasi ini, mereka dapat memperbaiki atau mempertahankan perilaku mereka dalam rangka mencapai iklim sekolah yang optimal. 1.5 Kerangka Pemikiran Iklim sekolah merupakan sekumpulan karakteristik internal yang membedakan satu sekolah dari sekolah yang lain dan mempengaruhi perilaku para anggotanya (Hoy, 1991). Menurut Hoy (1991), iklim sekolah memiliki enam dimensi yang dibagi dalam dua kategori umum, yaitu tiga dimensi yang menggambarkan perilaku kepala sekolah dan tiga dimensi lainnya menggambarkan perilaku guru. Terdapat derajat yang tergolong high atau pun low pada masing-masing dimensi tersebut. Kategori umum pertama ialah perilaku kepala sekolah yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu supportive principal behavior, directive principal behavior, restrictive principal behavior. High supportive principal behavior dapat dicerminkan melalui sikap kepala sekolah SD X di Kota Bandung yang bersedia mendengarkan dan terbuka terhadap saran dari para guru, memberikan pujian yang tulus dan

13 sering kepada para guru, serta menghormati kompetensi dari para guru. Sedangkan, low supportive principal behavior dapat terlihat dari sikap kepala sekolah SD X di Kota Bandung yang tidak menghargai keahlian profesional maupun kebutuhan pribadi dari para guru, serta kepala sekolah tidak simpatik dan tidak responsif. High directive principal behavior dapat ditunjukkan melalui sikap kepala sekolah SD X yang kaku dan otoriter terhadap para guru. Sedangkan, low directive principal behavior digambarkan melalui perilaku kepala sekolah SD X di Kota Bandung yang memberikan kebebasan bagi para guru untuk bekerja tanpa pengawasan ketat dan bertindak atas dasar pengetahan profesional mereka. Terakhir, high restrictive principal behavior dapat digambarkan melalui perilaku kepala sekolah SD X yang membebani para guru dengan tugas administrasi. Sedangkan, low restrictive principal behavior ditunjukkan melalui perilaku kepala sekolah SD X di Kota Bandung yang menunjukkan kepemimpinan dengan cara memfasilitasi para guru tanpa membebani dengan tugas administrasi. Selanjutnya, kategori umum kedua ialah perilaku guru yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu collegial teacher behavior, intimate teacher behavior, dan disengaged teacher behavior. High collegial teacher behavior dapat ditunjukkan melalui para guru SD X mendukung perilaku terbuka dan profesional di kalangan para guru, saling menghormati dan saling mendukung, merasa bangga terhadap sekolah mereka, serta menikmati pekerjaan mereka. Sedangkan, low collegial teacher behavior dapat dilihat melalui perilaku guru yang tidak menghormati satu sama lain sebagai rekan guru. High intimate teacher behavior dapat digambarkan melalui para guru SD X saling mengenal dengan baik dan biasanya berteman dekat, serta saling menyukai sebagai teman. Sedangkan, low intimate teacher behavior ditunjukkan melalui perilaku para guru yang tidak saling mengenal dengan baik, tidak mengutamakan satu sama lain sebagai teman, dan memiliki kecurigaan terhadap rekan guru lainnya. Terakhir, high disengaged teacher behavior dapat dilihat melalui perilaku para guru

14 SD X yang menunjukkan sedikit komitmen terhadap tugas yang ditangani, tidak memiliki tujuan bersama, serta tidak memiliki keterlibatan satu sama lain dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan, low disengaged teacher behavior digambarkan melalui perilaku para guru SD X Kota Bandung sebagai kesatuan pihak yang terlibat dalam kerja sama, berkomitmen untuk mengajar, serta berkomitmen terhadap pekerjaan mereka. Penggolongan derajat high dan low pada masing-masing dimensi iklim sekolah tersebut akan menghasilkan suatu tipe iklim sekolah. Menurut Hoy (1991), ada empat tipe iklim sekolah, yaitu open climate, engaged climate, disengaged climate, dan closed climate. Keempat tipe iklim sekolah tersebut akan dijelaskan secara satu per satu. Open climate memiliki karakteristik khas, yaitu kerja sama, rasa hormat, dan keterbukaan yang ada antara para guru dengan kepala sekolah. Gambaran open climate tersebut dapat dilihat berdasarkan kepala sekolah yang mau mendengarkan dan terbuka terhadap saran dari para guru (high supportive), kepala sekolah yang memberikan kebebasan bagi para guru pada saat sedang melaksanakan kegiatan di sekolah (low directive), serta kepala sekolah memfasilitasi guru tanpa membebani guru dengan tugas administrasi (low restrictive). Di sisi lain, para guru berinteraksi secara terbuka dan profesional (high collegial), para guru saling mengenal dengan baik (high intimate), serta guru bekerja sama dan berkomitmen untuk mengajar (low disengaged). Secara keseluruhan, open climate dicerminkan melalui perilaku kepala sekolah dan guru yang tulus dan terbuka. Engaged climate memiliki kinerja profesional yang tinggi dari para guru, namun tidak disertai dengan efektivitas dari kepala sekolah untuk memimpin. Gambaran engaged climate tersebut dapat dilihat berdasarkan kepala sekolah tidak menghargai kepentingan pribadi dan profesional dari para guru (low supportive), kepala sekolah kaku dan memberikan pengawasan ketat (high directive), serta kepala sekolah memberikan tugas-tugas yang dapat mengganggu tanggung jawab guru dalam mengajar (high restrictive). Di sisi lain, para guru

15 berinteraksi secara terbuka dan profesional (high collegial), para guru saling mengenal dengan baik (high intimate), guru bekerja sama dan berkomitmen untuk mengajar (low disengaged). Secara keseluruhan, engaged climate digambarkan sebagai sekolah yang bersifat kohesif, berkomitmen, mendukung, dan terlibat. Disengaged climate sangat berbeda dengan engaged climate. Gambaran disengaged climate tersebut dapat dilihat berdasarkan kepala sekolah yang mau mendengarkan dan terbuka terhadap saran dari para guru (high supportive), kepala sekolah yang memberikan kebebasan bagi para guru pada saat sedang melaksanakan kegiatan di sekolah (low directive), serta kepala sekolah memfasilitasi guru tanpa membebani guru dengan tugas administrasi (low restrictive). Di sisi lain, para guru tidak menghormati satu sama lain sebagai rekan kerja (low collegial), tidak saling mengenal dengan baik (low intimate), serta para guru tidak memiliki tujuan bersama (high disengaged). Secara keseluruhan, disengaged climate digambarkan melalui kepala sekolah yang bersikap mendukung, dan fleksibel, akan tetapi sekolah tersebut terpecah belah, tidak ada toleransi, dan tidak ada komitmen. Tipe iklim sekolah yang terakhir ialah closed climate. Gambaran closed climate tersebut dapat dilihat berdasarkan kepala sekolah tidak menghargai kepentingan pribadi dan profesional dari para guru (low supportive), kepala sekolah kaku dan memberikan pengawasan ketat (high directive), serta kepala sekolah memberikan tugas administrasi yang dapat mengganggu tanggung jawab guru dalam mengajar (high restrictive). Di sisi lain, para guru tidak menghormati satu sama lain sebagai rekan kerja (low collegial), tidak saling mengenal dengan baik (low intimate), serta para guru tidak memiliki keterlibatan satu sama lain dalam menyelesaikan pekerjaannya (high disengaged). Secara keseluruhan, closed climate dicerminkan melalui perilaku kepala sekolah yang tidak mendukung, menghambat, dan mengendalikan para guru.

16 Tipe iklim sekolah yang dimiliki oleh SD X di Kota Bandung memegang peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SD X tersebut, yaitu dapat mendukung ataupun menghambat para guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Guru yang mengajar di SD X di Kota Bandung merupakan responden dalam penelitian ini yang memiliki rentang usia antara 25-59 tahun, dimana kelompok guru tersebut berada pada tahap perkembangan masa dewasa awal dan masa dewasa menengah. Dalam Santrock (2012) dinyatakan bahwa guru yang berada dalam tahap perkembangan masa dewasa awal memiliki ciri-ciri, cara berpikir yang bersifat reflektif, menjalin hubungan persahabatan yang baru, serta menjadikan pekerjaan sebagai identitas mereka. Di samping itu, terdapat juga guru yang berada dalam tahap perkembangan masa dewasa menengah yang memiliki ciri-ciri, mulai mengalami penurunan untuk melakukan penalaran secara abstrak, menurunnya kecepatan dalam pemrosesan informasi, hubungan persahabatan yang telah berjalan sebelumnya menjadi lebih dalam, serta menghadapi sejumlah tantangan penting, yang meliputi globalisasi kerja dan perkembangan teknologi informasi yang cepat. Guru yang mengajar di SD X di Kota Bandung terdiri dari guru reguler dan guru pembimbing khusus (GPK). Tugas pokok dan fungsi guru reguler dalam proses pengajaran di SD X ini, yaitu membuat program pengajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, melaksanakan kegiatan penilaian baik itu ulangan harian, ujian tengah semester atau ujian akhir semester, mengisi daftar nilai murid dan mengisi rapor, membuat alat bantu mengajar atau alat peraga, membuat catatan tentang kemajuan murid, dsb. Selain peran guru reguler, peran guru pembimbing khusus (GPK) di SD X ini juga turut mendukung kelancaran kegiatan pembelajaran di SD X tersebut. Adapun tugas pokok GPK di SD X ini ialah merancang program pendidikan individual bersama wali kelas, memberikan informasi kepada orang tua terkait perkembangan akademik murid bersama dengan guru pada setiap jenjang

17 kelas, melaporkan kesimpulan kekhasan dan rencana pengembangan murid sebagai dasar bagi para guru untuk mengisi rapor, dan lain sebagainya.

18 Dimensi iklim sekolah: Iklim Sekolah Guru SD X di Kota Bandung Kepala sekolah : 1. Supportive principal behavior 2. Directive principal behavior 3. Restrictive principal behavior Guru : 1. Collegial teacher behavior 2. Intimate teacher behavior 3. Disengaged teacher behavior Open climate Engaged climate Disengaged climate Closed climate Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran 1.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang ada, asumsi penelitian yang muncul ialah sebagai berikut. 1. Guru yang mengajar di SD X di Kota Bandung menghayati tipe iklim sekolah yang berbeda-beda. 2. Dimensi dari iklim sekolah di SD X di Kota Bandung memiliki dua kategori umum, yaitu digambarkan melalui perilaku kepala sekolah dan guru. Dimensi kepala sekolah terdiri dari supportive principal behavior, directive principal behavior, dan restrictive principal behavior. Sedangkan, dimensi guru terdiri dari collegial teacher behavior, intimate teacher behavior, dan disengaged teacher behavior.

19 3. Derajat high atau low pada keenam dimensi tersebut akan menentukan tipe iklim sekolah SD X di Kota Bandung. Tipe iklim sekolah SD X di Kota Bandung dapat berupa open climate, engaged climate, disengaged climate, dan closed climate.