BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dimulai pada tugas perkembangan masa dewasa awal, yaitu fase

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. sehingga jenjang pendidikan sangat penting. Di negara-negara maju, para

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pada rentang kehidupan manusia akan selalu terjadi proses perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencengahan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BABI PENDAHULUAN. Sepanjang rentang kehidupan, setiap individu melewati beberapa fase

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. seorang peserta didik adalah belajar. Menurut Gagne (Hariyanto, 2010), belajar

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan. Dari tahun ketahun menikah memiliki mode, misal saja di zaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

Bandung, Agustus Peneliti. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. menjadi titik perhatian suatu penelitian (Suharsimi, 2009 : 96).

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

ANAK MAS DI BIARA SEBAGAI UNGKAPAN SEKSUALITAS Rohani, April 2012, hal Paul Suparno, S.J.

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN INTENSI PERILAKU ONANI PADA REMAJA LAKI-LAKI. Skripsi

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. gambaran harga diri (self esteem) remaja yang telah melakukan seks di luar nikah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan interaksi tersebut dalam berbagai bentuk. Manusia. malam harinya. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak dan semakin menguat pada masa remaja.hurlock (1980:235) kesatuan membentuk apa yang disebut sebagai konsep diri.

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

NO : TB : BB : PETUNJUK PENGISIAN 1. Berikan tanda silang (X) pada salah satu jawaban yang paling sesuai dengan keadaan anda sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Tubuh, bagi sebagian orang, menjadi media yang tepat untuk berekspresi dan

PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan)

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pernikahan dimulai pada tugas perkembangan masa dewasa awal, yaitu fase yang ditandai dengan meninggalkan rumah dan menjadi orang dewasa yang hidup sendiri, yang kemudian bergabung dengan individu lainnya melalui pernikahan (keluarga baru), menjadi orang tua dan memiliki anak. Menurut Santrock (2002) pasangan baru (new couple) adalah fase kedua dari siklus kehidupan keluarga, dimana dua individu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk membentuk satu sistem keluarga yang baru. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua individu yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Dalam masyarakat Amerika Serikat, perempuan telah mengatisipasi pernikahan dengan antusiasme yang lebih besar dan harapan yang lebih positif daripada laki-laki meskipun secara statistik hal ini belum menjadi sistem yang menyehatkan bagi perempuan (Santrock, 2002). Di Indonesia pernikahan dipandang sebagai sumber dukungan sosial bagi individu dan dianggap dapat membuat individu lebih bahagia (Susanti, 2012). Pernikahan juga dipandang dapat mempengaruhi harga diri, hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Mandara, Johnston, Murray dan Varner (dalam Susanti, 2012), pada keluarga Amerika Afrika, menyebutkan pula pernikahan merupakan sumber dukungan sosial dan membawa pengaruh yang signifikan pada harga diri (self- 1

2 esteem). Tetapi fenomena yang muncul di masyarakat saat ini adalah adanya dewasa madya yang belum juga menikah atau melajang (Santrock, 2002) Dalam kebudayaan perkawinan merupakan pola yang normal bagi kehidupan orang dewasa, sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orangtua dan teman-temannya agar segera menikah. Selama usia dua-puluhan, tujuan dari sebagian besar wanita adalah perkawinan. Apabila dia belum juga menikah pada waktu dia telah mencapai usia tigapuluh, mereka cenderung untuk menukar tujuan dan nilai hidupnya ke arah nilai dan tujuan serta gaya hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan, kesuksesan dalam karier, dan kesenangan pribadi (Hurlock, 1999) Usia tigapuluh disebut usia kritis bagi wanita yang belum menikah. Seperti yang ditunjukkan oleh Campbell dan kawan-kawan (1963) : bagi wanita, usia tiga puluh merupakan pilihan yang mempunyai persimpangan. Hidup wanita sering diwarnai oleh stres ketika dia mencapai ulang tahunnya yang ketigapuluh, tetapi belum juga menikah. Stres ini biasanya mencapai puncak pada usia tigapuluh, kemudian secara bertahap berkurang karena dia mulai menyesuaikan diri dengan gaya hidup yang baru. Bagi kebanyakan wanita, keingian untuk menikah dan berkeluarga berkurang setelah usia tiga puluh, karena mereka sadar bahwa nampaknya mereka tidak dapat mencapai tujuannya. Lebih lanjut, banyak wanita yang menjadi kecewa karena berpikir tentang perkawinannya, seperti hanya beberapa pengalaman yang tidak menggembirakan dan tidak menyenangkan. Makin besar hasrat seorang wanita untuk menikah, semakin besar resiko baginya untuk tetap lajang. Hal ini sebagian disebabkan oleh pendapat

3 kuno yang keliru dan tidak baik mengenai wanita lajang dan sebagian lagi disebabkan oleh perasaan kurang mampu dalam menarik perhatian lawan jenis, serta merasa tidak tahu apa-apa pada waktu teman-teman wanitanya berbicara tentang masalah keluarga masing-masing. Setelah melewati masa 30 tahun maka individu akan melewati masa usia dewasa madya yang menurut Santrock (2002) bahwa usia madya pada kebudayaan Amerika saat ini, merupakan masa yang paling sulit dalam rentang kehidupan mereka. Bagaimanapun baiknya individu-individu tersebut untuk menyesuaikan diri hasilnya akan tergantung pada dasar-dasar yang ditanamkan pada tahap awal kehidupan, khususnya harapan tentang penyesuaian diri terhadap peran dan harapan sosial dari masyarakat dewasa. Kesehatan mental yang baik yang diperlukan pada masa-masa dewasa, memberikan berbagai kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai peran baru dan harapan sosial usia madya Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Wong (dalam Putri, 2010) diungkapkan bahwa penundaan pernikahan bisa terjadi karena wanita dewasa tersebut mempertimbangkan karir, pendidikan, dan finansial sebagai prasyarat dalam melakukan pernikahan. Wanita yang berpendidikan lebih tinggi memilih untuk menata karir dan pendidikan mereka lebih dahulu, tetapi bukan berarti mereka tidak mempunyai hasrat untuk menikah. Hanya saja mereka memandang kedua hal tersebut sebagai prasyarat untuk menikah. Secara umum wanita yang belum menikah memiliki posisi pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang telah menikah. Hal ini dapat menghambat individu tersebut untuk

4 menjalankan tugas perkembangannya di masa dewasa madya yang seharusnya telah memiliki tugas untuk mendidik anak (Santrock, 2002) Di kota besar, wanita yang belum menikah baik karena belum menemukan pasangan yang tepat atau belum ingin menikah, dianggap tidak lazim yaitu diangap sebagai perawan tua, banyak memilih dan lain-lain dari masyarakat (Sudiro, dalam Susanti, 2012). Hal ini karena adanya budaya timur yang dianut oleh Indonesia, yang memandang status pernikahan sebagai hal penting bagi seorang wanita. Perlakuan masyarakat dan status pernikahan yang dimiliki oleh seorang wanita menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan kesejahteraan psikologis. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Kim dan Mckenny (dalam Susanti, 2012), wanita yang menikah memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak menikah. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai sumber dukungan sosial yang diperoleh. Sesuai dengan yang disebutkan oleh Ryff dan Keyes (dalam Susanti, 2012), bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Ketika seorang dewasa tidak menikah, sebagian dari para dewasa muda akan merasa sebagai individu yang kesepian. Individu mungkin merasa bahwa tidak seorangpun memahami dirinya dengan baik. Individu mungkin merasa terisolasi dan merasa bahwa tidak memiliki seorangpun untuk dijadikan pelarian saat dibutuhkan atau pada saat stress. Penekanan masyarakat pada pemenuhan diri dan prestasi, pentingnya komitmen dalam suatu hubungan, dan penurunan dalam

5 hubungan dekat adalah sebagian alasan adanya perasaan kesepian yang umum terjadi saat ini (De Jong-Gieveral, 1987 dalam Santrock 2002). Santrock (2002) juga berpendapat bahwa persoalan umum orang dewasa yang hidup sendiri terutama adalah hubungan intim dengan orang dewasa yang lain, menghadapi kesepian, dan menemukan tempat dalam masyarakat yang beroritentasi pada pernikahan. Kesepian dikaitkan dengan gender individu, sejarah attachment, harga diri, dan keterampilan sosial. Kurangnya waktu dalam berhubungan dengan lawan jenis, baik bagi laki-laki maupun perempuan, dihubungkan dengan rasa kesepian. Individu yang merasa kesepian seringkali memiliki sejarah hubungan yang jelek dengan pasangan mereka. Pengalaman awal akan penolakan dan kehilangan (seperti saat orang tua meninggal) dapat menyebabkan perasaan kesepian yang bertahan lama. Menurut Santrock (2002) individu yang kesepian seringkali memiliki harga diri yang rendah dan cenderung menyalahkan diri sendiri daripada yang seharusnya atas kekurangan mereka dan individu yang kesepian memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial yang menyebabkan individu mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut Coopersmith (1967), Self esteem adalah penghayatan individu atau hasil penilaian yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap kemampuan yang dimilikinya. Hal ini merupakan pengalaman individu yang melekat pada orang lain melalui penilaian dan tindakan dari orang lain. Self-Esteem memiliki beberapa aspek yang dapat meningkatkan penilaian diri seseorang yaitu, (1) Aspek Significance adalah bagaimana wanita dewasa madya yang belum menikah

6 menghayati bahwa dirinya berharga, sehingga mendapatkan kepedulian dari orang lain, perhatian dari orang lain, dan kasih sayang dari orang lain. (2) Aspek Power adalah bagaimana wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam tindakannya melalui kontrol perilakunya dan orang lain. (3) Aspek Competence adalah bagaiamana wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati bahwa dirinya berhasil sesuai dengan tujuan yang dimilikinya. Competence ditandai oleh individu yang berhasil memenuhi tuntutan prestasi, dan kemampuan individu dalam berasaptasi. (4) Aspek virtue adalah bagaimana wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati bahwa dirinya taat terhadap etika atau norma moral yang ada pada masyarakat. Hal ini ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan, dan individu merasa terbebas dari perasaan yang tidak menyenangkan. Menurut Copersmith (1967) ciri-ciri individu yang memiliki self-esteem rendah yaitu pertama menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak sesuai, sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Hal ini sering kali menyababkan individu yang memilih harga diri yang rendah, menolak dirinya sendiri dan tidak puas akan dirinya. Kedua, sulit mengontrol tindakan dan perilakunya terhadap dunia luar dirinya dan kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain. Tiga, tidak menyukai segala hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit baginya utnuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas baginya. Empat, tidak yakin akan pendapat dan kemampuan dirinya sendiri sehingga kurang berhasil dalam prestasi akademis dan kurang dapat

7 mengekspresikan dirinya dengan baik. Lima, menganggap diri kurang sempurna dan segala sesuatu yang dikerjakannya akan selalu mendapat hasil yang buruk, walaupun dia telah berusaha keras, serta kurang dapat menerima segala perubahan dalam dirinya. Enam, kurang memiliki nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang kurang realistis. Selalu merasa khawatir dan ragu-ragu dalam menghadapi tuntutan dari lingkungan. Berdasarkan teori dan fenomena yang ada diatas, maka peneliti melakukan observasi dan interview awal terhadap tujuh orang orang wanita madya yang memiliki usia 35-60 tahun dan belum menikah di Gereja X Kota Bandung. Dalam aspek Significance yaitu wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati bahwa dirinya penting dan berharga, mendapatkan perhatian, kepedulian dan kasih sayang dari orang lain. Empat dari tujuh orang wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati positif tentang dirinya, mereka menghayati bahwa mereka mampu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada orang lain hal ini membuat mereka memiliki hubungan yang baik dengan keluarga, teman dan juga rekan-rekan ditempatnya bekerja. Sedangkan tiga orang wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati negatif tentang dirinya, mereka menghayati bahwa mereka bukanlah siapa-siapa dan tidak ramah kepada orang lain. Dua orang wanita dewasa madya yang belum menikah bercerita bahwa mereka menjadi kurang dekat dengan saudara-saudaranya karena saudarasaudaranya sering mengejek mereka dan juga tidak memiliki sahabat, namun mereka mampu menjalin relasi yang baik dengan teman-teman kerjanya. Satu orang wanita dewasa madya bercerita bahwa dirinya tidak sering bertengkar

8 dengan saudara-saudaranya, tidak memili teman dekat dan juga kurang memiliki hubungan baik dengan lingkunga tempatnya tinggal saat ini. Wanita tersebut menghayati bahwa dirinya sering menjadi pembicaraan negatif dari tetanganya yang membuatnya jarang untuk berkumpul bersama tetangganya. Saat memiliki hubungan dekat dengan pria, wanita dewasa madya tersebut menghayati bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan yang menyebabkannya sering merasa tidak percaya diri. Pada aspek Power yaitu bagaimana wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam tindakannya melalui kontrol perilakunya dan orang lain. Lima dari tujuh orang wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati bahwa mereka dapat mempengaruhi oleh orang lain, mereka bercerita bahwa mereka sering dimintai nasehat ataupun pendapat oleh teman ataupun keluarganya. Mereka juga cukup dekat dengan keponakan-keponakannya dan sering mengajak keponakan-keponakannya untuk berjalan-jalan atau menghabiskan waktu bersama-sama. Sedangkan dua orang wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati mereka kurang memiliki kuasa untuk mengatur orang lain, mereka bercerita bahwa hanya memiliki beberapa orang teman. Satu orang yang sama juga bercerita bahwa pendapat yang diberikannya sering tidak dihargai oleh keluarga dan teman-temannya. Wanita tersebut juga mengatakan bahwa dirinya sering tidak berani untuk mengutarakan pendapatnya ataupun perasaannya kepada keluarganya, wanita tersebut lebih memilih untuk berdiam diri dan memikirkan masalahnya seorang diri yang menyebabkannya sering merasa cemas. Begitupun

9 saat memiliki teman dekat atau pacar, wanita dewasa madya tersebut tidak berani untuk bercerita ataupun mengatakan pendapatnya kepada teman atau pacarnya. Dalam aspek Competence adalah bagaiamana wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati bahwa dirinya berhasil sesuai dengan tujuan yang dimilikinya. Competence ditandai oleh individu yang berhasil memenuhi tuntutan prestasi, dan kemampuan individu dalam berasaptasi. Enam orang dari tujuh orang wanita dewasa madya yang belum menikah bercerita bahwa mereka saat ini masih bekerja dan mereka dapat memenuhi tuntutan pekerjaan yang di berikan oleh tempat mereka bekerja. Satu orang wanita dewasa madya yang sama dengan yang dibicarakan diatas menghayati bahwa dirinya kurang mampu memenuhi tujuan yang ingin dicapainya. Saat ini dirinya tidak memiliki pekerjaan yang pasti dan seringkali tidak memiliki biaya untuk kehidupannya sehari-hari. wanita dewasa madya tersebut sering merasa tidak memiliki kemampuan dan keahlian dibidang apapun yang membuatnya sering merasa menyesal karena saat muda tidak sungguh-sungguh belajar dan mengembangkan kemampuannya. Aspek virtue adalah bagaimana wanita dewasa madya yang belum menikah menghayati bahwa dirinya taat terhadap etika atau norma moral yang ada pada masyarakat. Hal ini ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan, dan individu merasa terbebas dari perasaan yang tidak menyenangkan. Enam orang dari tujuh orang wanita dewasa yang belum menikah menghayati bahwa mereka cukup patuh menjalankan ajaran agama yang diyakininya. Mereka rajin beribadah setiap pagi dan setiap minggu pergi kerumah ibadah. Mereka juga aktif melayani digereja sejak remaja. Sedang satu orang

10 wanita dewasa madya yang sama dengan yang diatas menghayati bahwa dirinya sejak dulu sering tidak patuh dengan ajaran agamanya, sering tidak pergi kegereja, setiap hari merokok walau mengetahui bahwa hal tersebut dilarang dan membahayakan kesehatannya, beberapa kali dirinya berpacaran dengan laki-laki yang berbeda agama dengannya karena jarang bertemu dengan pria yang seiman dengannya. Wanita tersebut menghayati bahwa dirinya berdosa karena tidak menjaga tubuhnya dengan baik dan yang dilakukannya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Dari proses penggalian data diawal tersebut di peroleh informasi bahwa Satu dari tujuh orang wanita dewasa madya yang belum menikah memiliki selfesteem yang rendah hal ini terlihat dari wanita tersebut tidak memiliki teman dekat dan juga kurang memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan tempatnya tinggal saat ini. Wanita dewasa madya terebut juga menghayati bahwa pendapat yang diberikannya sering tidak dihargai oleh keluarga dan temantemannya yang membuat wanita tersebut sering tidak berani mengutarakan pendapatnya ataupun perasaannya kepada keluarganya, wanita tersebut lebih memilih untuk berdiam diri dan memikirkan masalahnya seorang diri yang menyebabkannya sering merasa cemas. Kemudian wanita dewasa madya tersebut menghayati dirinya kurang mampu memenuhi tujuan yang ingin dicapainya. Wanita dewasa madya tersebut juga sering merasa tidak memiliki kemampuan dan keahlian dibidang apapun yang membuatnya sering merasa menyesal karena saat muda tidak sungguh-sungguh belajar dan mengembangkan kemampuannya. Wanita tersebut juga sering tidak menjalankan ajaran agamanya, sering tidak pergi

11 kegereja, setiap hari merokok walau mengetahui bahwa hal tersebut dilarang dan membahayakan kesehatannya, wanita tersebut menghayati bahwa dirinya berdosa karena tidak menjaga tubuhnya dengan baik dan yang dilakukannya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah pada wanita dewasa madya adalah ketidak mampuannya dalam menghadapi devaluasi dalam kehidupannya. Berkaitan dengan masalah yang terjadi pada wanita madya yang belum menikah yaitu mengenai rendahnya self esteem (penilaian diri) yang dimilikinya untuk mengatasi penyesuaian diri yang salah pada wanita madya yang belum menikah. Maka dibutuhkan suatu bentuk intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan Self-esteem sehingga wanita tersebut memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya self esteem yang dapat membantunya untuk mengatasi penyesuaian diri yang salah dan meningkatkan ketrampilannya dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya. Coopersmith (1967:37-43) mengungkapkan bahwa self esteem dalam perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungan dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang lain terhadap dirinya, sehingga self-esteem dapat berkembang dan ditingkatkan. Ada bermacammacam intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan self-esteem pada wanita dewasa madya yang belum menikah seperti training, psikoedukasi, ataupun konseling kelompok. Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan intervensi konseling individual yang bertujuan untuk meningkatkan Self-Esteem

12 pada wanita dewasa madya yang belum menikah di gereja X kota Bandung yang berjumlah satu orang. Konseling individual merupakan proses untuk membantu individu untuk berkembang menuju tujuan-tujuannya secara pribadi dan memperkuat kapasitasnya dalam mengatasi permasalahannya sendiri (Brammer & MacDonald, 2003). Alasan utama peneliti memilih teknik konseling individual sebagai bentuk intervensi bagi wanita dewasa madya yang belum menikah adalah penelitian ini terfokus pada penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus yang sesuai dengan tema yang ingin di diskripsikan tersebut, dan jumlah subjek penelitian yang terbatas yaitu berjumlah satu orang. Oleh karena itu, studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orangorang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu ataupun situasi unik secara mendalam. Sejumlah kecil kasus tersebut dapat memberikan contoh yang tepat mengenai fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2007) serta penangganan permasalahan dapat dilakukan secara mendalam. Melalui konseling individual ini, self-esteem pada wanita dewasa madya yang belum menikah diharapkan dapat meningkat, dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, dan berani menghadapi krisis. Konseling individual ini, akan mengunakan kemampuan problem solving, decision making dan planning dengan mempertimbangkan bahwa masalah yang dihadapi oleh wanita dewasa madya yang belum menikah adalah kemampuannya yang rendah dalam menghadapi devaluasi dalam kehidupannya. Untuk dapat meningkatkan kemampuan tersebut maka didalam konseling diberikan problem

13 solving, decision making, dan planning yang jika berhasil maka dapat membantu meningkatkan self-esteem pada wanita dewasa madya yang belum menikah. Konseling individual telah banyak dilakukan sebagai bentuk intervensi di beberapa penelitian lain, diantaranya : Penelitian yang dilakukan oleh Rina R.BR. Tarigan dengan topik Penerapan konseling individual dalam meningkatkan kompetensi intelektual, fisik manual, dan interpersonal pada mahasiswa jurusan teknik elektro Universitas X Bandung di peroleh hasil bahwa metode konseling individual cukup efektif dalam meningkatkan kompetensi pada mahasiswa yang memiliki kompetensi rendah. Disamping itu, penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Nor Mutaqin (2010) dengan topik Konseling Individual pada siswa yang tidak lulus UN di SMK Muhammadiyah 1 Moyu dan Sleman diperoleh hasil bahwa metode konseling individual cukup efektif dalam meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri siswa yang mengalami kegagalan dalam mengikuti UN. Hal inilah yang mendasari peneliti menggunakan metode konseling individual untuk membantu wanita dewasa madya yang belum menikah untuk dapat meningkatkan self-esteem yang rendah. Program konseling individual ini secara spesifik akan dikaitkan dengan variabel penelitian yaitu self-esteem wanita dewasa madya yang belum menikah. Dalam konseling ini, wanita dewasa madya yang belum menikah diberikan kesempatan untuk menggali kelemahan dan kelebihan mereka yang dapat digunakan untuk meningkatkan aspek significant, competency, power dan virtue mereka serta penghayatan diri terhadap kemampuan yang mereka miliki dalam menyesuaikan diri sehari-hari.

14 Berdasarkan pada pertimbangan tersebut dan melihat fakta yang ditunjang dengan teori bahwa self esteem cukup dapat membuat seseorang untuk bahagia menjalani kehidupannya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menguji coba rancangan modul konseling individual dapat berguna untuk meningkatkan derajat self-esteem pada wanita dewasa madya yang belum menikah di Gereja X kota Bandung. 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH Masalah dalam penelitian ini adalah apakah intervensi konseling dapat meningkatkan derajat self-esteem pada wanita madya yang belum menikah. Hal ini ditujukan untuk mengetahui apakah konseling individual dapat mempengaruhi peningkatan self-esteem pada wanita madya yang belum menikah di Gereja X di kota Bandung. 1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran konseling individual yang tepat untuk meningkatkan self-esteem pada wanita dewasa madya yang belum menikah di Gereja X kota Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh rancangan konseling untuk meningkatkan self-esteem pada wanita dewasa madya yang belum menikah sehingga dapat diperoleh modul konseling yang dapat meningkatkan derajat self-esteem.

15 1.4. KEGUNAAN PENELITIAN 1.4.1. Kegunaan Ilmiah a. Sebagai bahan masukan bagi ilmu Psikologi Klinis mengenai suatu program konseling individual bagi wanita dewasa madya terutama yang belum menikah. b. Sebagai landasan informatif bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan suatu program konseling individual, khususnya pada wanita dewasa madya yang belum menikah. 1.4.2. Kegunaan Praktis Secara praktis penelitian ini dapat digunakan bagi : a. Para wanita madya yang belum menikah untuk meningkatkan self-esteem nya sehingga wanita dewasa madya yang belum menikah memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengontrol perilakunya dan orang lain (power), memiliki kemampuan untuk dapat diterima, diperhatikan dan mendapatkan kasih sayang dari orang lain (significance), mampu untuk menjalankan nilai moral dan etika yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari (virtue) dan memiliki kemampuan untuk mendapatkan prestasi dalam tugas perkembangannya (Competence) yang dapat membuatnya mampu menyesuaikan diri dalam lingkungannya. b. Para Konselor yang sedang menanggani wanita dewasa madya yang belum menikah, sehingga dapat berguna untuk memberikan konseling individual yang tepat dan dapat membawa pengaruh pada self-esteem wanita dewasa madya yang belum menikah.

16 1.5. METODOLOGI PENELITIAN Tahapan penelitian ini adalah sebagai berikut: Merancang sebuah modul konseling individual. Pelaksanaan konseling Evaluasi dan revisi modul, di dapat dari : - Pertama, melalui pretest dan post-test wawancara, mengenai self esteem, kemudian mengolah data melalui metode menganalisa data dengan cara kualitatif : a. Reduksi data, b. Penyusunan satuan, c. Kategorisasi d. Pemeriksaan keabsahan data, e. Penafsiran dan f. Membuat suatu kesimpulan. Melihat seberapa banyak perubahan pemahanan mengenai self esteem pada wanita yang memiliki self esteem rendah. - Kedua, melakukan evaluasi hasil konseling secara keseluruhan. Wanita dewasa madya yang belum menikah di gereja X kota Bandung yang memiliki self-esteem rendah. Konseling individual Selfesteem Perubahan self-esteem pada wanita dewasa madya yang belum menikah dengan meningkatnya self-esteem Bagan 1.1. Rancangan Penelitian