24 BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden 1. Usia Responden Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa primigravida terbanyak mempunyai kelompok umur 20-35 tahun yaitu sebanyak 37 responden (92,5%). Pada kehamilan pertama tersebut memiliki resiko lebih besar mengalami ruptur perineum dari pada multigravida. Hal ini karena jalan lahir yang belum pernah dilalui oleh kepala bayi sehingga otot- otot perineum belum meregang (Wiknjosastro, 2002). Pada usia 20-35 tahun tersebut memungkinkan untuk melatih kekuatan otot- otot dasar panggul yang sangat diperlukan saat terjadi regangan oleh kepala janin saat persalinan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa usia reproduksi sehat adalah usia antara 20-35 tahun (Soelaeman, 2006). 2. Pendidikan Responden Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.2 diketahui bahwa pendidikan responden yang terbanyak adalah SMA yaitu 19 responden (47,5%). Berdasarkan Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan formal seseorang. Pendidikan merupakan proses pemberdayaan dalam membangun kehidupan yang lebih baik (Widyastuti dkk,2009). Pengetahuan yang cukup pada 24
25 primigravida mempermudah proses pembelajaran senam kegel yang dilakukan peneliti. 3. Pekerjaan Responden Berdasarkan tabel 4.3 yaitu pekerjaan terbanyak primigravida yakni sebagai bermata pencaharian sebagai ibu rumah tangga sebesar 19 responden (47,5%). Menurut Corwin (2009) mengatakan bahwa pada umumnya massa otot dan kekuatan otot dapat berkurang akibat tidak digunakan. Pekerjaan dapat memengaruhi pola akivitas seseorang. Rutinitas sehari-hari yang monoton memungkinkan otot- otot tubuh sering digunakan untuk aktivitas domestik. Hal tersebut dapat menjaga kekuatan otot- otot pada primigravida. B. Pengaruh Senam Kegel pada Ibu Hamil Primigravida terhadap Kejadian Ruptur Perineum Berdasarkan hasil penelitian yang ditegakkan dalam bentuk tabel 4.4 di hasil penelitian diketahui bahwa 20 responden (50%) primigravida melakukan latihan Senam Kegel selama kehamilan trimester III dan 20 responden (50%) primigravida tidak melakukan Senam Kegel selama hamil sebagai kelompok kontrol. Sehingga terdapat 20 responden sebagai kelompok yang diberi perlakuan senam kegel selama kehamilan trimester III dan 20 responden sebagai kelompok kontrol tidak melakukan senam selama kehamilan trimester III.
26 Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa dari 20 responden kelompok yang diberi perlakuan senam kegel. Sebanyak 6 responden (30%) primigravida melakukan senam kegel selama 4 minggu. Berdasarkan analisis lama melakukan senam kegel dapat mempengaruhi elastisitas otot-otot dasar panggul. Menurut Widiawati & Proverawati (2010) senam kegel bisa dirasakan manfaat serta perubahannya setelah 3 minggu dengan latihan beberapa menit setiap hari. Hal ini karena setiap otot tersusun dari banyak sel otot yang disebut dengan serabut otot. Semakin banyak serabut otot yang ada pada otot maka semakin besar kekuatan potensial otot tersebut (Corwin, 2009) Berdasarkan tabel 4.6 di hasil penelitian diketahui bahwa primipara yang mengalami ruptur perineum dalam persalinan sebesar 26 responden (65%) dan primipara dalam persalinan yang tidak mengalami ruptur perineum sebesar 14 responden (35%). Namun jika lebih ditegakkan lagi berdasarkan tabel 4.7 di hasil penelitian dari 26 responden yang tidak mengalami ruptur perineum terdapat 12 responden yang melakukan senam kegel selama kehamilan di trimester III. Kejadian ruptur perineum dalam penelitian ini mengabaikan faktor ibu, janin, dan penolong. Senam Kegel adalah latihan menguatkan otot dasar panggul (pubococcygeus muscles) atau otot PC yang berfungsi untuk menyangga organ- organ penting, seperti rahim, kandung kemih, dan rektum agar berfungsi dengan baik (Aprilia, 2011). Senam Kegel apabila dilakukan saat kehamilan dapat membuat otot- otot dasar panggul menjadi supel atau elastis,
27 serta dapat menigkatkan sirkulasi darah pada daerah sekitar vagina, sehingga dapat membantu selama kehamilan dan proses persalinan (Suririnah, 2008). Pada saat persalinan dimana ketuban telah pecah terjadi perubahanperubahan pada dasar panggul yang seluruhnya diakibatkan oleh tekanan dari bagian terbawah janin. Pada persalinan normal, saat bagian terbawah janin yaitu kepala membuka vagina dan vulva dengan diameter terbesar (crowning) menyebabkan perineum dan anus secara bersamaan menjadi sangat teregang dan menonjol sehingga dapat mengakibatkan ruptur spontan. Penurunan defleksi kepala bayi yang terlalu cepat dapat menimbulkan terjadinya ruptur perineum(cunningham, dkk, 2005). Ruptur perineum dapat memberikan efek yang besar, mempengaruhi fisik, emosi, dan hubungan seksual wanita selama sisa hidupnya (Medforth J, dkk). Selain itu ruptur perineum juga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan post partum yang dapat mengakibatkan kematian. Oleh sebab itu, ruptur perineum yang merupakan trauma fisik persalinan perlu dicegah sehingga proses persalinan ibu terjadi secara menyenangkan dan memberikan pengalaman yang menyenangkan pula. Persalinan tanpa adanya trauma fisik khususnya ruptur perineum akan membuat ibu merasa lebih nyaman menghadapi persalinan selanjutnya dibandingkan dengan ibu yang sebelumnya pernah mengalimi ruptur perineum. Hal ini dikarenakan ibu merasa takut mengalami hal yang sama pada persalinan selanjutnya.
28 Berdasarkan hasil dari analisis Chi-Square diperoleh nilai p= 0.001. Nilai p < 0.05 menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna antara senam kegel dengan kejadian ruptur perineum. Pengaruh dari gerakan senam yang melatih otot dasar panggul menjadikan otot dasar panggul elastis sehingga membantu proses persalinan dan mengurangi kejadian ruptur perineum terutama pada ibu primipara. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khayati tahun 2011 berjudul Hubungan paritas dengan kejadian ruptur perineum di PKD Srikandi Harjosari Karanganyar. Dengan menggunakan metode penelitian desain analitik dengan studi retrospektif dan diperoleh nilai p= 0.003 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara paritas dengan kejadian ruptur perineum. Menurut Oxorn (2010) dalam Khayati (2011), banyak wanita yang mengalami robekan perineum saat melahirkan anak pertama. Faktor yang berkaitan dengan terjadinya ruptur perineum pada ibu bersalin adalah primipara dikarenakan jalan lahir belum pernah dilaui oleh kepala bayi sehingga otot-otot perineum belum meregang (Liu, 2007 dalam Khayati, 2011). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa paritas ada hubungan dengan terjadinya ruptur perineum meskipun masih ada hal-hal lain yang bisa mempengaruhinya seperti jarak kelahiran, riwayat persalinan (episiotomi, ekstraksi vakum atau ekstraksi cunam) serta berat badan lahir. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Herfina di Semarang pada tahun 2011 dengan judul pengaruh senam kegel terhadap terjadinya laserasi perineum pada primipara. Didapatkan hasil bahwa ibu hamil yang melakukan
29 senam kegel mengalami laserasi perineum derajat paling rendah bahkan sampai tidak ada laserasi perineum saat persalinan. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah purposive sampling. Diperoleh nilai p= 0.000 menunjukkan bahwa mempunyai pengaruh signifikan antara senam kegel terhadap terjadinya laserasi perineum pada primipara. Hal ini disebabkan ibu hamil yang melakukan senam kegel dengan baik dan rutin selama kehamilannya akan membantu proses persalinan dengan mengurangi laserasi perineum yang terjadi saat persalinan (Suririnah, 2008 dalam Herfina, 2011). Menurut Prawirohardjo (2008), Ruptur atau robekan jalan lahir dapat terjadi akibat episiotomy, robekan perineum spontan, trauma forceps atau ekstraksi vakum atau karena versi ekstraksi. Terdapat banyak faktor terjadinya ruptur meliputi paritas, jarak kehamilan, berat badan bayi serta riwayat persalinan. C. Kendala Penelitian Kendala pada penelitian ini adalah penelitian ini dilakukan dengan cara mendatangi masing-masing ibu hamil di rumah untuk memberi intervensi senam kegel sehingga peneliti sedikit mengalami kesulitan dengan cakupan wilayah yang luas, serta untuk memonitor waktu bersalin meskipun peneliti telah ada tenaga kesehatan di Puskesmas dalam mengidentifikasi ruptur kalau peneliti tidak dapat secara langsung observasi saat persalinan.