BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang terus melakukan pembangunan di berbagai sektor untuk mengurangi ketergantungan dari negara lain. Menurut Prosiding Simposium Nasional Polimer V Indonesia tahun 2005, pertumbuhan industri polimer di Indonesia sangat pesat, hal ini dilihat dari jumlah industri polimer baik industri hulu maupun industri hilir yang cukup banyak. Perkembangan ini tidak lepas dari permintaan barang-barang berbasis polimer yang semakin besar. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan perkembangan industri polimer di beberapa negara maju, perkembangan industri polimer di Indonesia masih belum sepadan. Salah satu kendala yang dihadapi industri polimer di Indonesia adalah kurangnya komunikasi strategis antara pihak industri, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian untuk pengembangan industri. Salah satu bahan yang digunakan dalam pembuatan polimer yaitu plasticizer. Plasticizer adalah campuran organik yang memisahkan rantai polimer untuk menambah beberapa sifat dari polimer, seperti memberikan sifat elastis, ketahanan terhadap suhu rendah, ketahanan terhadap cuaca, sifat insulasi, dan lain-lain. Aplikasi plasticizer terutama pada vinil resin seperti Polivinil klorid (PVC). Plasticizer yang digunakan salah satunya yaitu Tritolyl phosphate atau disebut juga Tricresyl phosphate (TCP) yang merupakan senyawa organik (ester) dengan rumus molekul (CH3C6H4)3PO4. Senyawa ini berupa cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mudah terbakar, dan tidak larut dalam air. Penggunaan tritolyl phosphate yaitu untuk pelarut bahan selulosa asetat maupun pelapis kabel (cable coating), bahan pelumas (lubricant), serta gasoline aditif. (Anonim, 1990). 1
Gambar I.1. Struktur Tritolyl Phosphate Di Indonesia, industri Tritolyl phosphate belum ada sehingga kebutuhan akan bahan ini selalu diimpor dari berbagai Negara seperti Amerika, India, China, dan Jepang. Oleh karena itu, perlu didirikan pabrik Tritolyl phosphate di Indonesia. Pendirian pabrik ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan mengurangi ketergantungan impor Indonesia akan Tritolyl phosphate, membuka lapangan pekerjaan baru, memacu berdirinya pabrik-pabrik lain yang menggunakan bahan tritolyl phosphate, mendukung pengembangan industri polimer di Indonesia, serta dapat memasarkan produk ini ke mancanegara. B. Tinjauan Pustaka Proses pembuatan Tritolyl Phosphate yang sering dipakai di industri - industri adalah dengan mereaksikan bahan baku berupa POCl3 dan Cresol. Cresol atau cresylic acid adalah senyawaan organik yang termasuk ke dalam golongan metilfenol. Tergantung temperatur, cresol dapat berbentuk padatan atau cairan karena titik lelehnya dekat dengan suhu ruang. Sementara, POCl3 atau Phosphorus Oxychloride merupakan cairan tak berwarna yang memiliki kemiripan sifat dengan air. Tritolyl Phosphate dihasilkan dari reaksi stoikiometris antara bahan baku cresol dan POCl3 dengan beberapa cara, yaitu : 1. Pembuatan Tritolyl Phosphate tanpa menggunakan katalisator 3CH3C6H4OH + POCl3 (CH3C6H4)3PO4 + 3HCl Awal reaksi berlangsung pada suhu 90-100 C. Kemudian terjadi peningkatan suhu sekitar 5-10 C per jam, hingga mencapai suhu 230 C. 2
Peningkatan suhu pada reaksi berlangsung selama 12-24 jam dan total berlangsungnya reaksi dapat mencapai 40-60 jam. (US Patent 2960524, 1958). Pada reaksi pembentukan tritolyl phosphate tanpa katalis ini didapatkan yield sebesar 80-85% dari cresol. (Faith,1975). 2. Pembuatan Tritolyl Phosphate dengan katalisator padat Proses pembuatan tritolyl phosphate dapat dilakukan dengan penambahan katalisator padat untuk mempercepat terjadinya reaksi. Penggunaan katalisator padat bertujuan untuk memudahkan pemisahan hasil dengan katalisator. Katalisator akan bekeja pada rentang suhu yang tinggi dengan waktu reaksi yang lebih singkat. Awal reaksi berlangsung pada suhu 100-125 C, kemudian terjadi peningkatan suhu dengan kenaikan suhu sekitar 2-3 C per menit. Kenaikan suhu mencapai 200 C selama 1-3 jam. Reaksi keseluruhan berlangsung dalam waktu yang tidak lebih dari 6 jam. Dari reaksi dengan menggunakan katalis akan diperoleh yield dari cresol mencapai 90 % atau lebih tinggi lagi. (US Patent 2960524, 1958). Katalisator yang telah digunakan dapat diaktifkan kembali sehingga bisa digunakan berulang-ulang. Jenis katalisator padat bermacam-macam. Katalis yang cocok untuk reaksi pembentukan Tritolyl Phosphate adalah tipe klorida dari Al, Fe, Cr, Ti, Sn, Zn, Mg, Ca dan beberapa katalis berbasis organik lain. Katalis yang paling baik untuk reaksi pembentukan Tritolyl Phosphate adalah MgCl2, sementara katalis lainnya tidak efektif untuk digunakan bahkan merugikan pada kondisi operasi proses yang akan dijalankan. Katalis AlCl3 juga dapat digunakan pada kondisi operasi reaksi, tetapi kekurangan katalis ini ialah dihasilkannya produk samping selama reaksi berlangsung. Dilihat dari perbandingan diatas, maka dipilih reaksi pembuatan tritolyl phosphate dengan menggunakan katalis. Katalisator padat yang dipakai untuk 3
membantu mempercepat reaksi pembentukan Tritolyl Phosphate yaitu MgCl2 karena lebih menguntungkan dan efisien. Selain proses, pemilihan reaktor dalam proses pembuatan Tritolyl phosphate juga penting dipertimbangkan agar didapatkan konversi yang maksimal. Reaksi pembentukan Tritolyl phosphate dari cresol dan POCl3 merupakan reaksi tunggal fase cair. Reaktor yang ideal dipilih untuk reaksi tunggal sebaiknya adalah reaktor plug flow karena kecepatan reaksinya akan lebih besar dan volume yang dibutuhkan untuk menghasilkan konversi yang sama jika dibandingkan dengan menggunakan reaktor mixed flow akan lebih kecil. (Smith, 1995). Namun, larutan umpan reaktor yaitu cresol dan POCl3 mengandung impurities berupa phenol dan PCl3 sehingga akan terbentuk campuran multifase. Campuran multifase tidak cocok jika direaksikan menggunakan reaktor alir seperti RAP karena larutan tidak bisa homogen dan konversi akan menjadi rendah. Reaksi membutuhkan pengadukan agar larutan umpan berupa cresol dan POCl3 serta inertnya menjadi homogen. Pengadukan juga dibutuhkan agar katalis MgCl2 yang berwujud serbuk kristal padat dapat berkontak sempurna dengan semua bagian larutan saat reaksi dan dapat diperoleh konversi yang tinggi. Oleh karena itu, dipilih menggunakan Reaktor Alir Tangki Berpengaduk (RATB). Dalam proses, agar fungsi RATB dapat mendekati fungsi plug flow seperti RAP maka RATB perlu disusun secara seri (Smith, 1995). Dengan membuat RATB seri, konversi yang diinginkan dapat tercapai tanpa memerlukan volume reaktor yang besar. Kelebihan dari RATB diantaranya adalah: Proses pengadukan membuat pencampuran reaktan menjadi lebih homogen, sehingga kontak antar cairan lebih baik. Pengadukan juga mempengaruhi kecepatan reaksi dengan menambah jumlah tumbukan yang terjadi antara molekul reaktan. 4
Kekurangan dari reaktor ini adalah : Konsentrasi reaktan saat keluar reaktor masih cukup tinggi dan konsentrasi produk rendah. Konversi per volume reaktor yang dihasilkan tidak terlalu tinggi sehingga reaktor perlu dibuat seri. Hal ini menyebabkan biaya alat dan instalasi menjadi lebih mahal. Reaktor ini dijalankan dalam kondisi steady state dan diasumsikan bahwa pencampuran terjadi secara sempurna. Oleh karena itu suhu dan konsentrasi di dalam reaktor sama dengan saat keluar dari reaktor. (Foggler, 2006). Reaktor dilengkapi dengan koil pendingin untuk mengontrol agar suhu dalam reaktor tetap walaupun reaksi berjalan eksotermis. 5