ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI ORGANIK DENGAN PADI ANORGANIK (Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat)

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara sacara hayati. Daur ulang

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanian modern atau pertanian anorganik merupakan pertanian yang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan. Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya

I. PENDAHULUAN. ini belum mampu memenuhi kebutuhannya secara baik, sehingga kekurangannya

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. yang cocok untuk kegiatan pertanian. Disamping itu pertanian merupakan mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. [Diakses Tanggal 28 Desember 2009]

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menjadi suatu keharusan, agar produksi dapat menunjang permintaan pangan yang

I. PENDAHULUAN. lainnya, baik dalam bentuk mentah ataupun setengah jadi. Produk-produk hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Ekologi Pertanian ~ 1

I. PENDAHULUAN. melaksanakan usaha-usaha yang paling baik untuk menghasilkan pangan tanpa

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

BAB I PENDAHULUAN. padi sawah merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun.

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

Moch Taufiq Ismail_ _Agroekoteknologi_2013

PENGARUH PENERAPAN METODE SRI DAN METODE KONVENSIONAL TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI PADI (Studi Kasus Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

I PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

TINJAUAN PUSTAKA. definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Pertanian (SIPP) yaitu: terwujudnya sistem pertanianbioindustri

I. PENDAHULUAN. produksi pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas. Pada tahun 1984

SEBAGAI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN

Permasalahan Dalam Pengembangan Pertanian Organik. Amaliah, SP

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN. dunia yang penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Kebutuhan akan

I. PENDAHULUAN. pemenuh kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, penyedia

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A

BAB I PENDAHULUAN. Agro Ekologi 1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Tataniaga Kubis (Brasica Olereacea) Organik Bersertifikat Di Nagari Koto Tinggi Kecamatan Baso Kabupaten Agam

I. PENDAHULUAN. Konsumsi kedelai di Indonesia setiap tahun semakin meningkat, seiring dengan

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM II. K e l a s. C. Pertanian Organik

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

I. PENDAHULUAN. atau jamu. Selain itu cabai juga memiliki kandungan gizi yang cukup

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, Tahun

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

I. PENDAHULUAN. nasional yang memiliki tujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani

I. PENDAHULUAN. substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengembangan pertanian organik. Menurut IFOAM (2008) prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN. biologi tanah untuk mengoptimalkan produksi tanaman (Budiasa, 2014). Pertanian

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A

I PENDAHULUAN. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pokok akan dapat menggoyahkan. masa yang akan datang IPB, 1998 (dalam Wuryaningsih, 2001).

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT PADA PETANI MITRA DAN NON MITRA

I PENDAHULUAN. besar masyarakat Indonesia. Menurut Puslitbangtan (2004 dalam Brando,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu faktor penentu produksi. Selama ini untuk mendukung

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber : [18 Februari 2009]

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertanian dalam arti luas mencakup perkebunan, kehutanan, peternakan dan

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

III. METODELOGI PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produk Domestik Bruto per Triwulan Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009 (Miliar Rupiah)

MANFAAT PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK UNTUK KESUBURAN TANAH

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

I. PENDAHULUAN. revolusi hijau. Hasilnya pada tahun 1984 Indonesia dapat mencapai swasembada

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

PENGARUH BERBAGAI JENIS BAHAN ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

Good Agricultural Practices

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

Transkripsi:

ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI ORGANIK DENGAN PADI ANORGANIK (Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat) INDAH WULANDARI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 211

RINGKASAN INDAH WULANDARI. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dengan Padi Anorganik (Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat). Dibimbing Oleh UJANG SEHABUDIN. Pertanian merupakan hal yang substansial dalam pembangunan, yaitu sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, penyedia lapangan kerja, dan penyumbang devisa negara. Hal yang wajar apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang membangun selalu meletakkan pembangunan sektor pertanian sabagai prioritas utama dalam pembangunan. Titik kulminasi pembangunan pertanian terjadi pada tahun 1984, yaitu saat Indonesia yang sebelumnya mendapat predikat sebagai negara pengimpor beras terbesar dapat mencapai swasembada beras dengan program Bimbingan Massal (BIMAS). Program BIMAS merupakan salah satu realisasi bahwa revolusi hijau telah mencapai swasembada beras, sehingga mampu mengatasi kerawanan pangan. Hasil pertanian dari program BIMAS memang sangat menguntungkan, namun metode pertanian yang diterapkan menimbulkan beberapa akibat, seperti menurunnya produktivitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan rusaknya keseimbangan ekosistem akibat penggunaan pestisida. Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat membuat sebagian masyarakat menyadari arti pentingnya hidup yang berkualitas. Masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia untuk pertanian akan menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan kesehatannya. Sebagian anggota masyarakat mulai mengubah pola makan dengan cara memilih produk pangan yang sehat, alami, dan berkualitas. Mereka juga mulai mencari produk pangan yang aman untuk dikonsumsi agar tidak berpengaruh negatif pada tubuhnya. Saat ini produk-produk pertanian organik seperti beras sudah banyak tersedia di supermarket tertentu. Hal ini membuat konsumen dapat dengan mudah memanfaatkan produk-produk tersebut walaupun harga jual yang ditawarkan cukup tinggi. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan struktur biaya dan pendapatan usahatani padi organik dengan padi anorganik. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan karena daerah ini merupakan salah satu daerah di Kota Bogor, disamping wilayah Kecamatan Bogor Selatan yang petaninya mengembangkan usahatani padi organik. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani padi organik dan anorganik yang berada di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede yang dipandu dengan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari penelusuran karya-karya ilmiah yang terkait dengan penelitian dan data-data yang diperoleh dari kantor Kelurahan Sindang Barang, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Badan Pusat Statistika, dan media komunikasi internet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya per hektar per musim tanam yang dikeluarkan oleh usahatani padi organik lebih besar dibandingkan anorganik. Apabila dilihat dari status pengusahaan lahan yang terdiri dari petani penggarap

dan pemilik, maka biaya yang dikeluarkan petani penggarap per hektar dan per kilogram output per musim tanam lebih besar dibandingkan petani pemilik. Hal ini karena petani pemilik tidak mengeluarkan biaya sewa lahan yang berupa bagi hasil ke pemilik tanah. Biaya total per hektar dan per kg output per musim tanam yang dikeluarkan petani penggarap usahatani padi organik lebih besar dibandingkan anorganik, namun dari sisi petani pemilik sebaliknya. Komponen biaya tunai petani penggarap usahatani padi organik dan padi anorganik yang memiliki nilai tertinggi adalah bagi hasil (sewa lahan), sedangkan komponen biaya tunai petani pemilik usahatani padi organik dan anorganik yang memiliki nilai tertinggi adalah biaya tenaga kerja luar keluarga untuk penanaman sampai pemanenan. Pendapatan atas biaya tunai dan biaya total usahatani padi organik lebih besar dibandingkan anorganik. Hal ini disebabkan produktivitas dan harga gabah kering panen (GKP) organik lebih besar dibandingkan anorganik. Apabila dibedakan antara petani penggarap dan pemilik, maka pendapatan atas biaya tunai dan biaya total yang diterima petani pemilik usahatani padi organik dan anorganik lebih besar dibandingkan petani penggarap. Usahatani yang dijalankan petani padi organik dan anorganik sama-sama menguntungkan, namun jika dilihat dari nilai R-C rasionya maka usahatani padi organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani padi anorganik dan petani pemilik usahatani padi organik dan anorganik lebih menguntungkan dibandingkan petani penggarap. Secara statistik pendapatan atas biaya tunai dan biaya total usahatani padi organik berbeda nyata dengan anorganik yang diperoleh dari hasil uji beda dengan menggunakan SPSS 16. Kata Kunci : Usahatani, Padi Organik, Padi Anorganik, Biaya, Pendapatan. iv

ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI ORGANIK DENGAN PADI ANORGANIK (Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat) INDAH WULANDARI H44746 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 211

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dengan Padi Anorganik: Kasus Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 211 Indah Wulandari H44746

Judul Skripsi Nama NIM : Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dengan Padi Anorganik (Kasus Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat) : Indah Wulandari : H44746 Disetujui Dosen Pembimbing, Ir. Ujang Sehabudin NIP. 196831 19933 1 3 Diketahui Ketua Departemen, Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 1966717 19923 1 3 Tanggal Lulus:

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan bagi Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan suri taulaudan bagi saya untuk tidak mudah menyerah. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orangtua tercinta Ayah Ismul Hadi Nasution, SH, mama Sumiyati, adikadikku Novita Elia, Eka Mahlida dan Nadia Selvia serta keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan motivasi tulus kepada penulis. 2. Ir. Ujang Sehabudin sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, motivasi, masukan, dan saran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 3. Hadianto, SP, M.Si dan Novindra, SP sebagai dosen penguji yang bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan saran demi penyempurnaan skripsi ini. 4. Bapak Inta (ketua kelompok tani Mekar Tani) dan Bapak Acep (ketua kelompok tani Harapan Mekar) yang telah membantu dalam pengambilan data selama penelitian. 5. Seluruh petani responden di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancara. 6. Seluruh mahasiswa/i ESL 44 khususnya Erlinda, Nasya Fathiras, Tina Rakhmawati dan Devina Marcia Sihombing yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis. 7. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kebaikannya. Amin Bogor, Juli 211 Indah Wulandari H44746

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta hidayah-nya. Salawat serta salam penulis kirimkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dengan Padi Anorganik (Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat). Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan struktur biaya dan pendapatan usahatani padi organik dengan padi anorganik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi petani sebagai bahan pertimbangan untuk memilih usahatani yang lebih efisien. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan yang dihadapi. Pada akhirnya, penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Juli 211 Penulis

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 6 1.3 Tujuan Penelitian... 9 1.4 Manfaat Penelitian... 9 1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA... 11 2.1 Sistem Pertanian Organik... 11 2.1.1 Komponen Pertanian Organik... 14 2.1.2 Tujuan Pertanian Organik... 15 2.1.3 Permasalahan Seputar Pertanian Organik... 17 2.2 Sistem Pertanian Konvensional/Anorganik... 18 2.3 Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Anorganik... 19 2.4 Perbedaan Usahatani Padi Organik dan Padi Anorganik... 2 2.5 Kebijakan Pemerintah terkait Pertanian Organik... 22 2.6 Penelitian Terdahulu... 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN... 27 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis... 27 3.1.1 Konsep Usahatani... 27 3.1.2 Biaya Usahatani... 3 3.1.3 Pendapatan Usahatani... 31 3.1.4 Rasio Penerimaan dan Biaya (R-C Rasio)... 33 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional... 34 IV. METODE PENELITIAN... 37 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 37 4.2 Jenis dan Sumber Data...... 37 4.3 Metode Pengambilan Sampel... 37 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 38 4.4.1 Analisis Struktur Biaya... 39 4.4.2 Analisis Pendapatan... 4 4.4.3 Analisis R-C Rasio... 41 4.4.4 Uji Beda Dua Sampel Bebas (Independent Samples T Test)... 42 4.5 Definisi Operasional... 43 xi xiii xiv

V. GAMBARAN UMUM...... 45 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 45 5.1.1 Letak Geografis dan Pembagian Administrasi... 45 5.1.2 Kependudukan... 47 5.1.3 Sarana dan Prasarana... 49 5.2 Gambaran Umum Budidaya Padi Organik dan Anorganik... 5 5.2.1 Pengolahan Tanah...... 5 5.2.2 Pembenihan...... 52 5.2.3 Penanaman (tandur)... 53 5.2.4 Perawatan Tanaman... 54 5.2.4.1 Penyiangan... 54 5.2.4.2 Pemupukan.... 55 5.2.4.3 Pengendalian Organisme Pengganggu... 57 5.2.5 Pemanenan dan Pasca Panen... 58 5.3 Permasalahan Usahatani Padi... 59 5.4 Karakteristik Responden...... 61 5.4.1 Usia... 62 5.4.2 Tingkat Pendidikan... 62 5.4.3 Status Usaha...... 63 5.4.4 Luas Lahan...... 64 5.4.5 Status Pengusahaan Lahan... 64 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 66 6.1 Analisis Perbandingan Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 66 6.2 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 74 6.2.1 Analisis Perbandingan R-C Rasio Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 77 6.2.2 Hasil Uji Beda Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 79 VII. SIMPULAN DAN SARAN...... 82 7.1 Simpulan... 82 7.2 Saran... 83 DAFTAR PUSTAKA...... 84 LAMPIRAN...... 86 DAFTAR RIWAYAT HIDUP...... 95 x

Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1 Data Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 25-21... 1 2 Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Anorganik Berdasarkan Aspek Input-Output Produksi... 19 3 Struktur Biaya Operasional Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 21 4 Pengambilan Sampel Petani Padi Organik dan Anorganik... 38 5 Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 4 6 Luas Wilayah Kelurahan Situ Gede Menurut Penggunaan... 47 7 Jumlah Penduduk Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede Menurut Golongan Umur Tahun 21... 48 8 Jumlah Penduduk Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 21... 49 9 Perbandingan Penggunaan Tenaga Kerja Pengolahan Lahan Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 51 1 Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 53 11 Perbandingan Kegiatan Pemupukan Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 56 12 Penggunaan Rata-Rata Pupuk Kimia pada Usahatani Padi Anorganik di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede... 57 13 Perbandingan Produktivitas Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 59 14 Kelompok Umur Responden Petani Padi Organik dan Anorganik... 62 15 Penggolongan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 63 16 Status Usaha Petani Padi Organik dan Anorganik... 64 17 Penggolongan Petani Padi Organik dan Anorganik Berdasarkan Luas Lahan... 64 18 Penggolongan Petani Padi Organik dan Anorganik Berdasarkan Status Pengusahaan Lahan... 65 19 Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik per Hektar per Musim Tanam... 67 2 Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik Petani Penggarap dan Pemilik per Hektar per Musim Tanam... 68

21 Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik Petani Penggarap dan Pemilik per kg Output per Musim Tanam... 73 22 Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik per Hektar per Musim Tanam... 74 23 Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik Petani Penggarap dan Pemilik per Hektar per Musim Tanam... 75 24 Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik Petani Penggarap dan Pemilik per Kg Output per Musim tanam... 76 25 Perbandingan R-C Rasio Usahatani Padi Organik dan Anorganik per Hektar per Musim Tanam... 77 26 Perbandingan R-C Rasio Usahatani Padi Organik dan Anorganik Petani Penggarap dan Pemilik per Hektar per Musim Tanam... 78 27 Hasil Uji Beda Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 8 xii

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Kerangka Pemikiran Operasional... 36 2 Pengolahan Lahan... 52 3 Penanaman Padi... 54 4 Pemanenan dan Perontokan Padi... 59 xiii

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Peta Kelurahan Sindang Barang... 87 2 Rincian Biaya Petani Penggarap Usahatani Padi Organik per Hektar... 88 3 Rincian Biaya Petani Pemilik Usahatani Padi Organik per Hektar... 89 4 Rincian Biaya Petani Pemilik Usahatani Padi Anorganik per Hektar... 89 5 Rincian Biaya Petani Penggarap Usahatani Padi Anorganik per Hektar... 9 6 Hasil Uji Beda Dua Sampel Bebas (Independent Samples T Test)... 91 xiv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dan salah satu negara berkembang di Asia Tenggara. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Menurut data statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 21 sebesar 237,64 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun. Dengan jumlah penduduk sebesar 237,64 juta jiwa maka Indonesia menempati peringkat keempat di dunia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, sebagai negara agraris dan memiliki penduduk yang banyak, peran sektor pertanian sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan mendukung perekonomian nasional. Data mengenai jumlah dan laju pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 25-21 Tahun Jumlah Penduduk (Juta Jiwa) Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 25 218,86 1,3 28 21 228,42 237,64 1,36 1,49 Sumber : Data Statistik Indonesia, 21 1 Pertanian merupakan hal yang substansial dalam pembangunan, yaitu sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, penyedia lapangan kerja, dan penyumbang devisa negara. Hal yang wajar apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang membangun selalu meletakkan pembangunan sektor pertanian sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Titik puncak pembangunan pertanian dalam hal ini pertanian tanaman pangan terjadi 1 http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab=1 [Diakses tanggal 18 Jan 21]

pada tahun 1984, yaitu saat Indonesia yang sebelumnya mendapat predikat sebagai negara pengimpor beras terbesar dapat mencapai swasembada beras dengan program Bimbingan Massal (BIMAS) yang dijalankannya (Winangun, 25). Program BIMAS digunakan sebagai salah satu realisasi bahwa revolusi hijau telah mencapai swasembada beras, sehingga hal tersebut mampu mengatasi kerawanan pangan yang terjadi (Sutanto, 22b). Revolusi hijau merupakan usaha yang dilakukan manusia dalam meningkatkan produksi pangan dengan jalan melakukan pengembangan pada teknologi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kesejahteraan penduduk dunia 2. Hasil pertanian yang didapat dari program BIMAS tersebut memang sangat menguntungkan, namun metode pertanian yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia masih terus dipertanyakan. Hal ini dikarenakan adanya beberapa akibat yang ditimbulkan, seperti menurunnya produktivitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan rusaknya keseimbangan ekosistem akibat penggunaan pestisida yang tanpa disadari akan mengakibatkan matinya spesies lain selain hama dan penyakit tanaman. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan penggunaan pupuk dan pestisida anorganik maka petani memerlukan biaya yang relatif mahal sehingga akan berimplikasi pada semakin meningkatnya biaya produksi yang dikeluarkan (Winangun, 25). Teknologi revolusi hijau merupakan teknologi budidaya tanaman padi yang pada waktu itu dimasyarakatkan oleh pemerintah dengan istilah Panca Usahatani, yaitu pengolahan tanah, pemupukan dengan pupuk buatan, perbaikan 2 http://organisasi.org/revolusi_hijau_dan_revolusi_biru_ilmu_biologi [Diakses tanggal 14 Mei 26] 2

jaringan pengairan, penanaman benih unggul, serta pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida. Teknologi ini menggunakan teknik bercocok tanam intensif dengan ciri pemakaian pestisida dan pupuk kimia sintetik. Dengan adanya teknologi ini diharapakan kebutuhan pangan seluruh penduduk yang meningkat setiap tahunnya dapat terpenuhi. Dunia usaha pertanian saat ini dihadapkan pada dilema yaitu mengenai apakah akan tetap mempertahankan pola pengelolaannya seperti saat ini dengan menggunakan lebih banyak input luar (obat-obatan dan pupuk buatan) atau dengan menggunakan lebih banyak input dalam (kompos, pupuk kandang, dan obat-obatan alami). Dua pilihan ini sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan bila dipilih memiliki bobot pilihan yang imbang. Jika memilih dengan lebih banyak menggunakan input luar, dalam jangka pendek kebutuhan akan hasil-hasil pertanian akan dapat dipenuhi, akan tetapi dalam jangka panjang akan mengalami penurunan yang drastis akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Sebaliknya, jika memilih pada penggunaan input dalam yang lebih banyak, maka dalam jangka pendek kebutuhan akan hasilhasil pertanian tidak dapat dipenuhi. Namun, dalam jangka panjang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan akan hasil-hasil pertanian secara berkesinambungan (Winangun, 25). Menurut pakar ekologi, teknologi modern (pertanian yang tergantung pada bahan kimia) berdasarkan pertimbangan fisik dan ekonomi dianggap berhasil menanggulangi kerawanan pangan, namun harus dibayar mahal dengan semakin meningkatnya kerusakan atau degradasi yang terjadi di permukaan bumi (Sangatan dalam Sutanto, 22b). Oleh karena itu, untuk mengatasi agar dampak 3

yang dihasilkan dari teknologi revolusi hijau tidak berkelanjutan maka para ahli pertanian mendirikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pertanian dengan tujuan untuk mengembangkan sistem pertanian alternatif yang ramah lingkungan. Sistem pertanian tersebut biasa dikenal sebagai pertanian organik. Pertanian organik dianggap sebagai salah satu solusi bagi revolusi hijau karena dapat mengajarkan petani untuk menggunakan input-input pertanian yang ramah lingkungan seperti pupuk dan pestisida alami serta mengajarkan petani untuk menghargai kearifan dan budaya lokal dalam pertanian. Selain itu, petani dapat menghasilkan produk yang aman bagi konsumen, menyehatkan tanah, dan menjaga keanekaragaman hayati. Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat membuat sebagian masyarakat menyadari arti pentingnya hidup yang berkualitas. Selain itu, gaya hidup back to nature sudah menjadi tren baru di masyarakat dunia. Informasi yang mudah didapat dan bersifat terbuka turut memperluas pemikiran masyarakat. Masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia untuk pertanian akan menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan kesehatannya. Sebagian anggota masyarakat mulai mengubah salah satu pola kehidupannya yaitu pola makan dengan cara memilih produk pangan yang sehat, alami, dan berkualitas. Mereka juga mulai mencari produk pangan yang aman untuk dikonsumsi agar tidak berpengaruh negatif pada tubuhnya. Saat ini produk-produk pertanian organik seperti beras dan sayuran sudah banyak tersedia di supermarket tertentu. Hal ini membuat konsumen dapat dengan mudah memanfaatkan produk-produk tersebut walaupun harga jual yang ditawarkan cukup tinggi. 4

Masih berkembangnya pertanian organik di Indonesia menyebabkan pengelolaan pertanian organik memerlukan perhatian yang khusus dari instansi terkait. Hal ini berkaitan dengan hak konsumen untuk mendapatkan kejelasan mengenai apakah produk yang dihasilkan dikelola secara organik atau tidak dan apakah produk yang dihasilkan mempunyai atribut aman dikonsumsi (food safety attributes), atribut ramah lingkungan (ecolabelling attributes) dan sesuai standar yang dikeluarkan International Federation for Organic Agricultural Movements (IFOAM) maupun Standar Nasional Indonesia (SNI) atau tidak. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar konsumen mempunyai perlindungan hukum yang jelas. Sebab dengan harga jual produk organik yang tinggi dan tidak adanya aturan yang jelas menyebabkan bisnis ini akan meningkat tanpa terkendali sehingga memungkinkan terjadinya penipuan yang berkedok produk organik. Berdasarkan data IFOAM tahun 26 luas lahan organik di Indonesia mencapai 41.431 ha, yaitu setara dengan,1 persen lahan pertanian Indonesia, sedangkan menurut Asosiasi Organis Indonesia (AOI) tahun 28 luas lahan organik di Indonesia telah mencapai 6. ha. Sementara yang telah disertifikasi sebagai pertanian organik sampai dengan tahun 28 baru 23 pelaku organik yang mencakup lahan seluas kurang lebih 7.533 ha. Umumnya produk organik yang telah disertifikasi tersebut hanya dipasarkan di dalam negeri 3. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam. Hal ini lah yang membuat Indonesia memiliki potensi yang besar untuk pertanian organik. Permintaan beras organik di Indonesia terus mengalami peningkatan 3 http://www.deptan.go.id/news/detail [Diakses tanggal 17 Juni 29] 5

setiap tahunnya. Pada tahun 21 produksi beras organik sebesar 1.18 ton, sedangkan pada tahun 24 produksi beras organik meningkat menjadi 11. ton. Pada tahun 25 pasar beras organik Indonesia mencapai 28 miliar rupiah dengan pertumbuhan sekitar 22 persen per tahun. Meningkatnya pasar beras organik diikuti dengan peningkatan jumlah petani organik Indonesia yang pada tahun 21 berjumlah 64 orang petani, meningkat menjadi 1.7 orang petani di tahun 24 4. Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan. Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan yang demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Namun, apabila lahan tersebut digunakan untuk ditanami secara organik maka memerlukan masa konversi yang cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun agar lahan tersebut terbebas dari bahan kimia 5. 1.2 Perumusan Masalah Sistem pertanian organik adalah suatu sistem produksi pertanian dimana bahan organik, baik makhluk hidup maupun yang sudah mati merupakan faktor penting dalam proses produksi. Penggunaan pupuk organik (alami atau buatan) 4 http://www.biocert.or.id/files/edition [Diakses tanggal 2 Juli 26] 5 http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/17/ [Diakses tanggal 4 Juli 22] 6

dan pupuk hayati serta pemberantasan hama, penyakit dan gulma secara biologis merupakan contoh penerapan pertanian organik (Sugito dkk, 1995). Sistem pertanian organik yang semakin populer akhir-akhir ini disebabkan karena adanya kegagalan sistem pertanian anorganik dalam mempertahankan kelestarian lahan dan lingkungan dalam jangka panjang. Hal tersebut terjadi karena dalam penerapannya, sistem pertanian tersebut sangat bergantung pada pemakaian bahan-bahan kimiawi seperti pupuk urea, TSP, ZA, pestisida dan sebagainya sehingga dalam jangka panjang akan berdampak pada rusaknya lahan pertanian yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas. Di Indonesia khususnya Pulau Jawa, sistem pertanian organik seperti padi organik sudah diterapkan. Salah satunya adalah Kota Bogor yang berada di Jawa Barat. Pengembangan padi organik di Kota Bogor difokuskan pada Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat. Daerah ini merupakan salah satu daerah pertanian di Kota Bogor yang menerapkan sistem pertanian padi organik. Pengembangan padi organik di Kota Bogor didukung oleh Pemerintah Kota Bogor dengan membuat program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis melalui pembangunan budidaya pertanian organik. Kedua program itu merupakan kebijakan Pemerintah Kota Bogor berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pertanian setempat pada tahun 21-25. Fokus kebijakan peningkatan ketahanan pangan terletak pada peningkatan produksi dan produktivitas, diversifikasi sumberdaya dan bahan pangan, serta revitalisasi kelembagaan (petani), sedangkan fokus pengembangan agribisnis yakni mengembangkan agribisnis yang berorientasi global dengan membangun 7

keunggulan komparatif sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di Kota Bogor. Selain itu, pemerintah melalui Departemen Pertanian telah mencanangkan gerakan Go Organik 21 untuk memperkenalkan para petani kepada sistem usahatani pertanian organik. Sistem pertanian organik ini akan dilaksanakan secara bertahap dan diharapkan bisa terwujud di seluruh Indonesia pada tahun 21. 6 Dalam kenyataannya kegiatan pertanian padi organik masih sulit untuk diterapkan. Hal tersebut terjadi karena adanya beberapa kendala dalam penerapannya seperti keinginan petani yang ingin praktis dalam mengolah lahannya sehingga sulit untuk menyampaikan informasi mengenai pertanian organik dan sulitnya memasarkan produk padi organik yang disebabkan karena padi tersebut merupakan produk yang tidak umum. Selain itu, kendala yang sering dijumpai dalam penerapan usahatani padi organik adalah produksi padi yang dihasilkan masih dibawah hasil padi anorganik, namun dibalik kendala terdapat beberapa kelebihan dalam menerapkan usahatani padi organik, salah satunya yaitu harga beras organik lebih mahal dari pada harga beras anorganik. Menurut para petani yang berada di Kelurahan Situ Gede Kota Bogor Jawa Barat, harga beras organik yang dijual di pasar mencapai Rp 8./kg, sedangkan harga beras anorganik yang dijual mencapai Rp 7./kg. Mahalnya harga beras organik tersebut diharapkan dapat memberikan rangsangan kepada para petani untuk terus mengembangkan usahatani yang ramah lingkungan dan dapat memberikan tingkat penghasilan yang lebih baik bagi para petani. Selain itu, mahalnya harga beras organik ternyata tidak terlalu mempengaruhi permintaan pasar. Hal ini karena, beras organik memiliki rasa yang lebih pulen 6 http:// bogor-kembangkan-pertanian-organik.html [Diakses tanggal 21 November 29] 8

dan lebih wangi serta memiliki nilai kandungan nutrisi dan mineral yang tinggi yang dibutuhkan oleh tubuh. Keuntungan lain yang didapatkan petani dari usahatani padi organik adalah gabah dari pertanian organik umumnya memiliki rendemen yang lebih tinggi, yaitu hingga 72 persen. Artinya, setiap 1 kg gabah akan menghasilkan 72 kg beras. Persentase itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan rendemen beras biasa yang rata-rata hanya 65 persen 7. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perbandingan struktur biaya usahatani padi organik dan padi anorganik? 2. Bagaimana perbandingan pendapatan usahatani padi organik dan padi anorganik? 1.3 Tujuan Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah 1. Membandingkan struktur biaya usahatani padi organik dan padi anorganik. 2. Membandingkan pendapatan usahatani padi organik dan padi anorganik. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak petani, pemerintah, penulis dan peneliti lainnya. 1. Pihak petani, sebagai masukan untuk para petani khususnya di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede dalam mengembangkan usahatani padi organik. 7 http://hipma-ipb.blogspot.com/29/6/petani-tidak-mampu-penuhi-permintaan.html [Diakses tanggal 15 Juni 29] 9

2. Pihak Pemerintah Kota Bogor, sebagai masukan dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengembangan padi organik. 3. Pihak penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang usahatani padi organik atau pertanian organik baik aspek teknis maupun ekonomis. 4. Pihak peneliti lain, penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan padi organik dan padi anorganik yang tangible dalam satu musim tanam, yaitu bulan November Maret 211. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini hanya melihat perbandingan struktur biaya padi organik dan padi anorganik yang meliputi biaya tunai dan biaya tidak tunai serta pendapatan petani padi organik dan padi anorganik yang meliputi pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Pertanian Organik Menurut Sutanto (22a), pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara sacara hayati. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama dikenal sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, terutama di daratan China. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Sistem pertanian organik merupakan suatu sistem yang berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian dan lingkungan. Menurut International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem pertanian organik adalah sebagai berikut (Winangun, 25) : a. Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah yang cukup; b. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usahatani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman, serta hewan; c. Memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan; d. Memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun di luar usahatani; e. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian;

f. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan; g. Memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat. Istilah pertanian organik dimunculkan karena konsep pertanian ini mempergunakan asupan yang bersifat organik dan dalam perkembangannya mempunyai banyak aliran serta pola tersendiri hampir di tiap wilayah. Hal ini dilatarbelakangi oleh konsep dan pandangan yang berbeda-beda mengenai pertanian organik itu sendiri. Berbagai konsep mengenai pola pertanian organik atau berwawasan lingkungan dapat dikelompokan menjadi lima 7, yaitu : 1. Pertanian biodinamis : sistem budidaya yang mendasarkan pada peredaran bulan; 2. Pertanian ekologis : pertanian yang tanpa merubah lingkungan setempat; 3. Pertanian permaculture : pertanian yang menerapkan pola pertanian permanen in situ dan terpadu dari berbagai komponen pertanian dan peternakan; 4. Pertanian biologis : pertanian yang menitik beratkan pada keseimbangan organisme; 5. Pertanian natural : sistem pertanian yang mendasarkan pada pandangan hidup bahwa alam telah mengatur dirinya sendiri. Perbedaan wawasan dan pendekatan pertanian berlingkungan atau pertanian organik yang berbeda- 7 http://www.mail-archive.com/rantau-net@rantaunet.com/msg9356/istilah_pertanian_organik.rtf [Diakses tanggal 15 Maret 2] 12

beda menghasilkan variasi praktek pertanian organik yang berbeda-beda, walaupun tujuannya sama. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomass tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Hal ini berbeda sama sekali dengan pertanian konvensional yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Beras organik merupakan beras yang berasal dari padi yang dibudidayakan secara organik atau tanpa pengaplikasian pupuk dan pestisida kimia. Oleh karena tanpa bahan kimia, beras organik tersebut terbebas dari residu pupuk kimia dan pestisida kimia yang sangat berbahaya (Andoko, 22). Dalam menghasilkan beras organik yang benar-benar murni memerlukan waktu yang sangat lama yaitu idealnya 5 sampai 15 tahun. Tujuannya adalah untuk mengembalikan ekosistem tanah yang sudah lama terkontaminasi oleh pestisida. Selain harus mengembalikan ekosistem tanah, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan agar menghasilkan beras organik yang berkualitas, diantaranya adalah 8 : a. Lokasi lahan harus jauh dari polusi, misalnya : asap knalpot motor dan limbah pabrik; b. Sistem pengairan harus baik, tidak boleh bercampur dengan lahan pertanian yang belum organik (masih menggunakan pestisida); c. Kontur tanah Terasiring (sengkedan); 8 http://situsmelileaorganik.wordpress.com/category/beras-organik// [Diakses tanggal 6 September 27] 13

d. Lahan-lahan pertanian yang berada di sekitarnya tidak boleh menggunakan pestisida. 2.1.1 Komponen Pertanian Organik Cara bertanam padi organik pada dasarnya tidak berbeda dengan bertanam padi secara konvensional. Perbedaannya hanyalah pada pemilihan varietas dan penggunaan pupuk. Pertanian organik biasanya diawali dengan pemilihan bibit atau benih tanaman non-hibrida. Selain untuk mempertahankan keanekaragaman hayati, bibit non-hibrida sendiri secara teknis memungkinkan untuk ditanami secara organik. Hal ini dikarenakan bibit non-hibrida dapat hidup dan berproduksi optimal pada kondisi yang alami. Sementara bibit atau benih hibrida biasanya dikondisikan untuk dibudidayakan secara anorganik, seperti harus menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia (Andoko, 22). Selain pemilihan varietas, komponen-komponen lainnya yang mempengaruhi pertanian organik adalah lahan. Lahan yang dapat dijadikan pertanian organik adalah lahan yang terbebas dari bahan agrokimia pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan yaitu lahan pertanian yang baru dibuka dan lahan pertanian intensif yang dikonversi untuk lahan pertanian organik. Komponen lainnya yang mempengaruhi pertanian organik adalah pupuk. Pupuk organik yang dapat digunakan adalah kompos, pupuk kandang, azola, pupuk hijau, limbah industri, dan limbah perkotaan termasuk limbah rumah tangga. Karakteristik umum yang dimiliki pupuk organik ialah kandungan unsur hara rendah dan sangat bervariasi, serta penyediaan hara terjadi secara lambat dan terbatas. Keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan pupuk organik adalah dapat memperbaiki sifat fisik tanah, kimia tanah, dan biologi tanah, sedangkan 14

kelemahan yang diperoleh dari penggunaan pupuk organik diantaranya adalah diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dari suatu pertanaman, hara yang dikandung untuk bahan yang sejenis sangat bervariasi, dan kemungkinan akan menimbulkan kekahatan unsur hara apabila bahan organik yang diberikan belum cukup matang (Susanto, 22b). Menurut Andoko (22) beberapa sifat dari pupuk organik adalah sebagai berikut : a. Memperbaiki struktur tanah, dari berlempung yang liat menjadi ringan; b. Memperbaiki daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak terurai; c. Memperbaiki daya ikat air pada tanah; d. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah; e. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara; f. Menyediakan makanan bagi mikroba; g. Menurunkan aktivitas mikroorganisme merugikan. 2.1.2 Tujuan Pertanian Organik Tujuan pertanian organik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian organik adalah (Sutanto, 22b) : 1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam bidang pertanian; 2. Memasyarakatkan kembali budidaya organik yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang kegiatan budidaya pertanian yang berkelanjutan; 3. Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida, pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya; 15

4. Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan; 5. Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki petani secara turun-temurun, serta merangsang kegiatan penelitian pertanian organik oleh lembaga penelitian dan universitas; 6. Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya; 7. Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian. Adapun tujuan jangka pendek yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian organik adalah sebagai berikut (Sutanto, 22b) : 1. Ikut serta menyukseskan program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pemanfaatan peluang pasar dan ketersediaan lahan petani yang sempit; 2. Mengembangkan agribisnis dengan jalan menjalin kemitraan antara petani sebagai produsen dan para pengusaha; 3. Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian lainnya dalam rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat; 4. Mengembangkan dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budidaya organik baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang mampu meningkatkan pendapatan tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan lingkungan; 16

5. Mempertahankan dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan mampu berproduksi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. 2.1.3 Permasalahan Seputar Pertanian Organik Permasalahan mengenai pertanian organik meliputi penyediaan pupuk organik, teknologi pendukung budidaya pertanian organik, dan pemasaran produk organik 9. Permasalahan pertanian organik di Indonesia sejalan dengan perkembangan pertanian organik itu sendiri. Pertanian organik mutlak memerlukan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering bahan jauh dibawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kesulitan. Masalah utama lainnya mengenai pertanian oganik adalah teknologi budidaya pertanian organik. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan rotasi tanaman dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Selain itu, teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada pembudidayaan pertanian organik di musim hujan. Selain itu, untuk pemasaran produk organik didalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran ke luar negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar international tersebut. Kendala utama adalah sertifikasi produk oleh suatu badan 9 http://infoguano.blogspot.com/21/6/produksi-tanaman-organik.html [Diakses tanggal 24 Juni 21] 17

sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan dituju. Akibat keterbatasan sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Hal ini menyebabkan petani melabel produknya sendiri sebagai produk organik walaupun kenyatannya banyak yang masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit pestisida. Sehingga, petani yang benar-benar melaksanakan pertanian organik secara murni akan merugi. 2.2 Sistem Pertanian Konvensional/ Anorganik Sistem pertanian konvensional terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara global, khususnya di bidang pertanian. Salah satu contoh di Indonesia adalah mampu berswasembada pangan (terutama beras) sejak tahun 1983. Tetapi sistem pertanian konvensional tersebut tidak terlepas dari resiko dampak negatif yang ditimbulkan. Meningkatnya kebutuhan pangan yang seiring dengan laju pertambahan penduduk, menuntut peningkatan terhadap penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari sistem pertanian konvensional, yaitu sebagai berikut (Schaller dalam Winangun, 25) : a. Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian dan sedimen; b. Ancaman bahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, baik karena pestisida maupun bahan aditif pakan; c. Pengaruh negatif aditif senyawa kimia pertanian tersebut pada mutu dan kesehatan makanan; 18

d. Penurunan keanekaragaman hayati termasuk sumber genetik flora dan fauna yang merupakan modal utama pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture); e. Peningkatan daya ketahanan organisme penganggu terhadap pestisida; f. Penurunan daya produktivitas lahan karena erosi, pemadatan lahan, dan berkurangnya bahan organik; g. Munculnya resiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pertanian. 2.3 Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Anorganik Menurut Salikin (23), terdapat perbedaan antara pertanian organik dan pertanian anorganik yang ditinjau berdasakan aspek input-output produksi. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Anorganik Berdasarkan Aspek Input-Output Produksi No Uraian Sistem Pertanian Organik Sistem Pertanian Anorganik 1. Lahan Olah Tanah Minimum (OTM) Olah Tanah Intensif (OTI) Olah Tanah Bermulsa (OTB) Olah Tanah Konservasi (OTK) Tanpa Olah Tanah (TOT) 2. Benih Varietas Lokal Varietas unggul 3. Pupuk Pupuk kandang Pupuk Hijau Bokashi 4. Pestisida Pestisida alami Pengendalian hama terpadu 5. Manajemen Orientasi jangka panjang Orientasi ekonomi dan ekologi Manajemen global dan indigenous local Sumber : Salikin, 23 Urea TSP KCl NPK ZPT Insektisida Herbisida Orientasi jangka pendek Orientasi produk Manajemen industrial 19

2.4 Perbedaan Usahatani Padi Organik dan Padi Anorganik Menurut Andoko (22), terdapat beberapa perbedaan yang harus diperhatikan dalam menanam padi organik yaitu, penyiapan lahan, pemberian pupuk, dan pengendalian organisme penganggu. Pada tahap persiapan lahan, sebaiknya tanah dan air yang digunakan untuk pertanian organik harus terbebas dari pestisida dan kandungan berbahaya kimia lainnya. Pada tahap ini, petani melakukan pengolahan lahan sawah dengan cara membajak menggunakan traktor dan kerbau. Setelah itu, pemberian pupuk kandang pada usahatani padi organik dapat dilakukan dengan cara ditebarkan merata keseluruh permukaan lahan. Pada usahatani padi organik, pupuk yang digunakan seluruhnya berupa pupuk organik seperti pupuk kandang dan bokashi sebanyak 2 ton/ha. Sedangkan pada usahatani padi anorganik, pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia seperti urea, TSP, dan KCl. Pada pertanian padi anorganik, dosis pemupukan dengan pupuk kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan pada pertanian padi organik, dosis pemupukan cenderung semakin menurun. Perbedaan lain antara usahatani padi organik dan usahatani padi anorganik terletak pada pengendalian organisme penganggu dan pembersihan gulma. Pada usahatani padi organik, pengendalian organisme penganggu dan pembersihan gulma tidak menggunakan bahan-bahan kimia. pengendalian organisme penganggu pada usahatani padi organik dilakukan dengan menggunakan pestisida alami, sedangkan pembersihan gulma dilakukan dengan cara mencabut gulma secara manual oleh tenaga kerja. Selain itu, perbedaan usahatani padi organik dan padi anorganik juga dapat dilihat dari segi biaya yang dikeluarkan. Secara ekonomis, usahatani padi organik 2

lebih menguntungkan dibanding usahatani padi anorganik. Hal ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan pada usahatani padi organik lebih kecil dari pada usahatani padi anorganik. Secara rinci perbandingan biaya operasional usahatani padi secara organik dan anorganik dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Struktur Biaya Operasional Usahatani Padi Organik dan Anorganik Uraian Budidaya (Rp/ha) Organik (%) Anorganik (%) Benih 3 kg 15. 5,9 15. 3,53 Pupuk dasar : Pupuk kandang/ kompos 5 ton 75. 25,46, Pupuk susulan : Urea 5 kg, 6. 14,12 KCl 25 kg, 432.5 1,18 TSP 25 kg, 5. 11,77 Pupuk kandang/ kompos 2 kg 15. 5,9, Pupuk organik cair 5. 1,69, Pestisida : Pestisida organik 5. 1,69, Pestisida kimia, 75. 17,65 Tenaga kerja : Pengolahan lahan (borongan) 25. 8,48 25. 5,88 Penanaman (borongan) 25. 8,48 25. 5,88 Penyulaman 5 HKP 5. 1,69 5. 1,17 Pengolahan tanah ringan 1 HKP 1. 3,39 1. 2,35 Penyiangan 25 HKP 25. 8,48 25. 5,88 Pemupukan 2.,68 4.,94 Penyemprotan 1 HKP 1. 3,39 1. 2,35 Pemanenan (borongan) 775. 26,31 775. 18,24 Jumlah 2.945. 1, 4.247.5 1, Sumber : Andoko, 22 Andoko (22) menunjukkan bahwa biaya usahatani padi organik lebih rendah dibandingkan biaya usahatani padi anorganik. Proporsi biaya tertinggi pada usahatani padi organik adalah biaya pemanenan dengan persentase sebesar 26,31 persen, sedangkan proporsi biaya tertinggi pada usahatani padi anorganik adalah biaya pembelian pupuk urea, KCl dan TSP dengan persentase sebesar 36,16 persen. 21

2.5 Kebijakan Pemerintah terkait Pertanian Organik Pencanangan dan upaya program Go Organik 21 oleh Departemen Pertanian sudah dilakukan sejak tahun 21. Adapun tujuan program ini adalah untuk memperkenalkan kepada para petani pada sistem usahatani organik, mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik terbesar di dunia dan memenuhi tersedianya produk pertanian yang bebas pestisida baik pada pasar dalam maupun luar negeri. Penyuksesan program tersebut memerlukan keterpaduan peran dan tanggungjawab seluruh stakeholder terkait termasuk pemerintah, yang salah satu tugasnya adalah memfasilitasi pelaksanaan program Go Organik 21 mulai dari penyusunan kebijakan, sosialisasi sistem pangan organik, penyiapan infrastruktur sistem pangan organik, penyiapan kelembagaan, penyiapan tenaga fasilitator/pembina sistem pertanian organik, penyiapan inspektor organik, dan memfasilitasi akses pasar bagi produk-produk organik berkualitas 1. 2.6 Penelitian Terdahulu Marini (27), melakukan penelitian tentang analisis perbandingan keuntungan usahatani padi bebas pestisida dengan padi anorganik di Gapoktan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan keuntungan antara usahatani bebas pestisida dengan padi anorganik yang dilihat dari sisi pendapatan dan efisiensi usahatani, mengetahui saluran, lembaga dan marjin pemasaran padi bebas pestisida di berbagai lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran dan mengetahui karakteristik konsumen beras bebas pestisida. Hasil analisis pendapatan menunjukkan bahwa jumlah produksi dan penerimaan total per tahun padi bebas 1 http:// program-go-organik-21.html [Diakses tanggal 5 Mei 21] 22

pestisida lebih kecil daripada jumlah produksi dan penerimaan total per tahun padi anorganik. Jumlah produksi dan penerimaan padi bebas pestisida masing-masing sebesar 12.87,5 kg/ha dan Rp 2.547.985/tahun, sedangkan jumlah produksi dan penerimaan padi anorganik masing-masing sebesar 14.512,96 kg/ha dan Rp 2.769.444/tahun. Pada sisi biaya, jumlah biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani padi anorganik lebih besar dibandingkan jumlah biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani padi bebas pestisida dan ini juga berdampak pada biaya total yang dikeluarkan oleh masing-masing petani tersebut. Biaya tunai dan biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi bebas pestisida masing-masing sebesar Rp 6.533.83/ha/tahun dan Rp 15.584.66/ha/tahun, sedangkan jumlah biaya tunai dan biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi anorganik masing-masing sebesar Rp 14.468.569/ha/tahun dan Rp 11.338.333/ha/tahun. Proporsi biaya tunai tertinggi pada usahatani padi anorganik dan padi bebas pestisida adalah biaya tenaga kerja luar keluarga dengan persentase masing-masing sebesar 57,6 persen dan 47,64 persen. Dengan demikian, dari segi pendapatan maka pendapatan kotor dan pendapatan bersih usahatani padi bebas pestisida lebih besar dibandingkan pendapatan kotor dan pendapatan bersih usahatani padi anorganik. Pendapatan kotor dan pendapatan bersih usahatani padi bebas pestisida sebesar Rp 11.3.875 dan Rp 9.29.652, sedangkan pendapatan kotor dan pendapatan bersih usahatani padi anorganik sebesar Rp 7.3.875 dan Rp 6.184.838. Hasil analisis R-C rasio menunjukkan bahwa usahatani padi bebas pestisida lebih layak dan menguntungkan dibandingkan usahatani padi anorganik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R-C rasio atas biaya tunai dan biaya total usahatani padi bebas pestisida lebih 23

besar dibandingkan dengan usahatani padi anorganik yaitu masing-masing sebesar 3,145 dan 2,8 serta 1,812 dan 1,397. Rachmiyanti (29), melakukan penelitian tentang analisis perbandingan usahatani padi organik metode System of Rice Intensification (SRI) dengan padi konvensional di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis pengaruh perubahan sistem usahatani dari usahatani non organik menjadi usahatani organik metode SRI yang dilakukan oleh para petani terhadap tingkat pendapatannya. Dari segi produksi, jumlah produksi yang dihasilkan pada usahatani padi organik metode SRI lebih rendah dibandingkan usahatani padi konvensional. Jumlah produksi pada usahatani padi organik metode SRI sebesar 5.753 kg/ha, sedangkan jumlah produksi usahatani padi konvensional sebesar 6.16 kg/ha. Namun, dari segi penerimaan, penerimaan total usahatani padi organik metode SRI lebih besar dari penerimaan total usahatani padi konvensional. Penerimaan total usahatani padi organik metode SRI sebesar Rp 17.259., sedangkan penerimaan total usahatani padi konvensional sebesar Rp 12.212.. Besarnya penerimaan total yang diterima oleh petani padi organik dikarenakan harga jual GKP padi organik per kilogram lebih tinggi dari harga jual GKP konvensioan per kilogram, yaitu Rp 3./kg, sedangkan harga GKP padi konvensional adalah Rp 2./kg. Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI masing-masing sebesar Rp 8.528.778/ha dan Rp 6.61.43/ha. Sedangkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total petani padi 24

konvensional masing-masing sebesar Rp 7.245.966/ha dan Rp 6.567.345/ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendapatan atas biaya tunai petani padi organik metode SRI lebih besar dibandingkan dengan pendapatan atas biaya tunai petani padi konvensional. Ini terjadi karena rata-rata penerimaan tunai petani padi organik lebih besar dari petani padi konvensional. Berbeda dengan pendapatan atas biaya totalnya yang menunjukkan bahwa petani padi konvensional nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan petani padi organik metode SRI. Hal tersebut disebabkan oleh besarnya biaya yang diperhitungkan, sehingga pendapatan atas biaya totalnya menjadi lebih kecil. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya (R-C rasio) diketahui bahwa R-C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI sebesar Rp 1,98 lebih rendah dari R-C rasio yang diperoleh petani padi konvensional, yaitu sebesar Rp 2,46. Hal ini berarti bahwa dari setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh petani padi konvensioanal. Begitu pula dengan R-C rasio atas biaya total, untuk petani padi organik metode SRI R-C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp 1,54, sedangkan petani padi konvensional lebih besar dari petani padi organik tersebut, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI. Berdasarkan hasil uji untuk membedakan tingkat pendapatan, diketahui bahwa hasil uji t untuk pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI yang dibandingkan dengan pendapatan atas biaya total petani konvensional nilainya memberikan hasil uji yang lebih kecil dari nilai t untuk taraf nyata (α) 5% 25

(1,63) yaitu sebesar,99. Hal ini berarti bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat pendapatan atas biaya total petani padi konvensional (terima H ). Hal ini terjadi karena nilai pendapatan atas biaya total yang diperoleh petani padi organik metode SRI lebih kecil dibandingkan pendapatan atas biaya total padi konvensional. Apabila dilihat dari pendapatan atas biaya tunai, diketahui bahwa nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel untuk taraf nyata (α) 5% (1,63) yaitu sebesar 1,64. Hal ini berarti bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat pendapatan atas biaya tunai petani padi konvensional (tolak H ). Hal ini terjadi karena nilai pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI lebih kecil dibandingkan pendapatan atas biaya tunai padi konvensional. Penelitian Wulandari (211) mengambil topik yang hampir sama dengan penelitian terdahulu yaitu analisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan usahatani padi organik dengan usahatani padi anorganik di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Alat analisis yang digunakan adalah analisis struktur biaya, analisis pendapatan, dan analisis R-C rasio. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis mengenai uji beda pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total antara petani padi organik dan petani padi anorganik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah perbandingan struktur biaya, pendapatan dan R-C rasio usahatani padi organik dan anorganik dibedakan berdasarkan status pengusahaan lahan, yaitu petani penggarap dan pemilik. 26

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). Secara rinci penjelasan kerangka pemikiran teoritis dapat dilihat dibawah ini. 3.1.1 Konsep Usahatani Menurut Hernanto (1991), usahatani adalah organisasi dari alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini dalam ketatalaksanaanya berdiri sendiri dan sengaja dilaksanakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolanya. Sedangkan, ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien dengan tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif jika petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya dan efisien jika pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat menghasilkan output yang lebih besar daripada input (Soekartawi, 1995). Hernanto (1989) menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur pokok yang selalu ada pada suatu usahatani. Unsur-unsur tersebut juga dikenal dengan faktor produksi yang terdiri dari tanah, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan (manajemen). a. Tanah Tanah merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya di masyarakat pun

tidak merata. Dalam pada itu, tanah mempunyai beberapa sifat yang diantaranya adalah luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan. Hernanto (1989) membagi golongan petani berdasarkan luas tanah yang dimilikinya menjadi empat bagian, yaitu : golongan petani luas ( kepemilikan lahan > 2 hektar ); golongan petani sedang ( kepemilikan lahan antara,5-2 hektar ); golongan petani kecil ( kepemilikan lahan antara,5 hektar ); golongan buruh tani tidak memiliki lahan. b. Tenaga Kerja Tenaga kerja pada usahatani terdiri dari tenaga kerja manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga dan luar keluarga. Selain itu, tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan usahatani. Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan dan angkutan. Sedangkan tenaga kerja mekanik digunakan untuk pengolahan tanah, pemupukan, pengobatan, penanaman, dan panen. Tenaga mekanik bersifat substitusi, yaitu digunakan sebagai pengganti tenaga ternak dan manusia. c. Modal 28

Modal terutama modal operasional merupakan unsur pokok usahatani yang paling penting diantara tiga unsur pokok usahatani lainnya. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barangbarang baru, yaitu produksi pertanian. Sedangkan modal operasional adalah modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan. Berdasarkan sifatnya, modal dibedakan menjadi modal tetap dan modal bergerak. Modal tetap adalah modal yang tidak habis pada satu periode produksi seperti tanah dan bangunan. Modal bergerak adalah modal yang habis dalam satu periode proses produksi seperti alat-alat, bahan, uang tunai, piutang dibank, tanaman, dan ternak. d. Pengelolaan (manajemen) Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya. Dalam usahatani terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani yaitu faktor pada usahatani itu sendiri (intern) dan faktor diluar usahatani (ekstern). Faktor intern merupakan faktor didalam usahatani yang perlu diperhatikan yang terdiri dari petani pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga dan jumlah keluarga. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor diluar 29

usahatani yang dapat berpengaruh terhadap berhasilnya suatu usahatani yang terdiri dari tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani, fasilitas kredit, serta sarana penyuluhan bagi petani. 3.1.2 Biaya Usahatani Menurut Soekartawi (1995), biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh seperti biaya untuk sewa tanah, pajak, alat pertanian, dan iuran irigasi. Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan seperti biaya untuk sarana produksi. Penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel disebut dengan biaya total (total cost). Menurut Hernanto (1989), terdapat empat kategori atau pengelompokkan biaya, yaitu biaya tetap, biaya variabel, biaya tunai, dan biaya tidak tunai. Biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi seperti pajak, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau, pemeliharaan pompa air, dan traktor. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada biaya skala produksi seperti biaya untuk pupuk, benih, pestisida, dan buruh atau tenaga kerja upahan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai untuk keperluan usahatani. Besar kecilnya biaya tunai sangat mempengaruhi pengembangan usahatani (Mubyarto, 1989). Biaya tunai terbagi atas biaya tunai tetap dan biaya 3

tunai variabel. Biaya tunai tetap terdiri dari biaya pengairan dan pajak tanah, sedangkan biaya tunai variabel terdiri dari biaya pemakaian benih, pupuk, obatobatan, dan tenaga kerja luar keluarga. Biaya tidak tunai adalah biaya yang tidak dimasukkan kedalam biaya tunai tetapi diperhitungkan dalam kegiatan usahatani. Biaya tidak tunai terbagi atas biaya tidak tunai tetap dan biaya tidak tunai variabel. Biaya tidak tunai tetap meliputi biaya untuk tenaga keluarga, sedangkan biaya tidak tunai variabel meliputi biaya panen dan pengolahan tanah dari keluarga dan jumlah pupuk kandang yang dipakai (Hernanto, 1989). 3.1.3 Pendapatan Usahatani Soekartawi (1986), mengemukakan bahwa pendapatan usahatani dibedakan atas pendapatan kotor (gross farm income) dan pendapatan bersih (net farm income). Pendapatan kotor usahatani didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Pendapatan kotor usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan kotor tunai dan pendapatan kotor tidak tunai. Pendapatan kotor tunai merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani dan tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani yang berbentuk benda dan yang dikonsumsi. Sedangkan pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan digudang dan menerima pembayaran dalam bentuk benda. Pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor 31

produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan kedalam usahatani. Selain itu, pendapatan juga dibedakan menjadi pendapatan tunai dan pendapatan tidak tunai. Pendapatan tunai merupakan pendapatan yang diperoleh dari penerimaan dan biaya tunai. Sedangkan pendapatan tidak tunai merupakan pendapatan yang diperoleh dari penerimaan dan biaya total. Bentuk pendapatan tunai dapat menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam spesialisasi dan pembagian kerja. Besarnya pendapatan tunai atau proporsi penerimaan tunai dari total penerimaan yang masuk dapat digunakan untuk perbandingan keberhasilan petani satu dengan yang lainnya (Hernanto, 1991). Penerimaan usahatani (farm receipts), yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, nilai penggunaan rumah dan barang yang dikonsumsi. Sedangkan pengeluaran usahatani (farm expenses) adalah semua biaya operasional dengan tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani. Pengeluaran ini meliputi pengeluaran tunai (current expenses), penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar. Dengan memperhatikan pengertian yang telah disebutkan diatas, diharapkan dapat dikembangkan analisa terhadap pendapatan usahatani. Hal ini penting dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh setiap usahatani. Kegiatan usahatani bertujuan untuk mencapai produksi dibidang pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dengan uang yang diperhitungkan dari nilai produksi setelah dikurangi biaya yang telah dikeluarkan. Penerimaan atau pendapatan 32

usahatani akan mendorong petani untuk dapat mengalokasikannya dalam berbagai kegunaan seperti untuk biaya periode selanjutnya, tabungan, dan pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 3.1.4 Rasio Penerimaan dan Biaya (R-C Rasio) Return Cost Ratio (R-C Rasio) merupakan perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya (Soekartawi, 1995). Analisis R-C rasio digunakan untuk menunjukkan berapa rupiah penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani tersebut. Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani tersebut layak untuk diusahakan. Persamaan R-C rasio dapat dirumuskan sebagai berikut : Usahatani dikatakan layak atau menguntungkan apabila nilai R/C lebih dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar dibandingkan tambahan biaya, usahatani dikatakan tidak menguntungkan apabila nilai R/C kurang dari satu yang artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil dibandingkan tambahan biaya, dan usahatani dikatakan berada pada keuntungan normal apabila nilai R/C sama dengan nol, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang nilainya sama dengan tambahan biaya. 33

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Sebagai negara agraris dan memiliki jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, Indonesia harus terus berupaya dalam meningkatkan ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang meningkat. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, maka pemerintah melaksanakan program Bimbingan Massal (BIMAS) yang digunakan sebagai salah satu realisasi bahwa revolusi hijau telah mencapai swasembada beras. Revolusi hijau merupakan usaha yang dilakukan manusia dalam meningkatkan produksi pangan dengan jalan melakukan pengembangan pada teknologi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kesejahteraan penduduk dunia. Hasil pertanian yang didapat dari program BIMAS tersebut memang sangat menguntungkan. Namun dalam penerapannya, program ini menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia yang berlebihan yang bertujuan untuk menambah kesuburan tanah dan membuat tanaman tersebut tahan terhadap serangan hama penyakit. Hal ini berakibat pada menurunnya produktivitas tanah, rusaknya keseimbangan ekosistem dan terganggunya kesehatan manusia. Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat yang menyadari arti pentingnya hidup yang berkualitas dan mengatasi agar dampak negatif dari teknologi revolusi hijau tidak berkelanjutan, maka para ahli pertanian mengembangkan sistem pertanian organik. Pertanian organik dianggap sebagai salah satu solusi bagi revolusi hijau karena dapat mengajarkan petani untuk menggunakan input-input pertanian yang ramah lingkungan seperti pupuk dan pestisida alami serta mengajarkan petani untuk menghargai kearifan dan budaya lokal dalam pertanian. Selain itu, produk yang dihasilkan dari pertanian organik aman untuk dikonsumsi 34

oleh konsumen, menyehatkan tanah, dan menjaga keanekaragaman hayati. Namun, kegiatan pertanian organik masih sulit untuk diterapkan. Hal tersebut terjadi karena adanya keinginan petani yang ingin praktis dalam mengolah lahannya dan produktivitas padi organik yang dihasilkan masih dibawah produktivitas anorganik sehingga menyebabkan harga beras organik lebih mahal dari pada harga beras anorganik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan usahatani padi organik dan anorganik untuk mengetahui sistem pertanian mana yang lebih baik dan lebih menguntungkan untuk diusahakan oleh petani. Penelitian ini menganalisis perbandingan usahatani padi organik dan padi anorganik yang meliputi analisis struktur biaya, analisis pendapatan, dan analisis R-C rasio untuk melihat apakah usahatani tersebut menguntungkan atau tidak. Pendapatan yang dibandingkan pada penelitian ini terdiri dari dua komponen, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya biaya total. Selain itu, untuk mengetahui apakah pendapatan yang diperoleh oleh petani padi organik dan padi anorganik berbeda nyata atau tidak maka dilakukan pengujian beda nyata dengan menggunakan alat analisis statistik, yaitu uji beda sampel bebas (independent sample test). Secara rinci gambaran mengenai penelitian dapat dilihat pada kerangka pemikiran operasional penelitian dibawah ini. 35

Kebutuhan pangan (beras) meningkat Kuantitas Kualitas (Kesehatan) Usahatani padi anorganik Usahatani padi organik Analisis perbandingan usahatani padi organik dengan usahatani padi anorganik Deskriptif (Proporsi) Struktur biaya Produksi dan Produktivitas Pendapatan dan R-C rasio Uji membedakan pendapatan (uji beda sampel bebas) Peningkatan efisiensi biaya dan pendapatan usahatani padi Pengembangan usahatani padi organik Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Keterangan : : tidak termasuk objek penelitian : termasuk objek penelitian 36

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan karena daerah ini merupakan salah satu daerah di Kota Bogor, disamping wilayah Kecamatan Bogor Selatan yang petaninya mengembangkan usahatani padi organik. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret - April 211. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani padi organik dan anorganik yang berada di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede yang dipandu dengan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari penelusuran karya-karya ilmiah yang terkait dengan penelitian dan data-data yang diperoleh dari kantor Kelurahan Sindang Barang, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Badan Pusat Statistika, dan media komunikasi internet. 4.3 Metode Pengambilan Sampel Pada penelitian ini, responden yang diambil adalah petani padi organik dan petani padi anorganik yang berada di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat. Jumlah petani responden yaitu 44 orang yang terdiri dari 22 petani padi organik dan 22 petani padi anorganik. Pengambilan sampel petani padi organik di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede dilakukan dengan menggunakan metode sensus dengan jumlah responden masing - masing sebanyak 17 dan 5 petani, sedangkan pengambilan sampel petani

padi anorganik di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede masing - masing dilakukan dengan menggunakan metode sensus dan purposive sampling (secara tertuju) dengan jumlah responden masing-masing sebanyak 1 dan 12 petani dari 34 petani dengan kriteria petani yang menjadi responden adalah petani yang berada dalam satu kelompok tani. Pengambilan sampel secara sensus dicirikan oleh pengambilan seluruh populasi sebagai sampel penelitian. Penggunaan metode sensus didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu jumlah populasi padi organik di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede relatif kecil, dapat memperoleh informasi yang lengkap tentang ciri dan sifat populasi petani padi organik, dan dapat menghasilkan gambaran yang lengkap dan dapat dipercaya tentang usahatani padi organik yang dilakukan petani padi organik di lokasi penelitian (Usman dan Abdi, 29), sedangkan pengambilan sampel secara purposive dilakukan dengan mengambil responden yang terpilih oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel tersebut (Nasution, 23). Secara rinci pengambilan sampel petani padi organik dan petani padi anorganik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengambilan Sampel Petani Padi Organik dan Anorganik Responden Kelurahan Sindang Barang Kelurahan Situ Gede Organik 17 5 Anorganik 1 12 Jumlah 27 17 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder dalam penelitian ini akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif (deskriptif) dengan cara memberikan gambaran mengenai struktur biaya, pendapatan, R-C rasio dan uji beda pendapatan petani padi organik dan padi anorganik yang dilakukan 38

ditempat penelitian. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis terhadap biayabiaya yang dikeluarkan, penerimaan yang diperoleh, dan pendapatan usahatani padi. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer (Microsoft Excel dan SPSS). 4.4.1 Analisis Struktur Biaya Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi padi organik dan padi anorganik yang terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Selain itu, biaya dalam kegiatan usahatani juga dibedakan antara biaya tunai dan biaya tidak tunai (Hernanto, 1989). Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai untuk keperluan usahatani seperti biaya bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja luar keluarga, bagi hasil untuk petani penggarap, pengairan (ulu-ulu), sewa traktor, sewa kerbau dan pajak tanah untuk petani pemilik, sedangkan biaya tidak tunai adalah biaya yang diperhitungkan dalam kegiatan usahatani seperti biaya penyusutan alat pertanian dan biaya tenaga kerja dalam keluarga. Secara rinci struktur biaya usahatani padi organik dan padi anorganik dapat dilihat pada Tabel 5. Biaya penyusutan alat-alat pertanian dapat diperhitungkan dengan cara membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal pakai. Untuk menghitung biaya penyusutan dapat menggunakan beberapa metode, salah satunya adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan diasumsikan tidak laku bila dijual.. Persamaan biaya penyusutan dapat dirumuskan sebagai berikut : 39

Tabel 5. Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik Organik Anorganik Komponen Biaya Nilai (Rp) Persentase (%) Nilai (Rp) A. Biaya Tunai Biaya Tetap - Pengairan (ulu-ulu) - Sewa Traktor - Sewa Kerbau - Pajak* Sub Total Biaya Variabel - Benih - Pupuk - Pestisida - Tenaga kerja luar keluarga - Bagi Hasil** Sub Total Total Biaya Tunai B. Biaya Tidak Tunai Biaya Tetap - Penyusutan Alat Pertanian - Tenaga Kerja Dalam Keluarga Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya Keterangan : *) petani pemilik **) petani penggarap 4.4.2 Analisis Pendapatan Persentase (%) Pendapatan usahatani adalah selisih antara total penerimaan usahatani dengan total pengeluaran usahatani yang merupakan nilai semua input yang dikeluarkan dalam proses produksi (Soekartawi, 1986). Persamaan pendapatan usahatani dinyatakan dalam rumus sebagai berikut : Dimana : i = 1 = tunai i = 2 = tidak tunai 4

Keterangan: P = Pendapatan (Rp) TR = Total penerimaan (Total Revenue) (Rp) TC = Total biaya (Total Cost) (Rp) Penerimaan usahatani merupakan perkalian antara jumlah produksi dengan harga jual (Soekartawi, 1995). Adapun rumus penerimaan adalah sebagai berikut : Keterangan : TR = Total penerimaan (Rp) Q = Produksi yang diperoleh dalam suatau usahatani (Kg) P = Harga jual produksi per unit (Rp/ kg) Biaya total usahatani merupakan penjumlahan biaya variabel dan biaya tetap (Soekartawi, 1995). Adapun rumus biaya total adalah sebagai berikut : Keterangan : TC = Total biaya (Rp) TVC = Total biaya variabel (Rp) TFC = Total biaya tetap (Rp) 4.4.3 Analisis R C Rasio Analisis return cost (R-C) ratio adalah perbandingan antara penerimaan (revenue) dan biaya (cost). Analisis R-C ratio bertujuan untuk mengetahui apakah usahatani tersebut layak untuk diusahakan atau tidak. Persamaan R-C ratio dapat dirumuskan sebagai berikut: Bila nilai R-C rasio yang diperoleh lebih dari satu, maka usahatani tersebut dapat dikatakan layak atau menguntungkan, apabila nilai R-C rasio yang diperoleh kurang dari satu, maka usahatani tersebut dapat dikatakan tidak layak atau tidak menguntungkan dan apabila nilai R-C rasio yang diperoleh sama dengan satu, maka usahatani tersebut impas. 41

4.4.4 Uji Beda Dua Sampel Bebas (Independent Samples T Test) Uji beda dua sampel bebas (Independent Sample T Test) merupakan salah satu jenis uji perbedaan dua mean yang digunakan untuk menguji kesamaan ratarata dari dua sampel yang saling bebas atau tidak berpengaruh, dimana peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam dari sampel tersebut. Uji t bebas digunakan untuk mengetahui secara statistik apakah terdapat perbedaan yang nyata terhadap pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total antara usahatani padi organik dan usahatani padi anorganik, karena walaupun secara nominal pendapatan petani tersebut tidak sama, namun secara statistik belum tentu berbeda (Nazir, 1988). Asumsi yang digunakan pada pengujian ini adalah sampel menyebar secara normal. Adapun rumus yang digunakan untuk mencari t hitung dan standar deviasi adalah (Walpole, 1993) : Keterangan : đ : Rata-rata selisih pasangan d i : Contoh responden S d : Standar deviasi selisih pasangan n : Jumlah populasi Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah H H 1 : Pendapatan petani padi organik = Pendapatan petani padi anorganik : Pendapatan petani padi organik > Pendapatan petani padi anorganik 42

Level signifikan (α) yang digunakan adalah 5% (,5). Hipotesis H akan ditolak apabila P value < α dan sebaliknya hipotesis H akan diterima apabila P value > α. 4.5 Definisi Operasional Definisi yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan melalui konsep operasional, yaitu sebagai berikut : 1. Usahatani padi adalah organisasi dari sumberdaya alam (lahan, air, dan cahaya matahari), tenaga kerja, dan modal (sarana produksi) yang ditujukan kepada produksi padi. 2. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi padi dengan harga jual padi (Rp). 3. Biaya tetap adalah biaya usahatani padi yang jumlahnya sama walaupun produksi padi yang diperoleh banyak atau sedikit (Rp). 4. Biaya variabel adalah biaya usahatani padi yang besar kecilnya terkait dengan produksi yang dihasilkan seperti biaya untuk sarana produksi (Rp). 5. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai dalam usahatani padi (Rp). Biaya tunai terdiri dari biaya tunai tetap dan biaya tunai variabel. Biaya tunai tetap dapat berupa biaya air, sewa traktor, sewa kerbau dan pajak tanah untuk petani pemilik, sedangkan biaya tunai variabel dapat berupa biaya untuk pemakaian benih, pupuk, pestisida, bagi hasil untuk petani penggarap dan tenaga kerja luar keluarga. 6. Biaya tidak tunai adalah biaya yang tidak dikeluarkan secara tunai namun diperhitungkan dalam kegiatan usahatani padi (Rp). Biaya tidak tunai tetap meliputi biaya penyusutan alat pertanian dan tenaga kerja dalam keluarga. 43

7. Penerimaan usahatani padi adalah hasil perkalian antara jumlah produksi padi yang diperoleh (kg) dengan harga jual produksi padi per unit (Rp/kg). 8. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi (Rp). 9. Pendapatan atas biaya tunai adalah pendapatan yang diperoleh dari penerimaan total dan biaya tunai (Rp). 1. Pendapatan atas biaya total adalah pendapatan yang diperoleh dari penerimaan total dan biaya total (Rp). 44

V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran umum lokasi penelitian yang dibahas pada penelitian ini meliputi letak geografis dan pembagian administrasi, kependudukan, serta sarana dan prasarana. Secara rinci penjelasan gambaran umum lokasi penelitian dapat dilihat dibawah ini. 5.1.1 Letak Geografis dan Pembagian Administrasi Kelurahan Sindang Barang merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kelurahan ini memiliki luas wilayah sebesar kurang lebih 159,115 ha yang terbagi dalam 9 Rukun Warga (RW) dan 47 Rukun Tetangga (RT). Kelurahan ini terletak kurang lebih 5 km dari kantor Kecamatan Bogor Barat dan 8 km dari pusat Kota Bogor. Batas wilayah Kelurahan Sindang Barang adalah Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat : Kelurahan Bubulak : Kelurahan Loji : Kelurahan Menteng/ Cisadane : Kelurahan Margajaya Keadaan topografi wilayah Kelurahan Sindang Barang sebagian besar berupa dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 25 m di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata sebesar 4. mm per tahun dengan suhu berkisar antara 29 C - 42 C. Kondisi lahan di kelurahan ini tergolong cukup subur dengan kedalaman solum tanah sebesar 5 cm. Dengan kondisi tersebut Kelurahan Sindang Barang berpotensi untuk pengembangan budidaya padi. Berdasarkan data profil Kelurahan Sindang Barang (21), lahan yang berfungsi sebagai lahan

pertanian seluas 2 ha atau sebesar 12,57 persen dari luas total lahan. Penggunaan lahan yang lainnya adalah untuk pemukiman, bangunan sekolah, dan perkantoran. Kelurahan Situ Gede merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kelurahan ini terletak 5 km dari Kecamatan Bogor Barat dan 8 km dari ibu kota kabupaten/ kota. Wilayah Kelurahan Situ Gede meliputi areal seluas 232,47 ha yang terdiri dari 1 RW dan 33 RT. Batas wilayah Kelurahan Situ Gede adalah Sebelah Utara : Desa Semplak Barat Sebelah Selatan : Kelurahan Balumbang Jaya Sebelah Timur : Kelurahan Bubulak Sebelah Barat : Desa Cikarawang Secara topografi daerah ini merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 25 m di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata sebesar 4,67 mm pertahun dengan suhu rata-rata harian 24,9 o C. Kondisi lahan tergolong cukup subur dengan tanah berwarna merah dan tekstur tanah berjenis lampungan. Dengan kondisi tersebut lahan Kelurahan Situ Gede berpotensi untuk pengembangan budidaya padi. Berdasarkan data profil Kelurahan Situ Gede (21), lahan yang berfungsi sebagai lahan pertanian seluas 65 ha atau sebesar 27,96 persen dari luas total lahan. Namun, lahan yang ditanamai padi hanya seluas 4 ha atau sebesar 17,2 persen. Penggunaan lahan yang lainnya adalah untuk pemukiman seluas 11,47 hektar atau sebesar 47,52 persen dan perkebunan seluas 3 ha atau sebesar 1,29 persen. Secara rinci luas wilayah menurut penggunaan lahan di Kelurahan Situ Gede dapat dilihat pada Tabel 6. 46

Tabel 6. Luas Wilayah Kelurahan Situ Gede Menurut Penggunaan No Keterangan Luas lahan (ha) Persentase (%) 1. Pemukiman 11,47 47,52 2. Sawah 65 27,96 3. Perkebunan 3 1,29 4. Pekarangan 38 16,35 5. Kuburan 2,86 6. Taman 3 1,29 7. Perkantoran 6 2,58 8. Situ 5 2,15 Total 232,47 1 Sumber : Profil Kelurahan Situ Gede, 21 5.1.2 Kependudukan Pada tahun 21, jumlah penduduk Kelurahan Sindang Barang sebanyak 16.49 orang yang terdiri dari 8.477 orang laki-laki dan 7.932 orang perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 4.41. Berdasarkan golongan umur, penduduk terbanyak berada pada golongan umur 2 49 tahun sebanyak 8.751 orang atau sebesar 53,33 persen dan golongan umur 5 tahun sebanyak 2.832 orang atau sebesar 17,25 persen. Sedangkan jumlah penduduk di Kelurahan Situ Gede sebanyak 7.941 orang yang terdiri 4.48 orang laki-laki dan 3.893 orang perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.228. Selain itu, kepadatan penduduk di Kelurahan Situ Gede mencapai 252 orang per km. Berdasarkan golongan umur, penduduk terbanyak berada pada golongan umur 2 49 tahun sebanyak 4.157 orang atau sebesar 52,3 persen dan golongan umur 5 tahun sebanyak 87 orang atau sebesar 1,95 persen. Secara rinci jumlah penduduk Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede menurut golongan umur pada tahun 21 dapat dilihat pada Tabel 7. 47

Tabel 7. Jumlah Penduduk Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede Menurut Golongan Umur Tahun 21 No Sindang Barang Situ Gede Golongan Umur Jumlah Persentase Jumlah Persentase (tahun) (orang) (%) (orang) (%) 1. 4 577 3,51 466 5,86 2. 5 9 1.425 8,68 845 1,64 3. 1 14 1.484 9,4 78 9,82 4. 15 19 1.34 8,16 823 1,36 5. 2 49 8.751 53,33 4.157 52,34 6. 5 2.832 17,25 87 1,95 Total 16.49 1 7.941 1 Sumber : Profil Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, 21 Pada dasarnya tingkat perkembangan perekonomian masyarakat Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede cukup baik dibandingkan pada masa sebelumnya. Hal ini didasarkan pada tingkat produktifitas dari masyarakat yang sudah mempunyai penghasilan tetap. Berdasarkan sumber mata pencaharian, masyarakat Sindang Barang yang berprofesi sebagai PNS dan TNI/Polri sebanyak 1.752 orang, petani sebanyak 27 orang, dan buruh tani sebanyak 81 orang. Lainnya berprofesi sebagai pegawai swasta dan pedagang. Sedangkan pada Kelurahan Situ Gede, jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani sebanyak 279 orang dan buruh tani sebanyak 132 orang. Sisanya berprofesi sebagai PNS, pegawai swasta, peternak, pedagang, dan TNI/Polri. Tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede tergolong tinggi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede yang mencapai tingkat pendidikan sarjana masing-masing sebanyak 46 dan 25 orang atau sebesar 3,68 dan 1,23 persen. Selain itu, penduduk Sindang Barang dan Situ Gede yang tingkat pendidikannya mencapai akademi dan SMA/sederajat masing-masing sebanyak 5.731 dan 381 orang atau 48

sebesar 52,1 dan 18,75 persen. Komposisi penduduk Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Penduduk Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 21 Sindang Barang Situ Gede No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Tamat SD 1.992 18,7 977 48,1 2. Tamat SMP/sederajat 2.889 26,22 397 19,54 3. Tamat SMA/sederajat 5.55 49,96 261 12,85 4. Akademi (D1- D3) 226 2,5 12 5,9 5. Sarjana (S1- S2) 46 3,68 25 1,23 Total 11.18 1 2.31 1 Sumber : Profil Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, 21 5.1.3 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede cukup memadai. Hal ini dapat dilihat dari keadaan jalan, alat transportasi dan sejumlah fasilitas yang dibangun untuk melengkapi kegiatan masyarakat. Keadaan jalan di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede cukup baik, dimana terdapat jalan-jalan beraspal yang menghubungkan kelurahan dengan kecamatan, ibu kota dan tempat lainnya serta dapat dilalui oleh motor dan kendaraan roda empat baik mobil, truk, dan mini bus. Selain itu, didukung juga dengan alat transportasi berupa angkutan kota dan ojek yang melewati kelurahan tersebut. Prasarana yang terdapat di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede berupa prasarana peribadatan seperti mesjid yang masing-masing berjumlah 12 dan sembilan buah dan mushola masing-masing berjumlah 17 dan 11 buah. Prasarana kesehatan yaitu satu unit puskesmas di Kelurahan Sindang Barang, dan posyandu masing-masing berjumlah 14 dan 1 unit. Prasarana pendidikan yaitu gedung TK masing-masing berjumlah delapan dan satu buah, SD masing-masing berjumlah empat dan lima buah, SMP/sederajat masing-masing berjumlah dua dan 49

satu buah, SMA/sederajat masing-masing berjumlah dua dan satu buah. Prasarana lembaga kemasyarakatan berupa kelompok tani yang berada di Kelurahan Sindang Barang berjumlah satu unit organisasi yaitu kelompok tani mekar tani, sedangkan di Kelurahan Situ Gede berjumlah dua unit organisasi yaitu kelompok tani harapan mekar dan tirta maju. Selain itu, Kelurahan Situ Gede juga memiliki prasarana hiburan dan wisata berupa Danau Situ Gede seluas 4,5 ha yang berada tepat disamping Kelurahan Situ Gede. 5.2 Gambaran Umum Budidaya Padi Organik dan Anorganik Cara bertanam padi organik pada dasarnya tidak berbeda dengan bertanam padi secara anorganik. Perbedaannya hanyalah pada penggunaan pupuk dan pestisida (Andoko, 22). Dalam pengaplikasiannya, budidaya padi secara organik sebenarnya tidak lagi menggunakan pupuk dan pestisida kimia, namun dalam kenyataannya budidaya padi tersebut masih belum sepenuhnya murni organik karena terdapatnya residu kimia yang berada pada tanah yang sebelumnya ditanam padi anorganik dan air irigasi yang mengalir dari areal sawah padi anorganik. Adapun teknik budidaya padi organik dan anorganik meliputi penyiapan lahan, pembenihan, penanaman (tandur), penyiangan, pemupukan, pengendalian organism penganggu, serta pemanenan dan pasca panen. 5.2.1 Pengolahan Tanah Pada dasarnya penyiapan lahan adalah pengolahan tanah sawah hingga siap untuk ditanami. Pengolahan tanah sawah dilakukan selama kurang lebih lima hari. Jumlah tenaga kerja yang dipakai dalam pengolahan tanah pada usahatani padi organik berbeda dengan usahatani padi anorganik. Perbandingan penggunaan tenaga kerja dalam pengolahan lahan usahatani padi organik dan usahatani padi 5

anorganik di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perbandingan Penggunaan Tenaga Kerja Pengolahan Lahan Usahatani Padi Organik dan Anorganik Penggunaan Tenaga Kerja (HOK/ha) No Pengolahan lahan Usahatani Padi Organik Usahatani Padi Anorganik 1. Tenaga kerja luar 9,25 12,23 keluarga (TKLK) 2. Tenaga kerja dalam 4,59 6,18 keluarga (TKDK) Sumber : Data primer, 211 Tabel 9 menunjukkan bahwa dalam pengolahan lahan penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan dalam keluarga pada usahatani padi anorganik lebih besar dibandingkan usahatani padi organik. Jumlah tenaga kerja luar keluarga yang dibutuhkan pada usahatani padi organik sebanyak 9,25 hari orang kerja (HOK), sedangkan pada usahatani padi anorganik jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 12,23 HOK. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga yang dipakai usahatani padi organik sebanyak 4,59 HOK, sedangkan pada usahatani padi anorganik tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan sebanyak 6,18 HOK. Langkah awal pengolahan tanah sawah adalah membersikan lahan sawah dari sisa-sisa jerami. Setelah lahan sawah dibersihkan maka pembajakan dapat segera dilakukan. Pembajakan sawah di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede sebagian besar menggunakan traktor atau cara tradisonal dengan tenaga kerbau. Dari dua pilihan cara pembajakan tersebut, menurut pengalaman petani padi organik, cara pembajakan sawah dengan kerbau memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini terjadi karena mata bajak kerbau akan lebih masuk ke dalam tanah sehingga pengolahan tanah menjadi sempurna. Pembajakan sawah dilakukan sebanyak dua kali. Pembajakan pertama dilakukan dengan tujuan untuk membalikkan tanah dan memberantas gulma. 51

Setelah pembajakan pertama selesai, tanah sawah dibiarkan selama tiga hari dalam keadaan tergenang air agar proses pelunakan tanah berlangsung sempurna. Tiga hari kemudian tanah dibajak kembali agar bongkahan tanah menjadi semakin kecil. Untuk budidaya padi organik, pada pembajakan kedua ini pemberian pupuk yang pertama dapat dilakukan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang matang sebanyak 1,9 ton per ha. Pemberian pupuk kandang ini dilakukan dengan cara ditebarkan merata keseluruh permukaan lahan. Pada saat ini penanaman bibit dapat dilakukan. Kegiatan pengolahan tanah dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Pengolahan Tanah 5.2.2 Pembenihan Pada dasarnya pembenihan padi secara organik tidak berbeda dengan pembenihan padi secara anorganik. Langkah pertama dalam pembenihan adalah melakukan penyeleksian benih. Umumnya petani di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede menggunakan benih yang dijual di toko pertanian. Benih yang digunakan oleh petani padi organik dan padi anorganik adalah varietas sinta nur, karena varietas ini dapat tahan terhadap hama penyakit seperti hama wereng. Berdasarkan data yang diperoleh, Jumlah benih padi yang digunakan pada usahatani padi anorganik lebih besar dibandingkan jumlah benih padi yang 52

digunakan pada usahatani padi organik. Harga jual benih padi tersebut sebesar Rp 5./kg. Secara rinci perbandingan penggunaan benih padi pada usahatani padi organik dan usahatani padi anorganik dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Padi Organik dan Anorganik No Usahatani Jumlah Benih (kg/ha) 1. Padi organik 39,85 2. Padi anorganik 47,61 Sumber : Data primer, 211 Langkah kedua adalah menyiapkan tempat pembenihan. Penyiapan tempat untuk pembenihan dilakukan kira-kira seminggu sebelum benih disebarkan. Sawah yang akan digunakan untuk pembenihan dicangkul merata sedalam kirakira 3 cm. Tidak ada anjuran mengenai luas lahan pembenihan. Luas lahan yang digunakan untuk pembenihan tergantung dengan jumlah benih. Selanjutnya benih yang sudah terseleksi dikecambahkan dahulu sebelum disebar dipersemaian yakni dengan cara merendam benih di dalam air selama dua hari. Pada saat ini akan terlihat dengan jelas antara benih yang bagus dan tidak bagus. Benih yang dipilih untuk disemaikan adalah benih yang tenggelam. 5.2.3 Penanaman (tandur) Penanaman akan dilakukan bila lahan sawah dan bibit yang disemaikan sudah siap dan memenuhi syarat. Umumnya petani di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede menggunakan bibit yang berumur antara 21 25 hari dan memiliki tinggi sekitar 25 cm. Jarak tanam padi organik dan anorganik di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede adalah sekitar 25 cm x 25 cm. Kegiatan penanaman sampai pemanenan dilakukan oleh tenaga kerja yang sama. Upah yang diberikan untuk tenaga kerja tersebut tergantung dari hasil panen yang didapat dan dibayarkan setelah panen selesai. Besarnya upah yang diterima yaitu 53

sebesar satu per lima dari hasil panen. Kegiatan penanaman padi dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Penanaman Padi 5.2.4 Perawatan Tanaman Kegiatan perawatan tanaman pada penelitian ini meliputi penyiangan, pemupukan, dan pengendalian organisme pengganggu. Secara rinci penjelasan kegiatan perawatan tanaman dapat dilihat dibawah ini. 5.2.4.1 Penyiangan Kegiatan penyiangan bertujuan untuk membersihkan tanaman liar dari tanaman padi. Jenis tanaman liar atau gulma pada tanaman padi umumnya berupa eceng dan rerumputan seperti jajagoan, sunduk gangsir, dan rumput teki. Pada usahatani padi organik, gulma dapat diatasi dengan penggunaan herbisida kimia. Namun, dalam pertanian organik gulma dapat diatasi dengan penyiangan yaitu dengan cara mencabut gulma. Umumnya dalam satu musim tanam, penyiangan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu saat tanaman berumur empat minggu, 35 hari, dan 55 hari (Andoko, 22). Namun pada Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, penyiangan gulma tidak tentu dilakukannya karena kegiatan ini disesuaikan dengan pertumbuhan gulma dilahan. 54

5.2.4.2 Pemupukan Pada budidaya padi secara organik seluruh pupuk yang digunakan sepenuhnya berupa pupuk organik. Pupuk tersebut dapat berbentuk padat yang diaplikasikan lewat akar maupun cair yang diaplikasikan lewat daun. Sedangkan pada budidaya padi anorganik, pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia seperti Urea, TSP, dan KCl yang banyak dijual di toko toko pertanian. Pupuk organik padat yang digunakan berupa pupuk bokashi atau pupuk kandang seperti kotoran kambing dan sapi sebanyak 1,9 ton/ha dengan harga sebesar Rp 7/kg. Sedangkan pupuk organik cair yang digunakan berupa campuran dari dedak, air kelapa, keong mas yang sudah dihancurkan, gula merah, kotoran hewan dan air beras sebanyak 25 liter/ha. Pupuk kandang padat disebarkan secara merata ke seluruh permukaan tanah, sedangkan pupuk cair diberikan dengan cara menyemprotkan pupuk tersebut pada daun tanaman. Dosis pemupukan dengan pupuk kimia umumnya semakin meningkat setiap tahunnya. Lain dengan penggunaan pupuk organik yang dosisnya justru cenderung semakin menurun. Kecenderungan menurunnya penggunaan pupuk kandang disebabkan oleh sifat dari pupuk organik itu sendiri yang menguntungkan bagi tanah seperti meningkatkan kesuburan tanah dan membentuk struktur tanah yang semakin bagus. Cara pemberian pupuk padat pada usahatani padi anorganik dilakukan sebanyak dua kali, sedangkan pada usahatani padi organik dilakukan sebanyak tiga kali. Pemberian pupuk kimia diberikan pada saat padi berumur 14 dan 35 hari setelah tanam (HST), sedangkan pemberian pupuk kandang padat dan pupuk cair alami masing-masing diberikan pada saat pengolahan tanah, 2 HST, 3 HST dan pada saat tanaman berumur 25-6 hari. Secara rinci perbandingan kegiatan 55

pemupukan usahatani padi organik dan usahatani padi anorganik dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perbandingan Kegiatan Pemupukan Usahatani Padi Organik dan Anorganik No Uraian Usahatani Padi Organik Usahatani Padi Anorganik 1. Pupuk padat Kandang Urea, TSP, KCl 2. Pupuk cair Campuran dedak, air kelapa,keong mas, gula - 3. Waktu pemberian pupuk padat 4. Waktu pemberian pupuk cair 5. Jumlah tenaga kerja luar keluarga (TKLK) 6. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) Sumber : Data primer, 211 merah, dan kotoran hewan Pengolahan tanah, 2 HST dan 3 HST Umur 25 6 hari 27 HOK/ha 5,41 HOK/ha 14 HST, 35 HST - 21 HOK/ha 6,23 HOK/ha Dosis penggunaan pupuk kimia yang dianjurkan oleh pemerintah untuk urea sebesar 2 kg/ha, sedangkan untuk pupuk TSP dan KCl diberikan dengan dosis yang sama yaitu 1 kg/ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani padi anorganik, penggunaan pupuk urea ternyata melebihi dosis yang telah dianjurkan oleh pemerintah yaitu sebesar 348 kg/ha, sedangkan penggunaan pupuk TSP dan KCl masih dibawah dosis yang dianjurkan oleh pemerintah yaitu masing-masing sebesar 98 kg/ha dan 53 kg/ha. Harga pupuk urea sebesar Rp 3./kg dan harga pupuk TSP dan KCl masing-masing sebesar Rp 3.5/kg. Penggunaan rata-rata pupuk kimia pada usahatani padi anorganik dapat dilihat pada Tabel 12. 56

Tabel 12. Penggunaan Rata-Rata Pupuk Kimia pada Usahatani Padi Anorganik di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede No Jenis Pupuk Penggunaan (Kg/ha) Anjuran Pemerintah (Kg/ha) Selisih (Kg/ha) 1. Urea 348 2 148 2. TSP 98 1-2 3. KCl 53 1-47 Sumber : Data primer, 211 Tabel 12 menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia urea oleh petani padi anorganik melebihi dosis yang telah dianjurkan oleh pemerintah. Kelebihan pupuk dari penggunaan pupuk urea adalah sebesar 148 kg/ha. Sedangkan dosis penggunaan pupuk TSP dan KCl oleh petani padi anorganik masih dibawah dosis yang dianjurkan pemerintah. Kekurangan pupuk dari penggunaan pupuk TSP dan KCl masing-masing sebesar 2 kg/ha dan 47 kg/ha. Dosis penggunaan pupuk TSP dan KCl yang masih dibawah anjuran pemerintah disebabkan karena harga pupuk tersebut sangat mahal yaitu Rp 3.5/kg. 5.2.4.3 Pengendalian Organisme Pengganggu Sama halnya dengan pemupukan, pengendalian organisme penganggu pada padi organik dan anorganik juga berbeda. Pada budidaya padi secara anorganik, pengendalian organisme penganggu dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia seperti Decis dan Asodrin yang dijual di toko pertanian, sedangkan pada budidaya padi organik menggunakan pestisida alami. Sekarang ini sudah banyak toko-toko pertanian yang menjual pestisida alami seperti pestisida bioekstrim. Namun untuk menghemat biaya produksi, banyak petani yang memilih membuat sendiri pestisida alami. Pestisida alami dibuat dengan cara menumbuk halus bahan-bahan seperti bawang putih, daun sirsak, daun sembung, dan telor. Setelah ditumbuk, bahan tersebut disaring dengan kain lalu disemprotkan ke tanaman yang terserang hama. Dosis pestisida 57

alami yang digunakan petani sebanyak 5 liter/ha. Biasanya jenis hama yang sering menyerang tanaman padi organik adalah hama wereng dan penggerek batang. Hama-hama tersebut tergolong hama penting yang harus dibasmi karena serangannya dapat menurunkan produksi padi dan merugikan petani. 5.2.5 Pemanenan dan Pasca Panen Pada dasarnya panen dan pasca panen padi yang ditanam secara organik tidak berbeda dengan padi yang ditanam secara anorganik. Umumnya pemanenan padi di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede dilakukan dua kali dalam setahun. Panen padi dilakukan dengan dengan menggunakan sabit. Setelah di panen, padi dirontokkan dengan cara memukulkan batang padi ke kayu hingga gabah berjatuhan. Gabah yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi dua yaitu gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG). Adapun jenis gabah yang sering dijual oleh para petani padi organik dan padi anorganik di Kelurahan Sindang Barang ialah gabah kering panen (GKP). Berdasarkan data yang diperoleh dari petani bahwa jumlah produksi gabah kering panen yang dihasilkan oleh petani padi organik lebih besar dibandingkan jumlah produksi petani padi anorganik. Dari rata-rata luas lahan yang diusahakan petani padi organik yaitu sebesar,8 ha mampu menghasilkan gabah kering panen (GKP) sebesar 4.531,82 kg. Bila luas lahan dikonversi kedalam satuan hektar maka produktivitas padi organik menghasilkan GKP sebesar 5.664,77 kg/ha dengan harga jual sebesar Rp 2.4/kg. Sedangkan gabah yang diterima petani padi anorganik pada luas lahan rata-rata,69 ha mampu menghasilkan GKP sebesar 3.732,27 kg. Bila luas lahan dikonversi kedalam satuan hektar maka produktivitas padi anorganik menghasilkan GKP sebesar 5.49,9 kg/ha dengan 58

harga jual sebesar Rp 2./kg. Secara rinci perbandingan produktivitas usahatani padi organik dan anorganik dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perbandingan Produktivitas Usahatani Padi Organik dan Anorganik No Uraian Usahatani Padi Organik Usahatani Padi Anorganik 1. Gabah kering panen (GKP) (kg) 4.531,82 3.732,27 2. Luas lahan rata-rata (ha),8,69 Produktivitas (kg/ha) 5.664,77 5.49,9 Sumber : Data primer, 211 Dilihat dari status pengusahaan lahan, produktivitas usahatani padi organik petani penggarap dan pemilik lebih besar dibandingkan usahatani padi anorganik. Produktivitas usahatani padi organik petani penggarap dan pemilik masingmasing adalah 5.631 kg/ha dan 6. kg/ha, sedangkan produktivitas usahatani padi anorganik petani penggarap dan pemilik masing-masing adalah 5.4 kg/ha dan 5.5 kg/ha. Kegiatan pemanenan dan perontokan padi dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Pemanenan dan Perontokan Padi 5.3 Permasalahan Usahatani Padi Dalam kegiatan usahatani padi organik dan padi anorganik, para petani sering dihadapi oleh masalah - masalah yang apabila tidak ditangani dengan cepat maka akan berdampak pada menurunya jumlah produksi. Masalah-masalah tersebut terdiri dari biaya produksi seperti pupuk yang semakin mahal dan serangan hama penyakit yang mengganggu tanaman padi. Berdasarkan hasil 59