Profil Pengembangan Tanaman Palawija dan Kelembagaan Penunjang di Lokasi Eks Primatani Agroekosistem Lahan Pasang Surut Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau Oni Ekalinda, Reni Astarina dan Anita Sofia Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau E-mail : Oniekalinda@gmail.com Abstrak Tujuan dari penelitian adalah untuk memperoleh data dan informasi mengenai: (1) ke ragaan budidaya komoditi palawija (kedele, jagung dan kacang tanah ); (2) struktur biaya usahatani palawija ; (3) keunggulan kompetitif diantara komoditi palawija dan (4) rantai agribisnis komoditi palawija di lokasi eks Primatani agroekosistem lahan pasang surut Kabupaten Indragiri Hilir. Penelitian ini dilaksanakan tahun 2014. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penerapan teknologi budidaya jagung, kedele dan kacang tanah relatif masih rendah, terutama dalam hal penggunaan dosis pupuk dan penggunaan varietas unggul, sehingga produktifitas yang dihasilkan juga rendah. Dari rataan penggunaan dosis pupuk Urea 12 kg/ha, TSP 22 kg/ha dan KCl 27 kg/ha dihasilkan jagung sebanyak 2 t/ha, kedele 2 t/ha dan kacang tanah 1,5 t/ha. Dari strukur biaya usahatani, terlihat bahwa biaya tenaga kerja merupakan pengeluaran yang terbesar dengan kisaran Rp 2.800.000 Rp 2.900.000. Bervariasinya biaya tenaga kerja tergantung dari jenis komoditas usahatani dan upah tenaga kerja. Dari Gross BC Ratio terlihat bahwa usahatani jagung merugi sebesar Rp 1.554.750 dengan Gross BC Ratio- 0,49.Usahatani kedele dan kacang tanah layak untuk dikembangkan, dimana Gross BC Ratio berkisar antara 1,0 1,5. Secara ekonomi, pola usahatani tumpang sari lebih baik dibanding monokultur dengan tingkat Gross BC Ratio sebesar 0,72. Usahatani kacang tanah cukup kompetitif terhadap tanaman palawija lainnya (jagung dan kedele). Pada tingkat penebas memperoleh keuntungan sebesar Rp 200/kg, pedagang pengumpul Rp 415/kg dan pedagang besar Rp 525/kg. Secara umum lembaga pendukung yang dibutuhkan petani sebenarnya telah cukup tersedia. Kelembagaan yang dapat melayani kebutuhan petani tersebut antara lain ; Penyuluh Lapangan dalam memberikan informasi teknologi usahatani, kelompok tani sebagai wadah yang dapat menggalang kerjasama petani, kelompok unit usaha industri rumah tangga yang mengolah hasil-hasil usahatani, kios sarana produksi untuk melayani kebutuhan sarana produksi yang diperlukan untuk usahatani dan pasar desa untuk menjual produk usahatani dan memenuhi konsumsi rumah tangga tani. Kelembagaan keuangan yang banyak dimanfaatkan oleh petani adalah lembaga keuangan non formal karena tidak memerlukan prosedur yang rumit dan dikembangkan berdasarkan kepercayaan. Kata kunci: eks primatani, palawija, pasang surut, pengembangan, Riau. Pendahuluan Produk palawija (jagung, kedele dan kacang tanah) merupakan salah satu komoditas non beras yang penting sebagai bahan makanan, pakan ternak dan bahan baku industri. Meskipun rata rata peningkatan produksi (11,3%/ tahun) lebih besar dari permintaan (8,1%/tahun), tetapi total permintaan lebih besar dari pada produksi (BPS,2013). Pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi palawija (jagung, kedele dan kacang tanah) melaui program intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Proyeksi peningkatan produksi (jagung, kedele dan kacang tanah) dalam 5 tahun kedepan adalah sebesar 1,94 % per tahun (Distan Riau, 2013), namun karena beragamnya kendala produksi, seperti iklim yang kurang menguntungkan, serangan hama dan penyakit, serta harga yang masih berfluktuasi, 1694 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian
maka petani belum mampu meningkatkan produksi palawija. Kenyataan menunjukkan bahwa produktifitas palawija masih rendah, untuk jagung 0,7 ton/ha, kedele 1,15 ton/ha dan kacang tanah 1,1 ton/ha (BPS,2013). Angka ini jauh dibawah potensil hasi l yang dicapai (BPTP Riau, 2014). Rendahnya produktifitas jagung, kedele dan kacang tanah di tingkat petani menyebabkan rendahnya pendapatan, terutama pada tingkat harga yang tidak memadai. Upaya peningkatan produksi harus memperhatikan penataan secara mantap terutama daerah-daerah yang mempunyai keunggulan kompetitif sebagai sumber pertumbuhan produksi. Pengembangan palawija kedaerah-daerah yang sesuai dari segi biofisik, agroklimat dan mempunyai keunggulan kompetitif dan komperatif baik untuk mengurangi impor maupun promosi ekspor, secara ekonomi akan lebih efisien. Hal ini perlu dikaji mengingat tingginya persaingan penggunaan lahan baik antar komoditas pangan maupun terhadap sektor lain. Dalam usahatani palawija, petani akan memilih komoditas yang dapat memberikan keuntungan besar. Dengan kata lain, petani akan menanam komoditas yang mempunyai tingkat keunggulan kompetitif yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai : (1) keragaan budidaya komoditi palawiaja (ked ele, jagung dan kacang tanah ); (2) struktur biaya usahatani palawija ; (3) keunggulan kompetitif diantara komoditi palawiaja dan (4) rantai agribisnis komoditi palawija di lokasi Primatani lahan pasang surut Kabupaten Indragiri Hilir. Metodologi Penelitian dilaksanakan di lokasi eks Prima Tani lahan pasang surut, Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2014. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden yang di ambil secara purposive random sampling, yaitu petani yang melakukan usahatani komoditi palawija dengan pola usaha tani monokultur dan tumpang sari. Sampel yang diambil sebanyak 60 orang petani, 10 orang pedagang lokal, 10 orang pedagang pengumpul. 5 orang pedagang besar dan 5 orang pengurus kelembagaan tani. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan referensi pendukung. Metoda analisis yang diterapkan untuk mengukur variabel yang diamati adalah metoda analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (IBCR), analis Keunggulan Kompetitif. An alisis ini dimaksudkan untuk mengetahui Efisiensi usahatani, tingkat keuntungan dan kelayakan usahatani serta daya saing komoditas yang diamati. Sedangkan untuk melihat rantai pemasaran hasil komoditas digunakan analisis margin pemasaran. Hasil dan Pembahasan Secara umum penerapan teknologi pemupukan di tingkat petani belum sesuai dengan rekomendasi. Hal ini disebabkan karena kebiasaan petani yang menyatakan bahwa tanah pasang surut cukup subur karena tingginya kandungan organik yang tersedia sehingga petani merasa tidak perlu memupuk. Dari table 1 dapat diketahui bahwa, pada pola monokultur untuk tanaman jagung petani menggunakan pupuk TSP 12,5kg/ha dengan produktifitasnya 2 t/ha. Pada usahatani kedele penggunaan Urea 15,9 kg/ha dan TSP 13,2 kg/ha produktifitasyang dihasilkan sebesar 2 t/ha. Sedangkan pada kacang tanah pupuk yang digunakan TSP 12,5 kg/ha dan KCL 17,5 kg/ha dengan produktifitas 1,5 t/ha. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1695
Dari keragaan teknologi usahatani palawija dengan pola tumpang sari terlihat ada perbedaan yang jelas dalam hal penerapan teknologi usahatani, terutama dalam penggunaan dosis pupuk. Jumlah pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea 11,7 kg/ha, TSP 22 kg/ha dan KCl 26,7 kg/ha. Bervariasinya penggunaan pupuk antara lain disebabkan pola tumpang sari tanaman dengan jenis kacang-kacangan relatif dapat mempertahankan kesuburan dan menghemat penggunaan pupuk terutama Urea, karena jenis kacang-kacangan mempunyai bakteri rhizobium yang terdapat dalam bintil akar yang berfungsi untuk mengikat Nitrogen dari udara. Rataan hasil jagung didaerah ini sebesar 1.943,75 kg/ha, Kedele 2.012,25 kg/ha dan kacang tanah 1500 kg/ha. Tabel 1. Keragaan Teknologi Usahatani Jagung, kedele dan kacang tanah dengan pola tanam monokultur dan tumpang sari di Lokasi Eks Prima Tani, Lahan Pasang Surut, Kabupaten Indragiri Hilir, 2014. Uraian Varietas Jumlah benih (kg/ha) Pupuk (kg/ha) Monokultur Tumpang sari Jagung Kedele Kacang Kacang Jagung Kedele tanah tanah Arjuna Wilis / Arjuna Wilis / Kelinc Kelinci (degenerasi) Orba (degenerasi) Orba / i 31 40 25 32 18,9 22,7 - Urea 0 0 0 11,7 - TSP 12,5 15,9 12,5 22 - KCl 0 13,2 17,5 26,7 Produksi 2000 2000 1500 1.943,75 2.012,25 1500 (kg/ha) Kelayakan Usahatani Pada table 2, dapat dilihat tingkat kelayakan usahatani yang memberikan keuntungan tertinggi secara ekonomis adalah pada usahatani kacang tanah dengan pendapatan bersih yang diperoleh sebesar Rp 3.763,583 dan Gross BC Ratio 1,16. Selain itu dari usahatni kedele diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp 2.927,125 dengan Gross BC Ratio 0,94. Dari usahatani jagung ternyata petani mengalami kerugian sebesar Rp 1554,75 dengan Gross BC Ratio -0,49, artinya dari setiap Rp 1 uang yang diinvestasikan pada usahatani tersebut, mengalami keugian Rp 0,49. Tidak layaknya usahatani jagung secara ekonomi, kemungkinan disebabkan dari penggunaan varietas yang sudah beberapa kali penggunaan, selain itu jagung relatif tanggap terhadap ketersediaan unsur hara tanah, sehingga pemupukan yang tidak sesuai anjuran, jelas akan menurunkan produktifitas, Keadaan ini sangat berbeda dengan tanaman kacang-kacangan (kacang tanah dan kedele), dimana tanaman ini dapat mensuplai sendiri kebutuhan Nitrogen untuk keperluan tanaman. Selain itu harga jagung yang rendah yang dibeli oleh pedagang di tingkat petani juga menurunkan pendapatan petani. Dengan pola tumpang sari besar penerimaan adalah Rp 5.576.667, pendapatan bersih Rp 2.332.804 dan Gross BC Ratio 0,72. kelayakan finansial usahatani palawija dengan pola tumpang sari cukup tinggi. Untuk Rp 1,00 investasi yang dikeluarkan memberikan penerimaan kotor sebesar Rp Rp 72. Secara umum pola tumpang sari dapat direkomendasikan kepada petani, karena memberikan tingkat keuntungan yang lebih baik dibanding secara monokultur. Hal ini dimungkinkan karena secara koplementer masing-masing komoditas dapat memberikan kontribusi terhadap sumbangan kebutuhan hara yang diperlukan oleh masing-masing tanaman, sedangkan 1696 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian
secara ekonomi, rendahnya harga suatu komoditas dapat di lengkapi dari komoditas usahatani lain dari penanaman secara tumpang sari tersebut. Tabel 2. Tingkat Kelayakan Usahatani dengan Pola Monokultur di Lokasi Eks Prima Tani, Lahan Pasang Surut, Kabupaten Indragiri Hilir, 2014. Monokultur Tumpang sari Uraian Kacang Jagung Kedele tanah Hasil (kg/ha) 1.943,75 2.012,25 1500 Penerimaan (Rp/ha 000) 1.555 6.036,750 7000 5.576,667 Biaya sarana Produksi ( Rp/ha 000) - benih 93.75 199 172 262.93 - pupuk 103.75 86.125 92.917 323.333 - tenaga kerja 2.912,25 2.824,50 2.971,50 2.657,6 Total biaya (Rp/ha 000) 3.109,75 3.109,625 3.236,417 3.243,863 Pendapatan bersih (Rp/ha 000) -1.554,75 2.927,125 3.763,583 2.332,804 Gross B/C ratio -0,49 0.94 1.16 0,72 Keunggulan Kompetitif Analisis keuntungan kompetitif dapat memberikan gambaran kepada petani tentang keuntungan yang dapat bersaing dalam memilih komoditas khususnya tanaman pangan yang diusahakan. Tingkat keuntungan kompetitif tanaman pangan lainnya dapat dianalisis pada tingkat harga dan produktifitas yang relatif tidak berubah. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui tingkat hasil (produksi) minimal per hektar yang harus dicapai agar komoditas tersebut kompetitif dengan komoditas tanaman pangan lainnya. Hasil analisis keunggulan kompetitif usahatani dari tiga komoditas yang diamati, ternyata tingkat keunggulan kompetitif usahatani kacang tanah lebih tinggi dibanding kedele dan jagung. Dari table 2 dapat dilihat bahwa, dengan rataan hasil kacang tanah 1500 kg/ha dan harga Rp 4.666 / kg akan mendapat keuntungan sebesar Rp 3.763.583. Berusahatani jagung, justru merugi. Dengan rataan hasil jagung 1.943,75 kg/ha dan harga Rp 800/kg, akan merugi sebesar Rp 1.554.750. Usahatani jagung akan menguntungkan bila hasil yang dicapai lebih besar dari aktual ( 13.900 t/ha). Dari tabel 3 terlihat bahwa tingkat keunggulan kompetitif usahatani jagung terhadap kedele akan tercapai pada harga minimal Rp.3.106/kg dan kacang tanah Rp 3.536/kg. Tingkat keunggulan kedele terhadap jagung dan kacang tanah tercapai pada harga minimal Rp 1.573/kg serta Rp 3.416/kg. Komoditas kacang tanah ternyata mempunyai daya saing yang cukup tajam dengan jagung dan kedele, hal ini terlihat dari tingkat keunggulan kompetitif yang cukup tinggi. Dengan hasil kacang tanah minimal 1,5 t/ha, tingkat keunggulan kompetitif kacang tanah akan tercapai pada harga jagung dan kedele masing-masing sebesar Rp 2.324/kg dan Rp 4.582/kg. Tabel 3. Tingkat Keunggulan Kompetitif Jagung terhadap Kedele dan Kacang tanah di Lokasi Eks Prima Tani, Lahan Pasang Surut, Kabupaten Indragiri Hilir, 2014. Tingkat Kompetitif Komoditas Indragiri Hilir Produksi minimal Harga minimal Jagung terhadap : Kedele 703 3106 Kacang tanah 542 3536 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1697
Tingkat Kompetitif Komoditas Indragiri Hilir Produksi minimal Harga minimal Kedele terhadap : Jagung 2462 1573 Kacang tanah 2291 3416 Kacang tanah terhadap : Jagung 1473 2324 Kedele 1473 4582 Margin Pemasaran Tabel 4 memperlihatkan margin pemasaran jagung, kedele dan kacang tanah masing-masing pelaku pemasaran. Dari ketiga komoditas tersebut, ternyata margin pemasaran mempunyai nilai yang sama sebesar Rp 1.140/kg. Menurut pelaku pemasaran hal ini disebabkan karena ketiga komoditas tersebut mempunyai masa panen dan waktu pembelian yang relatif bersamaan, sehingga biaya pemasaran termasuk margin pemasaran terhadap ketiga komoditas tersebut juga mempunyai nilai yang sama karena volume (berat) produk relatif sama, atau dengan kata lain baik penebas, pedagang pengumpul maupun pedagang besar dalam satu kali periode penjualan dapat menampung ketiga komoditas tersebut secara bersamaan. Dari struktur biaya pemasaran pada tingkat penebas biaya angkut dan biaya muat merupakan nilai yang terbesar yaitu Rp 50/kg. Pedagang pengumpul mengeluarkan biaya angkut sebesar Rp 50/kg untuk jarak 0 30 km, sedangkan pedagang besar mengeluarkan biaya sebesar Rp 75/kg untuk jarak 60 100 km. Alat angkut yang digunakan oleh penebas adalah sepeda motor, sedangkan pedagang pengumpul dan pedagang besar menggunakan truk. Biaya bongkar muat barang sebesar Rp 75/kg, kecuali di tingkat pedagang besar. Hal ini disebabkan karena upah tenaga kerja dipedesaan (lokasi) lebih murah dibanding diperkotaan, dengan demikian biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar yang umumnya berlokasi di kota relatif lebih tinggi dibanding pedagang pengumpul. Pada tingkat pedagagang besar, ternyata komponen biaya yang dikeluarkan relatif lebih banyak dibanding pelaku pemasaran lainnya. Biaya yang harus diperhitungkan antara lain adalah biaya pengemasan, sortasi dan penyusutan. pada Dari segi harga, terdapat perbedaan antara yang diterima oleh penebas, pedagang pengumpul dan pedagang besar. Margin pemasaran antar tingkat pedagang masing-masing adalah Rp 200/kg, Rp 415/kg dan Rp 525/kg. Dari ketiga pelaku pemasaran ini terlihat bahwa semakin kehilir alur pemasaran, margin pemasaran yang diterima oleh pelaku pemasaran semakin besar. Kondisis tersebut menunjukkan bahwa pedagang besar memperoleh keuntungan yang lebih besar dibanding pelaku pemasaran lainnya. Dengan kata lain, kekuatan pasar terletak pada pedagang besar. Hal ini dapat terjadi kerena pedagang besar adalah penetu harga (price leader), terutama ditingkat pasar induk yang mempengaruhi harga di pasar Kabupaten dan Kecamatan. Pedagang perantara lainnya akan melakukan penyesuaian harga. Pada kondisi harga jual turun, keuntungan yang mereka dapatkan relatif kecil. Terdapat suatu indikasi bahwa penebas dan pedagang pengumpul adalah kepanjangan tangan pedagang besar. Hal ini ditandai dengan adanya pinjaman modal usaha tanpa bunga, sehingga penebas dan pedagang pengumpul merasa berkewajiban menjual produknya ke pedagang besar. Dalam hal ini, harga di tingkat petani merupakan turunan ( derived price) dari tingkat atas, dimana pedagang peranta ra tetap memperoleh keuntungan kendati harga turun di tingkat petani. 1698 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian
Tabel 4. Margin Pemasaran Jagung, Kedele dan Kacang tanah di di Lokasi Eks Prima Tani, Lahan Pasang Surut, Kabupaten Indragiri Hilir, 2014. Uraian Harga Jagung Kedele Kacang tanah Margin Margin Harga Harga Pemasaran Pemasaran Margin Pemasaran Tingkat Petani 800 3.000 4.700 Tingkat penebas: 1.000 3.200 4.900 - Biaya muat 50 (4,3) 50 (4,3) 50 (4,3) - Biaya panen 25 (2,1) 25 (2,1) 25 (2,1) - Biaya angkut 50 (4,3) 50 (4,3) 50 (4,3) - Keuntungan 75 (6,5) 75 (6,5) 75 (6,5) Tingkat pedagang Pedagang pengumpul : 1.415 3.615 5.315 - Biaya muat 75 (6,5) 75 (6,5) 75 (6,5) - Biaya bongkar 75 (6,5) 75 (6,5) 75 (6,5) - Biaya transport 100 (8,7) 100 (8,7) 100 (8,7) - Keuntungan 165 (14,4) 165 (14,4) 165 (14,4) Tingkat Pedagang besar: 1.940 4.140 5.840 - Biaya bongkar 75 (6,5) 75 (6,5) 75 (6,5) - Biaya transpor 125 (10,9) 125 (10,9) 125 (10,9) - biaya packing 50 (4,3) 50 (4,3) 50 (4,3) - Biaya Sortasi 50 (4,3) 50 (4,3) 50 (4,3) - Penyusutan 30 (2,6) 30 (2,6) 30 (2,6) - Keuntungan 195 (17,1) 195 (17,1) 195(17,1) Total 1.140 1.140 1.140 Kesimpulan dan Implikasi Kebijaksanaan Kesimpulan 1. Pola tumpang sari dapat direkomendasikan kepada petani, karena memberikan tingkat keuntungan yang lebih baik dibanding secara monokultur. Hal ini dimungkinkan karena secara koplementer masing-masing komoditas dapat memberikan kontribusi terhadap sumbangan kebutuhan hara yang diperlukan oleh masing-masing tanaman, sedangkan secara ekonomi, rendahnya harga suatu komoditas dapat di lengkapi dari komoditas usahatani lain dari penanaman secara tumpang sari tersebut. 2. Biaya tenaga kerja merupakan pengeluaran yang terbesar dari strukur biaya usahatani dengan kisaran Rp 2.800.000 2.900.000. 3. 3.Usahatani kedele dan kacang tanah layak dikembangkan, karena memberikan keuntungan yang cukup baik yaitu sebesar Rp 2.927,125 pada kedele dan 3.763,583 pada kacang tanah, sedangkan pada usahatani jagung merugi sebesar Rp 1.554.750 dengan Gross BC Ratio- 0,49. Pendapatan petani dapat diperbaiki dengan penerapan teknologi pemupukan yang sesuai rekomendasi dan perbaikan harga hasil produksi di tingkat petani.. 4. 4.Usahatani kacang tanah cukup kompetitif terhadap tanaman palawija lainnya (jagung dan kedele). Apabila rata-rata hasil kacang tanah tidak kurang dari 1,5 t/ha maka tingkat keunggulan kompetitif akan tercapai pada harga jagung Rp 2.324/kg dan kedele Rp 4.582/kg.. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1699
5. Margin pemasaran menggambarkan tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku pemasaran. Untuk penebas memperoleh keuntungan sebesar Rp 200/kg, pedagang pengumpul Rp 415/kg dan pedagang besar Rp 525/kg. Pedagang perantara tetap menerima keuntungan meskipun harga ditingkat petani mengalami penurunan. Keuntungan yang lebih besar dinikmati oleh pedagang besar, karena besarnya volume penjualan. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemasaran terdapat kesenjangan dalam distribusi margin pemasaran. Secara struktural posisi petani lemah dalam pemasaran. Implikasi Kebijaksanaan Perbaikan penerapan teknologi usahatani, terutama dalam penggunaan dosis pupuk yang sesuai anjuran dan penggunaan varietas unggul yang direkomendasikan akan dapat memacu peningkatan produktifitas usahatani jagung, kedele dan kacang tanah. Untuk memperkecil kesenjangan dalam distribusi margin pemasaran, diperlukan peran serta pemerintah antara lain dengan membuat peraturan (regulasi) yang dapat menguntungkan berbagai pihak. Daftar Pustaka BPS. 2013, Riau dalam angka. Kantor Statistik Riau. BPTP Riau, 2013, Petunjuk Teknis Teknologi Pertanian. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Riau, 2014, Laporan Tahunan Fattah, A, 2004, Faktor-faktor yang mempengaruhi senjang hasil padi di sulawesi tenggara,balai Penelitian Tanaman Pangan Maros. Iwan Setiaji. Kelembagaan ekonomi alternatif dalam perspektif pembangunan pertanian lahan kering, Dinamika Ekonomi Pedesaan dan peningkatan daya saing sektor pertanian, buku 1,1998. 1700 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian