Kasus Pelanggaran PP 51. (Anzari Muhammad )

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.

Jalur Distribusi Obat

KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA PADANG dr. FERIMULYANI, M. Biomed

HUBUNGAN DOKTER-APOTEKER APOTEKER-PASIENPASIEN SERTA UU KEFARMASIAN TENTANG OBAT

Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG KESEHATAN NO. 36 TH. 2009

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat luas dan menyeluruh. Pelayanan kesehatan dilakukan. dengan tujuan mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

BAB VI PENUTUP. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah : kepada oknum Dokter maupun Apoteker yang memang tidak mengindahkan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia obat bagi kebutuhan kesehatan masyarakat (Bogadenta, A ; 17-18). Selanjutnya

Drs Martin Suhendri.M.Farm Apt

PEKERJAAN KEFARMASIAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RechtsVinding Online

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, sedangakan

DASAR HUKUM UU NO 8 Tahun 1974 tentang Pokok pokok Kepegawaian yang telah dirubah dengan uu no. 43 Tahun 1999.

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

SOAL PILIHAN GANDA PENGANTAR ILMU FARMASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK BIDAN DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS KEC. LAKUDO KAB. BUTON TENGAH

PELUANG DAN TANTANGAN APOTEKER DALAM IMPLEMENTASI PP 51 TAHUN 2009

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1990 TENTANG MASA BAKTI DAN IZIN KERJA APOTEKER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN NOMOR 12/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 12/PUU-VIII/2010

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 15 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

FARMASI PERAPOTIKAN. syofyan

APOTEKER DI INDUSTRI FARMASI

Wimbuh Dumadi,S.Si.M.H.,Apt Ketua Pengurus Daerah IAI DIY. Yogyakarta, 14 April 2018

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta;

PEDAGANG BESAR FARMASI. OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sri Hariati Dongge,S.Farm,Apt,MPH Dinas Kesehatan Kab. Konawe Sulawesi Tenggara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2015, No.74 2 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 T

PENGANTAR. Akhirnya atas partisipasi dan ketulusan Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini, saya ucapkan terimakasih. Peneliti Tris Mundari

IMPLEMENTAS I PERAWAT PRAKTEK MANDIRI. Ns. SIM SAYUTI, S.Kep NIRA : Beprofessional nurse Knowledge, skill, & attitude

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI MENTERI KESEHATAN

Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 15 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.

BAB I PENDAHULUAN. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan

PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN MELALUI PENGATURAN APOTEK DAN PRAKTIK APOTEKER

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG IZIN TOKO OBAT

APOTEKER DI INDUSTRI FARMASI

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

RechtsVinding Online

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Integrasi Kelembangan KFN Menjadi Bagian KTKI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1990 TENTANG MASA BAKTI DAN IZIN KERJA APOTEKER

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK

BAB II PROFESI APOTEKER, MORAL DAN ETIK APOTEKER, KEWENANGAN, KEWAJIBAN DAN HAK APOTEKER DAN PASIEN SERTA HUBUNGAN APOTEKER DAN PASIEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERAN APOTEKER DI DALAM PENGELOLAAN OBAT DAN ALKES DI INSTALASI FARMASI PROVINSI, KABUPATEN/ KOTA. Hardiah Djuliani

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

Transkripsi:

Kasus Pelanggaran PP 51 (Anzari Muhammad 260110110083)

1. Obat Tradisional Mengandung BKO URAIAN KASUS Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT mengandung BKO secara tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).

Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan : 1. Tersangka mencampur BKO ke dalam produk OT agar lebih manjur 2. Tersangka mencampur sendiri BKO tersebut ke dalam produk OT yang sedang dibuat 3. Tersangka mengetahui bahwa perbuatannya mencampur BKO ke dalam produk OT adalah melanggar Undang Undang 4. Sumber BKO adalah SUNARKO, rekan kerjasama usaha produk OT, yang juga merupakan pemodal perusahaan tersebut dengan modal 50%:50% 5. Perusahaan yang dimiliki oleh Tersangka dan SUNARKO tidak memiliki nama dan izin karena berada di bawah Koperasi Aneka Sari.

KAJIAN PELANGGARAN ETIKA DAN UNDANG-UNDANG Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi Pasal 7 (1): Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung jawab Pasal 9 (2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab

Pembahasan Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat tradisional tersebut tidak mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi. Hal ini menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Sehingga pabrik tersebut melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9 (2).

2. Kasus Kedua URAIAN KASUS Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang yang diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke rumah sakit terdekat.

KAJIAN PELANGGARAN ETIKA DAN UNDANG-UNDANG PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c: "Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan".

Pembahasan Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c, tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya adalah Diazepam yang termasuk dalam golongan psikotropika.

Pembahasan Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak tersebut dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU 36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1 dan pasal 53 ayat 3). Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan kemanusiaan serta dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang dimilikinya.

Kasus Pelanggaran UU Kesehatan (Anzari Muhammad 26011010083)

UU Kesehatan No.36/2009 Digugat! Pada kamis 6 mei 2010 sidang kedua gugatan terhadap UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 digelar di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Penggugat: Misran S.Km, seorang yang berprofesi sebagai perawat dan bekerja sebagai Kepala Puskesmas Pembantu Kuala Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Misran adalah seorang yang pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena melakukan pelanggaran atas UU kesehatan No.23 Tahun 1992 dengan sangkaan menyimpan dan menyerahkan obat daftar G kepada pasien tanpa melalui resep dokter pada Maret 2009 lalu. Berbekal latar belakang ini pula yang akhirnya membuat Misran beserta kuasa hukumnya mengajukan gugatan berupa Judicial Review atas Pasal 108 UU kesehatan no. 36 tahun 2009

UU Kesehatan No.36/2009 Digugat! Adapun materi gugatan adalah mengenai penghapusan terhadap: Pasal 108 ayat (1) UU kesehatan No.36 tahun 2009 Penjelasan Pasal 108 ayat (1) Dan Peninjauan atas: Pasal 190 ayat (1) UU kesehatan tersebut yang terkait dengan sanksi atas penolakan pekerjaan kesehatan seperti yang dimandatkan pasal 32 ayat (2) dan pasal 85 ayat (2).

UU Kesehatan No.36/2009 Digugat! Argumentasi yang diutarakan Misran adalah bahwa terjadi fakta dilematis di lapangan terhadap implementasi UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 yang secara filosofis bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. Melihat pasal 28 H ayat 1, maka misran beserta kuasa hukumnya mengusulkan bahwa Pasal 108 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 agar dibatalkan keabsahannya karena tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.

Pembahasan Upaya regulasi demi keamanan dan efektifitas penggunaan obat adalah makna filosofis dalam pasal 108, jadi tujuan dari pasal tersebut adalah untuk urusan kemanusiaan juga, yakni untuk melindungi pasien dari bahaya penggunaan obat dan penyerahan obat tanpa disertai informasi yang memadai. Maka, justru yang perlu dipertanyakan apakah dengan menghapus pasal tersebut memang murni urusan kemanusiaan? Karena dengan menghapus pasal tersebut justru akan terjadi kevakuman regulasi terhadap pekerjaan kefarmasian dan setiap orang dapat melakukan pekerjaan kefarmasian tanpa berlandaskan SOP (Standar Operasional Prosedur).

Pembahasan Padahal dalam Pasal 3 PP 51 Tahun 2009 telah ditegaskan Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Pada pasal tersebut telah dijabarkan mengenai masalah pengamanan dan tujuan kemanusiaan dalam kaitannya dengan standarisasi pelayanan, lalu mengapa justru upaya pengamanan dalam pasal 108 dan penjelasannya justru malah dipermasalahkan? Jika sebenarnya keberadaan pasal 108 pada UU 36/2009 dalam rangka melindungi pasien dari kesalahgunaan dalam pengobatan justru tidak dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945.