BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

dokumen-dokumen yang mirip
Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

WARIS ISLAM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang meninggal dunia itu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu :

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto

BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut definisi

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK WARIS BAITUL MAL DALAM HUKUM ISLAM

BAB II PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. yang memiliki beberapa arti yakni mengganti, memberi dan mewarisi. 15

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB II KEDUDUKAN JANDA TANPA KETURUNAN DALAM KEWARISAN ISLAM

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH

BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB II KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM

BAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan

BAB II. Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam. A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam

MAKALAH PESERTA. Hukum Waris dalam Konsep Fiqh. Oleh: Zaenab, Lc, M.E.I

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam.

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

Sistem Informasi Pengolahan Data Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Pada Pengadilan Agama Kota Palopo

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

BAB II KAJIAN TEORITIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA KEWARISAN

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana

Fiqh dan Pengurusan Harta Warisan: Dengan Fokus kepada Faraid

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM. Kata waris berasal dari bahasa Arab Al-mīrath, dalam bahasa arab

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

BAB II KONSEP WARIS DAN HAK WARIS

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kematian atau meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan

PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

BAB II KETENTUAN KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KUHPERDATA. a. Pengertian Waris Menurut Hukum Islam

BAB I PENDAHULUAN. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 4.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sempurna, setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. atau hak setelah ada seseorang yang meninggal dunia. Maka apabila ada

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

Transkripsi:

27 BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM A. Kerangka Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam literatur Indonesia sering menggunakan istilah kata waris atau warisan, tetapi sebaiknya kata kewarisan saja yang harus digunakan. Alasannya dengan awalan ke dan akhiran kan jelas menunjukkan kata benda dan mempunyai makna yang berhubungan dengan mewarisi, diwarisi dan diwariskan. 42 Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab al-irsts yang secara leksikal berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Dan secara terminologi, ia berarti pengalihan harta dan hak seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup dengan bagian-bagian tertentu, tanpa terjadi aqad terlebih dahulu. 43 Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan sesorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. 44 Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah yang menamakan Hukum Kewarisan Islam seperti Faraid, Fiqih Mawaris dan Hukm al-waris 45, namun kata yang lazim digunakan adalah Faraid. 46 42 Achmad Kuzari, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 1 43 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Quran Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 9 44 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 1 45 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media Grup, Cetakan Ke-3, Jakarta, 2008, hal. 5 46 Ibid 27

28 Menurut sejarah penggunaan kata faraid lebih dahulu digunakan daripada mawaris. Rasulullah SAW menggunakan kata faraid dan tidak menggunakan kata mawaris, sesuai dengan Hadis riwayat Ibnu Mas ud yang menyatakan : Dari Ibnu Mas ud dia berkata Rasulullah SAW bersabda : Pelajarilah Al- Qur an dan ajarkanlah kepada orang-orang. Pelajari pula faraid dan ajarkanlah kepada orang-orang...(hr. Ahmad) 47 Lafazh Faraid merupakan jama (bentuk plural) dari lafazh faridhah yang mengandung arti mafrudhah yang sama artinya dengan muqaddarah yaitu sesuatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam terdapat dalam al-qur an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibanding bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan Faraid. Dengan demikian penyebutan Faraid didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris 48. Hukum Waris Islam adalah salah satu hukum yang paling sempurna petunjuknya dari Nash, dan ilmu hukum ini adalah ilmu yang paling cepat hilang dimuka bumi menurut Hadist Rasulullah SAW. 49 Dalam pandangan Islam kewarisan itu termasuk salah satu bagian dari fiqih atau ketentuan yang harus dipatuhi umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah mati. Allah menetapkan bahwa tentang kewarisan ini adalah karena ia menyangkut dengan harta yang disatu 47 Achmad Kuzari, Ibid, hal. 2 48 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Loc.Cit, hal. 5 49 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 1

29 sisi kecenderungan manusia kepadanya dapat menimbulkan persengketaan dan disisi lain Allah tidak menghendaki manusia memakan harta yang bukan haknya. 50 Disamping sebagai pedoman, hukum kewarisan yang disebut faraidh itu dalam pandangan Islam juga disebut sebagai ilmu yang mesti dipelajari dan diajarkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadist dari Abu Hurairah menurut riwayat Ibnu Majah dan Dar al-quthniy : Pelajarilah faraid dan ajarkanlah dia, karena dia merupakan separuh dari ilmu. 51 1. Prinsip dan Asas-Asas Kewarisan Islam berikut 52 : Hukum Waris Islam mempunyai prinsip yang dapat disimpulkan sebagai a. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki seperti yang berlaku dalam kapitalisme/individualisme, dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem warisan. b. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas benda warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim. Namun, tidak berarti bahwa ahli waris dibebani melunasi hutang mayit (pewaris). c. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan mayit (pewaris) lebih diutamakan daripada yang lebih jauh, yang lebih kuat hubungannya dengan mayit (pewaris) lebih diutamakan daripada yang lebih diutamakan daripada yang lebih diutamakan 50 Amir Syarifuddin [2], Garis- Garis Besar Fiqih, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 148 51 Ibid 52 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 8-10

30 daripada yang lebih lemah. Misalnya, ayah lebih diutamakan dari kakek, dan saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara seayah. d. Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris. Misalnya, apabila ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami atau istri, dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan. e. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atas harta warisan. Anak yang sudah besar, yang masih kecil, yang baru saja lahir, semuanya berhak atas warisan orangtuanya. Namun perbedaan besar kecilnya bagian diadakan sejalan dengan perbedaan besar kecil beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga. Misalnya anak laki-laki yang memikul beban tanggungan nafkah keluarga mempunyai hak lebih besar dari pada anak perempuan yang tidak dibebani tanggungan nafkah keluarga. Dalam hukum kewarisan Islam terdapat asas-asas : a. Asas Ijbari Secara etimologis kata ijbari mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dijalankan asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari si pewaris atau permintaan ahli warisnya. Asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa segi yaitu dari segi peralihan harta, dari jumlah harta yang beralih dan dari segi kepada siapa harta itu beralih 53. 53 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal. 17-18

31 yaitu 54 : Azas ijbari hukum kewarisan Islam dapat pula dilihat dari segi yang lain 1) dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang itu meninggal dunia. 2) dari jumlah harta yang sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris. 3) Dari mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan, yang sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris. b. Asas Bilateral Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas ini secara nyata dapat dilihat dalam firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 7, 11, 12 dan 176 55. c. Asas Individual Asas individual maksudnya adalah bahwa harta warisan yang akan dibagibagikan kepada ahli waris secara perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris tersebut cara mutlak 56. Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain 57. Hal ini dapat dilihat dari maksud Pasal 176-180 KHI yang berbicara mengenai besar 54 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2009, hal. 142 55 M. Hasballah Thaib, Op.Cit hal. 20 56 Ibid, hal. 16 57 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal. 3

32 kecilnya bagian masing-masing. 58 Ketentuan asas individual ini dapat dijumpai dalam ketentuan Q.S. An-Nisaa ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing (ahli waris secara individual) telah ditentukan 59. d. Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang ini maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis keturunan patrilinial, yang ahli waris tersebut hanyalah keturunan laki-laki saja/garis kebapakan). Dasar hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam keturunan Q.S. An-Nisaa ayat 7, 11,12 dan 176 60. e. Kewarisan Semata Akibat Kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadi peralihan harta hanya sematamata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya ia masih hidup, dan bukan untuk penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia 61. Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan 58 M. Hasballah Thaib, Loc.Cit, hal. 16 59 Suhwardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Sinar Grafika Edisi Kedua, Jakarta, 2008, hal. 40 60 Ibid, hal. 50 61 Ibid, hal. 40

33 yaitu semata atau dalam hukum Perdata disebut dengan kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup yang disebut kewarisan bij testament. Wasiat dalam hukum Islam merupakan lembaga tersendiri terpisah dari hukum kewarisan 62. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan. Sebagian mengikuti rukun dan sebagian berdiri sendiri 63. Rukun Pembagian Warisan ada tiga yaitu : a. Al-Muwarris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah al-muwarris benar-benar telah meninggal dunia. Apakah meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukmy) atau secara taqdiry berdasarkan perkiraan 64. - Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia. - Mati hukmy adalah sesorang yang secara yuridis melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Melalui keputusan hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal. - Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara 62 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal. 28 63 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1998, hal. 22 64 Ibid

34 lahiriah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal dunia 65. b. Al-Waris atau Ahli Waris. Ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya, ahli waris pada saat meninggalnya al-muwarris dalam keadaan hidup. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi dalam kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dipastikan hidup melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya maka baginya berhak mendapat warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai paling sedikit dan paling lama usia kandungan. 66 Ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu bahwa antara Pewaris dan Ahli waris tidak ada halangan (mawani al-irs) untuk mewarisi. c. Al-Maurus atau Al-Miras yaitu harta Peninggalan si mati setelah dikurangi biaya penyelenggaraan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. 2. Pengertian Harta Warisan Harta dalam bahasa arab disebut al-mal yang berarti condong, cenderung atau miring. Oleh sebab itu manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. Sedangkan menurut pengertian etimologi adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh- 65 Ibid 66 Ibid

35 tumbuhan, maupun manfaat dari barang seperti kendaraan, pakaian dan tempat tinggal. 67 Warisan berasal dari bahasa arab, artinya yang tinggal. Orang yang berhak mendapat pusaka disebut waris, karena dialah yang tinggal sesudah mewarisinya. Orang yang diwarisinya dari kata muwarist artinya orang yang meninggalkan harta warisan yaitu orang yang diwarisi. 68 Sebelum menguraikan apa yang disebut harta warisan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang disebut dengan harta peninggalan atau yang dalam bahasa arab disebut dengan al-maurus atau tirkah. Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan, serta hak-hak yang bukan hak kebendaan. 69 Dari defenisi diatas dapat diuraikan bahwa harta peninggalan terdiri dari : a. Benda-benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak bergerak, piutang-piutang (juga termasuk diyah wajibah/denda wajib dan uang pengganti qisash). b. Hak-hak kebendaan 67 Abdullah Syah, Butir-butir Fiqh Harta, Wal Ashri Publishing, Medan, 2009, hal.9 68 M. Hasballah Thaib[2], Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, hal. 20 69 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal. 41

36 Yang termasuk didalam seperti sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan dan lain-lain. c. Hak-hak yang bukan hak kebendaan. Yang termasuk didalamnya seperti hak khiyar, hak syuf ah (hak beli yang diutamakan salah satu syarikat) atau hak tetangga atas pekarangan dan lainlain 70. Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan si mayit, yang terdiri dari : a. Biaya Penyelenggaraan Jenazah (Tajhiz) Biaya penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai dimakamkan dapat diambil dari harta peninggalan, dengan ketentuan tidak berlebih-lebihan dan dalam batas yang dibenarkan ajaran Islam. Hal yang tidak dituntun ajaran Islam tidak perlu dilakukan. Apabila dilakukan juga, karena desakan tradisi misalnya, tidak dibiayai dengan harta peninggalan. Misalnya, makan minum yang disajikan sebelum atau sesudah pemakaman tidak diajarkan Islam. Oleh karena menyelanggarakan hal itu terkecuali tidak diajarkan, andaikata diselenggarakan juga, biayanya tidak dapat dibebankan kepada harta peninggalan. Demikian pula, mengadakan upacara tiga hari, tujuh hari, dan empat puluh hari setelah kematian tidak diajarkan Islam. Maka, 70 Suhwardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit, hal. 50

37 apabila hal semacam itu diadakan juga karena desakan adat istiadat, biayanya tidak dapat diambil dari harta peninggalan 71. b. Melunasi Utang Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh ahli waris, apabila si mayit mempunyai utang atau tanggungan belum dibayar ketika masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesama manusia maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya setelah diambil keperluan tajhiz. Utang tersebut harus dilunasi dari harta peninggalan si mati setelah dikeluarkan untuk biaya perawatannya. Melunasi utang adalah termasuk kewajiban yang utama, demi untuk membebaskan pertanggungjawabannya dengan seseorang di akhirat nanti dan untuk menyingkap tabir yang membatasi dia dengan surga 72. c. Melaksanakan atau Membayar Wasiat. Wasiat adalah pesan seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang lain setelah ia meninggal dunia 73. Wasiat mencerminkan keinginan terakhir mayit (pewaris) harus didahulukan daripada hak ahli waris 74. Wasiat merupakan tindakan ikhtiyariah. Apabila seseorang meninggalkan dunia, semasa hidupnya berwasiat atas sebahagian harta kekayaannya kepada suatu badan atau orang lain, wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi oleh 71 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 20 72 Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 57 73 Ibid, hal. 62 74 M. Hasballah Thaib, Op.cit, hal. 23

38 ahli warisnya 75. Dasar ketentuan pengeluaran wasiat ialah firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 180 dan Q.S. An-Nisaa ayat 11. Q.S. Al-Baqarah ayat 180 yang artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila sesorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabatnya secara ma ruf, (ini adalah) kewajiban orang yang bertaqwa. Q.S. An-Nisaa ayat 11 yang artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan [bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, masingmasing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya 75 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 42

39 mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian) tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.(tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatmya bagimu, ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Jika sebelum meninggal dunia seorang telah berwasiat, maka dipenuhilah wasiat itu dari harta peninggalannya dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta jika ia mempunyai ahli waris dan jika dia akan berwasiat lebih dari 1/3 harta harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Dengan melihat kepada kata-kata yang dipergunakan Allah SWT untuk harta warisan yaitu apa-apa yang ditinggalkan, yang dalam pandangan Ushul Fiqih yang berarti umum, maka dapat dikatakan bahwa harta warisan itu terdiri dari beberapa macam. Bentuk yang lazim adalah harta yang berwujud benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. 76 Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada perbedaan antara Harta Peninggalan dan Harta Warisan. Pengertian Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya 77. Sedangkan Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah dipergunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai 76 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal. 209 77 Pasal 171 d Kompilasi Hukum Islam

40 meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz) pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat 78. Dengan kata lain, harta peninggalan itu adalah semua harta yang ditinggal mati oleh si pewaris yang masih dalam keadaan brutto, sedangkan harta waris sudah dalam keadaan netto 79. Suatu ikatan perkawinan berdasarkan hukum Islam, menimbulkan adanya harta perkawinan, yaitu semua harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta perkawinan ini menjadi harta bersama milik suami dan istri, sekalipun hanya sang suami yang bekerja 80. Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun 81. Dengan demikian apabila ada yang ingin mengadakan perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, menurut pasal 47 ayat 2 KHI, perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta benda pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang itu tidak bertentangan dengan hukum Islam 82. Dengan demikian ada tiga macam harta dalam perkawinan yaitu 83 : 78 Pasal 171 d Kompilasi Hukum Islam 79 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam secara Adil, Airlangga University Press, 2003, Surabaya, hal. 91 80 Ibid 81 Pasal 1 f Kompilasi Hukum Islam 82 Afdol, Op.cit, hal. 92 83 Ibid

41 a. Harta Pribadi Suami yaitu harta yang diperoleh oleh suami selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat atau warisan yang diperoleh secara pribadi, terlepas dari soal perkawinan. b. Harta Pribadi Istri yaitu harta yang diperoleh oleh istri selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat atau warisan yang diperoleh secara pribadi, terlepas dari soal perkawinan. c. Harta Perkawinan atau Harta Bersama yaitu semua harta yang diperoleh selama masa perkawinan, dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantaraan suami atau istri. 3. Ahli Waris Ahli waris atau disebut juga warist dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam menentukan ada tiga syarat untuk menjadi ahli waris yaitu : a. Orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris; Persyaratan yang pertama menempatkan anak laki-laki atau perempuan, ayah, ibu, duda atau janda sebagai ahli waris. Ketentuan mengenai hal ini dirumuskan dalam Pasal 174 ayat 2 KHI yang menyatakan apabila semua ahli

42 waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanyalah anak, ayah, ibu, janda atau duda. 84 b. Beragama Islam; Persyaratan yang kedua adalah ahli waris beragama Islam. Jadi apabila ahli waris yang berpindah agama, maka ia kehilangan haknya sebagai ahli waris. Namun dalam rangka menerapkan hukum waris Islam yang berkeadilan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Yurisprudensi nomor 51/K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, yang pada prinsipnya memutuskan bahwa anak kandung yang telah pindah agama mendapat wasiat wajibah. Putusan ini tidak berarti bertentangan dengan syariat Islam, karena anak tersebut tidak ditetapkan menjadi ahli waris. Sebagai seorang yang dekat dengan pewaris adalah adil apabila dia mendapat bagian dari harta peninggalan orangtuanya melalui wasiat wajibah. 85 c. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris; Menurut pasal 173 KHI seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena: 1) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris; 84 Ibid, hal. 91 85 Ibid, hal. 98

43 2) Dipersalahkan telah memfitnah dengan cara mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan yaitu : a. Dari segi jenis kelaminnya 86 ahli waris dibagi dua yakni : 1) Ahli Waris Laki-laki Ahli waris Laki-laki terdiri dari 87 : (1) Ayah (2) Kakek (bapak ayah) dan seterusnya keatas dari garis laki-laki (3) Anak Laki-laki (4) Cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki (5) Saudara laki-laki kandung (seibu seayah) (6) Saudara laki-laki seibu (7) Saudara laki-laki seayah (8) Kemanakan laki-laki kandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki (9) Kemanakan laki-laki seayah (anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki (10) Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) dan seterusnya keatas dari garis laki-laki (11) Paman seayah (saudara laki-laki seayah) dan seterusnya keatas dari garis laki-laki (12) Saudara sepupu laki-laki kandung (anak laki-laki dari paman kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Termasuk didalamnya anak paman ayah, anak paman kakek dan seterusnya dan anak keturunannya dari garis laki-laki (13) Saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki dari paman seayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. (14) Suami (15)Laki-laki yang memerdekakan budak (mu tiq) 2). Ahli Waris Perempuan 86 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 29 87 Ibid, hal. 29

44 Ahli waris perempuan terdiri dari 88 : (1) Ibu (2) Nenek (ibunya ibu) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan (3) Nenek (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan (4) Anak perempuan (5) Cucu perempuan (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki (6) Saudara perempuan kandung (7) Saudara perempuan seayah (8) Saudara perempuan seibu (9) Istri (10)Perempuan yang memerdekakan budak (mu tiqah) b. Dari segi jenis haknya atas harta warisan 89 ahli waris dibagi tiga yakni : 1). Ahli waris Dzawil Furudl Ahli waris dzawil furudl ialah ialah ahli waris yang mempunyai bagian tertentu sebagaimana disebutkan dalam al-qur an atau sunnah Rasul 90. Bagian tertentu itu ialah : 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8. 91 Ahli waris yang termasuk dzawil furudl berjumlah 12 orang yaitu 92 : (1) Suami (2) Istri (3) Ayah (4) Ibu (5) Anak Perempuan (6) Cucu perempuan (dari anak laki-laki) (7) Saudara perempuan kandung (8) Saudara perempuan seayah (9) Saudara perempuan seibu (10)Saudara laki-laki seibu (11) Kakek (12) Nenek 2). Ahli Waris Ashabah 88 Ibid, hal. 30 89 Ibid, hal. 31 90 Ibid 91 Ibid 92 Hasballah, Op.Cit, hal. 32

45 Dari segi bahasa artinya keluarga laki-laki dari pihak ayah. Dinamakan qarabah ashabah, karena mereka bergaul dengan akrab, bahu membahu di kala terjadi bahaya untuk melindungi dan menghalau musuh darinya 93. Ahli waris Ashabah adalah ahli yang berhak mendapat pusaka dan pendapatannya tidak ditentukan dalam salah satu pendapatan dzu fardhin 94 di atas. Ahli waris Ashabah menerima pusaka salah satu diantara dua yaitu menerima sekalian pusaka atau menerima sisa pusaka. Jika ahli waris dzu fardhin ada, ia menerima sisa pusaka setelah ahli waris dzu fardhin mengambil bagiannya. 95 Susunan ahli waris Ashabah adalah sebagai berikut 96 : (1) Anak laki-laki (2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) (3) Bapak (4) Bapak dari Bapak (5) Saudara laki-laki seibu sebapak (6) Saudara laki-laki sebapak (7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu bapak (5) (8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (6) (9) Paman yang seibu bapak dengan bapak (10)Paman yang sebapak dengan bapak (11)Anak laki-laki dari Paman yang seibu bapak dengan bapak (9) (12)Anak laki-laki dari Paman yang sebapak dengan bapak (10) (13)Laki-laki yang memerdekakan Ashabah terbagi atas 3 macam : a. Ashabah bin Nafsi 93 Pahing Sembiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraidh), Fakultas Hukum USU, Medan, 1999, hal. 35 94 Dzu fardhin adalah istilah lain dari dzawil furudl 95 Mukhlis Lubis, Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al Manar, Medan, 2011, hal. 19 96 Ibid

46 Ashabah bin Nafsi artinya ashabah yang berdiri dengan sendirinya yaitu mereka sebagai ahli waris langsung dengan sendirinya berkedudukan sebagai ashabah. Ahli waris-ahli waris yang termasuk kedalam ashabah bin nafsi ialah semua ashabah yang tercantum dalam susunan ashabah diatas 97. b. Ashabah bil Ghair Ashabah bil Ghair artinya ashabah dengan sebab orang lain, yaitu kedudukan mereka sebagai ahli waris tidak langsung menjadi ashabah. Akan tetapi mereka menjadi ashabah itu sebab orang lain. Maka mereka itu dengan orang lain menjadi ashabah secara bersama-sama 98. Seperti, anak perempuan ditarik menjadi ahli waris ashabah oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik menjadi ahli waris ashabah oleh cucu laki-laki, saudara perempuan kandung atau seayah ditarik menjadi ahli waris ashabah oleh saudara laki-laki kandung atau seayah dan sebagainya 99. c. Ashabah ma al Ghair Ashabah ma al Ghair artinya ashabah bersama orang lain, yaitu kedudukan mereka sebagai ahli waris tidak langsung menjadi ashabah. Tetapi mereka menjadi ashabah apabila mereka menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris yang lain yang telah tertentu orangnya 100. Seperti saudara 97 Ibid, hal. 20 98 Ibid 99 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 33 100 Mukhlis Lubis, Op.Cit, hal. 21

47 perempuan kandung atau seayah menjadi ahli waris karena bersama-sama dengan anak perempuan 101. 3). Ahli Waris Dzawil Arham Dzawil Arham adalah golongan kerabat yang tidak termasuk golongan dzawil furudl dan ashabah. Ia baru mewaris jika tidak ada kerabat yang termasuk dua golongan diatas 102. Ahli waris dzawil arham yaitu ahli waris karena hubungan darah, tetapi menurut ketentuan al-qur an tidak berhak menerima warisan. 103 Yang termasuk ahli waris dzawil arham ialah 104 : (1) Cucu laki-laki atau perempuan, anak dari anak perempuan. (2) Kemenakan laki-laki atau perempuan, anak dari saudara perempuan kandung, seayah atau seibu. (3) Kemenakan perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki kandung seayah. (4) Saudara sepupu perempuan, anak perempuan paman (saudara laki-laki kandung atau seayah). (5) Paman seibu (saudara laki-laki seayah seibu) (6) Paman, saudara laki-laki ibu (7) Bibi, saudara perempuan ayah (8) Bibi, saudara perempuan ibu (9) Kakek, ayah ibu (10)Nenek buyut, ibu kakek (11)Kemenakan seibu, anak saudara laki-laki seibu. Tentang hak waris dzawil arham ini, para ulama tidak sependapat, ada yang memasukkan mereka sebagai ahli waris dan ada yang tidak memasukkan. 105 Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena mengenai hak dzawil arham ini tidak terdapat keterangan yang jelas dalam al-quran maupun hadist Nabi. Pendapat 101 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 33 102 R. Otje Salman& Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, 2002, hal. 53 103 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 49 104 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 34 105 Ibid

48 pertama berpegang kepada prinsip apabila tidak ada dalil, tidak ada hukum, sedang pendapat kedua berpegang kepada dalil al-quran yang meskipun tidak jelas, dapat dipahamkan adanya isyarat yang bersifat umum, yang menyatakan bahwa sanak kerabat (ulul arham) sebagian lebih utama dari sebagian yang lain menurut ketentuan Kitab Allah (QS.Al Anfaal 8:3). 106 alasan 107 : Golongan yang tidak memberikan warisan kepada dzawil arham dengan 1. Tidak ada penegasan dalam al-quran dan sunnah rasul mengenai hak waris dzawil arham. 2. Ketika Nabi ditanya apakah bibi, saudara ayah atau saudara ibu berhak mewaris, beliau menjawab sesuai dengan ajaran yang disampaikan malaikat Jibril, mereka tidak berhak mewaris apapun. 3. Apabila sisa harta diserahkan kepada baitul mal. Kemanfaatannya akan dirasa lebih luas. Golongan kedua beralasan kepada ayat al-quran, Sunnah Rasul dan rasio 108 : 1. Ayat al-qur an mengajarkan bahwa ulul arham sebagian lebih utama dari sebagian yang lain. Dzawil arham termasuk dalam kandungan maksud ayat tersebut (lihat QS.al-Anfaal 8:75). QS. An-Nisaa 4:7 mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas warisan orangtua dan sanak kerabatnya. Dzawil arham termasuk sanak kerabat yang dimaksud dalam ayat tersebut. 2. Hadist Nabi mengajarkan bahwa paman, saudara ibu adalah ahli waris bagi yang tidak mempunyai ahli waris. Nabi pernah memberikan warisan kepada Abu Lubanah bin Abdul Mundzir, kemenakan (anak saudara perempuan) Tsabit bin Ahdah karena ia tidak mempunyai ahli waris lain. 3. Secara rasional, dzawil arham lebih berhak daripada baitul mal sebab hubungan baitul mal dengan mayit (pewaris) hanya dari satu jurusan, yaitu adanya hubungan agama Islam. Sedangkan, dzawil arham mempunyai hubungan dari dua jurusan, yaitu hubungan Islam dan hubungan kerabat. 106 Ibid 107 Ibid, hal. 36 108 Ibid

49 Hubungan yang lebih dekat diutamakan, misalnya seperti saudara kandung lebih diutamakan dari saudara seayah. 4. Hadist yang digunakan Imam Malik dan Imam Syafii yang mengajarkan bahwa bibi (saudara perempuan ayah atau ibu) tidak berhak waris mungkin dinyatakan sebelum ayat tentang ulul arham diturunkan, atau mungkin juga dalam kasus warisan dimana bibi tersebut bersama-sama dengan ahli waris dzawil furudh. c. Apabila dilihat dari hubungan kekerabatan (jauh dekatnya) 109 sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh dapat dibedakan : 1) Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat dapat menghalangi yang jauh, atau karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain. 110 Hijab artinya dinding yang menjadi halangan sampai kepada sesuatu. Hijab yang dimaksud dalam Hukum Waris Islam ialah dinding yang menjadi halangan untuk mendapat warisan bagi sebagian besar ahli waris, karena masih ada ahli waris lain yang lebih dekat hubungannya dengan orang yang meninggal. 111 Hijab terbagi terbagi kepada dua macam : a) Hijab (pencegahan) karena sifat adalah karena ahli waris tersebut menjadi pembunuh atau penyebab terbunuhnya atau murtad. b) Hijab karena ada ahli waris yang lain, dapat dibagi dua macam yaitu : (1) Hijab Hirman adalah dinding yang menghalangi untuk mendapat warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya 109 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 51 110 Ibid, hal. 51 111 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 52

50 dengan pewaris, seperti : cucu laki-laki tidak mendapat warisan karena ada anak laki-laki 112. (2) Hijab Nuqsan adalah dinding yang hanya mengurangi bagian ahli waris, karena ada ahli waris yang lain bersama dengan dia, contoh: Ibu mendapatkan warisan 1/3 bagian, akan tetapi bila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu atau beberapa orang saudara maka ibu mendapat 1/6 bagian. Para pewaris yang tidak pernah terdinding dari mendapat warisan ialah 113 : (a) Anak kandung laki-laki (b) Anak kandung perempuan (c) Ayah (d) Ibu (e) Suami (f) Istri Pewaris yang mengalami hijab hirman adalah 114 : (1) Kakek, terhalang oleh Bapak (2) Saudara laki-laki seayah ibu terhalang oleh anak laki-laki (3) Saudara laki-laki seayah terhalang oleh saudara laki-laki kandung (4) Saudara laki-laki seibu terhalang oleh saudara laki-laki seayah (5) Anak laki-laki dari anak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki (6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki terhalang oleh ayah dan kakek (7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhalang oleh saudara laki-laki kandung seayah (8) Saudara laki-laki ayah yang seayah ibu terhalang oleh anak lakilaki dari saudara laki-laki seayah 112 Ibid, hal. 53 113 Ibid, hal. 54 114 Ibid, hal. 55

51 (9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu terhalang oleh saudara laki-laki ayah yang seayah (10)Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah terhalang oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang kandung Perempuan yang terhijab hirman adalah 115 : (1) Nenek yang terdinding oleh ibu (2) Anak perempuan dari anak laki-laki didindingi oleh anak laki-laki (3) Saudara perempuan seayah seibu didindingi hak warisnya oleh anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki (4) Saudara perempuan seayah didindingi oleh saudara perempuan sekandung bila menjadi ashabah dengan orang lain (5) Saudara perempuan seibu didindingi hak warisnya oleh anak lakilaki atau ayah kandungnya 2) Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada. Salah satu bentuk pembaharuan hukum waris Islam dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan. Setelah masing-masing menyadari bahagiannya 116. Pembaharuan lain adalah berkaitan dengan ahli waris pengganti, maksudnya ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya 117 dan bahagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bahagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti 118. Pasal 175 KHI memuat Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah : 115 Ibid 116 Ibid 117 Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam 118 M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hal. 55

52 (1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai b. menyelesaikan hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang c. menyelesaikan wasiat pewaris d. membagi harta warisan diantara ahli yang berhak (2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban Pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. B. Pembagian Warisan menurut Hukum Waris Islam Ketentuan dan kewajiban pembagian warisan dalam syariat Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul, serta ijma' para ulama. Ayat Al-Quran yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam, yaitu: 1. Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana 119. 119 QS. An-Nisaa ayat 11

53 2. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istriistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu 120. Didalam Al-Quran dijelaskan secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. 121 Oleh karena itu, Al-Quran merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadist Rasulullah SAW dan ijma para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan legal dan dibenarkan Allah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat. Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur an ada enam macam, yaitu ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua pertiga), 1/3 (sepertiga) dan 120 QS. An-Nisaa ayat 12 121 Muhammad Ali Ash-Shabuni [2], Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 32

54 1/6 (seperenam). Adapun bagian yang berhak diterima oleh ahli waris atau dikenal dengan istilah ashhabul furudh adalah sebagai berikut 122 : 1. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Setengah Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan ½ (setengah) bagian dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, yaitu suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: a. Seorang suami berhak untuk mendapatkan ½ (setengah) bagian harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut atau bukan. Dalilnya adalah dalam firman Allah yang artinya:...dan bagi kalian (para suami) mendapatkan separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak... (QS.4: 12) b. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian ½ (setengah) harta peninggalan pewaris dengan dua syarat : 1) Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki) 2) Apabila anak perempuan itu anak tunggal. 122 Ibid, hal. 46

55 Dalilnya adalah firman Allah SWT : dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separoh harta warisan yang ada. Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah (QS 4:12). c. Cucu perempuan dari keturunan laki-laki akan mendapat setengah bagian, dengan tiga syarat: 1) Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki) 2) Apabila ia hanya seorang. 3) Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki. Dalil yang yang menjadi dasar adalah sama dengan dalil bagian anak perempuan diatas yaitu Al-Qur an surat an-nisaa ayat 12. Hal ini dikarenakan cucu perempuan dari anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama. d. Saudara kandung perempuan akan mendapat setengah bagian harta warisan, dengan tiga syarat: 1) Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. 2) Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan). 3) Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.

56 Dalilnya adalah sebagai berikut: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya... (QS 4: 176) e. Saudara perempuan seayah akan mendapatkan setengah bagian dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat: 1) Apabila ia tidak memiliki saudara laki-laki. 2) Apabila ia hanya seorang diri. 3) Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan. 4) Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Adapun dalil yang mendasarinya adalah Al-Qur an surat an-nisa ayat 176. Hal ini telah mendapat kesepakatan para ulama. 2. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Seperempat Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat ¼ ( seperempat) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya adalah sebagai berikut : a. Seorang suami berhak mendapat bagian ¼ (seperempat) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak

57 atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal tersebut didasarkan atas firman Allah SWT yang artinya adalah sebagai berikut:...jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya... (QS 4: 12) b. Seorang istri akan mendapat bagian ¼ (seperempat) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah SWT yang artinya adalah sebagai berikut:...para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak... (QS 4: 12) Adapun penjelasan dari pernyataan diatas adalah yang dimaksud dengan istri mendapatkan seperempat adalah bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapatkan seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. diatas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna mereka perempuan. Jadi, baik suami meninggalkan seorang

58 istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan. 3. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan Ashabul Furudh yang berhak memperoleh bagian 1/8 (seperdelapan) adalah istri. Istri, baik seorang atau lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah :...dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan... (QS. 4:11) 4. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat bagian Dua pertiga Ahli waris yang berhak mendapat bagian 2/3 (dua pertiga) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita: a. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih. b. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih. c. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih. d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat sebagai berikut: 1) Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara lakilaki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya adalah firman Allah swt. Yang artinya adalah sebagai berikut:

59...dan jika itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan... (QS. 4: 11) Salah satu bagian penting yang mesti di perhatikan dari ayat diatas adalah makna dari kalimat fauqa itsataini bukanlah anak perempuan lebih dari dua melainkan dua anak perempuan atau lebih, hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Hal ini bersandar pada hadist Rasululah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. 2) Dua orang cucu perempuan dari keterunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian 2/3 (dua per tiga), dengan persyaratan sebagai berikut: a) Pewaris tidak mempunyai anak kandung baik laki-laki atau perempuan. b) Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan. c) Dua cucu perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki. 3) Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua pertiga dengan persyaratan sebagai berikut: a. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek. b. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai ashabah. c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang artinya adalah sebagai berikut:

60...tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal... (QS.4:176) 4) Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua pertiga dengan syarat sebagai berikut: a. Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah atau kakek. b. Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai laki-laki seayah. c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua pertiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya disini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dalilnya adalah ijma para ulama pada Al-Quran surat an- Nisa surat 176. 5. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga. Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan saudara (baik laki-laki atau perempuan) yang seibu. Seorang ibu berhak mendapatkan sepertiga dengan syarat:

61 a. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak lakilaki. b. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah dan seibu. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang artinya adalah sebagai berikut:...dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga... (QS.4:11) Dan ayat lainnya yang artinya sebagai berikut:...jika yang meninggal itu mempunyai beberapa sauadara, maka ibunya mendapat seperenam... (QS.4:11) Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut: 1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek. 2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih. Adapun dalilnya adalah firman Allah SWT:...jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu... (QS.4:11) 6. Ashhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam

62 Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapat bagian 1/6 (seperenam) ada tujuh orang. Mereka adalah ayah, kakek (bapak kandung dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara perempuan seayah, nenek, saudara dan laki-laki dan perempuan seibu. a. Seorang ayah akan mendapat bagian 1/6 (seperenam) bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak anak perempuan. Dalilnya dalam firman Allah yang artinya adalah sebagai berikut:...dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak... (QS.4:11) b. Seorang kakek (bapak dari ibu) akan mendapat bagian 1/6 (seperenam) bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan menduduki jabatan seorang ayah, kecuali dalam keadaan tertentu. c. Ibu akan memperolah 1/6 (seperenam) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris dengan dua syarat: a. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu lakilaki dari keturunan anak laki-laki.