BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM"

Transkripsi

1 21 BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM A. Waris dalam pandangan Hukum Islam Pengertian waris dalam Buku Ensiklopedia Hukum Islam bahwa kata waris itu berasal dari bahasa Arab yaitu wartsa-yartsu-warisan atau irsan/turas yang berarti mempusakai adalah ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan siapa yang berhak dan tidak berhak menerima harta pusaka dan berapa besar harta yang diterima masing-masing, disinggung juga hukum waris yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah struktur hukum waris Arab pra Islam dan sekaligus merombak sistem kekerabatan, bahkan juga merombak sistem pemilikan harta didalam masyarakat Arab pada waktu itu, hukum waris Islam juga mengandung aturan setiap pribadi baik itu laki-laki atau perempuan berhak memiliki harta warisan. 31 Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain dan tidaklah terbatas hanya pada hal hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. al-miirats menurut istilah ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i Ensiklopedia Hukum Islam jilid 5 Cet I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hal 21

2 22 Sedangkan Waris menurut istilah yaitu, pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkannya itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum Syara. Perkataan warisan atau faraidh (Kata jama) dan kata warotsa artinya pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain setelah pemiliknya meninggal dunia, sedangkan kata faraidh artinya bahagian yang tertentu bagi ahli waris dari harta pusaka, seperti seperdua, seperempat dan sebagainya. 32 Terambil dari kata faraidh-lah beberapa istilah berikut: waris, warisan, pewaris, ahli waris, mewarisi, proses pewarisan dan hukum waris. Menurut Ilmu Fiqh mewaris mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fiqh mewaris disebut juga Ilmu Faraidh, karena berbicara tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli waris. 33 Pembahasan Fiqh mewaris, meliputi masalah-masalah Tazhij, yaitu pengurusan mayat, pembayaran utang dan wasiat, kemudian tentang pembagian harta. Dibahas pula tentang halangan-halangan mendapat warisan, Azhabul Furudh, ashobah, hijab pewarisan dzawil arkam, hak anak di dalam kandungan, masalah mafqud atau orang yang hilang, anak hasil zina, serta masalah-masalah khusus, seperti aul, masalah musyawarah, tsulusul baqi, dan lain sebagainya Mahyudin Syaf, Pelajaran Agama Fiqih Cet. I, Sulita, Bandung, 1967, hal H.A Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Prenada Media Group, 2005, hal H.A. Djazuli, Ibid, hal 48-49

3 23 Para pakar hukum diantaranya, M. Daud Ali dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam dan Peradilan Agama yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan pengalihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Mohd. Idris Ramulyo, dalam bukunya yang berjudul Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Praktek Di Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri mengartikan hukum kewarisan adalah hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang penyelesaian nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. Juhaya S Praja berpendapat bahwa, hukum kewarisan dalam Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. 35 Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur an dan Al-Hadist, khususnya menyangkut bagian masing-masing ahli waris. Dalam QS. An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman yang artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anakanakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan apabila anak tersebut semuanya perempuan (lebih dari dua orang), maka berilah mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan tersebut seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang Ibu Bapa, bagai mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, apabila yang meninggakan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal tersebut tidak mempunyai anak, sedangkan ahli waris hanya ibu dan bapak, maka bagian ibu adalah sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian hal Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan LPPM Unisba, Bandung, 2002,

4 24 ibu adalah seperenam. (Pembagian pembagian tersebut) dilakukan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu. (Ketentuan) ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta yang ditinggalkan isteri isterimu, apabila mereka tidak mempunyai anak. Apabila mereka mempunyai anak, maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditinggalkan isteri-isterimu, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utangnya. Para isteri memperoleh seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka isteri-isterimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan dibayarkan utang yang dibuat, dengan tidak memberikan mudharat (bagi ahli waris). Allah menetapkan yang demikian tersebut sebagai syarai 'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (ayat 11-12) Mereka meminta fatwa kepadamu tentang Kalalah (tidak meninggalkan ayah dan anak), maka katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu: Jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak (tetapi) mempunyai (seorang saudara perempuan, maka agi saudaranya yang perempuan tersebut seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan). Jika ia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi mereka dua pertiga dan harta yang ditinggalkannya. Dan Jika ahli warisnya terdiri dari seorang saudara lakilaki dan saudara perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki adalah dua bahagian dari saudara perempuan. Alah menerangkan hukum ini kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (ayat 176) Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah SWT secara umum menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan

5 25 perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukan sebelum menentukan harta peninggalan pewaris baru dikatakan sebagai harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris). Dalam ayat di atas juga digariskan bahwa bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan dalam satu tingkatan, baik dalam tingkatan anak, saudara ataupun antara suami dengan isteri. Diantara hukum waris Islam yang bersumber dari Hadist Nabi Muhammad SAW., adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang artinya : Nabi Muhammad Saw. bersabda: " Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki yang lebih utama. Hadist tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, setelah itu jika terdapat sisa, maka bagian laki-laki lebih besar dari bagian perempuan. Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukum Kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2 : 1 (baca 2 banding 1) antara bagian laki-laki dan perempuan. Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan

6 26 kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris, karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggungjawab yang diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia. 36 Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai "keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan", atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab diantara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam. Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan, yang kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam. 37 Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi tanggung jawab suaminya (laki-laki). Syari'at Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagi 36 Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, Romeo Grafika, Pontianak, 2003, hal Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhyah, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1997, hal 207

7 27 kepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun is tergolong mampu/kaya, jika ia telah bersuami, sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian) keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami (laki-laki setelah ia menikah). 38 Sedangkan kewajiban isteri pada dasarnya adalah mengatur urusan intern rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Hal demikian juga berlaku dalam kedudukan sebagai ayah dan ibu pewaris. 39 Dalam tingkatan anak, anak laki-laki yang belum menikah, ia diwajibkan memberi mahar dan segala persyaratan pernikahan yang dibebankan pihak keluarga calon isteri kepadanya. Setelah menikah, maka beban menafkahi isteri (dan anak-anaknya) kelak akan diletakkan dipundaknya. Sebaliknya anak perempuan, dengan bagian yang diperolehnya tersebut akan mendapat penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnya setelah menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya, bahkan sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidak menafikan keadaan sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak. Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara konkrit adalah seorang anak laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang Rp ,- (empat puluh juta), sedangkan saudara perempuannya memperoleh Rp ; (duapuluh juta) berdasarkan ketentuan 2 : 1, maka ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan hal.13 hal M.Ali As-Shabun, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, Dipenogoro, Bandung, 1996, 39 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Sinar Grafindo, Jakarta, 1995,

8 28 mengeluarkan biaya keperluan mahar sekitar Rp ,- (sepuluh juta rupiah), jadi sisa harta dari bagian warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah Rp ; (tiga puluh juta rupiah). Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh bagian warisan Rp ; (dua puluh juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan Rp ,- (sepuluh juta rupiah) disebabkan mahar yang diperolehnya dari laki-laki yang menikah dengannya. Dengan demikian maka keduaduanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh bagian warisan tersebut samasama memperoleh Rp ,- (tiga puluh juta rupiah). Dengan demikian maka perempuan selain pemilik penuh dari kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan, juga akan mendapatkan tambahan dari mahar yang diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari suaminya tersebut. Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan saja keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya bagian berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yakni bagian warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal tersebut berbeda dengan hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku. Jika dalam satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan lakilaki, sebab kekayaan laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga

9 29 bahagian laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis. Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian warisan tersebut) akan tetap utuh tak berkurang, jika diinginkannya, karena pada hakikatnya perempuan mengambil bagian (warisan, harta laki-laki) dan tidak memberi apa-apa, Ia mendapat bagian warisan dan memperoleh nafkah, tidak sebaliknya. Perbedaan yang berdasarkan besar kecilnya beban dan tanggung jawab lakilaki dan perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum kausalitas imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Bagian perempuan yang ditentukan tersebut seimbang dengan kewajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada dasarnya dibebaskan dari memikul tanggungjawab ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jika seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu merupakan manifestasi dari tingkat kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan secara sosiologis dalam masyarakat Islam. Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur : a. Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah. b. Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisi sebagaimana kaidah:

10 30 Artinya: Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa, tempat dan keadaan. Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan. Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser. Ketentuan 176 Kompilasi Hukum Islam yang tetap mempertahankan bagian 2 : 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 Kompilasi Hukum Islam meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dan gath'i berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisi bersama anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan bagian yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu.

11 31 Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan bagian 1 : 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan. Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih besar dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli waris : suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami memperoleh ½ (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan ayah mendapat sisa (2 bagian). Hukum waris Islam mempunyai prinsip sebagai berikut : 1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki, seperti yang berlaku dalam kapitalisme/individualism dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal system warisan. 2. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim. Namun, tidak berarti bahwa ahli waris dibebani melunasi hutang pewaris.

12 32 3. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih jauh, yang lebih kuat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih lemah. Misalnya, ayah lebih diutamakan daripada kakek, dan saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara seayah. 4. Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris. Misalnya, apabila ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami atau istri, dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan. 5. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atas harta warisan. Anak yang sudah besar, yang masih kecil, yang baru saja lahir, semuanya berhak atas warisan orang tuanya. Namun, perbedaan besar kecilnya bagian diadakan sejalan dengan perbedaan besar kecilnya beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga. Misalnya, anak laki-laki yang memikul beban tanggungan nafkah keluarga mempunyai hak lebih besar daripada anak perempuan yang tidak dibebani tanggungan nafkah keluarga. 6. Hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh dekatnya hubungan dengan pewaris. Bagian tertentu dari harta itu adalah 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Ketentuan tersebut termasuk dalam hal yang sifatnya ibadah yang wajib dilakukan karena telah menjadi

13 33 ketentuan Al-Qur an adanya bahagian ahli waris yang sifat Ta abbudi merupakan salah satu cirri dari hukum waris Islam. 40 Dalam hukum waris Islam juga terdapat Rukun Waris yakni : 1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya. 2. Ahli waris, yakni mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), atau ikatan pernikahan, atau ikatan lainnya 3. Harta warisan, yakni segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah dan sebagainya. 41 Asas-asas Hukum Kewarisan Islam, yang digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Qur an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, yakni : 1. Asas Ijbari Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan seperti ini disebut dengan Ijbari. Asas ini dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah SWT tanpa bergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari 40 Muhammad Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana, Medan, 2009, hal Mukhlis Lubis, Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al-Manar, Medan, 2011,hal 7

14 34 ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan Asas bilateral Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Nisa (4): 7,11, 12 dan Asas individual Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terkait dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing Asas keadilan berimbang 42 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2004, hal Muhammad Muhibbin dan Wahid Abdul, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal Ibid, hal 28

15 35 Kata adil hubungannya dengan kewarisan dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluannya dan kegunaannya. Asa ini mengandung arti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam system kewarisan Islam harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggungjawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggungjawab masing-masing terhadap keluarga Asas semata akibat kematian Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepad orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (keluarga) dengan nama waris selama yang mempuyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun 45 Ibid, hal 29

16 36 terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk kedalam istilah kewarisan menurut Hukum Islam. 46 Penyelesaian sengketa waris dalam Hukum Isam adalah sebagai berikut : Menurut Komar Kantaatmadja, dalam arti sehari-hari sengketa dimaksudkan sebagai keadaan di mana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya tertentu (misalnya : perniagaan, waris, keluarga) mempunyai masalah, yaitu menginginkan atau menghendaki pihak lain untuk berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak untuk berlaku demikian. 47 Dari kamus Bahasa Indonesia, 48 kata sengketa berarti perselisihan, sedangkan Kamus Hukum Edisi Lengkap 49 mengartikan perkara yang dapat diadukan. Dalam bahasa Inggris ada dua istilah yang mengandung makna tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, yaitu conflict dan dispute. Istilah pertama, conflict, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi konflik, sedangkan istilah kedua, dispute diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi sengketa. 50 Sebuah konflik dapat berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak 46 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Dalam Penerapan ADR Makalah, FH-Unpad, Bandung, 1997, hal 1 48 Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Aneka, Semarang, 1977, hal Suharto dan T.Iryanto, Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, Indah, Surabaya, 1999, hal Usma Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 23

17 37 lain. 51 Sedangkan waris mengandung arti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal. Sedangkan arti waris menurut lughat ialah pindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada kaun yang lain. Sesuatu itu lebih umum daripada harta meliputi : ilmu kemuliaan dan sebagainya, sedangkan pengertian waris menurut istilah ialah pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkannya itu berupa harta bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum syara. 52 B. Pembagian waris menurut Hukum Islam Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik lakilaki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil. Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu diakses pada tanggal 13 Mei 2012, 52 M.Ali As-Shabun, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, Dipenogoro, Bandung, 1996, hal

18 38 Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah SAW. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat. Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang universal sifatnya, yaitu berlaku bagi setiap orang di manapun ia berada dan apapun nasonalismenya. Adapun tujuan dari hukum Islam pada hakikatnya adalah untuk merealisir kemaslahatan umum dan mencegah kemafsadatan bagi umat manusia. 53 Di dalam hukum Islam masalah kewarisan mendapat perhatian besar dan merupakan bagian yang terpenting dalam sistem hukum Islam, sehingga Islam mengatur pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Pengaturan ini dikenal dengan Hukum Kewarisan Islam, yaitu aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. 54 Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat hal Yahya Muhtar, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Al-Ma arif, Bandung 1993, 54 Ali Zainuddin, Pelaksanaan HukumWarisdi Indonesia Cet ke-1,sinar Grafika,Jakarta,2008, hal33

19 39 di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. 55 Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur sebaik-baiknya. Al-Quran menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Al-Quran. Allah SWT telah berfirman: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An Nisa:7). Adapun pembagian waris menurut Al-Qur an, yakni : jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima. 1. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut: 55 Sajuti Thalib, HukumKewarisanIslamdi Indonesia Cetke-9,Sinar Grafika,Jakarta 2008,hal1

20 40 a. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. b. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat: 1) Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki). 2) Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada. Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah. c. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat: 1) Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki). 2) Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak lakilaki tersebut sebagai cucu tunggal). 3) Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak lakilaki. d. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:

21 41 1) Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. 2) Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan). 3) Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan. Dalilnya adalah firman Allah berikut: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya (an-nisa : 176) e. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat: 1) Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki. 2) Apabila ia hanya seorang diri. 3) Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan. 4) Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. 2. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut: a. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya).

22 42 b. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. 3. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan Dari sederetan Ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT: Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu (QS An-Nisa : 12) 4. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita: a. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih. b. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih. c. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih. d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

23 43 Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut: 1) Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut: dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan (QS An-Nisa : 11). 2) Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut: a) Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan. b) Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan. c) Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki. 3) Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut: a) Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek. b) Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai ashabah. c) Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah: tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal (an-nisa : 176) 4) Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:

24 44 a) Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek. b) Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah. c) Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma para ulama bahwa ayat tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal (QS An-Nisa : 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. 5. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga Adapun Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu. a. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat: 1) Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.

25 45 2) Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah: dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga (An-Nisa : 11) b. Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut: 1) Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak. 2) Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih. Adapun dalilnya adalah firman Allah: Jika seseorang mati baik lakilaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing -masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu (QS An-Nisa : 12) Besarnya pembagian waris menurut Kompilasi Hukum Islam. Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dalam bab III mengenai pembahagian besarnya waris : 1. Pasal 176 Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan

26 46 apabla anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. 2. Pasal 177 Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. 3. Pasal 178 1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. 2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah. 4. Pasal 179 Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian. 5. Pasal 180 Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian. 6. Pasal 181 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

27 47 7. Pasal 182 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan. 8. Pasal 186 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya 9. Pasal 190 Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya. 10. Pasal 191 Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.

28 48 C. Konsep pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut Hukum Islam Hukum Islam mengenal cara pembagian waris yang disebut dengan takharruj atau tashaluh. Syariat Islam memperbolehkan salah seorang ahli waris menyatakan diri tidak akan mengambil hak warisnya dan bagian itu akan diberikan kepada ahli waris yang lain. Kasus ini dikalangan para ulama dikenal dengan pengunduran diri dari hak warisnya. Ash Shabuni menyebut cara penyelesaian dengan at takharaj min at tarikah, yaitu pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian secara syar i dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam diperbolehkan dan dibenarkan. 56 Menurut Ahmad Rofiq, cara damai tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa Umar Bin Khattab ra menasehatkan kepada kaum muslimin agar diantara pihak yang mempunyai urusan dapat memilih cara damai. Umar ra berkata : Boleh mengadakan perdamaian diantara kaum muslimin, kecuali mengadakan perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Lebih tegas lagi Umar memerintahkan : kembalikanlah penyelesaian perkara diantara sanak saudara sehingga mereka dapat 56 Muhammad Ali Ash Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal 141

29 49 mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu menimbulkan perasaan tidak enak. 57 Selain itu, menurut Ahmad Rofiq, dengan cara damai (sulhu) memungkinkan ditempuh upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan ekonomi antara keluarga dapat memicu timbulnya konflik di antara mereka. 58 Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebenarnya telah mengakomodasi sistem pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) ini dalam pasal 183 yang menyatakan: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warian setelah masing-masing menyadari bagiannya. Kompilasi dengan klausal di atas menghendaki agar pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) ini para ahli waris mengerti hak-hak dan bagian yang diterima, sebagaimana diatur dalam Al-Qur an tentang furud al-muqaddarah. Setelah itu masing-masing pihak berdamai. Apabila ada di antara ahli waris yang ada secara ekonomi kekurangan dan mendapat bagian yang sedikit, kemudian ahli waris yang menerima bagian yang banyak dengan ikhlas memberikan kepada yang lain adalah tindakan yang sangat positif dan terpuji, 59 atau semuanya diserahkan kepada kesepakatan ahli waris untuk menentukan bagian mereka masing-masing. hal Ahmad Rofiq, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2000, 58 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal Ibid, hal 200

30 50 Meminjam istilah usul fiqh, kebiasaan yang terjadi berulang-ulang dalam masyarakat dan menimbulkan kemaslahatan disebut dengan urf. Kata lain yang semakna dengan urf, adalah adat atau kebiasaan. Secara sosiologis, dalam masyarakat sering terjadi suatu tindakan yang terjadi secara berulang-ulang dan dianggap baik, karena tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. 60 Hal ini sejalan dengan kaidah yang berbunyi al-adah muhakkamah artinya kebiasaan itu dapat dijadikan hukum. 61 Kebiasaan semacam ini menjadi kelaziman dalam formulasi hukum yang diakomodasi dari nilai-nilai atau norma-norma adat yang tumbuh dalam kesadaran masyarakat. Ada yang menyatakan bahwa pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) sebagai bentuk sikap mendua. Di satu sisi mereka menginginkan ketentuan syara sebagai acuan dalam pembagian warisan dilaksanakan, tetapi di sisi lain, kenyataannya mereka membagi warisan dengan cara damai (sulhu). Tetapi jika diperhatikan, pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) tidak otomatis dianggap sebagai sikap mendua. Karena cara penyelesaian damai (sulhu) ini berdasarkan ayat Al-Qur an yang berbunyi: Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Hukum Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, hal 6 61 Narun Harun, Usul Fiqh, Logos, Jakarta, 1996, hal QS. Al-Anfal (8) : 1

31 51 Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. 63 Pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) ini biasanya dilakukan oleh para ahli waris agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik. Sebenarnya, inti pokok dari asas ini adalah adanya kerelaan dari ahli waris yang ada untuk memberikan bagian sesuai dengan kehendak dari ahli waris. Kalau ada ahli waris yang karena secara ekonomis berkecukupan, sementara ahli waris yang lain ada yang miskin, maka dengan kerelaan, ahli waris yang miskin mengambil bagian yang lebih banyak. Begitu juga dapat terjadi seorang ahli waris memberikan tambahan bagian pada bagian ahli waris-ahli waris yang lain, sedangkan ahli waris yang bersangkutan ikhlas tidak mengambil bagiannya sama sekali. Kata mufakat yang dihasilkan berdasarkan musyawarah, kadang-kadang mengakibatkan adanya perbedaan bagian yang diterima oleh ahli waris dengan bagian menurut yang ditentukan dalam Islam. Walaupun demikian, semangat atau jiwa dari hukum kewarisan Islam tidak ditinggalkan, artinya pada ahli waris ada kesadaran mengenai bagian yang mesti didapat berdasarkan angka-angka faraid, tetapi sering kali hal itu disubordinasikan (ditarik ke belakang) dengan memberikan kesempatan bagi prinsip kerelaan untuk lebih berperan. Hal ini terbukti ketika ahli waris tidak 63 QS. Al-Hujurat (49): 9-10.

32 52 menemui kata sepakat, yang berarti kerelaan di antara ahli waris tidak ada, maka satusatunya alternatif adalah menjalankan ketetapan sebagaimana termaktub dalam hukum kewarisan Islam. Berbagai alasan mungkin mendorong sebagian ahli waris merelakan sebagian haknya kepada ahli waris yang lain. Misalnya : 1. Salah seorang ahli waris adalah seorang yang berhasil dalam kehidupan ekonominya bila dibandingkan dengan ahli waris yang lain. Dengan demikian secara sukarela ia memberikan haknya kepada pihak yang kurang berhasil kehidupan ekonominya. 2. Salah seorang ahli waris menyadari bahwa yang paling banyak mengurus orang tuanya semasa hidupnya adalah salah seorang dari ahli waris yang ditinggalkan sehingga wajar jika ahli waris yang seorang itu mendapatkan warisan yang lebih banyak dari harta peninggalan si pewaris. Pada prinsipnya cara perdamaian (sulhu) adalah cara yang dibenarkan, agar suasana persaudaraan dapat terjalin dengan baik, sepanjang perdamaian itu tidak dimaksudkan untuk mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, maka diperbolehkan, sebagaimana Hadist Rasulullah SAW yang artinya: Perdamaian itu diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali (perdamaian) untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Meskipun demikian, praktek pembagian harta warisan berdasarkan musyawarah dan mufakat (sulhu) ini harus pula memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

33 53 1. Keharusan adanya kecakapan bertindak secara hukum dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembagian warisan. Hal ini disebabkan karena dalam pembagian warisan berdasarkan musyawarah (sulhu) memungkinkan adanya sebagian pihak yang mengorbankan atau menggugurkan haknya baik secara keseluruhan mapun sebagiannya. Masalah pengguguran hak milik, karena berkaitan dengan praktik menghilangkan hak milik seseorang, berhubungan erat dengan masalah kecakapan untuk bertindak secara hukum, artinya pengguguran suatu hak milik baru dianggap sah, apabila dilakukan oleh seseorang secara sukarela dan sedang mempunyai kecakapan bertindak. 2. Pembagian waris berdasarkan berdasarkan musyawarah dan mufakat (sulhu) dilakukan bukan karena tidak puas terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada berdasarkan hukum kewarisan Islam, misalnya seorang anak perempuan yang merasa tidak puas karena hanya mendapatkan setengah dari bagian anak laki-laki, maka ia mengusulkan pembagian waris berdasarkan musyawarah (sulhu). Musyawarah yang seperti ini justru mencerminkan ketidakikhlasan berhukum kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, musyawarah yang seperti ini mencerminkan jiwa yang tidak taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang akan berakibat menurunkan nilai keimanan dan mencerminkan kerendahan akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sistem faraid dalam Islam memberi peluang kepada para ahli waris untuk membagi warisan tanpa harus mengikuti detail pembagian yang telah ditetapkan oleh Al-Qur an dan Hadits. Atas dasar kesepakatan para ahli waris, besaran bagian

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto suryashmh@yahoo.com ABSTRAK Dalam tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli

Lebih terperinci

Volume V, Nomor 1, Januari-Juni NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HARTA WARISAN ISLAM. Oleh: Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, M.Ag.

Volume V, Nomor 1, Januari-Juni NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HARTA WARISAN ISLAM. Oleh: Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, M.Ag. Volume V, Nomor 1, Januari-Juni 2017 109 NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HARTA WARISAN ISLAM Oleh: Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, M.Ag. Abstrak Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan laki-laki

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN A. Analisis Terhadap Hibah Sebagai Pengganti Kewarisan Bagi Anak Laki-laki dan

Lebih terperinci

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan. Pengertian Mawaris Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir, Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir, Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004 DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir, Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992 Ali Daud, Muhammad,

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK 60 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK Salah satu asas kewarisan Islam adalah asas bilateral yang merupakan perpaduan dari dua

Lebih terperinci

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh pelaksanaan hukum waris 1 A. Pembagian Warisan Dalam

Lebih terperinci

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM Pendahuluan Oleh : Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH. 1 Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari al-qur'an dan Hadist Rasulullah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan BAB I PENDAHULUAN Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah sebagai penciptanya. Aturan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013 HAK MEWARIS DARI ORANG YANG HILANG MENURUT HUKUM WARIS ISLAM 1 Oleh : Gerry Hard Bachtiar 2 A B S T R A K Hasil penelitian menunjukkan bagaimana asas-asas kewarisan menurut hukum waris Islam serta Hak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS A. Sebab-Sebab Terjadinya Penguasaan Tirkah Al-Mayyit Yang Belum Dibagikan Kepada Ahli Waris Harta peninggalan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI A. Analisis Terhadap Deskripsi Pembagian Warisan Oleh Ibu Senen dan Bapak Kasiran Kepada Ahli Waris Pengganti Di Desa Kasiyan

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM A. Pengertian Harta Dalam Perkawinan Islam Menurut bahasa pengertian harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. 1

Lebih terperinci

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM 27 BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM A. Kerangka Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam literatur Indonesia sering menggunakan istilah kata waris atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya,

Lebih terperinci

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA A. Analisis Tradisi Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang Adat Semende di

Lebih terperinci

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Waris Tanpa Anak WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Pertanyaan: Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waris adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang perpindahan harta pusaka

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA A. Analisis Terhadap Kebiasaan Pembagian Waris Di Kejawan Lor Kelurahan Kenjeran Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS 64 BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS A. Implikasi Yuridis Pasal 209 KHI Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hokum kewarisan menurut KHI secara

Lebih terperinci

WARIS ISLAM DI INDONESIA

WARIS ISLAM DI INDONESIA ISSN 2302-0180 8 Pages pp. 19-26 WARIS ISLAM DI INDONESIA Azharuddin 1, A. Hamid Sarong. 2 Iman Jauhari, 3 1) Magister Ilmu Hukum Program Banda Aceh e-mail : Budiandoyo83@yahoo.com 2,3) Staff Pengajar

Lebih terperinci

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D 101 09 512 ABSTRAK Penelitian ini berjudul aspek yuridis harta bersama dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama 58 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara Dan Relevansinya Dengan Sistem Kewarisan

Lebih terperinci

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM 1 AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM Oleh : Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Pendahuluan Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin Dalam laporan penelitian di atas telah disajikan 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama yang mempunyai aturan yang lengkap dan sempurna, yang dalam ajarannya mengatur segala aspek kehidupan

Lebih terperinci

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati ILMU FARAID 1 Firman Allah : "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembahagian pusaka untuk) anakanakmu. Iaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI A. Kewarisan dalam CLD KHI Dalam CLD KHI hukum kewarisan diatur pada buku II yang terdiri dari 42 pasal yaitu mulai Pasal 1 sampai dengan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum waris merupakan salah satu dari bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam adanya asas-asas kewarisan islam yaitu asas ijbari (pemaksaan),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Islam merupakan hukum Allah. Dan sebagai hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya kepada Allah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sempurna, setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sempurna, setiap orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sempurna, setiap orang yang hidup di dunia ini pasti akan mengalami suatu peristiwa yang penting dalam hidupnya. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA A. Analisa Terhadap Pertimbangan Putusan Hakim Pengadilan Agama Bangil Kewenangan Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara beraneka ragam adat dan budaya. Daerah yang satu dengan daerah yang lainnya memiliki adat dan budaya yang berbeda-beda. Demikian juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam, terutama bagi mereka yang secara lahir dan batin telah siap menjalankannya. Tidak perlu ada rasa takut dalam diri setiap muslim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Mereka saling tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2 KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2 A B S T R A K Seiring dengan perkembangan zaman juga pola pikir masyarakat, hal ini menghasilkan adanya berbagai

Lebih terperinci

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Materi : HUKUM KEWARISAN Oleh : Drs. H.A. Mukti Arto, SH, M.Hum. PENDAHULUAN Hukum Kewarisan Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP TIDAK ADANYA HAK WARIS ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT KARO DI DESA RUMAH BERASTAGI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO

BAB IV ANALISIS TERHADAP TIDAK ADANYA HAK WARIS ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT KARO DI DESA RUMAH BERASTAGI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO BAB IV ANALISIS TERHADAP TIDAK ADANYA HAK WARIS ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT KARO DI DESA RUMAH BERASTAGI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO Berdasarkan uraian pada Bab III mengenai sistem pembagian

Lebih terperinci

Munakahat ZULKIFLI, MA

Munakahat ZULKIFLI, MA Munakahat ZULKIFLI, MA Perkawinan atau Pernikahan Menikah adalah salah satu perintah dalam agama. Salah satunya dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 32 : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu: BAB IV ANALISIS A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin Dari penjelasan terdahulu dapat dikelompokkan ahli waris yang menjadi ahli waris pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut

Lebih terperinci

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM 53 BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Sistem Pemerataan Harta Warisan di Desa Balongwono dalam Perspektif Hukum Islam 1. Al-Qur an Allah SWT telah menentukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Pengertian Harta Bersama 1. Pengertian Harta Bersama Menurut Hukum Islam Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA IDEAL AYAT DAN KONTEKSTUALISASINYA

BAB IV MAKNA IDEAL AYAT DAN KONTEKSTUALISASINYA BAB IV MAKNA IDEAL AYAT DAN KONTEKSTUALISASINYA A. Relefansi Masa Turunnya Ayat dengan Masa Kini Ayat 15 dari surat Al-Ahqaf tersebut merupakan ayat makiyah. Sebelum al-qur an diturunkan, di daerah Makkah

Lebih terperinci

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

HAK WARIS DZAWIL ARHAM Nama Kelompok : M. FIQHI IBAD (19) M. ROZIQI FAIZIN (20) NADIA EKA PUTRI (21) NANDINI CHANDRIKA (22) NAUFAL AFIF AZFAR (23) NOER RIZKI HIDAYA (24) XII-IA1 HAK WARIS DZAWIL ARHAM A. Definisi Dzawil Arham

Lebih terperinci

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI A. Kewarisan dalam KHI Dalam KHI hukum kewarisan diatur pada buku II yang terdiri dari 43 pasal yaitu mulai Pasal 171 sampai dengan Pasal 214. 1.

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Alasan Munculnya Bagian Sepertiga Bagi Ayah Dalam KHI Pasal 177 Hukum waris Islam merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan: PEMBAGIAN WARISAN Pertanyaan dari: EJ, di Cirebon (nama dan alamat diketahui redaksi) (Disidangkan pada Jum at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M) Pertanyaan: Sehubungan kami sangat awam masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT maupun terhadap sesama umat

Lebih terperinci

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH Untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata, maka pada bab ini akan di berikan contoh - contoh permasalahan pembagian warisan berdasarkan ketentuan ketentuan yang

Lebih terperinci

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN Oleh Drs. Bakti Ritonga, SH.,MH. 1 Assalmu alaikum wr.wb. Salam sejahtera untuk kita semua Yang Terhormat; Bapak dan Ibu Pembina, jajaran pengurus, dan seluruh pesrta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) 29 BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

Sistem Informasi Pengolahan Data Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Pada Pengadilan Agama Kota Palopo

Sistem Informasi Pengolahan Data Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Pada Pengadilan Agama Kota Palopo Sistem Informasi Pengolahan Data Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Pada Pengadilan Agama Kota Palopo NIRSAL Dosen Universitas Cokroaminoto Palopo Email : nirsal_e@yahoo.co.id Abstrak: Banyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Wasiat 1. Pengertian Wasiat Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat merupakan pesan terakhir dari seseorang yang mendekati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Setiap pasangan (suami-istri) yang telah menikah, pasti berkeinginan untuk mempunyai anak. Keinginan tersebut merupakan naluri manusiawi dan sangat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG A. Analisis Terhadap Ketentuan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam Tentang

Lebih terperinci

Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung?

Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung? Hukum Waris: Auwloh Matematikanya Jeblok! HUKUM WARISAN: Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung? Oleh Ali Sina Satu kesalahan hitungan yang paling jelas dalam Qur an dapat ditemukan dalam penjelasan tentang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN KONDISI EKONOMI AHLI WARIS DI DESA KRAMAT JEGU KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN KONDISI EKONOMI AHLI WARIS DI DESA KRAMAT JEGU KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN KONDISI EKONOMI AHLI WARIS DI DESA KRAMAT JEGU KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Tata Cara Pembagian Waris Berdasarkan Kondisi

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Metode Penerapan Nilai Tanah Waris di Pulau Bawean. pembagian dengan cara hukum waris Islam. Kedua; pembagian waris dengan

A. Analisis Terhadap Metode Penerapan Nilai Tanah Waris di Pulau Bawean. pembagian dengan cara hukum waris Islam. Kedua; pembagian waris dengan 56 BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE PENERAPAN NILAI TANAH WARIS DI PULAU BAWEAN (Studi kasus di Desa Sungai Rujing Dusun Tajung Barat Kecamatan Sangkapura) A. Analisis Terhadap Metode Penerapan Nilai Tanah

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam 115 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari rumusan masalah ini, maka penyusun dapat menarik beberapa kesimpulan: 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

Lebih terperinci

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda ARTI FAROIDH FAROIDH adalah kata jamak dari FARIDHOH FARIDHOH diambil dari kata FARDH yg berari TAKDIR atau KETENTUAN. Syar I : Bagian yang sudah merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- Syafi i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan

Lebih terperinci

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI DOSEN Dr. Yeni Salma Barlinti, SH, MH Neng Djubaedah, SH, MH, Ph.D Milly Karmila Sareal, SH, MKn. Winanto Wiryomartani, SH, MHum. POKOK

Lebih terperinci

Analisis Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Dalam Adat Minang (Studi Kasus Di Desa Biaro Gadang, Sumatera Barat)

Analisis Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Dalam Adat Minang (Studi Kasus Di Desa Biaro Gadang, Sumatera Barat) Prosiding Peradilan Agama ISSN: 2460-6391 Analisis Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Dalam Adat Minang (Studi Kasus Di Desa Biaro Gadang, Sumatera Barat) 1 Utari Suci Ramadhani, 2 Dr. Tamyiez Dery,

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 A. KELUARGA Untuk membangun sebuah keluarga yang islami, harus dimulai sejak persiapan pernikahan, pelaksanaan pernikahan, sampai pada bagaimana seharusnya suami dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting

Lebih terperinci

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Vera Arum Septianingsih 1 Nurul Maghfiroh 2 Abstrak Kewarisan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah perkawinan. Islam

Lebih terperinci

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6 BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN AL-HIKMAH

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN AL-HIKMAH 68 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN AL-HIKMAH A. Analisis sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al- Hikmah di Desa Pettong Kecamatan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 48 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pengaturan masalah waris di Indonesia bersifat pluralisme. Sehingga praturan hukum waris yang masih berlaku saat ini di Indonesia adalah menurut Hukum Adat,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SELURUH HARTA KEPADA ANAK ANGKAT DI DESA JOGOLOYO KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SELURUH HARTA KEPADA ANAK ANGKAT DI DESA JOGOLOYO KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG 68 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SELURUH HARTA KEPADA ANAK ANGKAT DI DESA JOGOLOYO KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG A. Analisis terhadap pelaksanaan hibah seluruh harta kepada anak angkat

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM A. Hal-Hal Yang Melatarbelakangi Paradigma Sekufu di dalam Keluarga Mas Kata kufu atau kafa ah dalam perkawinan mengandung arti

Lebih terperinci

Daftar Terjemah. Lampiran 1

Daftar Terjemah. Lampiran 1 Lampiran 1 Daftar Terjemah No BAB Halaman Terjemah 1. 1 2 Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan

Lebih terperinci

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM Hak Anak Angkat terhadap Peninggalan Orang Tua Angkat Menurut Hukum Islam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Susiana No. 55, Th. XIII (Desember, 2011), pp. 139-148. HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja di dunia ini. Sesungguhnya yang demikian, corak suatu Negara Islam dan kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki - BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS A. Pengertian dan Sumber Hukum. Pakar Hukum waris mengklasifikasikan kakek kepada dua macam, yaitu kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan sehari-hari setiap individu memiliki kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan sehari-hari setiap individu memiliki kepentingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak dapat melangsungkan hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

BAB III KEUTAMAAN MATEMATIKA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR AN. agama-agama lain yang mampu menyamainya. Kesempurnaan Al-Qur an tidak

BAB III KEUTAMAAN MATEMATIKA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR AN. agama-agama lain yang mampu menyamainya. Kesempurnaan Al-Qur an tidak BAB III KEUTAMAAN MATEMATIKA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR AN A. Pandangan Al-Qur an tentang Matematika Al-Qur an adalah kitab suci yang sempurna, yang tidak ada kitab suci agama-agama lain yang mampu menyamainya.

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

BAB IV ISTINBATH HUKUM DAN NATIJAH. nash yang menerangkan tentang pembagian waris seorang transseksual yang

BAB IV ISTINBATH HUKUM DAN NATIJAH. nash yang menerangkan tentang pembagian waris seorang transseksual yang BAB IV ISTINBATH HUKUM DAN NATIJAH A. Istinbath Hukum Dan Natijah Status kewarisan bagi para pelaku transseksual yang mengoperasi ganti kelamin dalmam perspektif ushul fiqih ini merupakan masalah baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Proses perjalanan kehidupan manusia yang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, menimbulkan hak dan kewajiban serta hubungan antara keluarga,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Pelaksanaan Pembagian Waris Pada Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kotakarang Kecamatan Teluk Betung Timur

BAB IV ANALISIS DATA. A. Pelaksanaan Pembagian Waris Pada Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kotakarang Kecamatan Teluk Betung Timur BAB IV ANALISIS DATA A. Pelaksanaan Pembagian Waris Pada Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kotakarang Kecamatan Teluk Betung Timur Setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Penegasan Judul

BAB I PENDAHULUAN. A. Penegasan Judul BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami judul skripsi ini, maka terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa kata penting yang terkait dengan

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Salah satu dampak menurunnya moral masyarakat, membawa dampak meluasnya pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Sebelum menjelaskan mengenai kasus posisi pada putusan perkara Nomor 321/Pdt.G/2011/PA.Yk., penulis akan memaparkan jumlah perkara poligami yang

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA 54 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA A. Analisis terhadap mekanisme transaksi pembayaran dengan cek lebih Akad merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci