KEBIJAKAN, PERUNDANGAN DAN KELEMBAGAAN PERBURUAN SATWA DI INDONESIA. Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA

dokumen-dokumen yang mirip
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN. Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014

KAJIAN SEJARAH PERBURUAN DI INDONESIA. Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 31/Menhut-II/2009 TENTANG AKTA BURU DAN TATA CARA PERMOHONAN AKTA BURU DENGAN RAHMAT TUHAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: 543/Kpts-11/1997. TENTANG

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI ALAM,

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) BIDANG PHKA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

Menteri Kehutanan Dan Perkebunan,

2011, No c. bahwa dalam rangka menjamin kepastian terhadap calon pemegang izin pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Menter

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM Nomor : P. 01/IV- SET/2012 TENTANG

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

Transnational Organized Crime (TOC)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERBANDINGAN PROSPEK PENGEMBANGAN KEGIATAN PERBURUAN RUSA DI KEBUN BURU PERUM PERHUTANI (BKPH JONGGOL) DAN TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN

B015. KEBIJAKAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) OLEH MASYARAKAT (STUDI KASUS DI NUSA TENGGARA BARAT)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

TENTANG. yang. untuk. dalam. usaha

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daer

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang : Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

2011, No Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No d. bahwa Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sudah tidak sesuai dengan

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN ATAU PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.56/Menhut-II/2014 TENTANG MASYARAKAT MITRA POLISI KEHUTANAN

Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Genetik serta Scientific Access bagi Peneliti Asing

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar

Transkripsi:

KEBIJAKAN, PERUNDANGAN DAN KELEMBAGAAN PERBURUAN SATWA DI INDONESIA Rizki Kurnia Tohir Fadlan Pramatana E351160106 E351160156 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016

PENDAHULUAN Latar belakang Kegiatan berburu telah berlangsung sejak jaman pra-aksara (Gazalba 1996), yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan). Tetapi pada saat ini kegiatan berburu tidak hanya dikaitkan dengan pemenuhan konsumsi harian melainkan untuk pemenuhan ekonomi dan juga hobi. Dalam perkembangannya, kegiatan perburuan ternyata telah menimbulkan ancaman terhadap kelestarian beberapa spesies satwaliar karena dilakukan secara ilegal (Thohari dkk 2011). Kegiata berburu yang ilegal ternyata telah menimbulkan kerugian yang bagi Indonesia, salah satunya telah menyebabkan penurunan dan kepunahan lokal banyak spesies flora maupun fauna, termasuk spesies yang ada di dalam area yang dilindungi (USAID 2015). Peningkatan kegiatan perburuan ilegal harus diikuti dengan adanya pengaturan dan kelembagaan yang fokus terhadap pengelolaan perburuan satwa di Indonesia. Sehingga mencegah terjadinya kepunahan satwa dengan tetap mempertimbangkan pemasukan ekonomi bagi masyarakat dan tetap memenuhi kebutuhan akan hobi berburu. Peraturan perundang undangan dan kelembagaan menurut Pasal 5 UU No 12/2011 Tetang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bertujuan untuk menuntun seluruh kegiatan supaya sesuai dengan tujuan yang hendak di capai dalam hal ini tujuan kelestarian satwa. Selain itu kelembagaan berkaitan dengan penunjukan pihak yang berwenang dan memiliki kekuasaan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Tujuan Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peraturan perundangundangan dan kelembagaan mengenai perburuan di Indonesia, serta dapat memahami semua peraturan yang ada sehingga terciptanya kegiatan perburuan yang lestari baik hasil maupun kegiatannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. JENIS PERATURAN YANG MENGATUR PERBURUAN SATWA DI INDONESIA Peraturan yang mengatur kegiatan perburuan, kawasan buru dan wisata buru telah telah ada sejak jaman Ordonansi Perburuan tahun 1931. Sampai saat ini telah banyak peraturan yang mengatur kegiatan diatas mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal dan Keputusan Direktur Jenderal (Masigit Kareumbi 2015). Adapun rincian peraturan normatif perburuan tersaji pada (Tabel 1) Jenis Peraturan Ordonansi Undang- Undang Peraturan Pemerintah Tabel 1 Peraturan terkait perburuan, taman buru dan wisata buru. No Peraturan Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1 1931 Nummer 133) Ordonansi Perlindungan Binatang-Binatang Liar 2 (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 134); Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura 3 (Jachtoddonnantie Javaen Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733) Ordonansi Perlindungan Alam 4 (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan 1 Pokok Kehutanan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya 2 Alam Hayati dan Ekosistemnya 3 UU No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan 4 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 1 PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis 2 Tumbuhan dan Satwa Liar PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan 3 dan Satwa Liar PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan 4 Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan 5 PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan Peraturan 1 Permenhut No. P.31/Menhut-II/2009 tentang Akta Buru dan

Menteri Kehutanan Keputusan Menteri Kehutanan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 Tata Cara Permohonan Akta Buru Permenhut No. P.17/Menhut-II/2010 tentang Permohonan, Pemberian, dan Pencabutan Izin Pengusahaan Taman Buru Permenhut No. P.18/Menhut-II/2010 tentang Surat Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan Izin Berburu Permenhut No. P.19/Menhut-II/2010 tentang Penggolongan dan Tata Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru; Permenhut No. P.69/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Musim Berburu Satwa Buru Permenhut No. P.70/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2010 tentang Penggolongan dan Tata Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru Permenhut No. P.71/Menhut-II/2014 tentang Memiliki dan Membawa Hasil Berburu Permenhut No. P.79/Menhut-II/2014 tentang Pemasukan Satwa Liar Ke Taman Buru dan Kebun Buru Kepmenhut No. 99/Kpts/DJ-VI-II/1996 tentang Petunjuk Teknis pelaksanaan perburuan di Taman Buru, Kebun Buru dan Areal Buru Kepmenhut No. 591/Kpts-II/1996 tanggal 16 September 1996 tentang Tata cara Permohonan, Pemberian, dan Pencabutan Izin Pengusahaan Taman Buru Kepmenhut No. 592/Kpts-II/1996 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusahaan Kebun Buru Kepmenhut No. 593/Kpts-II/1996 tentang Tata Cara Pengendalian peledakan populasi satwa liar yang tidak dilindungi Kepmenhut No. 616/Kpts-II/1996 tentang pengawasan Perburuan satwa buru Kepmenhut No. 617/Kpts-II/1996 tentang Pemasukan Satwa Liar dari Wilayah lain dalam Negara RI ke Taman Buru dan Kebun Buru Kepmenhut No. 618/Kpts-II/1996 tentang pemasukan Satwa liar dari wilayah lain dalam Negara RI ke Taman Buru dan Kebun Buru Kepmenhut No. 141/Kpts II/1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pemberian Hak Pengusahaan Pariwisata Alam pada 13 Lokasi Kawasan Pelestarian Alam Di Pulau Jawa Kepada Perum Perhutani Nomor 104 /Kpts-II/1993 Kep Dirjen PHPA No. 95/Kpts/DJ-II/1996 tentang Petunjuk Teknis Sarana dan Prasarana Pengusahaan Taman Buru Kep Dirjen PHPA No. 96/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 26 September 1996 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan

Pelestarian Alam Peraturan Direktur Jenderal PHPA 3 4 5 1 Rencana Pengusahaan Taman Buru Kep Dirjen PHPA No. 97/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 26 September 1996 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Buru Kep Dirjen PHPA No. 99/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 3 Oktober 1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perburuan di Taman Buru, Kebun Buru dan Areal Buru Kep Dirjen PHPA No. 129 /kpts/dj- VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung Per Dirjen PHPA No P. 7/IV- Set/2011 tentang Tata Cara Masuk Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru Peraturan mengenai perburuan di Indonesia telah diatur, tetapi masih banyak masyarakat yang enggan untuk mempelajarinya dan terlebih sistem birokrasi Indonesia yang rumit, sehingga akhirnya masyarakat melakukan perburuan secara illegal. Berikut ini akan disajikan beberapa rincian mengenai kebijakan, perundangan dan kelembagaan perburuan satwa di Indonesia. B. KETENTUAN-KETENTUAN YANG TELAH DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANGAN 1. Istilah-istilah perburuan (PP No.13/1994) 1. Berburu adalah menangkap dan/atau membunuh satwa buru termasuk mengambil atau memindahkan telur-telur dan/atau sarang satwa buru. 2. Perburuan adalah segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kegiatan berburu. 3. Pemburu adalah orang atau kelompok orang yang melakukan kegiatan berburu. 4. Satwa buru adalah jenis satwa liar tertentu yang ditetapkan dapat diburu. 5. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakan perburuan secara teratur. 6. Kebun buru adalah lahan di luar kawasan hutan yang diusahakan oleh badan usaha dengan sesuatu alas hak, untuk kegiatan perburuan. 7. Pengusahaan kebun buru dan taman buru adalah suatu kegiatan untuk menyelenggarakan perburuan, penyediaan sarana dan prasarana berburu.

8. Areal buru adalah areal di luar taman buru dan kebun buru yang di dalamnya terdapat satwa buru yang dapat diselenggarakan perburuan. 9. Musim buru adalah waktu tertentu yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk dapat diselenggarakan kegiatan berburu. 10. Akta Buru adalah akta otentik yang menyatakan bahwa seseorang telah memiliki/menguasak kemampuan dan ketrampilan berburu satwa buru. 11. Surat Izin Berburu adalah surat yang diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang menyebut pemberian hak untuk berburu kepada orang yang namanya tercantum di dalamnya. 12. Hasil buruan adalah hasil yang diperoleh dari kegiatan berburu yang berwujud satwa buru baik hidup maupun mati atau bagian-bagiannya. 13. Izin pengusahaan taman buru adalah izin untuk mengusahakan kegiatan berburu serta sarana dan prasarananya di taman buru. 14. Izin usaha kebun buru adalah izin yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan berburu serta sarana dan prasarananya di kebun buru. 15. Pungutan akta buru adalah pungutan yang dikenakan kepada seseorang untuk memperoleh akta buru sebagai pengganti biaya-biaya administrasi. 16. Pungutan izin berburu adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin berburu sesuai dengan jumlah dan jenis satwa buru yang diizinkan untuk diburu. 17. Pungutan izin pengusahaan taman buru adalah pungutan yang dikenakan kepada calon pemegang izin pengusahaan taman buru. 18. Pungutan izin usaha kebun buru adalah pungutan yang dikenakan kepada calon pemegang izin usaha kebun buru. 19. Iuran hasil usaha perburuan adalah iuran yang dikenakan kepada pemegang izin pengusahaan taman buru atau pemegang izin usaha kebun buru yang dikenakan dari hasil usahanya sekali setiap tahun. 2. Tempat berburu di Indonesia dan aturan pengusahaannya Undang-Undang No.41/1999 tentang Kehutanan telah mengatur bahwa kawasan konservasi terdiri dari tiga bagian yaitu kawasan suaka alam (KSA),

kawasan pelestarian alam (KPA) dan taman buru (TB). Taman buru dalam hal ini memiliki fungsi khusus yaitu untuk memenuhi kebutuhan kegiatan berburu. Menurut PP No.13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru, Tepat berburu di Indonesia terdiri dari taman buru, areal buru dan kebun buru (Tabel 2). Tabel 2 Taman buru, kebun buru dan areal buru di Indonesia No Nama Lokasi 1 Taman Buru Lingga Isaq Aceh Tengah, Aceh 2 Taman Buru Pulau Rempang Kepulauan Riau, Riau 3 Taman Buru Pulau Pini Nias, Sumut 4 Taman Buru Gunung Nanu ua Bengkulu Utara 5 Taman Buru Semidang Bukit Kabu Bengkulu Utara 6 Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi Sumedang/Garut, Jabar 7 Taman Buru Landusa Tomata Sulawesi Tengah 8 Taman Buru Komara Takalar, Sulsel 9 Taman Buru Karakelang Utara dan Selatan Sangihe Talaud, Sulut 10 Taman Buru Padamarang Mata Osu Kolaka, Sulteng 11 Taman Buru Pulau Moyo Sumbawa, NTB 12 Taman Buru Dataran Bena Timor Tengah Selatan, NTT 13 Taman Buru Pulau Ndano Kupang, NTT 14 Taman Buru Pulau Rusa Alor, NTT 15 Cikidang Hunting Resort Sukabumi, Jabar Pengusahaan taman buru maupun kebun buru diatur dalam PP No.13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru bahwa pelaksanaannya memegang teguh asas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pengusahaan taman buru dan kebun buru ini meliputi usaha perburuan serta penyediaan sarana dan prasarana perburuan. Izin mengadakan pengusahaan perburuan diberikan oleh Menteri serta mendapat pertimbangan dari Menteri yang menangani urusan kepariwisataan dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1. Izin untuk melakukan pengusahaan taman buru dan kebun buru diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang. Pengawasan terhadap kegiatan berburu dilakukan oleh Menteri. Aturan mengenai usaha perburuan diatur lebih lanjut dengan Permenhut P.17/Menhut-II/2010 Permohonan Pemberian dan Pencabutan Izin Usaha Taman Buru. Dalam Permenhut tersebut dijelaskan mengenai tata cara permohonan izin, tata cara pemberian izin, hak dan kewajiban pengusaha, perpanjangan izin

pengusahaan, berakhirnya izin usaha, tata cara pencabutan izin usaha, dan pengenaan sanksi. 3. Satwa buru dan musim berburu Satwa buru menurut peraturan merupakan satwa liar yang tidak dilindungi dan atau satwa dilindungi yang ditentukan oleh menteri sebagai satwa buru dalam keadaan tertentu. Satwa buru terbagi menjadi tiga yaitu burung, satwa kecil dan satwa besar. Musim berburu ditetapkan dengan pertimbangan persyaratan mengenai keadaan populasi dan jenis satwa buru, musim kawin, musim berbiak/bertelur, perbandingan jantan betina dan umur satwa (PP No.13/1994) Menurut Permenhut No. P.19/2010 mengenai Penggolongan dan Tata Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru. Adapun tata cara penetapan jumlah satwa buru dilakukan dengan melakukan inventarisasi dan pemantauan, penetapan jenis satwa buru, dan penetapan jumlah satwa buru. Adapun jenis satwa liar yang ditetapkan sebagai satwa buru pada Tabel 3 (Permenhut P.70/2014). Tabel 3 Jenis satwa liar yang ditetapkan sebagai satwa buru

Permenhut No.P.69/2014 mengenai Penetapan Musim Berburu Satwa Buru menyebutkan bahwa penetapan musim berburu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan populasi dan jenis satwa buru, di luar musim kawin/breeding, di luar musim bertelur/beranak, di luar musim menyusui/membesarkan anak, perbandingan jantan betina dan umur satwa buru. 4. Alat, akta dan izin berburu Alat berburu dapat terdiri dari senjata api buru, senjata angina, alat berburu tradisional dan alat berburu lainnya yang disesuaikan dengan jenis satwa buru. Akta buru terdiri dari akta buru burung, akta buru satwa kecil dan akta buru satwa besar. Pemegang akta buru harus berusia minimal 18 tahun, telah lulus ujian memperoleh akta buru dan membayar pungutan akta buru, dimana didalam akta buru akan memuat identitas pemburu, masa berlaku dan golongan satwa buru. Surat izin berburu memuat nomor akta buru, identitas pemburu, jenis dan jumlah satwa buru yang akan diburu, alat perburuan, tempat berburu, masa berlaku izin berburu, ketentuan larangan berburu dan sanksi (PP No.13/1994). Mengenai akta buru diatur lebih rinci dalam Permenhut No. P.31 /2009 tentang Akta Buru dan Tata Cara Permohonan Akta Buru. Adapun tata cara permohonan akta buru terdiri dari pengajuan permohonan akta buru kepada kepala UPT KSDA setempat, mengumpulkan persyarata, dan rekomendasi kepolisian. Izin perburuan diatur lebih rinci dalam Permenhut No. P.18/2010 tentang Surat Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan Izin Berburu. Dimana tatacara pengajuan izin berburu diantaranya pemohon menajukan permohonan izin berburu kepada kepala UPT KSDA dan mengumpulkan persyaratan dokumen. 5. Hak dan kewajiban pemburu Pemburu yang telah memiliki izin berburu berhak untuk berburu di tempat yang ditetapkan dalam surat izin, serta memiliki dan membawa hasil buruannya. Selain itu pemburu memiliki kewajiban untuk memiliki izin berburu, menggunakan alat yang tercantum dalam izin berburu, melapor kepada pejabat dan kepolisian setempay saat dan setelah berburu, memanfaatkan hasil berburu,

didampingi oleh pemandu, berburu sesuai jenis dan jumlah berdasar izin dan memperhatikan keamanan masyarakat dan ketertiban (PP No.13/1994). Adapun hak pemegang izin buru dijelaskan kembali dalam Permenhut No. P.18/2010 tentang Surat Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan Izin Berburu, dimana pemegang izin berburu berhak untuk melakukan kegiatan berburu: a. Pada tempat berburu sesuai yang ditetapkan dalam surat izin berburu. b. Selama jangka waktu yang ditetapkan dalam surat izin berburu. c. Pada musim berburu yang telah ditetapkan. d. Dengan jenis dan jatah buru sesuai yang ditetapkan dalam surat izin berburu. e. Menggunakan alat berburu sesuai jenis satwa buru yang akan diburu. 6. Larangan dan sanksi dalam perburuan Perburuan tidak boleh dilakukan dengan cara menggunakan kendaraan bermotor atau pesawat terbang sebagai tempat berpijak, menggunakan bahan peledak dan/atau granat, menggunakan binatang pelacak, menggunakan bahan kimia, membakar tempat berburu, menggunakan alat lain untuk menarik atau menggiring satwa buru secara massal, menggunakan jerat/perangkap dan lubang perangkap, menggunakan senjata api yang bukan untuk berburu (PP No.13/1994). Adapun larangan pemegang izin buru dijelaskan kembali dalam Permenhut No. P.18/2010 tentang Surat Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan Izin Berburu. Dimana pemegang izin pemburu dilarang: a. Melakukan kegiatan berburu di luar tempat berburu yang telah ditetapkan dalam surat izin berburu. b. Melakukan kegiatan berburu melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat izin berburu. c. Melakukan kegiatan berburu di luar musim berburu yang telah ditetapkan. d. Melakukan kegiatan berburu tidak sesuai jenis dan melebihi jatah buru yang telah ditetapkan dalam surat izin berburu. e. Melakukan kegiatan berburu menggunakan alat berburu tidak sesuai dengan jenis satwa buru yang akan diburu. f. Memindah-tangankan izin berburu kepada orang lain.

Sanksi yang diberikan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan, dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin berburu dan tidak menutup kemungkinan dikenakan tuntutan pidana sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku 7. Pengawasan Pengawasan terhadap kegiatan perburuan satwa buru dilakukan oleh Menteri secara terkoordinasi dengan instansi Pemerintah yang terkait. Pengawasan pemburuan satwa buru bertujuan untuk mengendalikan kegiatan berburu agar Perburuan berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (PP No.13/1994). Adapun pengawasan pemegang izin buru berdasar Permenhut No. P.18/2010, dilakukan terhadap pelaksanaan kegiatan berburu sesuai yang ditetapkan dalam surat izin berburu, yang dilakukan oleh petugas UPT KSDA dan atau Kepala Kepolisian setempat dan atau Pemegang izin pengusaha taman buru/pemegang izin usaha kebun buru. 8. Kelembagaan yang mengatur perburuan Segala kegiatan perburuan diatur dalam peraturan dan kebijakan yang telah disebutkan sebutkan, dalam struktur kelembagaan yang terkait dengan perburuan diatur dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya (Ditjen KSDAE) yang disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Struktur organisasi DITJEN KSDAE

Ditjen KSDAE ini membawahi beberapa Direktorat yang mengatur perburuan yaitu, Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (Gambar 2), Direktorat Kawasan Konservasi (Gambar 3), dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (Gambar 4). Gambar 2 Struktur organisasi direktorat pemolaan dan informasi konservasi alam

Gambar 3 Struktur organisasi direktorat kawasan konservasi Gambar 4 Struktur organisasi direktorat pemanfaatan jasa lingkungan hutan konservasi Kelembagaan yang mengatur tentang perburuan diadakan untuk mengatur, membatasi, dan mengendalikan segala bentuk perburuan agar tujuan perburuan tetap kearah kelestarian spesies Indonesia. C. HAL-HAL YANG BELUM DIATUR DAN KEKURANGAN DALAM PERATURAN PERUNDANGAN 1. Peraturan mengenai pemanfaatan satwa atau perburuan secara tradisional oleh masyarakat sekitar hutan belum diatur dalam peraturan. Hal ini sangat penting karena masyarakat sekitar kawasan merupakan masyarakat asli yang banyak berinteraksi dan memanfaatkan potensi alam untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Dalam peraturan hanya sedikit satwa yang dapat diburu, padahal potensi satwa lain seperti kupu-kupu ataupun tumbuhan (jamur, anggrek dan lain sebagainya) yang belum diatur. Perlunya kajian mendalam mengenai potensi satwa/tumbuhan dari masing-masing lokasi buru yang dapat dibutu

3. Belum adanya penentuan kuota untuk setiap jenis satwa/tumbuhan yang dapat diburu oleh masyarakat. Kuota ini diharapkan merupakan kuota lokal dari masing masing lokasi berburu bukan merupakan kuota nasional. 4. Telah dijelaskan diatas mengenai keorganisasian dalam perburuan, bahwa keorganisasian perburuan di Indonesia masih rumit, dibuktikan dengan tersebarnya pengurusan perburuan yang berada pada 3 Direktorat. Hal ini menyebabkan dalam pengurusan kegiatan perburuan menyulitkan pemburu sehingga kegiatan berburu menjadi sedikit. Seharusnya pemerintah menyatukan urusan perburuan kedalam satu direktorat sehingga pengurusan perizinan dan lain sebagainya menjadi terfokus dan mudah. 5. Belum adanya alokasi pendanaan yang khusus ditujukan untuk meningkatkan kegiatan perburuan di Indonesia. Di Afrika sektor perburuan telah menjadi sektor utama penghasil devisa negara, hal ini dibuktikan dengan keseriusan pemerintah setempat dalam mengelola kegiatan perburuan ini. Sehingga seharunya hal ini diadaptasi oleh Indonesia supaya meningkatkan kegiatan perburuan dengan memberikan dana dalam pembangunannya. KESIMPULAN Kebijakan, perundangan, dan kelembagaan yang mengatur perburuan di Indonesia menunjukkan bahwa segala bentuk perburuan dimana pun dan dilakukan oleh siapa pun diharuskan melalui beberapa persyaratan, tahapan, dan ketentuan sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, Kegiatan perburuan tidak dapat dilakukan secara besar-besaran dan dilakukan secara terus menerus. Masih banyak kekurangan yang belum diatur dalam peraturan perundangundangan perburuan di Indonesia, sehingga diperlukan kajian lebih mendalam dan fokus dalam peningkatan pembangunan kegiatan perburuan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA [USAID] United States Agency for International Development. 2015. Perdagangan Satwa Liar, Kejahatan Terhadap Satwa Liar dan Perlindungan Spesies di Indonesia: Konteks Kebijakan dan Hukum Change for Justice Project. Jakarta (ID): USAID.

Gazalba, Sidi. 1996. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta (ID): Bharata Karya Aksara Masigit Kareumbi. 2015. Hukum, Aturan dan Perundangan Terkait Taman Buru dan Perburuan [Diakses 11-09-2016]. Tersedia pada https://kareumbi.wordpress.com/download/hukum aturan dan perundanganterkait taman buru/. Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta(ID): Sekretariat Negara Thohari AM, Masyud B, Takanjanji M. 2011. Teknik Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) untuk Stok Perburuan. Bogor (ID): Seminar Sehari Prospek Penangkaran Rusa Timor Sebagai Stok Perburuan, Fakultas Kehutanan IPB.