BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau usia. Berdasarkan data terbaru dan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas, 2013), stroke merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Kini jumlah penderita stroke di Indonesia terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia dan keempat didunia, setelah India, Cina, dan Amerika. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur. Terjadi peningkatan prevalensi stroke berdasarkan wawancara (berdasarkan jawaban responden yang pernah didiagnosis nakes dan gejala) juga meningkat dari 8,3 per1000 pada tahun 2007 menjadi 12,1 per1000 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tandatanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler (Israr, 2008). 1
2 Kejadian stroke pada fibrilasi atrium adalah 4,5% per tahun. Dengan kematian atau disabilitas permanen lebih dari setengah. Risiko stroke bervariasi mulai dari 20% pertahun, dihubungkan dengan risiko penyakit gagal jantung, hipertensi, usia, diabetes dan stroke sebelumnya dan TIA (Transient Ischemic Attack). Fibrilasi atrium dikaitkan erat dengan peningkatan risiko stroke iskemik dimana risiko stroke juga berhubungan erat dengan risiko pendarahan. (Shahpouri et al, 2012) Fibrilasi atrium meningkatkan risiko stroke 5 kali lipat sehingga terapi antikoagulan dapat mengurangi risiko stroke dan semua penyebab mortalitas dari stroke. Pedoman klinis merekomendasikan langkah trombofilaksis pada pasien fibrilasi atrium kecuali mereka yang berada pada risiko rendah dimana merupakan pasien dengan usia <65 tahun dan menderita fibrilasi atrium. Risiko stroke di antara pasien dengan fibrilasi atrium adalah heterogen dan tergantung pada keberadaan berbagai faktor (Ogilvie et al, 2010). Dampak serangan stroke yang disebabkan oleh fibrilasi atrium lebih parah, jika dibandingkan dengan stroke yang tidak disebabkan oleh fibrilasi atrium. Telah terbukti bahwa fibrilasi atrium dapat meningkatkan risiko kelumpuhan setelah serangan stroke sebesar 50%. Hilangnya kemampuan melakukan aktivitas normal sehari-hari, kesulitan menelan, dan kerusakan fungsi otak telah terbukti lebih parah terjadi pada mereka yang memiliki riwayat fibrilasi atrium dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki riwayat fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium juga dikaitkan dengan peningkatan periode rawat
3 inap sebesar 20% dan peningkatan periode rawat jalan sebesar 40%. Pada penderita fibrilasi atrium yang tidak terdiagnosa sebelumnya menjadi kemungkinan penyebab stroke yang tidak diketahui sebabnya (sering juga disebut stroke kriptogenik ), dan stroke bisa jadi merupakan manifestasi awal fibrilasi atrium (Syed et al, 2014). Pada praktek sehari-hari identifikasi yang lebih penting adalah pada pasien fibrilasi atrium yang berisiko rendah akan terkena stroke untuk menghindarkan risiko akibat dari pemberian antitrombotik. Terapi antitrombotik tidak direkomendasikan pada pasien fibrilasi atrium yang berusia <65 tahun dan menderita lone atrial fibrillation dimana tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia dibawah 60 tahun (Singer, 2008). Keputusan dalam pemberian trombofilaksis harus seimbang dengan risiko perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat fatal atau menyebabkan disabilitas. Evaluasi risiko perdarahan pada pasien fibrilasi atrium harus dilakukan, skor HAS BLED tidak digunakan untuk melakukan eksklusi pada penggunaan antikoagulan tetapi sebagai panduan sistematis dalam menafsir risiko perdarahan dan memikirkan faktor-faktor risiko yang dapat dikorelasi seperti tekanan darah yang belum terkontrol dan penggunaan aspirin atau NSAIDS (Singer, 2008). Risiko stroke pada pasien fibrilasi atrium sebesar 15% pertahun, yaitu 1.5% pada kelompok usia 50-59 tahun dan 23.5% pada kelompok usia 80-89.
4 Indeks CHA2DS2-VASc dan skor HAS-BLED berguna untuk memprediksi risiko stroke dan perdarahan. Skor CHADS2 merupakan skor terdahulu sebelum skor CHA2DS2-VASc ditemukan. Skor CHADS2 menggambarkan banyak faktor risiko stroke yang umum, Bahkan pasien tergolong berisiko rendah, dalam penelitian validasi aslinya didapatkan tingkat stroke 1,9% pertahun. (Keogh et al, 2011). Fibrilasi atrium biasanya sangat umum, sering tanpa gejala,yang akan menjadi stroke yang paling banyak menyebabkan kematian. Penggabungan skor seperti CHA2DS2-VASc dan HAS-BLED sangat bermanfaat dalam keputusan pemberian antitrombotik serta membantu untuk menginformasikan pilihan agen antitrombotik dan strategi manajemen pada pasien fibrilasi atrium dan stroke. Penilaian mengenai pasien yang berisiko mengalami stroke dan risiko perdarahan akan bergantung pada keputusan pemberian antitrombotik tepat ( You et al, 2012). 1.1. PERUMUSAN MASALAH Apakah skor CHA2DS2-VASc dan skor HAS BLED mempengaruhi penggunaan antitrombotik pada pasien stroke iskemik dengan fibrilasi atrium?
5 1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan umum Penelitian bertujuan untuk mengetahui penggunaan antitrombotik berdasarkan pada skor CHA2DS2-VASc dan skor HAS BLED terhadap pola pengobatan pada pasien stroke dengan fibrilasi atrium 1.3.2. Tujuan khusus 1.4 MANFAAT PENELITIAN i. Melihat skor CHA2DS2-VASc dan skor HAS BLED pada pemilihan antitrombotik pada pasien stroke iskemik dan fibrilasi atrium. ii. Mengevaluasi penggunaan obat antitrombotik pada pasien stroke iskemik dengan fibrilasi atrium. 1.3.3. Manfaat bagi pasien/keluarga pasien i. Memberikan pemahaman mengenai penggunaan antitrombotik pada pasien stroke iskemik dengan fibrilasi ii. atrium. Memberikan pemahaman mengenai skor CHA2DS2-VASc dan skor HAS BLED sebagai beberapa faktor risiko stroke dan perdarahan. 1.3.4. Manfaat bagi institusi pendidikan Memberikan manfaat dalam ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dengan menambah sumber penelitian yang ada.
6 1.3.5. Manfaat bagi pelayanan pasien Penelitian diharapkan memberi manfaat bagi pasien-pasien stroke iskemik dengan fibrilasi atrium, pada pelayanan RS yang lebih terorganisasi pada pasien stroke iskemik dengan fibrilasi atrium yang akan mengurangi risiko terjadinya stroke iskemik. 1.3.6. Manfaat bagi IPTEKDOK penelitian ini diharapkan memberi kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. 1.5.KEASLIAN PENELITIAN Beberapa penelitian sebelumnya telah menguji efektivitas skor CHA2DS2-VASc dan skor HAS BLED terhadap risiko stroke dan perdarahan. Peneliti melakukan kajian sistematis terhadap berbagai penelitian. Kajian sistematis tersebut ditampilkan dalam bentuk tabulasi pada tabel 1. sbb: Tabel 1. Hasil penelitian terdahulu tentang pola pengobatan pada fibrilasi atrium dan Stroke dengan menggunakan skor CHA2DS2-VASc dan skor HAS BLED. Penelitian Metode dan Subyek Pisters, R., Analisis Deirdre, A., multivariat, Lane., Robby, prospektif Nieuwlaat., et Sebanyak 3978 al (2001) pasien fibrilasi atrium Cara ukur Analisis menggunakan MRS Hasil Pasien menerima agen antiplatelet saja CI 0,91 terapi antitrombotik saja CI 0,85.
7 Olesen, J.B., Torp- Pedersen, C., Hansen, M.L., et al (2012) Coppens, M., John, W., Eikelboom., et al (2013) Roldan V., Marin F., Fernandez,. et al (2013) Kohort retrospektif Sebanyak 47.576 pasien Kohort prospektif Sebanyak 4670 pasien dengan masuk kriteria CHADS2 VASC Kohort prospektif Menggunakan individuallevel-linkage denmark Analisis menggunakan NIHSS Peninjauan ulang pada pasien yang telah diberikan obat (15,8%) nilai CHA2DS2VASC = 0, (21,2%) nilai CHA2DS2- VASC skor = 1, (30,1%) nilai CHA2DS2- VASC Rata = 2, (29,8%) nilai CHA2DS2- VASC skor = 3, (3,1%) nilai CHA2DS2- VASC skor = 4 2,1% (95% CI: 1,8-2,5) untuk pasien dengan skor CHA2DS2-VASC dari 1 dan 2, masing-masing. 114 pasien (3,0% pertahun) mengalami perdarahan mayor, 0,8% mengalami perdarahan intrakranial. Pada score CHADS2 VASC (95% confidence interval [CI]:1.14 to 1.52; p < 0.001) and an HR: 1.22 (95% CI: 1.09 to1.37; p ¼ 0.001) pada score HAS BLED (95% CI: 1.66 to 2.28; p < 0.001) Hasil kajian diatas menunjukkan beberapa perbedaan penelitian antara penelitian-penelitian terdahulu dengan penulis yakni terletak pada inklusi variabel bebas yang terdapat pada penelitian, dalam hal ini adalah skor CHA2DS2-VASc dan skor HES BLED. Pada penelitian yang terdahulu lebih mengarah kejenis terapi yang diteliti berupa penggunaan antikoagulan, antirombotik serta validasi mengenai skor CHA2DS2-VASc dan skor HAS BLED pada penilaian risiko stroke dan perdarahan. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan penulis yang diteliti secara
8 spesifik yaitu evaluasi penggunaan antitrombotik pada pasien stroke iskemik dengan fibrilasi atrium yang didasarkan pada penggunaan skor CHA2DS2-VASc dan skor HAS BLED, yang nantinya akan dikelompokkan berdasarkan pada pasien yang memiliki skor CHA2DS2- VASc 2 dan skor CHA2DS2-VASc 2, Metode yang digunakan penulis adalah deskriptif dimana mengambil studi potong lintang yang datanya diambil dari Stroke Registry di RS Bethesda Yogyakarta.