PENDUGAAN POTENSI KARBON DAN LIMBAH PEMANENAN PADA TEGAKAN ACACIA MANGIUM

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan bahan 3.3 Pengumpulan Data

III. METODOLOGI PE ELITIA

BAB III METODE PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

POTENSI SIMPANAN KARBON PADA HUTAN TANAMAN MANGIUM (Acacia mangium WILLD.) DI KPH CIANJUR PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB III METODOLOGI. Peta lokasi pengambilan sampel biomassa jenis nyirih di hutan mangrove Batu Ampar, Kalimantan Barat.

LAMPIRAN. Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian di Lapangan dan Laboratorium

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan pasokan energi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Energi dan

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

BAB III METODE PENELITIAN

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Eucalyptus grandis mempunyai sistematika sebagai berikut: : Eucalyptus grandis W. Hill ex Maiden

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Oktober November 2014 di Desa Buana Sakti, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Timur.

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

METODOLOGI PENELlTlAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

MODEL PERSAMAAN ALOMETRIK MASSA KARBON AKAR DAN ROOT TO SHOOT RATIO

I. PENDAHULUAN. pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

III. BAHAN DAN METODE

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

Transkripsi:

PENDUGAAN POTENSI KARBON DAN LIMBAH PEMANENAN PADA TEGAKAN ACACIA MANGIUM WILLD (Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten) Oleh : FADHLI E24102088 DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PENDUGAAN POTENSI KARBON DAN LIMBAH PEMANENAN PADA TEGAKAN ACACIA MANGIUM WILLD (STUDI KASUS DI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR, PT. PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN) Fadhli Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Potensi Karbon Dan Limbah Pemanenan Pada Tegakan Acacia mangium (Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten) adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Desember 2009 Fadhli NRP E24102088

Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP Program Studi Sub Program Studi : Pendugaan Potensi Karbon Dan Limbah Pemanenan Pada Tegakan Acacia Mangium (Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten) : Fadhli : E24102088 : Teknologi Hasil Hutan : Pemanenan Hasil Hutan Menyetujui, Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Elias NIP : 19560902198103 1 003 Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP : 19611126198601 1 001 Tanggal lulus : 16 Desember 2009

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 April 1985 sebagai anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan bapak Masril ad murad dan ibu Walnema rivai. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis dimulai dari SD Negeri Kenari 02 Petang Jakarta yang diselesaikan pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SLTP Negeri 18 Jakarta dan diselesaikan pada tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke SMU Negeri 24 Jakarta dan lulus pada tahun 2002, kemudian penulis diterima di Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Teknologi Hasil Hutan melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dan pada tahun 2005 penulis memilih sub program studi Teknologi Pemanenan Hasil Hutan. Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Dan Pengelolaan Hutan (P3H) yang dilaksanakan di KPH Indramayu, Jawa Barat dari bulan Juli sampai Agustus 2005. Pada bulan Februari sampai Maret 2007 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Purwasari,Bogor. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pendugaan Potensi Karbon dan Limbah Pemanennan Pada Tegakan Acacia Mangium Willd Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dibawah bimbingan Prof.Dr.Ir. Elias.

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah serta karunia-nya sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kedua orangtuaku,ibu dan Almarhum bapak yang telah mencurahkan segala kasih sayang, doa, dorongan, semangat dan pengorbanan baik moral maupun materi serta kakakku ( Yulfianti, Rika Sesmi, Satri Dova dan Dede). 2. Prof. Dr. Ir. Elias selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, pengetahuan dan nasehat yang begitu berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr.Ir.Elis Nina Herlina, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen Silvikultur dan Dr.Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.ScF sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 4. Segenap pimpinan staf BKPH Parungpanjang KPH Bogor, khususnya Bapak Sukidi S.Hut, Bapak Dede Mulyana S.Hut atas kesempatan bagi penulis untuk melaksanakan penelitian. 5. Bpk Hasanudin dan Bpk Yaya di lab. Pemanenan hutan untuk arahan dan nasehatnya. 6. Bpk Supriatin di Lab. Kimia Hasil Hutan dan Ibu Esti di Lab. Peningkatan Mutu Hasil Hutan atas bimbingan dan arahannya selama melakukan pengujian di laboratorium. 7. Staf dan pegawai Departemen Hasil Hutan yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan urusan administrasi selama perkuliahan. 8. Teman-teman seperjuangan (Eko, rico, Gita, Jarot, Saiful dan Hamdan),rekan rekan fahutan THH 39 dan adik-adik kelas (bim2, bolang, ajo, karjo, lemenk dan edy), serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik selaku penulis harapkan untuk perbaikan dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor, Desember 2009 Penulis

i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Hutan Indonesia dan Potensi Simpanan Karbonnya... 3 2.2 Hutan Acacia mangium... 3 2.3 Pemanenan Kayu... 4 2.4 Limbah... 6 2.5 Biomassa... 7 2.6 Kerapatan Kayu... 10 2.7 Karbon... 10 2.8 Kadar Abu... 11 2.9 Kadar Zat Terbang... 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat... 13 3.2 Alat dan Bahan... 13 3.3 Pengumpulan Data... 13 3.4 Metode Pengumpulan Data... 14 3.5 Pengolahan Data... 14 1 Potensi Volume... 14 2 Volume Limbah Pemanenan Kayu... 15 3 Kerapatan Kayu... 15 4 Perhitungan Biomasa Dengan Pendekatan Volume... 15 5 Perhitungan Kadar Air... 15 6 Menghitung Berat Kering... 16 7 Penentuan Kadar Zat Terbang... 17 8 Penentuan Kadar Abu... 17 9 Penentuan Kadar Karbon... 17 10 Analisis Data... 18 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Keadaan Umum... 20 4.2 Potensi Sumber Daya Hutan... 20 4.3 Sosial Ekonomi... 21

ii V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air... 23 5.2 Kerapatan kayu... 24 5.3 Kadar Zat Terbang... 25 5.4 Kadar Abu... 26 5.5 Kadar Karbon... 27 5.6 Uji t-student Kadar Karbon... 28 5.7 Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Hubungan Dengan Diameter dan Tinggi Pohon... 29 5.8 Model Pendugaan Karbon Berdasarkan Hubungan Dengan Diameter dan Tinggi Pohon... 30 5. 9 Potensi Karbon... 32 5. 9.1 Potensi Volume... 32 5. 9.2 Potensi Karbon... 32 5.9.3 Potensi Volume Limbah... 33 5.9.4 Potensi Karbon Dalam Limbah... 35 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 37 6.2 Saran... 37 DAFTAR PUSTAKA... 38 LAMPIRAN... 40

iii DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Persamaan Allometrik Penduga Biomasa... 8 2. Kelas hutan berdasarkan RPKH jangka waktu 2005-2010... 21 3. Kadar Air (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian pohon... 23 4. Nilai Kerapatan (gr/cm 3 ) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian pohon... 25 5. Kadar Zat Terbang (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon... 26 6. Kadar Zat Abu (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon... 27 7. Kadar Karbon (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon... 28 8. Hasil Uji t-student Kadar Karbon pada Berbagai Berbagai Bagian Pohon... 29 9. Hasil Uji t-student Kadar Karbon Bagian Menurut Kelas Diameter... 29 10. Model Pendugaan Hubungan Biomassa Pohon Acacia mangium Dengan Diameter Dan Tinggi Pohon... 30 11. Model Pendugaan Hubungan Karbon Pohon Acacia mangium Dengan Diameter dan Tinggi Pohon... 31 12. Potensi Volume Sebelum Pemanenan... 33 13. Potensi Kg C/Ha Tegakan Acacia mangium Sebelum Pemanenan Berdasarkan Persamaan Pendugaan Karbon Per Pohon.... 33 14. Volume (m³)/ha Limbah Berdasarkan Sumber Dan Asalnya Tegakan Acacia mangium... 34 15. Persentase Volume Limbah (%)/Ha Terhadap Volume Sebelum Pemanenan..... 35 16. Persentase dan Volume Limbah Pemanenan Kayu Di Petak Tebang Acacia mangium... 36 17. Potensi Karbon (kg C/Ha) Dalam Limbah Terhadap Jumlah Karbon Dengan Persamaan Terbaik Pada Tegakan Acacia mangium... 37

iv DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Petak Lokasi Penelitian... 51

v DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Hasil Pengukuran Kadar Air Berbagai Bagian Pohon Acacia mangium..... 40 2 Hasil Pengukuran Kerapatan Batang Acacia mangium.... 41 3 Hasil Pengukuran Kerapatan Cabang Beraturan Acacia mangium... 41 4 Hasil Pengukuran Kerapatan Tunggak Acacia mangium... 42 5 Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Batang Acacia mangium.... 42 6. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Cabang Tidak Beraturan Acacia mangium... 43 7. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Cabang Beraturan Acacia mangium... 43 8. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Tungggak Acacia mangium... 44 9. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Ranting Acacia mangium...44 10. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Daun Acacia mangium... 45 11. Potensi Volume Sebelum Penebangan Berdasarkan Petak Ukur... 46 12. Potensi Volume Limbah Batang Berdasarkan Petak Ukur.... 47 13. Potensi Volume Limbah Tunggak Berdasarkan Petak Ukur.... 48 14. Potensi Volume Limbah Cabang Tidak Beraturan Berdasarkan Petak Ukur.... 49 15. Potensi Volume Limbah Cabang Beraturan Berdasarkan Petak Ukur... 49 16. Potensi Karbon Berdasarkan Jenis Limbah Terhadap Jumlah Karbon Berdasarkan Persamaan Terbaik.... 50 17. Potensi Karbon Dalam Limbah Berdasarkan Persamaan Terbaik... 50

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai suatu ekosistem, hutan memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Saat ini, fungsi tersebut menjadi semakin penting tatkala dunia dihadapkan pada masalah perubahan iklim global (global climate change). Seperti dikemukan Murray et al (2000), ekosistem hutan dapat berfungsi sebagai penyerap gasgas rumah kaca dengan cara mentransformasi karbondioksida (CO2) dari udara menjadi simpanan karbon (C) yang tersimpan dalam komponen-komponen ekosistem hutan seperti pohon, tumbuhan bawah dan tanah. Isu tentang emisi karbon (carbon emission) yang semakin mengemuka membuat para pengelola hutan harus lebih bijaksana didalam mengelola hutan. Salah satu sumberdaya hutan yang dapat diandalkan sebagai sumber penyerap karbon adalah hutan tanaman mangium (Acacia mangium Willd), karena jenis ini merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing spesies), memiliki daur pendek (6-8 tahun) dan banyak ditanam sebagai tanaman pokok di beberapa wilayah Perum Perhutani di pulau Jawa dan sebagai hutan tanaman indutri (HTI) di luar Pulau Jawa. Pengelolaan sumber daya hutan yang tidak lestari, perubahan penutupan lahan dan penggunaan lahan, laju deforestasi yang tinggi, praktek-praktek pembalakan tidak terkendali, dan kebakaran hutan, telah banyak mengakibatkan penurunan biomassa di hutan secara terus-menerus. Biomassa yang keluar dari hutan sering tidak seimbang dengan penambahan biomassa hutan di dalam hutan. Biomassa hutan memiliki kandungan karbon yang cukup potensial yaitu hampir 50 % dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon. Kesuburan tanah dan unsur hara yang semakin menurun akibat eksploitasi biomassa yang berlebihan didalam kegiatan pemanenan hutan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem hutan. Kegiatan pemanenan yang kurang efektif dan efisien serta tanpa memperhatikan kelestarian hutan akan mengakibatkan limbah eksploitasi Di Indonesia sampai saat ini penggunaan kayu dapat dikatakan masih kurang efisien karena volume produksi atau jumlah kayu yang dimanfaatkan pada umumnya masih rendah jika dibandingkan dengan volume kayu yang di tebang. Tidak sedikit kayu-

2 kayu yang ditebang ditinggalkan di dalam hutan sebagai limbah akibat pemanenan kayu dalam berbagai bentuk dan ukuran. Keadaan ini cukup memprihatinkan, karena di satu pihak kebutuhan kayu terus meningkat dan dilain pihak terjadi pemborosan kayu yang cukup besar. Dari semua kegiatan yang terdapat dalam pemanenan hutan, kegiatan penebangan merupakan kegiatan yang paling banyak menghasilkan limbah. Menurut Rishadi (2004), besarnya persentase limbah pemanenan kayu di HTI Pulp adalah sebesar 3,87% dari total potensi kayu yang dipanen, terdiri dari kegiatan penebangan sebesar 2,54%, penyaradan sebesar 0,30%, limbah tempat penimbunan kayu (TPn) sebesar 0,89% dan limbah pada kegiatan pengangkutan sebesar 0,14%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2004) diketahui bahwa limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan di PT. INHUTANI II, Sub-Unit HTI kayu pulp Semaras untuk jenis Acacia mangium adalah sebesar 23,268 %. Limbah ini terdiri atas limbah tunggak, limbah cabang dan ranting, limbah batang atas, limbah potongan pendek. Limbah ini tidak dimanfaatkan kembali tetapi dibiarkan di lokasi penebangan kayu. Limbah ini tidak dikeluarkan oleh perusahaan yang mengelola hutan dengan alasan memerlukan biaya yang cukup tinggi. Berdasarkan informasi tersebut di muka, perlu dilakukan penelitian tentang potensi volume pemanenan, volume limbah dan potensi karbon agar dapat diketahui potensi limbah kayu dan potensi kandungan karbon hutan tanaman Acacia mangium. I.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kadar karbon dalam biomassa pohon pada tegakan Acacia mangium. 2. Untuk mengetahui besar potensi volume limbah pemanenan kayu pada tegakan Acacia mangium. 3. Untuk mengetahui potensi karbon pada tegakan Acacia mangium dan dalam limbah pemanenan kayu

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Hutan Indonesia dan Potensi Simpanan Karbonnya Saat ini, kondisi hutan alam tropis di Indonesia sangat mengkhawatirkan yang disebabkan oleh adanya laju kerusakan yang tinggi. Pada kurun waktu 1980-1990 laju kerusakan hutan mencapai 1,7 hektar per tahun yang kemudian meningkat menjadi 2 hektar pertahun setelah tahun 1996 (FWI/GFW,2002). Hal ini membawa konsekuensi akan perlunya upaya rehabilitasi hutan. Selain itu, diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan hutan yang tidak hanya berorientasi pada kayu sebagai produk utama, melainkan juga pada produk-produk non kayu seperti potensi simpanan karbon. Seperti yang dikemukan Suhendang (2002), sumberdaya hutan di Indonesia memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati (biodiversity) dan potensi penyerapan karbon. Menurut Suhendang (2002) memperkirakan bahwa hutan Indonesia yang luasnya sekitar 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sekitar 15,05 milyar ton karbon. Besarnya potensi hutan sebagai penyerap dan penyimpanan karbon tersebut, memberikan peluang besar kepada Indonesia untuk terlibat dalam mekanisme perdagangan karbon yang digagas dunia Internasional sejak disetujuinya Protokol Kyoto pada tahun 1997. 2.2 Hutan Acacia mangium Acacia mangium ditemukan pertama kali oleh Rumphius pada tahun 1653 sewaktu mempelajari tumbuh-tumbuhan di kepulauan Maluku. Hasilnya baru duplikasikan pada tahun 1750 (Adisubroto et.al 1985). Acacia mangium merupakan salah satu famili Leguminosae yang sebagian perawakannya berupa pohon atau perdu. Pohon Acacia mangium bisa mencapai tinggi 30 m dan diameter 90 cm dengan batang bebas cabang antara 0-15 m (Departemen Kehutanan 1992). Acacia mangium memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66), dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III.(Mandang dan Pandit 2002). Acacia mangium dikenal sebagai tanaman tropis basah yang cepat tumbuh serta penting bagi pembangunan HTI. Tiga hal yang melatarbelakangi tegakan Acacia mangium ini menjadi jenis tanaman untuk HTI yaitu jenis ini menjadi jenis tanaman yang

4 terpilih untuk dikembangkan, mempunyai kemampuan tumbuh cepat pada lahan yang tersedia dan manfaat yang diberikan jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang menguntungkan. Sebagai salah satu jenis yang terpilih untuk dikembangkan dalam kegiatan reboisasi dan pembangunan HTI, keberhasilan tegakan ini untuk dapat tumbuh baik di lapangan sangat ditentukan oleh mutu bibit yang dihasilkan dari persemaian. Oleh karena itu pengelolaan persemaian sekaligus pencegahan hama dan penyakit haruslah sangat diperhatikan. Hal ini disebabkan semakin meluas hutan tanaman Acacia mangium yang cenderung bersifat monokultur dapat berisiko tinggi terserang penyakit. Jenis tegakan Acacia mangium ini mudah terserang rayap, penyakit dumping-off dan penyakit embun tepung (Downy mildew) (Departemen Kehutanan 2001). 2.3 Pemanenan Kayu Pemanenan kayu dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lain, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat ( Suparto 1979). Conway (1982) menjelaskan bahwa pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan kayu. Kegiatan pemanenan kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu: 1. Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon serta memotong kayu sesuai dengan ukuran batang untuk disarad. 2. Penyaradan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari tempat penebangan ketepi jalan angkutan. 3. Pengangkutan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari hutan ketempat penimbunan atau pengolahan kayu. 4. Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum digunakan atau dipasarkan, dalam keadaan ini termasuk pemotongan ujung-ujung kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.

5 Menurut Elias (2002), sistem pemanenan kayu dapat dikelompokkan : a. Berdasarkan energi yang dipakai : - sistem manual - sistem semi mekanis - sistem mekanis b. Berdasarkan peralatan yang dipakai : - sistem traktor - sistem kabel - sistem aerial (balon dan helikopter) - sistem gravitasi - sistem penarikan dan pemikulan kayu oleh manusia - sistem penarikan dengan tenaga hewan c. Berdasarkan bentuk dan ukuran kayu yang dihasilkan : - Full tree system - Tree length system - Long wood system - Short wood system - Pulp wood system - Chips wood system - Cut to length system d. Berdasarkan sistem silvikultur yang dipakai : - Sistem Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI) - Sistem Tebang Pilih Tanaman Jalur (TPTJ) - Sistem Tebang Habis Pemudaan Alam (THPA) - Sistem Tebang Habis Pemudaan Buatan (THPB) e. Berdasarkan mobilitas peralatan pemanenan. Sistem pemanenan hasil hutan ditinjau dari derajat mekanisasi dibagi tiga macam : 1. Sistem manual Sejak dari proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pemotongan batangbatang pohon menjadi ukuran tertentu, penyaradan hasil penebangan ke TPn serta pemuatan ke atas truk dilakukan dengan tenaga otot.

6 2. Sistem semi-mekanis Dalam sistem ini proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara semi mekanis. 3. Sistem mekanis penuh Sistem mekanis penuh berarti sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar seperti HTI, dimana target produksi pemanenan kayu sebagai pemasok bahan baku setiap industri pulp and paper dapat mencapai jutaan meter kubik pertahunnya. Dalam merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu di HTI selain aspek teknis, sosialekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan terutama aspek penciptaan lapangan kerja baru (Elias 2002). 2.4 Limbah Menurut Massijaya (1998), limbah kayu dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasi terjadinya limbah, limbah pemanenan kayu yang berada di hutan dan limbah pengolahan kayu yang berada di lokasi industri pengolahan kayu. Limbah pemanenan kayu merupakan massa kayu yang tidak dimanfaatkan sebagai akibat dari kegiatan pemanenan di hutan alam, dapat berupa jenis jenis kayu non komersil/ tidak termasuk kayu mewah, kayu dekoratif dengan penggunaan tertentu, kayu bulat dengan diameter kurang dari 30 cm tanpa batasan panjang, dan kayu bulat dengan panjang kurang dari 2 meter tanpa batasan diameter. Meulenhoff (1972) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan limbah eksploitasi adalah sisa primer yang ditinggalkan dalam hutan sebagai akibat kegiatan eksploitasi. Limbah ini bisa terdiri dari: a. Tunggak tunggak yang berbanir atau tidak berbanir. b. Ujung pohon atau bagian pohon di atas batang bebas cabang termasuk cabang atau ranting. c. Sisa batang bebas cabang setelah dipotong-potong dengan panjang tertentu.

7 d. Kayu bulat yang tidak memenuhi syarat pengujian kayu karena cacat, bengkok, dan pecah. e. Pohon-pohon belum dikenal atau belum ada pemasarannya (non komersil). f. Pohon-pohon lain yang rusak akibat kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan ini meninggalkan banyak limbah yang meliputi limbah tunggak, limbah cabang dan ranting, limbah batang atas, limbah potongan pendek. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2004) diketahui bahwa limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan adalah sebesar 23,268%. Jika ditinjau dari asal limbah maka untuk limbah cabang dan ranting merupakan asal limbah yang paling besar (13,115%) sedangkan asal limbah paling kecil adalah potongan pendek (1,493%). Menurut Darusman (1989), telah banyak ditelaah hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya limbah. Beberapa pakar eksploitasi mengemukakan bahwa limbah kayu di areal penebangan terutama terjadi karena cara pengerjaan yang kurang memperhatikan efisiensi, desain peralatan yang tidak sesuai, organisasi kerja yang kurang baik dan permintaan jenis produk yang kurang menguntungkan. Disamping itu ada faktor-faktor alami yang dipersalahkan sebagai penyebab timbulnya limbah kayu di areal penebangan, yakni topografi berat, musim hujan dan lain-lain. 2.5 Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa pohon sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang dan batang utama yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Selain itu jumlah dari biomassa pohon merupakan selisih antara hasil fotosintensis dengan konsumsi untuk respirasi dan proses pemanenan. Penentuan biomassa dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besarnya biomassa yang terkandung dalam petak tebangan dan dalam limbah pemanenan. Hampir 50% dari biomassa dari vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat di lepas ke atmosfer dalam bentuk karbondioksida (CO 2 ) apabila hutan tersebut dibakar. Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Biomassa di atas tanah adalah berat bahan unsur organik per unit area pada

8 waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan hutan dan distribusi organik. Pendugaan biomassa vegetasi dapat menyediakan informasi tentang simpanan karbon dan nutrisi di dalam vegetasi. Model persamaan allometrik penduga biomassa tegakan telah dikembangkan oleh Brown (1997) dalam berbagai jenis hutan yang dikelompokkan berdasarkan curah hujan (Tabel 1). Persamaan yang dikembangkan menggunakan parameter diameter yang diukur setinggi dada orang normal atau dbh (1,3 m) dan tinggi total. Penyusunan model allometrik biomassa tegakan juga telah dilakukan Ogawa et al (1965) yang menghasilkan persamaan: Ws = 0,0396 ( D²H) 0, 6326 yang berlaku untuk Ws = biomassa batang, D = diameter dan H = tinggi Tabel 1. Persamaan allometrik penduga biomassa tegakan Tempat tumbuh Range Jumlah No Curah Hujan Persamaan DBH sampel (mm/th) (cm) pohon Kering 1 Y = 0,1329D² ³² 5-40 28 0,89 (< 1500 ) R 2 2 Lembab Y = 42,69 12,8D + 1,242D 2 5-148 170 0,84 (1500-4000) Y = 0,118D² ³¹ 5-148 170 0,97 3 Basah (>4000) Y = 21,3 6,95D + 0,74D 2 4-112 169 0,92 Sumber : Brown (1997) Menurut Chapman (1976) dalam Sumanti (2003), secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokkan menjadi dua cara, yaitu : a. Metode Pendugaan Langsung 1. Metode Pemanenan Suatu Tegakan Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan yang cukup rendah dan komunitas dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa yang diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh tegakan dalam suatu unit area sampel 2. Metode Pemanenan Kuadrat.

9 Metode ini mengharuskan memanen semua tegakan dalam suatu unit area sampel dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik tegakan yang dipanen di dalam suatu unit area sampel. 3. Metode Pemanenan Tegakan yang Mempunyai Luas Bidang Dasar Rata-rata. Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran seragam. Dalam metode untuk tegakan yang ditebang ditentukan rata-rata diameternya lalu ditimbang beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari semua tegakan sampel. b. Metode Pendugaan Tidak Langsung 1. Metode hubungan allometrik Persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antar dimensi pohon dengan biomassanya. Sebelum membuat persamaan tersebut, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditumbangkan. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dari suatu unit area tertentu. 2. Metode Crop Meter Pendugaan biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan alectrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut. Adinugroho dan Sidiyasa (2006) mengelompokkan komponen-komponen penyusun biomassa pohon di atas permukaan tanah sebagai berikut : a. biomassa batang utama + kulit b. biomassa cabang c. biomassa ranting d. biomassa daun e. biomassa tunggak Pengukuran biomassa tunggak, batang, dan cabang beraturan dihitung menggunakan pendekatan volume dikalikan kerapatan kayu pada setiap bagian komponen tersebut.

10 Untuk pengukuran biomassa daun, ranting dan cabang tidak beraturan dilakukan dengan cara penimbangan secara langsung. 2.6 Kerapatan Kayu (Wood Density) Kerapatan kayu merupakan perbandingan massa kayu kering oven (gr) dengan volumenya (cm 3 ) (Haygreen dan Bowyer 1996). Brown (1997) juga menegaskan bahwa kerapatan kayu merupakan massa kayu kering oven per satuan volume (ton/m 3 atau gram/cm 3 ). Sedangkan berat jenis erat kaitannya dengan kerapatan kayu, dimana berat jenis diperoleh dengan membagi nilai kerapatan kayu dengan kerapatan air ( 1 gr/cm 3 ) sehingga berat jenis tidak mempuyai satuan (Haygreen dan Bowyer 1996). Berat jenis kering udara bagi suatu tempat tertentu bersifat agak tetap. Di Indonesia umumnya kayu yang diperdagangkan bersifat sangat basah. Pada keadaan pengarangan yang sama kayu-kayu dengan berat jenis yang lebih tinggi akan memberi arang kayu yang lebih keras dan lebih berat pada tiap kesatuan isi dari pada kayu-kayu dengan berat jenis yang lebih rendah (Seng 1990). 2.7 Karbon Umumnya kandungan karbon dalam hutan berkisar antara 45-50% dari biomassa dari vegetasi hutan (Brown, 1997). Sehingga untuk perhitungan karbon dari hasil perhitungan biomassa tersebut dikonversi bentuk C (ton C/ha) yaitu dengan mengalikan faktor konversi sebesar 0,5 (Handayani, 2002). Kandungan karbon dalam hutan dapat diduga dengan menggunakan rumus C=B X 0,5 Dimana : C= Jumlah stok karbon (ton/ha) B= Biomassa diatas tanah Tahapan penentuan kandungan karbon dari sampel tegakan adalah sebagai berikut : 1. Menghitung kandungan karbon per pohon dengan mengunakan rumus: C= B X 0,5 2. Hasil dari perhitugan kandungan karbon perpohon dikalikan dengan jumlah individu per ha maka diperoleh kandungan karbon per ha. Setelah itu hasil perhitungan C dikonversi dalam bentuk CO2 dengan mengalikan hasil perhitungan C tersebut dengan faktor konversi sebesar 3,67 (Handayani, 2002). Nilai tersebut diperoleh dari rumus kimia C bentuk matematis sebagai berikut :

11 CO2 = C X 3,67 Dimana : CO2 = Kandungan karbondioksida (ton/ha) C = Kandungan karbon (ton/ha) 2.8 Kadar Abu Kadar abu adalah jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalium, kalsium, dan magnesium dan silika. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksida tidak sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi,1990). Menurut Haygreen& Bowyer (1982) kayu mengandung senyawa organik yang tetap tinggal setelah terjadi pembakaran pada suhu tinggi pada oksigen yang melimpah, residu semacam ini dikenal sebagai abu. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium,kalium,magnesium,mangan dan silika. Karena mineral-mineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung terkonsentrasi dalam jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi daripada kayu. 2.9 Kadar Zat Terbang Kadar zat terbang menunjukan kandungan zat-zat yang mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950 C yang terkandung pada arang. Secara kimia zat terbang terbagi menjadi tiga sub golongan yaitu senyawa alifatik, terpena dan senyawa fenolik. Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen & Bowyer 1982). Zat mudah terbang adalah persentase gas yang dihasilkan dari pemanasan arang yang ditetapkan pada temperatur dan waktu standar yaitu pada 950 ± 20 C selama 2 menit (ASTM 1996 b).

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2008 di petak 37 f RPH Maribaya, BKPH Parungpanjang, KPH Bogor. Dan selanjutnya pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan bahan Alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, tally sheet, haga hypsometer, alat tulis, cat warna (penanda pohon), timbangan, karung, kalkulator, cawan porselen oven tanur listrik, alat penggiling (willey mill), alat saring (mesh screen) ukuran 40-60 mesh dan kamera. Sedangkan bahan yang di gunakan dalam penelitian ini berupa tegakan mangium (Acacia mangium willd) yang sedang dipanen dan kayu hasil tebangan pada blok tebangan tersebut. 3.3 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu:. 1. Data sekunder yaitu merupakan data yang diperoleh dari perusahaan a. Peta lokasi penelitian. b. Keadaaan lapangan yang meliputi topografi, tanah, geologi dan iklim. c. Keadaan hutan yang meliputi tipe hutan dan potensi hutan. d. Pengusahaan hutan yang meliputi sistem pemanenan, volume produksi dan jenis pohon yang dipanen. 2. Data Primer yaitu data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan yang terdiri dari: a. Pengambilan data di lakukan dari 4 sample plot seluas masing masing 50x50 m². Penentuan sample plot di lakukan dengan cara random. b. Pohon yang ditebang/rebah yaitu data yang dikumpulkan meliputi diameter dan panjang setiap batang utama, cabang beraturan, tunggak, berat daun, ranting, dan cabang tidak beraturan.

14 3.4 Metoda Pengumpulan Data Untuk pohon yang ditebang/rebah pengumpulan data sebagai berikut : a. Batang dan cabang beraturan dibagi kedalam seksi-seksi, diukur diameter pangkal dan ujung. b. Menimbang berat basah daun. c. Menimbang ranting, cabang, dan batang yang tidak beraturan. d. Bagian tunggak diukur keliling pangkal, ujung dan tinggi tunggak dengan menggunakan pita ukur. e. Untuk menentukan kerapatan kayu diambil contoh pada : 1. Bagian batang 2. Bagian cabang beraturan 3. Bagian tunggak Pengambilan contoh uji dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm masing masing sebanyak 4 ulangan pada pohon yang berbeda sehingga jumlah sampel (n) 12 buah. Setiap contoh uji di oven (105 C ) kemudian diukur volume dan beratnya pada saat kering tanur f. Untuk menentukan perhitungan berat kering dan kandungan karbon pada 1. daun 2. cabang tidak beraturan 3. cabang beraturan 4. batang utama 5. tunggak Diambil contoh pada setiap komponen pohon masing-masing sebanyak 4 ulangan pada pohon yang berbeda, sehingga jumlah seluruhnya ada 20 buah. 3.5 Pengolahan Data 1. Perhitungan potensi volume pemanenan dilakukan dengan menggunakan rumus Brereton : V = ¼ π {( Du+Dp) / 2 }/100 }² x L Dimana : V = volume (m³) π = 3,14 (konstanta) Dp = Diameter pangkal (cm)

15 Du = Diameter ujung (cm) L = Panjang (m) 2. Volume limbah pemanenan kayu Untuk menentukan volume kayu limbah pemanenan akan di pergunakan rumus Brereton.Volume limbah pemanenan kayu adalah jumlah volume semua batang atau pohon yang menjadi limbah dalam petak tebangan tersebut. Volume limbah kayu per hektar merupakan jumlah volume limbah dari kayu di tebang (berupa tunggak, batang bebas cabang, batang dari cabang dengan diameter 10 cm keatas). 3. Perhitungan kerapatan kayu Kerapatan kayu (R) pada bagian batang, cabang beraturan dan tunggak diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Haygreen dan Bowyer,1989). R= massa / volume (gr/cm³) 4. Perhitungan biomassa dengan pendekatan volume Perhitungan biomassa yang menggunakan pendekatan volume diperoleh dengan mengalikan setiap bagian pohon (cabang beraturan, batang, tunggak) dengan nilai kerapatan kayu pada bagian pohon tersebut. 5. Perhitungan Kadar Air Kadar air diperoleh dari nilai rata-rata KA contoh sebanyak 4 ulangan. Pada setiap bagian pohon yang diambil dihitung dengan rumus (Haygreen dan Bowyer,1989). KA = BBc BKc x 100% BKc Dimana : KA = Persen kadar air (%) BBc = berat basah contoh (gr) BKc = berat kering contoh (gr)

16 6. Menghitung Berat kering Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), berat kering yang dihasilkan dari pengovenan dinyatakan dalam satuan gram yang kemudian dikonversi ke kilogram perhektar untuk mengetahui biomassa diatas permukaan tanah. Berat kering setiap bagian pohon (batang utama, daun, cabang tidak beraturan, cabang beraturan dan tunggak) dapat juga diketahui setelah pegovenan. Apabla berat basah diketahui dan kandungan air telah diperoleh dari contoh uji maka berat kering dari masing-masing sample dapat diketahui dengan rumus : Dimana : BK = Berat kering (kg) BB = Berat basah (kg) KA = Persen kadar air (%) Berat kering yang dihasilkan dari pengovenan dinyatakan dalam satuan gram yang kemudian dikonversi ke kilogram perhektar untuk mengetahui biomassa diatas permukaan tanah Nilai kerapatan kayu yang diperoleh bila dibandingkan dengan kerapatan air akan menghasilkan berat jenis kayu tersebut. Adapun besar kerapatan air adalah 1 gr/cm³. Berat jenis kayu = Kerapatan kayu Kerapatan air Berat jenis yang digunakan dari pengukuran dibandingkan dengan berat jenis kayu yang telah diteliti sebelumnya (Martawijaya et al,. 1981 dan Oey Djoen Seng. 1990).

17 7. Penentuan Kadar Zat Terbang Prinsip penetapan kadar zat terbang adalah menguapkan bahan yang tidak termasuk air dengan menggunakan energi panas. Prosedur penentuan zat terbang yang digunakan adalah American Socety for Testing Material (ASTM.1990b) D 5832-98 adalah sebagai berikut : 1. Cawan porselen diisi contoh uji berupa serbuk sebanyak ± 2 gr, kemudian cawan ditutup rapat dengan penutupnya. 2. Contoh uji dimasukkan kedalam tanur listrik bersuhu 950 C selama 2 menit. Kemudian cawan berisi contoh uji tersebut didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Kadar zar terbang dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut: Kadar Zat Terbang = Kehilangan Berat Contoh X 100 % Berat Contoh Uji Bebas Air 8. Penentuan Kadar Abu Prinsip penentapan kadar abu adalah menentukan jumlah abu yang tertinggal dengan membakar serbuk menjadi abu dengan mengunakan energi panas. Prosedur yang digunakan berdasarkan ASTM.1990a D 2866-94 adalah sebagai berikut : 1. Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan kedalam tanur listrik bersuhu 750 C selama 6 jam. 2. Selanjutnya didinginkan didalam desikator dan kemudian ditimbang untuk diketahui beratnya. Kadar abu dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut : Kadar Abu = Berat Sisa Contoh Uji X 100% Berat Contoh Uji Bebas Air 9. Penentuan Kadar Karbon Penentuan kadar karbon yang dilakukan adalah kadar karbon tetap bahan yang telah diarangkan. Penentuan kadar karbon tetap yang digunakan adalah berdasarkan Standar Nasional Indonesia. (SNI) 06-3730-1995 adalah sebagai berikut : Kadar Karbon = 100 % - Kadar Zat Terbang Kadar Abu

18 10. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah : 1. Analisis statistik deskriptif atau penyajian dalam bentuk gambar (histogram, diagram batang dan lain-lain). Menurut Hasan (2001) statistik deskriptif adalah bagian dari statistik yang mempelajari cara pengumpulan dan penyajian data serta menguraikan keterangan-keterangan mengenai suatu sumber data sehingga mudah dipahami. 2. Untuk mengetahui perbedaan kadar karbon tetap (fixed carbon) antar bagian pohon dilakukan analisis statistik yaitu uji beda nilai tengah menggunakan uji t. Adapun parameter yang diuji adalah : a. Perbedaan kadar karbon tetap rata-rata setiap bagian pohon yaitu pada bagian batang, cabang beraturan, cabang tidak beraturan, ranting dan daun. b. Perbedaan kadar karbon pada tiap jenis pohon berdasarkan berat jenisnya (BJ). Rumus yang digunakan adalah (Walpole 1995) : t hitung = dimana : t hitung = Beda nilai tengah = Rataan kadar karbon bagian pohon ke-1 = Rataan kadar karbon bagian pohon ke-2 d = Selisih nilai beda tengah populasi = 0 S²1 = Ragam bagian pohon ke-1 S²2 = Ragam bagian pohon ke-2 n ¹ = Jumlah contoh bagian pohon ke-1 n ² = Jumlah contoh bagian pohon ke-2

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Keadaan Umum Wilayah BKPH Parungpanjang terbagi dalam tiga Resort Pemangkuan Hutan (RPH), secara administratif kawasan hutan tersebar di tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Tenjo, Parungpanjang dan Jasinga. Secara geografis BKPH Parungpanjang terletak di 106 13 25-106 22 23 BT dan 06 21 00-06 26 59 LS, dengan ketinggian berkisar antara 75 323 m dpl, jenis tanahnya adalah Podsolik haplik, tingkat kesuburan tanah sampai dengan sangat rendah, Curah hujan rata-rata 3000 mm/tahun, Suhu antara 18-25,5 C. Secara fisiografis termasuk dataran dengan kelerengan bervariasi antara 0-8 %. Wilayah BKPH Parungpanjang memiliki luas 5. 397, 24 ha yang terbagi ke dalam tiga Resort dengan luas masing-masing : - RPH Tenjo : 1. 532, 83 ha - RPH Maribaya : 2. 104, 44 ha - RPH Jagabaya : 1. 705, 63 ha Secara keseluruhan ketiga resort tersebut berbatasan dengan : - Sebelah Utara dengan Kabupaten Tangerang - Sebelah Selatan dengan Kecamatan Jasinga - Sebelah Barat dengan Kabupaten Tangerang - Sebelah Timur dengan Kecamatan Leuwiliang Wilayah KPH Bogor termasuk ke dalam wilayah DAS Ciliwung-Cisadane, sedangkan kawasan Kelas Perusahaan Acacia mangium di KPH Bogor termasuk dalam wilayah DAS Cidurian. 4.2 Potensi Sumberdaya Hutan Berdasarkan hasil risalah tahun 2000, BKPH Parungpanjang ditetapkan sebagai Kelas Perusahaan Acacia mangium dan pembagian kelas hutan berdasarkan RPKH jangka waktu 2005-2010 disajikan dalam Tabel 1 :

21 Tabel 1. Kelas hutan berdasarkan RPKH jangka waktu 2005-2010 No Kelas Hutan Luas (ha) I PRODUKTIF KU X KU IX KU VIII KU VII KU VI KU V KU IV KU III KU II KU I 107.15 241.35 400.09 261.51 127.33 425.48 212.24 311.69 414.73 403.86 Jumlah KU 2.905,45 Masak Tebang Miskin Riap 5.84 8.32 Jumlah MT + MR 14.16 Jumlah Produktif 2.919,58 II TIDAK PRODUKTIF LTJL(Lapangan Tebang Jangka Lampau) TK (Tanah Kosong) TKL(Tanaman Kayu Lain) HAKL (Hutan Alam Kayu Lain) TAMBK HAMBK 287.19 666.36 104.78 2.96 674.68 - Jumlah I + II 4.655,55 III TBPTH ( Tak Baik Untuk Produksi Tebang Habis) - IV Tak baik untuk Acacia mangium - V TJKL (Tebang Jalur Kayu Lain) - VI Bukan untuk Produksi TBP (Kawasan Hutan Tak Baik Untuk Penghasilan) LDTI (Lapangan Dengan Tujuan Istimewa) SA / HW (Suaka Alam/ Hutan Wisata) HL (Hutan Lindung) 144.23 597.46 - - Jumlah IV 741.69 Jumlah I s.d VI 5.397,24 *Sumber : RPKH 2005 2010 4.3 Sosial Ekonomi Hutan yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sudah sejak lama menjadi sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat setempat, sehingga keberadaannya sangat berarti bahkan karena kondisi perekonomian bangsa saat ini menjadikan hutan sebagai salah satu sarana untuk memperbaiki penghasilan dan pendapatan masyarakat. Adanya pengelolaan hutan di BKPH Parungpanjang dari mulai persemaian hingga pemeliharaan telah menjadikan solusi bagi masyarakat desa hutan untuk mencari penghasilan dengan menjadi tenaga kerja, sedangkan dengan

22 adanya kegiatan tebang habis selain masyarakat desa hutan berperan aktif mendapatkan penghasilan langsung, lokasi bekas tebangan dapat dijadikan lahan garapan bagi masyarakat dengan bertumpangsari melalui sistem PHBM. Kegiatan tumpangsari sejak lima tahun terakhir dapat membantu masyarakat sekitar hutan untuk mencukupi kehidupannya, kecuali pada tahun 2003 dan 2004 karena diberlakukannya moratorium logging sehingga tidak ada peluang bagi masyarakat untuk menggarap pada lahan bekas tebangan. Hasil dari bertumpangsari diperkirakan setiap tahunnya seluas 400 ha/0,25 ha/ orang = 1600 orang, dengan ratarata produksi 2000 kg/ha x harga Rp. 2000,- maka pendapatan masyarakat desa hutan yang menggarap di lahan Perhutani sebesar Rp 1.600.000.000,- atau per orang Rp. 1.000.000,- dalam 1 kali masa panen, ini membuktikan bahwa peranan hutan sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kadar air (KA) adalah berat air yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kayu atau berat kering tanur (BKT). Variasi kadar air ditentukan antara lain oleh kemampuan kayu atau massa kayu untuk menyimpan air dan adanya zat ekstraktif kayu yang bersifat higroskopis yang terdapat pada dinding atau dalam lumen sel kayu. Tabel 1 merupakan hasil perhitungan kadar air setiap bagian pohon contoh. Tabel 3. Kadar Air (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon Diameter Bagian Pohon Daun Ranting Ctb Cb Tunggak Batang Rata-rata 16,00 19,77 17,47 19,47 16,55 16,27 19,01 18,09 17,50 20,06 13,39 13,87 14,79 15,03 14,53 15,28 18,00 16,50 19,65 14,51 14,74 11,83 19,18 16,07 19,00 15,19 11,58 11,69 10,32 18,20 13,70 13,45 21,00 10,28 19,00 10,42 9,57 15,78 12,17 12,87 21,50 19,12 15,67 12,61 8,21 8,19 8,41 12,03 22,50 16,73 10,16 15,46 8,35 12,92 11,45 12,51 23,50 12,58 13,44 16,68 13,21 10,56 13,69 13,36 25,00 8,71 18,74 8,90 14,79 14,34 16,67 13,69 27,00 13,19 16,37 11,28 14,63 20,25 12,08 14,63 27,50 11,12 11,67 16,81 13,79 13,20 9,98 12,76 28,50 14,11 10,55 9,53 18,99 14,42 12,65 13,38 30,00 16,77 8,46 12,68 16,11 11,95 11,02 12,83 31,00 15,35 9,52 13,84 12,52 9,60 10,95 11,96 32,00 14,77 15,73 9,76 10,44 14,43 8,38 12,25 32,50 17,11 8,13 12,98 11,50 10,47 11,05 11,87 Rata-rata 15,09 13,72 13,16 13,03 13,59 12,81 Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan Menunjukkan Tabel 3 hasil pengukuran kadar air pada Acacia mangium pada rata-rata pada diameter 16 cm nilai kadar air paling besar 18,09%, sedangkan pada diameter 32,5 cm nilai kadar air merupakan kadar air terkecil yaitu 11,87%. Nilai kadar air rata-rata pada bagian pohon yang paling tinggi adalah bagian daun dengan nilai kadar air 15,09 % dan nilai kadar air yang terkecil pada batang 12,81 %. Daun memiliki kadar air yang tinggi karena merupakan unit fotosintesis yang pada umumnya memiliki banyak rongga sel yang di isi oleh air dan unsur hara mineral. Daun memiliki jumlah stomata yang menyebabkan

24 banyaknya air dari lingkungan yang akan diserap oleh daun, sehingga banyak rongga sel yang diisi oleh air. Sedangkan batang memiliki kadar air rendah karena pada bagian batang komposisi zat penyusun kayu lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya. Bagian pohon lainnya pada setiap kelas diameter memiliki nilai kadar air rata-rata dengan pola yang hampir sama (kecenderungan nilai kadar air menurun seiring meningkatnya kelas diameter). Umumnya pada kelas diameter yang paling kecil memiliki kadar air yang tinggi karena kandungan air masih tinggi dan belum didominasi oleh zat-zat penyusun kayu. Pada bagian pohon lainnya nilai rata-rata kadar airnya yaitu ranting, cabang tidak beraturan, cabang beraturan, dan tunggak memiliki nilai kadar air masing-masing 13,72%, 13,16 %, 13,03 %, dan 13,59 %. 5.2 Kerapatan Kayu Kerapatan adalah kandungan massa dalam ukuran unit volume, sedangkan berat jenis (BJ) adalah perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat kering tanur dan volume pada kandungan air yang telah ditentukan). kerapatan dan berat jenis kayu dipengaruhi oleh kadar air, struktur, ekstratif dan komposisi kimia. Tabel 4. Nilai Kerapatan (gr/cm 3 ) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon Diameter Bagian Pohon Ctb Batang Tunggak Rata-Rata 16,00 0,48 0,46 0,45 0,46 17,50 0,52 0,45 0,55 0,51 18,00 0,51 0,51 0,54 0,52 19,00 0,53 0,53 0,53 0,53 21,00 0,59 0,46 0,58 0,55 21,50 0,51 0,52 0,60 0,55 22,50 0,53 0,54 0,45 0,51 23,50 0,41 0,48 0,54 0,48 25,00 0,40 0,48 0,53 0,47 27,00 0,49 0,46 0,55 0,50 27,50 0,49 0,48 0,53 0,50 28,50 0,67 0,49 0,53 0,56 30,00 0,49 0,41 0,60 0,50 31,00 0,50 0,49 0,47 0,49 32,00 0,55 0,49 0,52 0,52 32,50 0,52 0,46 0,53 0,50 Rata-rata 0,51 0,48 0,53 Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan

25 Pada Tabel 4 hasil pengukuran kerapatan kayu paling besar pada diameter 28.5 cm sebesar 0,56 gr/cm 3. Sedangkan kerapatan kayu lebih kecil pada diameter 16 cm sebesar 0,46 gr/cm 3. Berdasarkan hasil pengukuran nilai kerapatan kayu pada bagian - bagian pohon Acacia mangium adalah sebesar 0,53 gr/cm 3 pada bagian tunggak 0,51 gr/cm 3 pada bagian cabang dan 0,48 gr/cm 3 pada bagian batang. Dalam penelitian ini dihasilkan nilai kerapatan kayu atau berat jenis kayu, cabang lebih tinggi dibandingkan batang, dan kayu cabang berbeda dengan kayu batang. Beberapa jenis sel lebih banyak terdapat pada kayu cabang daripada dalam kayu batang, pada cabang-cabang kayu keras, pembuluh dan jari-jari lebih banyak daripada dalam batang utama dengan serabut yang lebih sedikit (Haygreen dan Bowyer,1989) dalam Adinugroho dan Kade (2006). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu cabang umumnya mempunyai kerapatan kayu lebih tinggi daripada kayu batang (Fegel,1941: Jane et al.,1970) dalam dalam Adinugroho dan Kade (2006). 5.3 Kadar Zat Terbang Tabel 5. Kadar Zat Terbang (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon. Diameter Bagian Pohon Batang Tunggak Ctb Cb Ranting Daun Rata-Rata 16,00 49,12 54,99 56,93 56,60 58,32 58,87 55,80 17,50 48,54 54,12 55,69 55,90 59,67 61,23 55,86 18,00 48,57 52,55 56,30 55,54 60,91 59,82 55,62 19,00 49,71 53,48 56,33 55,60 58,82 65,39 56,55 21,00 50,65 56,44 55,40 56,10 58,92 61,93 56,57 21,50 48,43 55,71 55,97 54,42 59,67 61,63 55,97 22,50 48,63 53,68 57,19 55,94 59,16 64,62 56,54 23,50 49,40 55,44 56,33 57,09 59,99 57,61 55,98 25,00 49,89 56,56 57,12 56,85 62,25 61,70 57,40 27,00 50,18 54,62 55,18 53,72 56,35 58,47 54,75 27,50 51,07 53,33 56,85 56,96 62,65 61,32 57,03 28,50 49,04 55,64 55,81 56,43 57,67 58,93 55,59 30,00 47,30 54,99 55,87 56,22 59,04 56,84 55,04 31,00 50,36 53,89 56,35 56,12 62,15 60,44 56,55 32,00 48,50 56,26 56,08 56,63 60,51 60,17 56,36 32,50 49,36 56,89 55,40 56,78 61,61 57,19 56,21 Rata-rata 49,30 54,91 56,17 56,06 59,86 60,39 Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan

26 Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui kadar zat terbang dalam pohon Acacia mangium pada rata-rata diameter yang paling besar terdapat pada diameter 25 cm sedangkan rata-rata diameter terkecil terdapat pada diameter 27 cm. Sedangkan rata-rata kadar zat terbang yang diperoleh pada bagian pohon adalah rata-rata pada bagian tunggak sebesar 54,91 %, bagian cabang tidak beraturan sebesar 56,17 %, bagian cabang beraturan sebesar 56,06 %, bagian ranting sebesar 59,86 %, dan kadar zat terbang tertinggi terdapat pada bagian daun sebesar 60,39 %. Kadar zat terbang terendah terdapat pada bagian batang sebesar 49,30 %. 5.4 Kadar Zat Abu Tabel 6. Kadar Zat Abu (%) Acacia Mangium Pada Berbagai Bagian Pohon. Diameter Bagian Pohon Batang Tunggak Ctb Cb Ranting Daun Rata-rata 16,00 1,35 1,94 1,01 1,59 1,83 2,42 1,69 17,50 1,02 2,21 1,19 1,85 2,06 1,98 1,72 18,00 1,43 1,72 1,30 1,51 0,94 1,40 1,38 19,00 1,10 2,10 1,50 1,96 1,31 1,61 1,60 21,00 1,09 1,63 1,04 1,70 3,00 1,59 1,67 21,50 1,03 1,59 1,29 1,78 4,00 1,92 1,93 22,50 1,34 1,52 1,20 1,78 1,95 0,37 1,36 23,50 1,62 2,17 1,30 1,79 2,98 2,84 2,12 25,00 1,06 1,60 1,46 2,21 2,83 1,76 1,82 27,00 1,18 1,59 1,46 1,68 3,92 1,77 1,93 27,50 1,22 1,62 1,10 1,89 1,92 1,58 1,56 28,50 2,53 2,17 1,36 1,56 3,09 1,70 2,07 30,00 2,35 1,85 1,38 1,71 2,10 3,39 2,13 31,00 1,09 1,45 1,46 1,63 1,94 1,59 1,53 32,00 1,98 1,52 1,13 2,06 2,27 2,07 1,84 32,50 1,07 1,86 1,22 1,92 1,73 2,13 1,66 Rata-rata 1,40 1,78 1,28 1,79 2,37 1,88 Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan Kadar abu pada berbagai bagian pohon yang terbesar terdapat pada bagian ranting sebesar 2,37 %, pada bagian daun sebesar 1,88 %, pada bagian cabang beraturan sebesar 1,79 %, pada bagian tunggak sebesar 1,78 %, pada bagian batang sebesar 1,40 % dan kadar abu terendah terdapat pada bagian cabang tidak beraturan sebesar 1,28 %.

27 5.5 Kadar Karbon Tabel 7. Kadar Karbon (%) Acacia Mangium Willd Pada Berbagai Bagian Pohon Diameter Bagian Pohon Batang Tunggak Ctb Cb Ranting Daun Rata-rata 16,00 49,53 43,08 42,06 41,82 39,85 38,70 42,51 17,50 50,43 43,67 43,12 42,25 38,27 36,79 42,42 18,00 50,00 45,73 42,40 42,95 38,15 38,77 43,00 19,00 49,19 44,43 42,17 42,44 39,87 33,00 41,85 21,00 48,26 41,93 43,56 42,20 38,08 36,48 41,75 21,50 50,54 42,70 42,74 43,80 36,34 36,45 42,09 22,50 50,03 44,80 41,61 42,28 38,89 35,00 42,10 23,50 48,98 42,39 42,38 41,11 37,03 39,55 41,91 25,00 49,05 41,84 41,42 40,94 34,91 36,53 40,78 27,00 48,64 43,79 43,36 44,59 39,73 39,76 43,31 27,50 47,70 45,05 42,05 41,15 35,42 37,11 41,41 28,50 48,42 42,20 42,83 42,01 39,24 39,37 42,34 30,00 50,36 43,16 42,76 42,07 38,86 39,77 42,83 31,00 48,54 44,66 42,19 42,25 35,90 37,97 41,92 32,00 49,52 42,23 42,78 41,31 37,23 37,76 41,81 32,50 49,57 41,25 43,38 41,30 36,66 40,68 42,14 49,30 43,31 42,55 42,15 37,78 37,73 Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan Rata-rata kadar karbon pada bagian pohon terbesar terdapat pada bagian batang yaitu sebesar 49.30 %, kadar karbon pada bagian tunggak sebesar 43,31 %, kadar karbon pada bagian cabang tidak beraturan sebesar 42,55 %, kadar karbon pada bagian cabang beraturan 42,15 %, dan kadar karbon pada bagian ranting sebesar 37,78 % Sedangkan kadar karbon terendah terdapat pada bagian daun yaitu sebesar 37,73 %. Kadar karbon pada daun lebih rendah karena daun memiliki kadar abu yang tinggi dan zat terbang yang relatif tinggi. Kandungan abu yang tinggi disebabkan karena daun merupakan unit fotosíntesis yang di dalamnya banyak mengandung air dan unsur hara mineral yang menyebabkan kandungan abunya menjadi relatif tinggi, sehingga kandungan karbonnya menjadi rendah.