Kajian Sensitivitas dan Spesifisitas Reagen CMT, WST dan SFMT Sebagai Bahan Uji Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah Rakyat, KUD Sumber Makmur Ngantang The sensitivity and Specificity Study of CMT, WST, and SFMT reagents as Subclinical Mastitis Test Materials at Sumber Makmur Dairy Farm, Ngantang Heri Setiawan, Pratiwi Trisunuwati, Djoko Winarso Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya ossa_brevia@yahoo.co.id ABSTRAK Tingginya kejadian mastitis subklinis yang mencapai 90% dan banyaknya reagen yang digunakan untuk deteksi mastitis subklinis serta sulitnya diperoleh reagen tersebut dipasaran menjadi latar belakang dari penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan reagen yang paling sensitif dan spesifik diantara California Mastitis Test (CMT), Whiteside Test (WST), dan Surf Field Mastitis Test (SFMT). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2012 di Peternakan Sapi Perah KUD Sumber Makmur Ngantang dan di Laboratorium Mikrobiologi PKH UB. Pada penelitian ini digunakan perhitungan jumlah sel somatik sebagai gold standard untuk menentukan mastitis subklinis. Sebanyak 60 sampel susu dari kuartir ambing sapi PFH pada kriteria laktasi 2-3 dan bulan laktasi ke 3-6. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan dan kurva ROC. Hasil penelitian menunjukkan sensitivitas CMT, WST, dan SFMT adalah sebesar 96.7%, 86.7%, dan 83.3%, namun meskipun CMT lebih sensitif dibandingkan dengan pereaksi lainnya, ketiga reagen tersebut memiliki spesifisitas yang sama yaitu 100%. Hasil analisis statistika dengan kurva ROC, luas AUC dengan standard error 0.01 diperoleh nilai AUC CMT, WST, dan SFMT adalah sebesar 0,983, 0.933 dan 0,917, sehingga dapat disimpulkan reagen yang paling sensitif dan spesifik untuk deteksi mastitis subklinis berturut-turut adalah CMT, WST dan SFMT dan reagen yang paling efisien untuk deteksi mastitis subklinis adalah SFMT diikuti reagen WST dan CMT. Kata kunci : CMT, WST, SFMT, Sensitivitas, Spesifisitas ABSTRACT The background of this research was the high prevalence of subclinical mastitis at 90% and the difficulties to find any cheap diagnostic reagent. The research prepare to find and determine the best reagent California Mastitis Test (CMT), Whiteside Test (WST), and Surf Field Mastitis Test (SFMT) based on sensitivity and spesificity. This research was conducted in June-August 2012, at Sumber Makmur Dairy Farm and Microbiology Laboratory of Veterinary Medicine, Brawijaya University. Somatic cell count as a gold standard was used in this research. A total of 60 quarter milk samples from each PFH cow at two to three lactation criteria and three to six months lactation intervals were subjected. Descriptive analysis and Receiver Operator Characteristic (ROC) curve were used to analyze the data. The result showed that the sensitivity of CMT, WST, and SFMT was 96.7%, 86.7%, and 83.3%. Even though the most sensitive reagent was CMT, the specificity of all reagents was 100%. Statistical analysis with the ROC curve, AUC wide with 0,01 standard error obtained AUC value for CMT, WST, and SFMT was 0.983, 0.933, and 0.917. From the AUC value, CMT was concluded to be the most sensitive and specific reagent for subclinical detection and the next reagent were WST and SFMT serially. Whereas the efficient reagent for subclinical mastitis detection were SFMT, WST, CMT serially. Keywords: CMT, WST, SFMT, Sensitivity, Specificity 1
Pendahuluan Penyakit mastitis menimbulkan kerugian yang besar akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu dan biaya perawatan, serta pengobatan yang mahal. Mastitis adalah suatu reaksi peradangan pada jaringan ambing yang disebabkan oleh bakteri atau luka mekanis yang akan menimbulkan bertambahnya sel somatik di dalam jaringan ambing. Kejadian mastitis pada umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus. Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis, dengan tingkat kejadian dapat mencapai 90% yang disertai dengan penurunan produksi susu hingga 30% (Taylor and Field, 2004). Kasus mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006, tercatat sekitar 75 83% (Sudarwanto dkk., 2006), sementara itu menurut Winarso (2008), prevalensi mastitis di KUD Ngantang mencapai 15,44%. Tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi kerugian yang timbul akibat terjadinya mastitis pada suatu peternakan adalah dengan melakukan perbaikan terhadap manajemen penanganan mastitis secara tepat. Salah satu tindakan manajemen penanganan mastitis adalah tindakan deteksi dini terhadap kasus mastitis. Tindakan deteksi dini biasanya dilakukan dengan menggunakan CMT (California Mastitis Test) dan WST (Whiteside Test) yang dilakukan secara teratur. Tindakan deteksi mastitis lain yang dapat dilakukan di peternakan adalah Surf Field Mastitis Test (SFMT). SFMT merupakan metode untuk deteksi mastitis dengan menggunakan deterjen rumah tangga yang lebih murah, mudah diperoleh dan langsung dapat diaplikasikan di lapangan. Metode deteksi mastitis yang digunakan terlalu banyak dan sulitnya diperoleh reagen tersebut dipasaran serta harganya yang mahal menjadi masalah tersendiri bagi peternakan di Indonesia, selain itu suatu reagen harus mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi mastitis agar tidak mennyebabkan kerugian yang semakin besar. Sensitifitas merupakan kemampuan suatu reagen untuk menunjukkan hasil positif pada sapi yang menderita mastitis subklinis, sedangkan spesifisitas merupakan kemampuan suatu reagen untuk menunjukkan hasil yang negative pada sapi yang menderita mastitis subklinis. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan ketepatan antara reagen yaitu CMT, WST dan SFMT dalam mendeteksi mastitis subklinis perlu dilakukan sehingga dapat digunakan untuk menentukan reagen yang paling sensitif, spesifik untuk deteksi mastitis subklinis pada sapi perah. Materi dan Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penilaian uji diagnostik, dengan penentuan jumlah sel somatik sebagai gold standard untuk menentukan mastitis subklinis. Sampel susu yang digunakan sebanyak 60 sampel susu yang berasal dari 60 kuartir ambing sapi perah peranakan Friesian Holstein dengan kriteria, periode laktasi ke 2-3 dan bulan laktasi ke 3-6, selain itu kondisi ambing dan susu tidak memperlihatkan kelainan. Pengambilan sampel dilakukan pada jam pemerahan yaitu pada pagi hari dan diambil setelah pancaran ke-1 dan 2 dibuang. Sampel susu dimasukkan dalam tabung reaksi dan disimpan dalam ice box dan selanjutnya dibawa ke laboratorium Mikrobiologi Program Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya untuk dilakukan penghitungan JSS menggunakan breed methode dan uji mastitis subklinis dengan menggunakan reagen CMT, WST, dan SFMT. Penghitungan Sel Somatik Perhitungan JSS dengan breed methode dilakukan dengan mengambil 0,01 ml sampel susu segar (menggunakan pipet 2
Breed), dan disebarkan di atas permukaan seluas 1 cm 2 dengan menggunakan kawat ose berujung siku-siku dan dikeringkan di udara selama 5-10 menit selanjutnya fiksasi dengan api bunsen. Selanjutnya diwarnai dengan perwarnaan breed. Jumlah sel somatik dihitung menggunakan mikroskop dengan pembesaran 1000x. Uji CMT (California Mastitis Test) Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml reagen CMT. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama 10-15 detik. Hasil pengujian berupa negatif (bila campuran susu dan reagen CMT tetap homogen), Trace (Terbentuk sedikit endapan), positif 1 (Endapan terlihat jelas), positif 2(Campuran langsung mengental dan Gel bergerak ke tengah paddle), dan positif 3 (Banyak terbentuk gel dan gel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung). Uji WST (Whiteside Test) Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml reagen WST. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama 15-20 detik. Hasil pengujian berupa negatif (tidak terjadi perubahan larutan, campuran tetap dalam keadaan cair), Trace (terbentuk sedikit endapan), positif 1 (terjadi sedikit koagulasi namun segera menghilang), positif 2 (terjadi koagulasi pada permulaan diputar), positif 3 (gel mengumpul ditengah setelah diputar-putar), dan positif 4 (terbentuk jel yang sangat kental). Uji SFMT (Surf Field Mastitis Test) Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml reagen SFMT (S) 10%. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama 15-20 detik. Hasil pengujian berupa negatif (campuran terlihat encerdan tidak terbentuk endapan), positif 1 (terdapat endapan dan tidak ada kecenderungan membentuk), positif 2 (campuran langsung mengental dan gel bergerak ke tengah paddle), dan positif 3 (banyak terbentuk gel dan gel pada paddle tidak bisa digoyang-goyang). Hasil dan Pembahasan Sensitivitas dan spesivisitas uji CMT, WST, dan SFMT Sejumlah 60 sampel susu yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari KUD Sumber Makmur, Ngantang. Sampel berasal dari sapi PFH dengan periode laktasi 2-3 dan bulan laktasi 3-6. Hasil analisis data mengenai sensitivitas dan spesifisitas dari uji CMT, WST, dan SFMT dibandingkan dengan jumlah sel somatis dengan breed methode sebagai gold standard tersaji pada tabel 1, dari tabel terlihat bahwa CMT memiliki sensitivitas sebesar 96.7%, WST 86.7%, dan SFMT 83.3%, meskipun CMT lebih sensitif dibandingkan dengan pereaksi lainnya, namun ketiga reagen tersebut memiliki spesifisitas sama yaitu 100%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Patel et al., (2000), CMT memiliki keakuratan yang lebih tinggi (85.69%) diikuti oleh WST (79.74%). Tanwar et al., (2001), juga membandingkan tes diagnostik untuk deteksi mastitis subklinis dan menunjukkan 100% sensitivitas untuk JSS dan 96% untuk reaksi CMT. Sensitivitas menunjukkan kemampuan suatu alat uji untuk menunjukkan hasil positif pada sapi yang menderita mastitis subklinis, adapun spesifisitas menunjukkan kemampuan alat uji untuk menunjukkan hasil yang negatif pada sapi yang menderita mastitis subklinis. Tabel 1. Sensitivitas dan spesivisitas uji CMT, WST, dan SFMT Reagen yang diuji Sensitivitas Spesifisitas CMT 96.7 % 100% WST 86.7% 100% SFMT 83.3% 100% 3
Penghitungan secara statistik dilakukan dengan menggunakan kurva ROC. Kurva ROC digunakan untuk menilai seberapa akurat sebuah uji dapat mengidentifikasi ada-tidaknya penyakit atau dengan kata lain untuk menilai kualitas suatu uji dalam membedakan antara mastitis subklinis dan bukan mastitis subklinis. A A. Kurva ROC hasil uji CMT, WST dan SFMT terhadap gold standard B. Kurva ROC hasil uji WST dan SFMT terhadap CMT. Hasil analisis statistika dengan kurva ROC memperlihatkan bahwa CMT adalah uji yang paling akurat dibandingkan dengan WST dan SFMT. Bagian terpenting dari kurva ROC adalah hasil perhitungan luas area. Tabel 2. Hasil Uji Kurva ROC Terhadap Hasil Gold Standard Reagen yang diuji Area Under Curve (AUC) p-value CMT 0.983 0.000 WST 0.933 0.000 SFMT 0.917 0.000 Luas AUC (Area Under Curve) digunakan untuk menilai seberapa akurat suatu uji, dari hasil perhitungan AUC dengan standard error 0.01 didapat nilai AUC CMT sebesar 0,983, WST 0.933 dan SFMT 0,917, hal ini berarti bahwa ketiga reagen tersebut memiliki akurasi yang tinggi untuk mendeteksi mastitis subklinis pada sapi perah karena nilai AUC dari masing-masing reagen mendekati satu. Hipotesis statistik pada kurva ROC untuk B H0 adalah AUC = 0,50. Ketiga reagen hasil uji statistik menunjukkan bahwa H0 ditolak (p-value < 0,01), dengan kata lain nilai AUC adalah lebih besar dari 0,50. Sehingga ketiga meode memiliki kemampuan yang mendekati gold standard. Tabel 2 pada hasil perhitungan AUC, dapat disimpulkan bahwa reagen CMT mempunyai kemampuan lebih baik dari pada reagen WST dan SFMT. Tabel 3. Hasil Uji Kurva ROC Terhadap Hasil CMT Reagen yang diuji Area Under Curve (AUC) p-value WST 0.948 0.000 SFMT 0.931 0.000 Hasil perhitungan AUC dengan standard error 0.01 didapat nilai AUC WST sebesar 0.948 dan SFMT 0.931, hal ini berarti bahwa kedua reagen tersebut memiliki akurasi yang tinggi untuk mendekati hasil analisis dari reagen CMT. Tabel 3 pada hasil perhitungan AUC, dapat disimpulkan bahwa raegen WST dan SFMT dapat menggantikan reagen CMT dalam mendeteksi mastitis subklinis pada sapi perah. Perbedaan sensitivitas dan spesifisitas disebabkan oleh kandungan dari masing-masing reagen. CMT dan SFMT sama-sama mengandung anionik surfaktan atau deterjen. Deterjen atau surfaktan merupakan salah satu komposisi reagen CMT dimana surfaktan dapat digunakan untuk mendeteksi peningkatan kadar sel somatis dalam susu mastitis, meskipun sama-sama mengandung surfaktan SFMT memiliki sensitivitas yang berbeda dari CMT yaitu sebesar 83.3%. Menurut (Xia, 2006), jenis surfaktan yang berbeda memiliki efek yang berbeda pula pada susu dimana CMT mengandung Aril sulfonat alkil (3%) dan natrium hidroksida (1,5%) dan bromocresol purple, sementara itu SFMT mengandung natrium alkil benzena sulfonat (15%) dan natrium lauril eter sulfonat (15%), selain itu konsentrasi dari 4
surfaktan memiliki peranan penting dalam proses lisis membran. Lisis membran hanya akan terjadi bila konsentrasi surfaktan cukup tinggi. Surfaktan atau deterjen ini dapat menyebabkan rusaknya membran sel dan inti sel, melalui ikatan yang dibentuk melalui sisi hidrofobik deterjen dengan protein dan lemak pada membran, membentuk senyawa lipid protein-deterjen komplek. Senyawa tersebut dapat terbentuk karena protein dan lipid memiliki ujung hidrofilik dan hidrofobik, demikian juga dengan deterjen, sehingga dapat membentuk suatu ikatan kimia. Rusaknya membran sel menyebabkan keluarnya DNA dari inti sel kemudian surfaktan akan mendenaturasi histon yang mengikat DNA menyebabkan viskositas susu/dna/surfaktan meningkat sehingga susu akan terlihat lebih kental (Xia, 2006). Proses pembentukan jel pada WST di awali dengan lisis sel. NaOH termasuk dalam basa kuat sehingga apabila NaOH di campur dengan susu menyebabkan peningkatan ph susu, ph susu yang tinggi menyebabkan perusakan atau sel menjadi lisis, diikuti dengan pelepasan dan denaturasi DNA proses ini biasa disebut dengan lisis basa. Mekanisme penyebab pembentukan gel akibat NaOH belum sepenuhnya dipahami, namun pembentukan gel diperkirakan karena ; 1) Pembentukan garam natrium antara NaOH dan asam nukleat dari sel-sel somatik yang menghasilkan massa gelatin (gel), 2) Adsorpsi fibrin ke sel somatik, 3) Pembentukan gumpalan karena interaksi antara natrium dengan ion kalsium dan albumen sel ( Xia, 2006). Efisiensi metode CMT, SFMT, dan WST Efisiensi metode deteksi mastitis subklinis dapat dilihat dari tingkat kemudahan, waktu dan biaya pengujian. Waktu pengujian mastitis subklinis dengan metode CMT lebih efisien yaitu 10-15 detik dibandingkan dengan WST 15-20 detik dan SFMT 15-20 detik, selain itu metode CMT lebih mudah untuk mengetahui hasil pengujian karena reagen CMT mengandung indikator warna yaitu bromcresol purple sehingga memudahkan dalam pengamatan reaksi. Berbeda dengan metode WST dan SFMT yang membutuhkan ketelitian dalam menterjemahkan hasil reaksi karena tidak terdapat indikator warna, namun raegen CMT dan WST tidak mudah diperoleh dan harganya mahal, sedangkan raegen SFMT yang merupakan deterjen rumah tangga mudah diperoleh karena banyak tersedia di toko biasa. Hasil perhitungan biaya diketahui SFMT lebih ekonomis dibandingkan dengan CMT maupun WST, untuk melakukan pengujian satu sampel dengan metode SFMT dibutuhkan biaya sebesar Rp. 8.4,-, sedangkan metode CMT dan WST masing-masing sebesar Rp. 906,- dan Rp. 66,-. Perbandingan antara metode CMT, WST, dan SFMT selengkapnya disajikan pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Perbandingan antara metode CMT, WST, dan SFMT Variabel CMT WST SFMT Sensitivitas 96.7 % 86.7% 83.3% Spesifisitas 100% 100% 100% Lama pengujian (detik) Biaya (Rupiah) Kemudahan mendapatkan reagen Kesimpulan 10-15 15-20 15-20 906 66 8.4 Tersedia ditempat khusus Tersedia ditempat khusus Tersedia di berbagai tempat Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, reagen yang paling sensitif dan spesifik untuk deteksi mastitis subklinis berturut-turut adalah CMT, WST dan SFMT, sedangkan reagen yang paling efisien berdasarkan sensitivitas, spesifisitas, lama pengujian, biaya dan kemudahan mendapatkan reagen untuk deteksi mastitis subklinis adalah SFMT diikuti reagen WST dan CMT 5
Daftar Pustaka Bachaya, Z. Iqbal, G. Muhammad, A. Yousaf and H. M. Ali. 2005. Subclinical Mastitis in Buffaloes in Attock District of Punjab (Pakistan). Pakistan Vet. J., 25 Bedolla, CC. Castañeda, VH. Wolter, W. 2007. Methods of detection of the bovine mastitis. Argentine Animal Production. Vol. VIII No. 9 Dingwell, R.T.K.E. Leslie, Y.H. Schukken, J.M. Sargeant, and L.L. Timms. 2003. Evaluation of the California Mastitis Test to detect an intramammary infection with a major pathogen in early lactation dairy cows. Can. Vet. J. 44:413. Erskine, R.J. 2003. Antibacterial therapy of clinical mastitis part I. Drug selection. Part II Administration. North Am Vet Conf, Proc 13-16. Green, M.J., Huxley, J. and Bradley, A. 2002. A rational approach to dry cow therapy 1. Udder health priorities during the dry period. In Practice 24, 582 587. Hidayat. A.P, Effendi, A.A. Fuad, Y. Patyadi, K. Taguchi dan T. Sugikawa. 2002. Buku Petunjuk Teknologi Sapi Perah Si Indonesia : Kesehatan Pemerahan. Dairy Technologi Improvement Project. PT. Sonysugema Presindo. Bandung Hurley, W.L. and D.E. Morin. 2000. Lactation biology. Ed. ANSCI, 84-110 Larsen, D. 2000. Milk quality and mastitis. Vet. Microbiol. 71, 89-101 Leach K. A., M. J. Green, J. E. Breen, J. N. Huxley, R. Macaulay, H. T. Newton, and A. J. Bradley. 2008. Use of domestic detergents in the California mastitis test for high somatic cell counts in milk. Veterinary Record 163, 566-570 Muhammad G., A. Naureen, M.N. Asi, M. Saqib, And Fazal-ur-Rehman. 2009. Evaluation of a 3% surf solution (surf field mastitis test) for the diagnosis of subclinical bovine and bubaline mastitis. Tropical Animal Health and Production journal Patel, P.R., S.K. Raval, N. Rao, G.C. Mandali and R.G. Jani, 2000. Status of mastitis in Gujarat State. Advancement of Veterinary Research (IAAVR. Izatnagar, India, pp: 45-52 Ruegg, Pamela L. 2002. Test used to Diagnose Mastitis on Dairy Farms. University of Wisconsin, Madison Sharma N, V. Pandev, and N.A. Sudhan. 2010. Comparison Of Some Indirect Screening Tests For Detection Of Subclinical Mastitis In Dairy Cows. Bulgarian Journal of Veterinary Medicine 13, No 2, 98 103 Špakauskas V., I. Klimienė, and A. Matusevičius. 2006. A comparison of indirect methods for diagnosis of subclinical mastitis in lactating dairy cows. Veterinarski Arhiv 76 (2), 101-109 SNI. Susu Segar. SNI 01-3141-1998. Badan Standarisasi Nasional Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Sudarwanto M, H Latif, M Noordin 2006. The Relationship of The Somatic Cell Counting to sub-clinical Mastitis and to Improve Milk Quality. Jakarta, July 12-13, 2006. Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Nilai diagnostik tes IPB mastitis dibandingkan dengan jumlah sel somatik dalam susu. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan- Institut Pertanian Bogor 6
Sudibyo, A.,M. Poeloengan, S. Bahri, Supartono dan Y. Setiadi. 1992. Pengendalian mastitis pada sapi, perah di pasuruan Jawa Timur. Laporan penelitian Balai Penelitian Veteriner. Tahun anggaran 1991-1992. 75-83. Swartz, H.A. 2004. Mastitis in the ewes, State Sheep. Goat and Small Livestmck Specialist. www.caseagworld.com. Diakses pada tanggal 5 mei 2012 Tanwar, R. K., S.K. Vyas, Fakhruddin and A.P. Singh, 2001. Comparative efficacy of various diagnostic tests in diagnosis of SCM in Rathi cows. Advancement of Veterinary Research (IAAVR). Izatnagar, India, pp 161-163. Taylor ER, and G.T. Field. 2004. Scientific Farm Animal Production an Introduction to Animal Science. Ed ke-8. USA: Person Prentice Hall. Xia, Stephen S. 2006. The rheology of gel formed during the California Mastitis Test. The University of Waikato. Thesis Wahyono, F. Pangestu, dan Tampoebolon B.I.M. 2003. Status Sel Somatik Pada Susu Sapi di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. J.Indon.Trop.Anim.Agric.28(1) March 2003 Wahyuni A.E.T.H., Wibawan I.W., dan Wibowo M.H.. 2008. Karakterisasi Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Subklinis Pada Sapi Perah. J Sain Vet. 23:2. Winarso, Djoko. 2008. Hubungan Kualitas Susu Dengan Keragaman Genetik dan Prevalensi Mastitis Subklinis di Daerah Jalur Susu Malang Sampai Pasuruan. J Sain Vet. Vol. 26 N0. 2 7