BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS SAMBUNGAN ANTARA RIGID CONNECTION DAN SEMI-RIGID CONNECTION PADA SAMBUNGAN BALOK DAN KOLOM PORTAL BAJA

Sambungan diperlukan jika

a home base to excellence Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : TSP 306 Sambungan Las Pertemuan - 14

ANALISIS SAMBUNGAN PORTAL BAJA ANTARA BALOK DAN KOLOM DENGAN MENGGUNAKAN SAMBUNGAN BAUT MUTU TINGGI (HTB) (Studi Literatur) TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pertemuan IX : SAMBUNGAN BAUT (Bolt Connection)

LANDASAN TEORI. Katungau Kalimantan Barat, seorang perencana merasa yakin bahwa dengan

Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keliatan dan kekuatan yang tinggi. Keliatan atau ductility adalah kemampuan. tarik sebelum terjadi kegagalan (Bowles,1985).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Henny Uliani NRP : Pembimbing Utama : Daud R. Wiyono, Ir., M.Sc Pembimbing Pendamping : Noek Sulandari, Ir., M.Sc

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder

Jenis las Jenis las yang ditentukan dalam peraturan ini adalah las tumpul, sudut, pengisi, atau tersusun.

BAB I PENDAHULUAN. bersifat monolit (menyatu secara kaku). Lain halnya dengan konstruksi yang

a home base to excellence Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : TSP 306 Sambungan Baut Pertemuan - 12

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder

Integrity, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : CIV 303. Sambungan Baut.

BAB I PENDAHULUAN. Pada suatu konstruksi bangunan, tidak terlepas dari elemen-elemen seperti

Bab II STUDI PUSTAKA

Perilaku Material Baja dan Konsep Perencanaan Struktur Baja

BAB I PENDAHULUAN. Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk

STUDI EKSPERIMENTAL VARIASI PRETENSION SAMBUNGAN BAUT BAJA TIPE SLIP CRITICAL

Torsi sekeliling A dari kedua sayap adalah sama dengan torsi yang ditimbulkan oleh beban Q y yang melalui shear centre, maka:

P ndahuluan alat sambung

Integrity, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : CIV 303. Sambungan Las.

MODUL 3 STRUKTUR BAJA 1. Batang Tarik (Tension Member)

DESAIN BALOK SILANG STRUKTUR GEDUNG BAJA BERTINGKAT ENAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam tekan sebelum terjadi kegagalan (Bowles, 1985).

Perilaku Material Baja dan Konsep Perencanaan Struktur Baja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi

BAB 1 PENDAHULUAN. metoda desain elastis. Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan

Komponen Struktur Tarik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pesat yaitu selain awet dan kuat, berat yang lebih ringan Specific Strength yang

STUDI ANALISIS DAN EKSPERIMENTAL PENGARUH PERKUATAN SAMBUNGAN PADA STRUKTUR JEMBATAN RANGKA CANAI DINGIN TERHADAP LENDUTANNYA

BAB 2 STUDI PUSTAKA. 2.1 Jenis-Jenis Material Baja Yang Ada di Pasaran. Jenis material baja yang ada di pasaran saat ini terdiri dari Hot Rolled Steel

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN PENGENALAN DESAIN STRUKTUR BAJA

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN

a home base to excellence Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : TSP 306 Batang Tarik Pertemuan - 2

BAB II DASAR-DASAR DESAIN BETON BERTULANG. Beton merupakan suatu material yang menyerupai batu yang diperoleh dengan

Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Konstruksi bangunan tidak terlepas dari elemen-elemen seperti balok dan

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR KONSTRUKSI BAJA GEDUNG DENGAN PERBESARAN KOLOM

PERENCANAAN SISTEM RANGKA PEMIKUL MOMEN KHUSUS PADA KOMPONEN BALOK KOLOM DAN SAMBUNGAN STRUKTUR BAJA GEDUNG BPJN XI

A. Struktur Balok. a. Tunjangan lateral dari balok

BAHAN KULIAH Struktur Beton I (TC214) BAB IV BALOK BETON

BAB II TEORI DASAR. seorang perencana / desainer harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan

Kuliah ke-6. UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI FAKULTAS TEKNIK Jalan Sudirman No. 629 Palembang Telp: , Fax:

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

ANALISIS PENGARUH DIMENSI DAN JARAK PELAT KOPEL PADA KOLOM DENGAN PROFIL BAJA TERSUSUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. juga memiliki iki sifat elastis dan daktilitas yang cukup tinggi gi sehingga dapat

Struktur Baja 2. Kolom

BAB I PENDAHULUAN. dengan banyaknya dilakukan penelitian untuk menemukan bahan-bahan baru atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMASANGAN STRUKTUR RANGKA ATAP YANG EFISIEN

BAHAN KULIAH STRUKTUR BAJA 1. Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik dan Informatika Undiknas University

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. perhitungan analisis struktur akan dihasilkan gaya-gaya dalam dari struktur baja

PERBANDINGAN BIAYA STRUKTUR BAJA NON-PRISMATIS, CASTELLATED BEAM, DAN RANGKA BATANG

ANALISA SAMBUNGAN BALOK DENGAN KOLOM MENGGUNAKAN SAMBUNGAN BAUT BERDASARKAN SNI DIBANDINGKAN DENGAN PPBBI 1983.

BAB II DASAR TEORI. baja yang dipakai adalah Baja Karbon (Carbon Steel) dengan sebutan Baja ASTM

PERENCANAAN RANGKA ATAP BAJA RINGAN BERDASARKAN SNI 7971 : 2013 IMMANIAR F. SINAGA. Ir. Sanci Barus, M.T.

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. Bangunan Gedung SNI pasal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

KOMPUTERISASI SAMBUNGAN LAS YANG MEMIKUL MOMEN SEBIDANG DENGAN METODE KEKUATAN BATAS BERDASARKAN SPESIFIKASI AISC LRFD 1999

KONSEP PERENCANAAN STRUKTUR BAJA WEEK 2

III. BATANG TARIK. A. Elemen Batang Tarik Batang tarik adalah elemen batang pada struktur yang menerima gaya aksial tarik murni.

PERENCANAAN PORTAL BAJA 4 LANTAI DENGAN METODE PLASTISITAS DAN DIBANDINGKAN DENGAN METODE LRFD

DAFTAR ISI. LEMBAR JUDUL... i KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... ABSTRAK...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemudahan pembuatan dan cepatnya pelaksanaan, merupakan hal-hal yang

ELEMEN STRUKTUR TARIK

STUDI PERILAKU TEKUK TORSI LATERAL PADA BALOK BAJA BANGUNAN GEDUNG DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM ABAQUS 6.7. Oleh : RACHMAWATY ASRI ( )

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG

Perancangan Struktur Atas P7-P8 Ramp On Proyek Fly Over Terminal Bus Pulo Gebang, Jakarta Timur. BAB II Dasar Teori

BAB I PENDAHULUAN Umum. Pada dasarnya dalam suatu struktur, batang akan mengalami gaya lateral

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATERI/MODUL MATA PRAKTIKUM

BAB III PEMODELAN STRUKTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PERANCANGAN. Untuk mempermudah perancangan Tugas Akhir, maka dibuat suatu alur

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan, struktur sipil. yang mutlak harus dipenuhi seperti aspek ekonomi dan kemudahan

ANALISIS SAMBUNGAN KOLOM BAJA DENGAN PONDASI BETON YANG MENERIMA BEBAN AXIAL, GESER, DAN MOMEN

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian rangka

ANALISIS TINGGI LUBANG BAJA KASTILASI DENGAN PENGAKU BADAN PADA PROFIL BAJA IWF 500 X 200

MODUL 6. S e s i 5 Struktur Jembatan Komposit STRUKTUR BAJA II. Dosen Pengasuh : Ir. Thamrin Nasution

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODIFIKASI PERENCANAAN STRUKTUR BAJA KOMPOSIT PADA GEDUNG PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS NEGERI JEMBER

2- ELEMEN STRUKTUR KOMPOSIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser membentuk struktur kerangka yang disebut juga sistem struktur portal.

MODUL PERKULIAHAN. Struktur Baja 1. Batang Tarik #1

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk satu kesatuan dengan menggunakan berbagai macam teknik penyambungan. Sambungan tersebut berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang bekerja pada titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung. Pada konstruksi baja, selain memindahkan gaya-gaya yang terjadi, fungsi/tujuan lain dilakukannya penyambungan yaitu : menggabungkan beberapa batang baja membentuk kesatuan konstruksi sesuai kebutuhan. mendapatkan ukuran baja sesuai kebutuhan (panjang, lebar, tebal, dan sebagainya). memudahkan dalam penyetelan konstruksi baja di lapangan. memudahkan penggantian bila suatu bagian/batang konstruksi mengalami rusak. memberikan kemungkinan adanya bagian/batang konstruksi yang dapat bergerak, misal peristiwa muai-susut baja akibat perubahan suhu. 2.2 Material Baja Baja terbuat dari biji besi dan logam besi tua yang dicampur dengan bahan tambahan yang sesuai, kemudian dilelehkan dalam tungku bertemperatur tinggi untuk menghasilkan massa-massa besi yang besar yang dinamakan blok tuangan

mentah (pigs) atau besi kasar (pigiron). Besi kasar tersebut selanjutnya dicampur logam lain untuk menghasilkan kekuatan, keliatan, pengelasan dan karakteristik ketahanan terhadap korosi (karat) yang diinginkan (Joseph E.Bowles, 1985). Sifat baja yang penting sebagai bahan konstruksi adalah kekuatannya yang tinggi, keseragaman bahan-bahan penyusunnya, kestabilan dimensional, daktilitas yang tinggi, kemudahan pembuatan dan cepatnya pelaksanaan. Namun, baja memiliki kekurangan seperti biaya perawatan yang besar, biaya pengadaan anti api yang besar (fire proofing cost), ketahanan terhadap perlawanan tekuk kecil, dan kekuatannya akan berkurang jika dibebani secara berulang/periodik (kondisi leleh atau fatigue). Berdasarkan persentase zat arang yang dikandung, baja dapat dikategorikan sebagai berikut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) : 1. Baja dengan persentase zat arang rendah (low carbon steel), dimana kandungan arangnya lebih kecil dari 0,15%. 2. Baja persentase zat arang ringan (mild carbon steel), 0,15% - 0,29%. 3. Baja persentase zat arang sedang (medium carbon steel), 0,30% - 0,59%. 4. Baja dengan persentase zat arang tinggi (high carbon steel), 0,60% - 1,7%. Baja untuk bahan struktur termasuk ke dalam baja yang persentase zat arangnya ringan (mild carbon steel). Semakin tinggi kadar zat arang yang terkandung di dalamnya, maka semakin tinggi nilai tegangan lelehnya. Sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan antara lain : Modulus elastisitas (E) Modulus geser (G) = 200.000 MPa = 80.000 MPa

Nisbah poisson (μ) = 0,3 Koefisien pemuaian (α) = 12 x 10-6 per o C Serta persyaratan minimum pada tabel berikut : Jenis Baja Tabel 2.1. Sifat mekanis baja struktural Tegangan putus minimum f u (MPa) Tegangan leleh minimum f y (MPa) Peregangan minimum (%) BJ 34 340 210 22 BJ 37 370 240 20 BJ 41 410 250 18 BJ 50 500 290 16 BJ 55 550 410 13 Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002 Untuk mengetahui hubungan antara tegangan dan regangan pada baja, dapat dilakukan dengan uji tarik di laboratorium. Sebagian besar percobaan atas baja akan menghasilkan bentuk hubungan antara tegangan dan regangan seperti tergambar di bawah ini. Gambar 2.1. Hubungan tegangan - regangan secara umum (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

2.3 Sambungan Konstruksi Baja Sambungan merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam perencanaan struktur baja. Hal ini dikarenakan bentuk struktur bangunan yang begitu kompleks, salah satunya sambungan antara balok dan kolom. Pada umumnya, sambungan antara balok dan kolom terdiri dari tiga elemen yaitu : balok, kolom, dan alat penyambung. Ketiga elemen tersebut harus direncanakan dengan matang agar struktur bangunan tersebut bertahan sesuai dengan fungsinya. Kegagalan dalam sambungan dapat mengakibatkan perubahan fungsi struktur bangunan, dan yang paling berbahaya adalah keruntuhan pada struktur tersebut. Untuk mencegah hal tersebut, maka kekakuan sambungan antara balok dan kolom tersebut harus memenuhi persyaratan. Ada beberapa kriteria dasar yang umum dalam merencanakan sambungan, antara lain (Ervina Sari, 2003) : 1. Kekuatan (strength) Dari segi kekuatan, sambungan harus dapat menahan momen, gaya geser, dan gaya aksial yang dipindahkan dari batang yang satu ke batang yang lain. 2. Kekakuan (stiffness) Kekakuan sambungan secara menyeluruh berguna untuk menjaga posisi komponen struktur agar tidak bergerak atau berubah antara satu dengan lainnya.

3. Kapasitas rotasi Pada sambungan yang direncanakan untuk menahan momen plastis, titik simpulnya dapat dibuat tidak terlalu kaku (rigid). Namun demikian, derajat kekakuannya harus cukup untuk memungkinkan redistribusi momen yang sesuai dengan asumsi analisis. Oleh sebab itu, sambungan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kapasitas rotasi yang cukup selama menyokong momen plastis. 4. Cukup ekonomis Sambungan harus cukup sederhana agar biaya fabrikasinya murah, namun tetap memenuhi syarat kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaannya. Ditinjau dari segi kekakuannya, sambungan dapat dibagi menjadi (Ervina Sari, 2003) : 1. Sambungan defenitif, artinya tidak dapat dibuka lagi tanpa merusak alatalat penyambungnya (menggunakan paku keling atau pengelasan). 2. Sambungan tetap, dimana bagian yang disambung tidak dapat bergerak lagi (menggunakan paku keling atau pengelasan). 3. Sambungan sementara, dapat dibuka lagi tanpa merusak alat-alat penyambungnya (menggunakan baut). 4. Sambungan bergerak, sambungan ini memungkinkan pergerakan yang dibutuhkan menurut perhitungan statis pada bagian-bagian yang akan disambung (menggunakan engsel/sendi dan landasan/tumpuan).

Sambungan juga dapat digolongkan menurut (Ervina Sari, 2003) : 1. Metode alat penyambung, seperti : las, pin, baut, baut mutu tinggi, dan paku keeling. 2. Kekuatan geser sambungan (connection, rigidity) : a. Sambungan Kaku, dimana kapasitas momen disalurkan secara penuh ke komponen yang disambung dan sudut yang terjadi antara sambungan dipertahankan agar relatif konstan. b. Kerangka Sederhana, dimana tidak terjadi perpindahan momen diantara bagian-bagian yang disambung (momen yang terjadi kecil, sehingga dapat diabaikan). c. Sambungan Semi-kaku, kapasitas momen yang dipindahkan kurang dari kapasitas momen penuh dari bagian-bagian konstruksi yang disambung. 2.3.1 Sambungan Momen (Moment Connections) Karakteristik sambungan dapat dipahami berdasarkan gambaran rotasi akibat adanya gaya yang diberikan. Rotasi yang terjadi membuat perubahan sudut antara sambungan seperti yang terlihat pada gambar berikut. Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan (Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995)

Berdasarkan kurva momen-rotasi (M-Ø), sambungan dapat diklasifikasikan dalam tiga karakteristik seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.3. Tiga karakteristik tersebut adalah (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) : 1. Momen tahanan (moment resistance), yaitu berupa sambungan full strength, partial strength, atau nominally pinned (tidak ada momen penahan). 2. Rotasi kekakuan (rotational stiffnes), dimana sambungan berifat rigid, semi-rigid, atau nominally pinned (dimana tidak ada rotasi kekakuan). 3. Kapasitas rotasi (rotational capacity), dimana sambungan perlu berdeformasi dan memerlukan rotasi plastis dari suatu tahapan gaya tanpa mengalami keruntuhan. Kurva momen-rotasi adalah grafik hubungan antara momen (sumbu y) dan rotasi (sumbu x) dari suatu sambungan. Momen (M) dalam hal ini diakibatkan oleh beban yang bekerja pada bidang balok terhadap sambungan dalam jarak tertentu. Rotasi (Ø) adalah perpindahan balok terhadap kolom dalam arah dan sudut tertentu.

Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen (Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) Pada umumnya, kurva momen-rotasi dari sebuah sambungan dapat memberikan beberapa sifat atau karakteristik sebagai berikut (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) : 1. Kekakuan dari sebuah sambungan diidentifikasi dari kemiringan kurva. 2. Perilaku sambungan pada umumnya adalah non linier, dimana kekakuan menurun sedangkan rotasi meningkat. 3. Pada Gambar 2.3c, daktilitas meningkat seiring meningkatnya rotasi. Sebuah sambungan dapat dinyatakan ductile (elastis) jika memenuhi syarat bahwa rotasi yang terjadi lebih besar dari 0,03 radians.

Pada Gambar 2.3a, sehubungan dengan kekuatan (strength), sambungan diklasifikasikan menjadi full strength, partial strength, dan nominally pinned : Sambungan full strength didefinisikan sebagai sambungan dengan moment resistance/tahanan M sama atau lebih besar dari moment capacity/kapasitasnya (M Mcx). Kurva 1, 2, dan 4 menunjukkan sambungan full strength. Sambungan partial strength didefinisikan sebagai sambungan moment resistance/tahanan M sama atau kurang dari moment capacity/kapasitasnya (M Mcx). Kurva 3 dan 5 termasuk ke dalam klasifikasi partial strength. Sedangkan nominally pinned adalah sambungan yang cukup fleksibel dengan momen resistance/tahanan tidak lebih 25% dari moment capacity/kapasitasnya. Kurva 6 menggambarkan sambungan tipe nominally pinned. Pada Gambar 2.3b, kekakuan (rigidity) sama dengan kekakuan rotasi dimana kurva 1, 2, 3, dan 4 menunjukkan sambungan rigid. Sedangkan kurva 5 termasuk dalam klasifikasi sambungan semi-rigid. Dalam peraturan BS5950 dijelaskan bahwa garis putus-putus antara rigid dengan semi-rigid diperoleh dari rumus 2EI/L. Pada Gambar 2.3c, kurva 2, 4, dan 5 adalah sambungan ductile (elastis). Kurva 1 tidak elastis dan kurva 3 berada antara elastis dan tidak

elastis. Kurva 6 merupakan jenis sambungan nominally pinned, sehingga merupakan sambungan sederhana. Pedoman mengenai sifat yang diperlukan untuk perencanaan sambungan pada rangka bangunan dari beberapa metode yang sedang populer pada saat sekarang ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.2. Metode perencanaan rangka bangunan Tipe Rangka Perencanaan Analisa Global Sifat Sambungan Contoh Gambar 2.3 Metode Catatan Simple/ Sederhana Sendi Nominally pinned 6 Sambungan pada Konstruksi Sederhana (Catatan 2) Metode ekonomi untuk perkuatan rangka bertingkat. Perencanaan sambungan dibuat untuk kekuatan geser saja. Elastis Rigid 1,2,3,4 Bagian 2 Analisa elastis secara konvensional. Continuous/ Menerus (Catatan 1) Plastis Full strength 1,2,4 Bagian 2 Sendi plastis terbentuk pada komponen penyusun yang Elastis-Plastis Full strength berdekatan, bukan pada 1,2,4 Bagian 2 dan rigid sambungan. Terkenal untuk perencanaan rangka portal. Elastis Semi-rigid 5,6 Tidak tercakup Sambungan dimodelkan sebagai rotasi pegas. Asumsi kekakuan sambungan sulit ditampilkan. Semicontinuous/ Semi-menerus (Catatan 2) Plastis Elastis-Plastis Partial strength dan ductile Partial strength dan/atau semirigid 5,6 Bagian 3 Lainnya Tidak tercakup Perencanaan momenangin merupakan variasi dari metode ini. Sambungan bersifat penuh dimodelkan pada analisis ini. Merupakan alat penelitian bukannya metode perencanan praktis. Catatan 1 Catatan 2 BS 5950 mengacu pada metode perencanaan masing-masing sebagai Kaku dan Semi-kaku tetapi hal ini dapat membingungkan karena mencakup sifat-sifat selain kekakuan. Lihat pada referensi The Steel Construction Institute, and British Constructional Steelwork Association Ltd (Joints in Simple Construction) Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995

Dimana : Full strength connection (sambungan kuat sepenuhnya), yaitu sambungan dimana momen tahanannya setidaknya sama dengan komponen yang disambung. Partial strength connection (sambungan kuat sebagian), yaitu sambungan dimana momen tahanannya lebih kecil dari komponen yang disambung. Rigid connection (sambungan kaku), yaitu sambungan yang kekakuannya cukup untuk menahan sifat fleksibel rangka bangunan akibat adanya momen lentur sehingga dapat diabaikan. Semi-rigid connection (sambungan semi-kaku), merupakan sambungan yang sangat fleksibel untuk dianggap bersifat kaku namun juga bukan bersifat sendi. Nominally pinned connection (sambungan sendi), yaitu sambungan yang cukup fleksibel dianggap sebagai sendi untuk tujuan analisis. Sambungan ini, secara defenisi, bukan merupakan sambungan momen melainkan sambungan partial strength yang mampu melawan kurang dari 25% M cx, sehingga dianggap sebagai sambungan sendi. Ductile connection (sambungan elastis), merupakan sambungan yang kapasitas rotasinya dianggap sebagai sendi plastis. Simple design (desain sederhana), merupakan metode pendesainan rangka yang sambungannya diasumsikan tidak terjadi momen yang mempengaruhi, baik sambungan itu sendiri maupun struktur secara keseluruhan.

Continuous design (desain menerus), merupakan metode pendesainan rangka yang sifat sambungannya tidak dimodelkan dalam analisa rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungannya bersifat rigid, atau analisa plastis dimana sambungannya full strength. Semi-continuous design (desain semi-menerus), merupakan metode pendesainan rangka yang sifat sambungannya dimodelkan dalam analisa rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungan semi-kakunya dimodelkan sebagai rotasi pegas, atau analisa plastis dimana sambungannya kuat sebagian dan dimodelkan sebagai sendi plastis. 2.3.2 Sambungan Berdasarkan Karakteristik Kekakuan (Rigidity) Selain Sambungan Momen di atas, menurut AISC-1.2 tentang perencanaan tegangan kerja (working stress) dan AISC-2.1 tentang perencanaan plastis, konstruksi baja dibedakan atas tiga kategori sesuai dengan jenis sambungan yang dipakai. Ketiga jenis ini adalah sebagai berikut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995) : 1. Jenis 1 AISC. Sambungan portal kaku (rigid connection), 2. Jenis 2 AISC. Sambungan kerangka sederhana (simple framing), 3. Jenis 3 AISC. Sambungan kerangka semi-kaku (semi-rigid connection). Gambar 2.4 memperlihatkan grafik persamaan garis balok dan kelakuan momen-rotasi dari sambungan Jenis 1, 2, dan 3. Sambungan kaku

umumnya harus memikul momen ujung M 1, yang sekitar 90% dari M Fa atau lebih; jadi derajat pengekangannya dapat dikatakan 90%. Sambungan sederhana (Jenis 2) hanya dapat menahan 20% dari momen M Fa atau kurang, seperti yang ditunjukkan oleh momen M 2, sedangkan sambungan semi-kaku diperkirakan menahan momen sebesar M 3, yang mungkin sekitar 50% dari momen primer M Fa. Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995) 2.3.2.1 Sambungan Kaku (Rigid Connection) Sambungan ini memiliki kontinuitas penuh sehingga sudut pertemuan antara batang-batang tidak berubah, yakni pengekangan (restraint) rotasi sekitar 90% atau lebih dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan ini dipakai baik pada metode perencanaan tegangan kerja maupun perencanaan plastis (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).

Ø θ θ1 = θ2 Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan kaku (Sumber : Ervina Sari, 2003) Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut Tipe FR (Fully Restrained/terkekang penuh) dan dalam ASD-A2.2 dikenal sebagai Tipe 1. Biasanya, sambungan jenis ini digunakan pada bangunan yang strukturnya direncanakan tahan terhadap angin dan gempa (Jack C. McCormac, 2008). Flange Plates T - Sections Seated connection with stiffener angles Flange Plates T - Sections Seated connection with stiffener angles Flange Plates T - Sections Seated connection with stiffener angles Gambar 2.6. Sambungan rigid connection (Sumber : Jack C. McCormac, 2008, dan Dian Sukma Arifwan, 2007) Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini dianggap memiliki kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen yang disambung.

2.3.2.2 Sambungan Sederhana (Simple Framing) Pengekangan rotasi di ujung-ujung batang pada sambungan ini dibuat sekecil mungkin. Suatu kerangka dapat dianggap sederhana jika sudut semula antara batang-batang yang berpotongan dapat berubah sampai 80% dari besarnya perubahan teoritis yang diperoleh dengan menggunakan sambungan sendi tanpa gesekan (frictionless). Kerangka sederhana tidak digunakan dalam perencanaan plastis, kecuali pada sambungan batang-batang tegak lurus bidang portal yang harus mencapai kekuatan plastis (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995). θ1 = 0 Gambar 2.7. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan sederhana (Sumber : Ervina Sari, 2003) Ø 0 θ relative lebih besar Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut Tipe PR (Partially Restrained/terkekang sebagian) dan dalam ASD-A2.2 dikenal sebagai Tipe 2 (Jack C. McCormac, 2008).

End return Web Ls Erection bolt Framed Simple Connection Top L Alternative location of top L Field bolts Seat L Seated Simple Connection Single-plate or shear tab simple connection Gambar 2.8. Sambungan simple connection (Sumber : Jack C. McCormac, 2008) Menurut SNI 03-1729-2002, jenis sambungan ini dipakai untuk menyambung suatu balok ke balok lainnya atau ke sayap kolom. Pada sambungan ini, siku penyambung dibuat sefleksibel mungkin dan sambungan pada kedua ujung komponen struktur dianggap bebas momen. 2.3.2.3 Sambungan Semi-kaku (Semi-rigid Connection) Pengekangan rotasi sambungan berkisar antara 20% - 90% dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan semi-kaku tidak dipakai dalam perencanaan plastis dan jarang sekali digunakan pada metode tegangan kerja, terutama karena derajat pengekangannya sukar ditentukan (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).

θ1 θ2 0 < Ø < θ Gambar 2.9. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan semi-kaku (Sumber : Ervina Sari, 2003) Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini juga termasuk ke dalam Tipe PR (Partially Restrained/terkekang sebagian), dimana penggunaanya tergantung pada proporsi tertentu dari kekangan penuh. Dalam ASD- A2.2, desain sambungan semi-rigid menghendaki kapasitas momen pada derajat pertengahan antara rigiditas Tipe 1 dan fleksibilitas Tipe 2 (Jack C. McCormac, 2008). (a) single web angle (b) single plate (c) double web angle (d) header plate (e) top and seat angle (f) top and seat angle with double web angle (g) extended end plate (h) flush end plate (i) T - stub Gambar 2.10. Sambungan semi-rigid connection (Sumber : Chen & Lui, 1991)

Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen yang disambung. 2.4 Alat Sambung Konstruksi Baja 2.4.1 Baut Pada suatu struktur yang terbuat dari konstruksi baja, baut merupakan suatu elemen yang paling vital untuk diperhitungkan, karena merupakan alat sambung yang paling sering digunakan. 2.4.1.1 Jenis Baut Ada beberapa jenis baut yang digunakan dalam perencanaan sambungan, antara lain (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) : a. Baut Mutu Tinggi (ASTM A 325 dan A 490 ) Baut ini berkekuatan leleh minimal 372 MPa dan mampu mengatasi slip antara dua elemen baja yang disambung pada struktur rangka batang memikul gaya aksial. Baut A 325 terbuat dari baja karbon sedang yang diberi perlakuan panas sekitar 558 sampai 634 MPa yang tergantung pada diameter. Baut A 490 juga diberi perlakuan panas tetapi dibuat dari baja paduan (alloy) dengan kekuatan leleh sekitar 793 sampai 896 MPa yang tergantung pada diameter baut. Alat sambung ini memiliki kepala segi enam yang tebal dan digunakan dengan mur segi enam yang setengah halus dan tebal seperti diperlihatkan pada gambar berikut.

Gambar 2.11. Alat sambung baut (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997) Bagian ulirnya lebih pendek daripada bagian baut yang tidak struktural, dan dapat dipotong atau digiling. Diameter baut kekuatan tinggi berkisar antara ½ dan 1 ½ inchi. Diameter yang paling sering digunakan pada konstruksi gedung adalah ¾ sampai 7 / 8 inchi, sedang ukuran yang paling umum digunakan dalam perencanaan jembatan adalah 7 / 8 dan 1 inchi.

Pemasangan baut mutu tinggi Kekuatan alat sambung baut mutu tinggi ditentukan oleh dimensinya, tipe bautnya, kekuatan leleh (tensile strength), panjang ulir di dalam elemen pelat, dan putaran untuk tarik awal. Pada pemasangannya, baut mutu tinggi memerlukan pemberian gaya pratarik yang memadai. Gaya pratarik harus sebesar mungkin tanpa mengakibatkan deformasi permanen dan kehancuran dari baut. Sebagai ganti tegangan leleh, digunakan istilah proof load, dimana beban diperoleh dengan mengalikan luas tegangan tarik dengan tegangan leleh yang ditetapkan berdasarkan regangan tetap 0,2% atau perpanjangan 0,5% akibat beban (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997). Gaya pratarik yang ditetapkan AISC sama dengan 70% dari minimum tensile strength seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3 dan tarikan ini sama dengan proof load. Tabel 2.3. Tarikan baut minimum Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997

AISC menetapkan 3 (tiga) macam teknik umum untuk mencapai besarnya pretension, yaitu (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) : Metode calibrated wrench (kunci yang dikalibrasi) Menggunakan kunci puntir manual (manual torque wrenches) dan kunci otomatis (power wrenches) yang diatur agar berhenti pada nilai puntir yang ditentukan, untuk menimbulkan tarikan baut sedikitnya 5% di atas nilai yang ditunjukan dalam Tabel 2.3. Metode turn of the nut (putaran mur) Gaya tarikan awal baut diperoleh dengan menetapkan rotasi mur pada awal snug tig position (titik erat) yang menimbulkan besarnya regangan tertentu pada baut. Mur dipandang berada pada titik erat setelah beberapa kejutan dari kunci kejut atau seluruh kemampuan manusia dengan kunci mekanik biasa tidak dapat memutarnya lagi. Metode direct tension indication Metode ini menggunakan alat berupa cincin pengeras (cincin indicator) dengan sejumlah tonjolan keluar pada salah satu mukanya. Cincin indicator dipasang antara kepala baut dan bahan yang disambung dengan tonjolan keluar menumpu pada sisi bawah kepala baut atau menumpu pada pelat nut face washer yang diletakkan antara cincin indicator dan mur, sehingga terdapat gap akibat cincin indicator tersebut. Tarikan baut ditentukan dari pengukuran gap yang tersisa dengan menggunakan feeler gage.

Sambungan baut mutu tinggi dapat didesain sebagai sambungan tipe friksi (jika dikehendaki tak ada slip) atau juga sebagai sambungan tipe tumpu. a. Sambungan Tipe Tumpu Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut yang dikencangkan dengan tangan atau baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan gaya tarik minimum yang disyaratkan, yang kuat rencananya disalurkan oleh gaya geser pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang disambungkan. Sambungan ini digunakan apabila kelebihan beban tidak penting walaupun menyebabkan tangkai baut mendesak sisi lubang. Untuk pembebanan lainnya, beban dipindahkan oleh gesekan bersama dengan desakan pelat. Gelinciran hanya akan terjadi sekali asalkan pembebanan bersifat statis dan tak berubah arah dan setelah itu baut akan bertumpu pada bahan di sisi lubang. Gambar 2.12. Mekanisme sambungan tumpu 2 2 Dody B., 2012, Desain Konstruksi Baja, diunduh dari http://dodybrahmantyo.dosen.narotama. ac.id/files/2012/05/konstruksi-baja-3_sambungan-baut.pdf (28 Mei 2014).

b. Sambungan Tipe Friksi Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan tarikan baut minimum yang disayaratkan sedemikian rupa sehingga gaya-gaya geser rencana disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam bidang kontak dan gesekan yang ditimbulkan antara bidangbidang kontak. Tipe ini digunakan apabila gelinciran pada beban kerja tidak dikehendaki. Pada tipe ini daya tahan gelincir memadai pada kondisi beban kerja harus disediakan di samping kekuatan sambungan yang memadai. Gambar 2.13. Mekanisme sambungan friksi 2 Apabila dikehendaki sambungan tanpa slip (tipe friksi), maka satu baut yang hanya memikul gaya geser terfaktor Vu dalam bidang permukaan friksi harus memenuhi (Agus Setiawan, 2008) : Vu < φvn Vu < φ. 1,13 μ. m. proof load Dimana : φ = 1,0 untuk lubang standar

μ = koefisien gesek (0,35) m = jumlah bidang geser Proof load adalah gaya tarik awal yang diperoleh dari pengencangan awal, memberikan friksi sehingga cukup kuat untuk memikul beban yang bekerja. Menurut Spesifikasi AISC setiap baut kekuatan tinggi harus dipasang dengan cara yang sama hingga tarikan awalnya sama tanpa memandang tipe sambungan apakah tipe geser atau tipe tumpu. Penampilan pada beban kerja pada umumnya identik yaitu beban kerja disalurkan melalui gesekan antara potongan yang disambung. Perbedaan penampilan hanyalah akibat perbedaan faktor keamanan terhadap gelincir. b. Baut Hitam (ASTM A 307 ) Baut ini terbuat dari baja karbon rendah dan merupakan jenis baut paling murah. Namun, baut ini belum tentu menghasilkan sambungan yang paling murah karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada suatu sambungan. Pemakaiannya terutama pada struktur ringan, batang sekunder atau pengaku, anjungan (platform), jalan haluan (cat walk), gording, rusuk dinding, rangka batang yang kecil dan lain-lain yang bebannya kecil dan bersifat statis. Baut ini juga dipakai sebagai alat penyambung sementara pada sambungan yang menggunakan baut kekuatan tinggi, paku keling atau las.

c. Baut Sekrup (Turned Bolt) Dibuat dengan mesin, berbentuk segi enam dengan toleransi yang lebih kecil (sekitar 1/50 inchi) bila dibandingkan dengan baut hitam. Digunakan bila sambungan memerlukan baut yang pas dengan lubang yang dibor. d. Baut Bersirip (Ribbed Bolt) Terbuat dari baja paku keling biasa, berkepala bundar dengan tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Bermanfaat pada sambungan tumpu (bearing) dan sambungan yang mengalami tegangan berganti (bolak-balik). Tabel 2.4. Sifat-sifat baut Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997

Perbandingan Baut Mutu Tinggi dan Baut Biasa Pada sambungan antara balok dan kolom dengan menggunakan baut mutu tinggi akan menambah kapasitas daya dukung sambungan itu, bukan saja karena kekuatan bautnya, tapi juga karena pengaruh tarik minimum dengan cara pemutaran mur oleh kunci momen yang telah ditentukan standarnya berdasarkan baut yang digunakan. Pengaruh adanya pratarik ini menyebabkan terjadinya gaya gesekan antara dua elemen pelat yang disambung. Untuk baut mutu biasa/hitam yang tidak mampu memikul pratarik atau baut mutu tinggi yang tidak diberi pratarik (pretension) dimodelkan menjadi suatu tampang kontinu dengan cara mengkonversi luasan baut dan luasan pelat dimana masing-masing menerima tarik pada daerah atas dan menerima tekan pada daerah bawah garis netral (tampang berbentuk T terbalik). Baut mutu tinggi tidak lagi seperti permodelan baut mutu biasa akibat baut terlebih dahulu telah mengalami tarik minimum (gaya pratarik). Artinya, semua baut mengalami tarik dan semua bidang kontak mengalami tekan. Ketika beban luar bekerja (momen luar), garis netral berada di tengah-tengah kumpulan alat sambung (Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010).

Baut Tertarik Pratarik d δ a s f M f i f i f M Baut h-x Bila f M > f N Kolom Hub. Balok-Kolom PL h x b x tp Pelat Tertekan b x f M 0,5 h f M f N Kondisi tidak diberi Pratarik (Baut Mutu Biasa) Kondisi diberi Pratarik (Baut Mutu Tinggi) Gambar 2.14. Permodelan sambungan baut dalam kondisi tidak diberi pratarik dan diberi pratarik (Sumber : Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010) Dimana dapat dihitung besarnya luasan pengganti baut 3 : Kemudian, tegangan pada serat paling atas dapat diperoleh dengan menghitung inersia tampang luasan pengganti 3 : -, maka - - - - - 3 Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010, Analisa Baut Mutu Tinggi Serta Aplikasinya Pada Hubungan Balok-Kolom, Jurnal, Universitas Sumatera Utara.

Dibandingkan dengan perilaku sambungan menggunakan alat sambung baut mutu tinggi yang diberi pratarik, permodelan tampang luasan pengganti tidak lagi digunakan. Hal ini dikarenakan seluruh baut telah terlebih dahulu diberi gaya pratarik (pretension) sebesar T. Akibat pemberian gaya awal tersebut, maka seluruh baut mengalami tarikan dan seluruh pelat mengalami gaya tekan. Dengan demikian, perilaku penggunaan baut mutu tinggi berbeda dengan baut mutu biasa yang tidak diberikan perilaku pratarik. Akibat penguncian atau pemberian gaya pratarik pada baut mutu tinggi, timbul gaya perlawanan geser yang akan memberikan faktor keamanan yang lebih besar dibanding perilaku baut mutu biasa (Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010). 2.4.1.2 Kekuatan Baut Sebelum memutuskan sambungan apa yang akan digunakan pada suatu konstruksi, kita harus mengetahui kekuatan sambungan tersebut. Dalam hal menentukan kekuatan sambungan baut, yang ditinjau adalah ketahanan dari aspek geser, tarik, dan desak (tumpu), baik terhadap alat sambungnya maupun material yang disambungkan. Suatu baut yang memikul gaya terfaktor Ru, sesuai persyaratan LRFD harus memenuhi persyaratan (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) : R u φ R n Dimana : φ = faktor reduksi kekuatan, yaitu 0,75

R n = tahanan nominal baut, dimana nilai setiap tipe sambungan berbeda-beda Nilai tahanan nominal baut tersebut diperoleh berdasarkan tahanan-tahanan yang direncanakan dalam menghitung kekuatan baut, yaitu (Dian S. Arifwan, 2007) : 1. Tahanan geser rencana : Hampir semua hubungan struktural baut harus dapat mencegah terjadinya gerakan material yang disambung dalam arah tegak lurus terhadap panjang baut seperti terlihat pada Gambar 2.15. bidang geser Gambar 2.15. Baut yang mengalami geser tunggal (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) Pada kasus seperti ini, baut mengalami geser. Pada hubungan tumpang tindih (lap joint) seperti ini, baut mempunyai kecenderungan untuk mengalami geser di sepanjang bidang kontak tunggal antara kedua pelat yang disambung. Karena baut menahan kecenderungan pelat-pelat saling menggelincir pada bidang kontak dan karena baut mengalami geser pada satu bidang saja, maka baut tersebut mengalami geser tunggal. Pada hubungan lurus (butt joints) seperti terlihat pada Gambar 2.16, ada dua bidang kontak sehingga baut memberikan tahanannya di

sepanjang dua bidang tersebut dan disebut geser rangkap. bidang geser Gambar 2.16. Baut yang mengalami geser rangkap (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) Kapasitas pikul beban atau kekuatan desain sebuah baut yang mengalami geser tunggal maupun rangkap sama dengan hasil kali antara jumlah bidang geser dengan tegangan geser putus di seluruh luas bruto penampang melintangnya, sehingga (SNI 03-1729-2002) : Dimana : m = jumlah bidang geser r 1 r 1 = 0,5 ; untuk baut tanpa ulir pada bidang geser = 0,4 ; untuk baut dengan ulir pada bidang geser = kuat tarik baut (MPa) A b = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir 2. Tahanan tarik rencana : Sesuai dengan keadaan batas retak dalam tarik dan bentuk kegagalan yang terlihat dalam Gambar 2.17, kekuatan nominal Rn pada suatu penyambung dalam tarik adalah (SNI 03-1729-2002) :

kegagalan tarik baut kegagalan tarik pelat Gambar 2.17. Kegagalan tarik (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) Jarak antar baut S yang biasa menurut arah transmisi gaya paling tidak harus sebesar 3 kali diameter dan tidak boleh kurang dari 2 2 / 3 diameter baut. Karena Rn merupakan kekuatan nominal yang disyaratkan, yang sama dengan beban terfaktor P yang bekerja pada satu baut dibagi dengan faktor resistansi φ, maka : Dimana : P = beban terfaktor yang bekerja pada satu baut φ = 0,75 F u = kuat tarik pelat t = tebal pelat d b = diameter baut Persyaratan untuk jarak ujung S 1 pada arah gaya baut sedemikian rupa sehingga tidak terjadi patahan adalah :

Dimana : P = beban terfaktor per baut φ = 0,75 F u = kuat tarik pelat t = tebal pelat 3. Tahanan tumpu (desak) rencana Kekuatan batas tumpu berkaitan dengan deformasi di sekitar lobang baut, seperti yang terlihat pada Gambar 2.18. Kekuatan tumpu Rn merupakan gaya yang bekerja terhadap sisi lobang yang akan memecah atau merobek pelat. Semakin besar jarak ujung L diukur dari pusat lobang ke pinggiran, semakin kecil kemungkinan terjadinya robekan. kegagalan tumpu baut kegagalan tumpu pelat Gambar 2.18. Kegagalan tumpu (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) Meskipun baut dalam suatu hubungan telah memadai dalam meneruskan beban yang bekerja dengan mengalami geser, namun masih dapat gagal kecuali apabila material yang disambung dapat meneruskan beban ke baut dengan baik. Distribusi sesungguhnya mengenai tekanan

tumpu pada material di sekeliling lobang tidak diketahui sehingga luas kontak yang diambil adalah diameter nominal dikalikan dengan tebal material yang disambung. Ini diambil dengan anggapan bahwa tekanan merata terjadi pada luas segiempat. Nilainya tergantung pada kondisi terlemah dari baut atau komponen pelat yang disambung, dimana (SNI 03-1729-2002) : Dimana : d b = diameter baut pada daerah tak berulir t p f u = tebal pelat = kuat tarik putus terendah dari baut atau pelat 2.4.1.3 Kriteria Perencanaan Baut Dalam perencanaan baut, ada beberapa ketentuan mengenai tata letak/susunan baut pada suatu sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) : a. Jarak antar pusat lubang baut tidak boleh kurang dari 3 kali diameter nominal baut. b. Jarak minimum dari pusat lubang baut tepi ke ujung pelat harus memenuhi tabel berikut : Tabel 2.5. Jarak tepi minimum baut Tepi dipotong dengan tangan Tepi dipotong dengan tangan Tepi profil bukan hasil potongan 1,75 d b 1,50 d b 1,25 d b dimana d b adalah diameter nominal baut pada daerah tak berulir. Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002

c. Jarak antara pusat lubang baut tidak boleh melebihi 15 t p atau 200 mm (t p adalah tebal pelat lapis tertipis pada sambungan). d. Jarak dari pusat tiap lubang baut ke tepi terdekat suatu bagian yang berhubungan dengan tepi yang lain tidak boleh lebih dari 12 t p atau 150 mm. S1 S S1 S1 S S S1 3 d b < S < 15 t p atau 200 mm 1,5 d b < S 1 < 12 t p atau 150 mm Gambar 2.19. Tata letak baut (Sumber : Agus Setiawan, 2008) 2.4.1.4 Sambungan Kombinasi Geser dan Tarik Menggunakan Baut Pada umumnya, sambungan yang ada merupakan kombinasi geser dan tarik. Contoh sambungan yang merupakan kombinasi geser dan tarik terlihat pada Gambar 2.20. Pada sambungan (a), akibat adanya momen maka baut tepi atas akan mengalami tarik yang sebanding dengan momen yang bekerja. Sambungan ini digunakan bila momen tidak terlalu besar, dan untuk momen yang besar biasanya digunakan sambungan (b), dimana momen disalurkan melalui sayap dan diterima oleh baut-baut pada sayap tersebut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997).

Gambar 2.20. Sambungan kombinasi geser dan tarik (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) a. Sambungan Tipe Tumpu Dalam perencanaan sambungan yang memikul kombinasi geser dan tarik, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi (Agus Setiawan, 2008) : 1. f uv = 0,5. φ. f u b. m tanpa ulir di bidang geser 2. φ. R nt = φ. f t. A b > 0,4. φ. f u b. m dengan ulir di bidang geser b. Sambungan Tipe Friksi Untuk sambungan tipe friksi, berlaku hubungan (Agus Setiawan, 2008) : ( ) Dimana : Vn = 1,13. μ. proof load. m

Proof load = 0,75. A b. proof stress A b T u n = luas bruto baut = beban tarik terfaktor = jumlah baut 2.4.2 Las 2.4.2.1 Jenis Las Dalam pekerjaan konstruksi, ada empat tipe pengelasan, yaitu (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997) : a. Las Tumpul (Groove Weld) Berguna untuk menghubungkan batang-batang struktur yang dipaskan pada bidang yang sama. Karena las tersebut harus menyalurkan beban penuh batang-batang yang dihubungkannya, maka las tersebut harus memiliki kekuatan yang sama dengan batang-batang yang digabungkan. b. Las Sudut (Fillet Weld) Merupakan jenis las yang paling banyak digunakan karena hemat, mudah dipabrikasi, dan adaptibilitasnya baik, serta tidak membutuhkan presisi pada pengepasannya karena cukup ditumpang-tindihkan. c. Las Baji (Slot) dan Pasak (Plug) Las baji dan pasak dapat digunakan secara tersendiri pada sambungan atau dikombinasikan dengan las sudut. Manfaat utamanya adalah menyalurkan gaya geser pada sambungan

lewatan bila ukuran sambungan membatasi panjang yang tersedia untuk las sudut atau las sisi lainnya, serta mencegah terjadinya tekuk pada bagian-bagian yang saling tumpang tindih. Las tumpul (a) Las tumpul (b) Las sudut Las sudut (a) Persegi (b) V tunggal (c) V ganda (d) Lereng tunggal (e) Lereng ganda (f) U tunggal (a) Pelat lewatan (b) Pelat kopel (c) Sambungan bercelah (d) Sam (c) Las baji (d) Las pasak Gambar 2.21. Jenis-jenis las (g) U ganda (h) J tunggal (i) J ganda (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) 2.4.2.2 Jenis Sambungan Las (e) Konsol pendek (f) Pelat alas balok (g) Pelat alas kolom (h) Sam Beberapa jenis sambungan yang sering ditemui dalam sambungan las adalah (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997) : a. Sambungan sebidang (butt joint), dipakai untuk pelat-pelat datar dengan ketebalan sama atau hampir sama, dan tidak memiliki (i) Siku penyambung balok (j) Penampang bentukan eksentrisitas. b. Sambungan lewatan (lap joint), untuk pelat dengan tebal yang berlainan, mudah dibuat dan disesuaikan di lapangan.

c. Sambungan tegak (tee joint), untuk membuat penampang tersusun seperti bentuk I, pelat girder, dan stiffner. d. Sambungan sudut (corner joint), untuk penampang tersusun berbentuk kotak pada kolom atau balok yang menerima gaya torsi yang besar. e. Sambungan sisi (edge joint), bukan jenis sambungan struktural dan digunakan untuk menjaga agar dua atau lebih pelat tidak bergeser satu dengan lainnya. (a) butt joint (b) lap joint (c) tee joint (d) corner joint (e) edge joint Gambar 2.22. Jenis-jenis sambungan las (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) 2.4.2.3 Kekuatan Las Filosofi umum dari LRFD terhadap persyaratan keamanan suatu struktur untuk las adalah sebagai berikut (SNI 03-1729-2002) : R u φ R nw Dimana : R u = beban terfaktor per satuan panjang las φ = faktor reduksi tahanan R nw = tahanan nominal per satuan panjang las

Nilai kuat rencana per satuan panjang masing-masing jenis las diperoleh berdasarkan (SNI 03-1729-2002) : a. Kuat las tumpul Bila sambungan dibebani gaya tarik atau gaya tekan aksial terhadap luas efektif : φ R nw = 0,9. t e. f y φ R nw = 0,9. t e. f yw (bahan dasar) (las) Bila sambungan dibebani gaya geser terhadap luas efektif : φ R nw = 0,9. t e (0,6. f y ) φ R nw = 0,8. t e (0,6. f uw ) (bahan dasar) (las) Dimana : f y, f u = tegangan leleh dan tegangan tarik putus b. Kuat las sudut φ R nw = 0,75. t e (0,6. f u ) φ R nw = 0,75. t e (0,6. f uw ) (bahan dasar) (las) c. Kuat las baji dan pasak φ R nw = 0,75 (0,6. f uw ). A w Dimana : A w = luas geser efektif las f uw = kuat tarik putus logam las

2.4.2.4 Kriteria Perencanaan Las Ada beberapa ketentuan mengenai perencanaan las pada suatu sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) : a. Las tumpul penetrasi penuh : terdapat penyatuan antara las dan bahan induk sepanjang kedalaman penuh sambungan. tebal rencana las adalah ukuran las. penetrasi sebagian : kedalaman penetrasi lebih kecil daripada kedalaman penuh sambungan. Gambar 2.23. Tebal efektif las tumpul (Sumber : Agus Setiawan, 2008) b. Las sudut ukuran las ditentukan oleh panjang kaki (t w ) seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.24. Ukuran las sudut (Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002) ukuran minimum las sesuai dengan tabel berikut : Tabel 2.6. Ukuran minimum las sudut Tebal bagian paling tebal, t (mm) Tebal minimum las sudut, t w (mm) t 7 3 7 < t 10 4 10 < t 15 5 15 < t 6 Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002 ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi komponen yang disambung adalah : Gambar 2.25. Ukuran maksimum las sudut (Sumber : Agus Setiawan, 2008)

tebal efektif las sudut sesuai dengan gambar berikut : Gambar 2.26. Tebal efektif las sudut (Sumber : Agus Setiawan, 2008) panjang efektif las paling tidak 4 kali ukuran las; jika kurang, maka ukuran las perencanaan dianggap sebesar 0,25 dikali panjang efektif. luas efektif adalah perkalian panjang efektif dengan tebal rencana las. jarak melintang antara las yang menerus harus < 32 t p. jarak melintang antara las yang tidak menerus, tidak boleh melebihi nilai terkecil dari : komponen menerima gaya tekan : 16 t p dan 300 mm. komponen menerima gaya tarik : 24 t p dan 300 mm. 2.5 Hubungan Sambungan Antara Balok dan Kolom Sambungan antara balok ke kolom ditujukan untuk memindahkan semua momen dan memperkecil atau meniadakan rotasi batang pada sambungan, seperti sambungan pada AISC Jenis 1, LRFD Tipe FR, atau ASD Tipe 1 (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997).

Gambar 2.27. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke sayap kolom) (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995) Kolom dapat berhubungan secara kaku dengan balok-balok pada kedua sayapnya, seperti pada Gambar 2.27.a, b, dan c, atau hanya pada satu sayap seperti pada Gambar 2.27.d dan Gambar 2.28. Alternatifnya, balok dapat disambung secara kaku ke badan kolom, baik pada satu sisi ataupun kedua sisi, seperti pada Gambar 2.29.

Gambar 2.28. Sambungan balok ke kolom (sambungan baut) (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995) Gambar 2.29. Sambungan balok ke kolom (sambungan yang dilas ke badan kolom) (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995)