PENGARUH PENGGUNAAN TERAPI SEVELAMER TERHADAP KUALITAS HIDUP PASIEN HEMODIALISIS YANG DINILAI MENGGUNAKAN KDQOL SF-36

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyakit yang merusak nefron ginjal (Price dan Wilson, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. didefenisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 15,2%, prevalensi PGK pada stadium 1-3 meningkat menjadi 6,5 % dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang. adalah terapi hemodialisis (Arliza, 2006).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. multipel. Semua upaya mencegah gagal ginjal amat penting. Dengan demikian,

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal

Gambaran hasil produk kalsium dan fosfor pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V di Ruang Hemodialisis RSUP Prof. Dr. R. D.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

BAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang bersifat progresif dan irreversibel yang menyebabkan ginjal kehilangan

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Kidney Diseases (CKD) dalam jangka waktu yang lama (Black & Hawks, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan


BAB I PENDAHULUAN. penurunan fungsi ginjal secara progresif dan irreversible 1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control

BAB I PENDAHULUAN. irreversible. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

GAMBARAN MEKANISME KOPING PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA DI RUANG HEMODIALISA RSUD. PROF. DR. W. Z.

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. mendadak dan hampir lengkap akibat kegagalan sirkulasi renal atau disfungsi

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan lambat yang biasanya berlangsung beberapa tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit,

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

BAB I PENDAHULUAN. komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis (Joannidis et al.,

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit,

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. progresif dan lambat, serta berlangsung dalam beberapa tahun. Gagal ginjal

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB I PENDAHULUAN. Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis reguler

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi penting dalam

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

BAB I PENDAHULUAN. bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penderita gagal ginjal kronik menurut estimasi World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. pasien penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat adalah orang.

BAB I PENDAHULUAN. komposisi cairan tubuh dengan nilai Gloumerulus Filtration Rate (GFR) 25%-10% dari nilai normal (Ulya & Suryanto 2007).

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disease) saat ini masih menjadi masalah yang besar, sebagaimana prediksi

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah peningkatan jumlah kasus diabetes melitus (Meetoo & Allen,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko

THE RELATIONS BETWEEN HEMODIALYSIS ADEQUACY AND THE LIFE QUALITY OF PATIENTS

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

BAB I dalam Neliya, 2012). Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal

Transkripsi:

PENGARUH PENGGUNAAN TERAPI SEVELAMER TERHADAP KUALITAS HIDUP PASIEN HEMODIALISIS YANG DINILAI MENGGUNAKAN KDQOL SF-36 Melisa 1), Tri Murti Andayani 2), dan Fredie Irijanto 3) 1) Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta email :melisaaburaerah21@gmail.com 2) Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta email :trimurtia@yahoo.com 3) Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta email : fredieais@yahoo.co.id Abstrak Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dapat menyebabkan komplikasi berupa hiperfosfatemia. Agen pengikat fosfat adalah terapi farmakologi untuk penanganan hiperfosfatemia, salah satunya yaitu Sevelamer. Terapi agen pengikat fosfat memperbaiki survival pasien yang mengalami hiperfosfatemia dan berhubungan dengan rendahnya mortalitas. Penyakit ginjal kronik berhubungan dengan penurunan kualitas hidup pasien. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan penggunaan terapi pengikat fosfat dengan kualitas hidup pasien hemodialisis yang dinilai menggunakan KDQOL SF-36. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan quasi experimental. Responden dalam penelitan ini yaitu pasien yang menjalani hemodialisis di RS UGM Yogyakarta pada bulan Oktober-Desember 2016 sejumlah 21 responden pada kelompok kontrol (CaCO 3) dan 16 responden pada kelomopok perlakuan (Sevelamer). Evaluasi dilakukan pada pre-intervensi dan post-intervensi. Penilaian kualitas hidup menggunakan instrumen kuesioner KDQOL-SF 36 versi 1.3. Hasil penelitian dianalisis menggunakan SPSS 16 dengan uji chi square, independent t-test dan paired t-test. Subyek penelitian terdiri dari 16 pasien pria (45%) dan 21 pasien wanita (55%). Usia rata -rata 47,16 ± 13,06 tahun. Rata-rata lama menjalani hemodialisa berkisar tahun 2012 hingga 2016. Kadar kalsium dan fosfat rata-rata berturut-turut sebesar 4,32 ± 0,56 mg/dl dan 5,15 ± 1,68 mg/dl. Kualitas hidup baseline kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berturut-turut yaitu 57,25±1,05 dan 65,56±9,97 (p=0,420). Berdasarkan hasil pengukuran dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi Sevelamer pada pasien hemodialisis di RS UGM Yogyakarta berpengaruh secara bermakna terhadap kualitas hidup pasien khususnya pada domain kesejahteraan mental (p=0,026) dan domain penyakit ginjal pada skala gejala/problem (p=0,001) dan efek penyakit ginjal (p=0,022). Nilai rata -rata kualitas hidup keseluruhan pada kelompok dengan intervensi sevelamer selama 8 minggu yaitu 63,06 ± 8,74 menunjukkan nilai kualitas hidup yang baik. Kata Kunci : PGK, kualitas hidup, pengikat fosfat, KDQOL SF-36 PENDAHULUAN Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kriteria kerusakan ginjal selama 3 bulan yang dilihat dari abnormalitas secara struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan glomerulus filtration rate (GFR) yang manifestasinya berupa abnormalitas secara patologi atau adanya marker kerusakan ginjal berupa abnormalitas komposisi darah atau urin pada pemeriksaan laboratorium. Selain itu PGK juga dapat ditandai dengan kriteria berupa nilai GFR < 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002). Berdasarkan National Kidney & Urologic Diseases Information Clearinghouse, sebanyak 527.283 penduduk Amerika Serikat pada akhir tahun 2007 menerima perawatan akibat gagal ginjal kronis tahap akhir dan dari jumlah tersebut, 17.513 orang telah melakukan transplantasi ginjal. Data dari Departemen Kesehatan pada tahun 2006, penyakit gagal ginjal menduduki nomor 4 angka penyebab kematian di rumah sakit Indonesia (Data dkk., 2010) THE 5 TH URECOL PROCEEDING 427 ISBN 978-979-3812-42-7

Berdasarkan National Kidney & Urologic Diseases Information Clearinghouse, pada tahun 2007 sebanyak 368.544 orang dari 527.283 penduduk Amerika Serikat yang mengalami gagal ginjal kronis tahap akhir merupakan pasien dengan dialisis rutin. Laporan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014 jumlah pasien baru yang menerima hemodialisis mencapai 17.193 pasien dan pasien aktif mencapai 11.689 pasien. Hasil statistik dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 mencatat bahwa prevalensi pasien PGK di Yogyakarta merupakan peringkat terbesar ketiga di Indonesia (Kesehatan dan RI, 2013).Hasil statistik dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 mencatat bahwa prevalensi pasien PGK di Yogyakarta merupakan peringkat terbesar ketiga di Indonesia (Kesehatan dan RI, 2013). Pada penderita penyakit ginjal sering kali ditemukan mengalami komplikasi. Komplikasi yang biasa terjadi salah satunya yaitu hiperfosfatemia. Kondisi ini terjadi karena adanya gangguan metabolisme mineral dalam tubuh pasien PGK. Gangguan metabolisme fosfat merupakan salah satu komplikasi penyakit gagal ginjal kronik yang harus mendapat perhatian karena mempunyai peran yang sangat besar pada morbiditas dan mortalitas (Tomasello, 2008). Penanganan kondisi hiperfosfatemia yaitu dengan perubahan diet. Mengurangi asupan fosfor merupakan salah satu langkah yang paling penting dalam mengontrol kadar fosfat. Hampir semua makanan mengandung fosfat tetapi sangat tinggi dalam susu, keju, buncis, kacang polong, kacang-kacangan, selai kacang, minuman seperti coklat, minuman bersoda, dan bir juga mengandung fosfat yang tinggi. Selain itu terapi secara farmakologi juga sudah banyak digunakan dalam penanganan kondisi hiperfosfatemia, antara lain dengan obat yang disebut phosphate binder contohnya seperti kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer karbonat, dan lantanum karbonat. Obat-obat ini biasanya diresepkan untuk dikonsumsi bersama dengan makanan. Obat-obat ini menurunkan penyerapan fosfat ke dalam darah (NIDDK, 2009). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan terapi sevelamer terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis yang dinilai menggunakan KDQOL SF-36. KAJIAN LITERATUR 1. Penyakit Ginjal Kronik a. Definisi Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) atau chronic renal insuficiency (CRI), adalah suatu kondisi penurunan fungsi ginjal secara progresif yang terjadi selama beberapa bulan hingga tahun yang ditandai dengan perubahan secara bertahap struktur ginjal normal dengan fibrosis intestitial (Wells, 2009). Kidney Disease Improving Global Outcames (KDIGO) (2013) mendefinisikan penyakit ginjal kronis sebagai kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau pertanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosa penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus (LFG) / glomerular filtration rate (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama lebih dari 3 bulan. Penyakit ginjal kronik dapat berujung pada gagal ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) jika GFR di bawah 15 ml/menit/1,73 m 2 atau telah menjalani dialisis. Penyakit ginjal kronis (PGK) disebabkan oleh hilangnya sejumlah besar nefron fungsional yang bersifat irreversible. Gejala-gejala klinis yang serius sering tidak muncul sampai sejumlah nefron fungsional berkurang sedikitnya 70% dibawah normal. Konsentrasi kebanyakan elektrolit dalam darah dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan pada keadaan relatif normal sampai jumlah nefron fungsional menurun dibawah 20-30% dari normal. Penurunan jumlah nefron lebih lanjut menimbulkan retensi elekrolit dan cairan. Kematian biasanya terjadi jika jumlah nefron turun sampai dibawah 5-10% (Coladonato, 2005) (Ahlström dkk., 2009) b. Patofisiologi Kerusakan ginjal dapat terjadi akibat penyebab yang heterogen. Contohnya, nefropati diabetik, nefroklerosis hipertensi, dan kista ginjal. Oleh karena itu, kerusakan struktural awal mungkin tergantung pada penyakit utama yang mempengaruhi ginjal. Sebagian besar dari nefropati progresif berbagai jalur akhir yang umum untuk kerusakan parenkim ginjal irreversible dan ESRD. Elemen-elemen kunci dari jalur ini : (a) hilangnya massa nefron, (b) hipertensi kapiler glomerolus, (c) proteinuria. Pemaparan kesalah satu faktor resiko inisiasi THE 5 TH URECOL PROCEEDING 428 ISBN 978-979-3812-42-7

dapat menyebabkan hilangnya massa nefron. Sisa nefron hipertropi untuk mengkompensasi hilangnya fungsi ginjal dan massa nefron. Awalnya kompensasi hipertropi ini mungkin adaptif. Seiring waktu, hipertropi dapat berkembang kearah hipertensi intraglomerular, mungkin dimediasi oleh angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor poten dari kedua aferen dan eferen tetapi mempengaruhi arteriol eferen yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam glomerulus dan peningkatan kosekuen filtrasi fraksi. Pengembangan hipertensi intraglomerular biasanya berkolerasi dengan perkembangan hipertensi arteri sistemik. Angiotensin II juga dapat memediasi perkembangan penyakit ginjal melalui efek non hemodinamik. Proteinuria saja dapat meningkatkan hilangnya nefron progresif sebagai akibat kerusakan sel secara langsung. Protein yang sering seperti albumin, transferin, faktor komplemen, imonoglobulin, sitokin, dan angiotensi II merupakan racun bagi sel-sel tubular ginjal. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kehadiran protein ini dalam tubulus ginjal mengaktifkan sel-sel tubulus yang mengarah ke regulasi produksi sitokin inflamasi dan vasoaktif, seperti endotelin, monocyte chemoattactant protein (MCP-1) dan RANTES (regulated upon activation, normal T-cell expressed and secreted). Proteinuria berhubungan dengan aktivasi komponen komplemen membran apikal proksimal tubulus. Kumpulan bukti menunjukkan bahwa aktivasi komplemen intratubular mungkin merupakan mekanisme utama kerusakan pada proteinurik nefropati progresif. Peristiwa ini akhirnya menyebabkan jaringan parut dari interstitium, hilangnya unit nefron struktural progresif, dan pengurangan laju filtrasi glomerolus (Wells dkk., 2014). 2. Hiperparatiroid Sekunder dan Osteodistrofi Ginjal a. Definisi Definisi gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik berdasarkan Kidney Disease Improving Global Outcomes Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (KDIGO CKD-MBD) tahun 2009 adalah kondisi klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik mineral dan metabolisme tulang pada penyakit ginjal kronik. Kondisi ini mencakup salah satu atau kombinasi dari hal-hal berikut yaitu: i. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat, hormon paratiroid (PTH), dan metabolimsme vitamin D. ii. Kelainan dalam hal bone turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier, dan kekuatannya. iii. Kalsifikasi vaskular atau jaringan lunak lainnya. Hiperfosfatemia pada PGK adalah sebagai hasil kegagalan ginjal dalam mengeliminasi fosfat, atau tingginya asupan fosfat atau peningkatan eliminasi fosfat didalam intraseluler (Wells dkk., 2014). Penurunan eksreksi fosfat dapat diatasi dengan peningkatan sekresi PTH, yang menurunkan reabsorpsi proksimal fosfat. Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat diatas GFR 30 ml/menit atau PGK tahap 3. Konsekuensi dari hiperfosfatemia adalah hiperparatiroid sekunder, renal osteodistrofi, kalsifikasi kasrdiovaskular, dan jaringan ikat lunak lainnya (Coladonato, 2005). Hiperparatiroid sekunder adalah salah atau kondisi dimana terjadi peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid dan sekresi PTH, paling sering disebabkan oleh penuruan kadar 1,25- dihidroksivitamin D, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia pada PGK. Penyebab lainnya adalah defisiensi vitamin D sekunder terhadap asupan makanan, malabsopsi, penyakit hati, dan penyakit kronik lainnya (Wells dkk., 2014). Renal osteodistrofi adalah perubahan morfologi tulang pada pasien penyakit ginjal kronik. Renal osteodistrofy merupakan salah satu pemeriksaan komponen skeletal dari gangguan sistemik mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik yang diukur melalui histomorfometri dari biopsi tulang (Young dan Beris, 2003). b. Terapi Keseimbangan PTH, kalsium, dan fosfat harus dijaga dan meminimalisasi paparan aluminum pada pasien adalah penting dalam mencegah perkembangan hiperparatiroid sekunder dan memperlambat atau mencegah hiperparatiroid sekunder, renal osteodistrofi, serta kalsifikasi kardiovaskular dan ekstravaskular. Pasien pada tahap ESRD biasanya mempertimbangkan penggunaan kombinasi pengobatan pengikat fosfat, vitamin D, dan kalsimimetik untuk mencapai tujuan terapi. Mengkontrol serum fosfat merupakan hal penting karena hiperfosfatemia adalah awal dari THE 5 TH URECOL PROCEEDING 429 ISBN 978-979-3812-42-7

kejadian perkembangan gangguan metabolisme (Hudson dkk., 2008). Terapi yang direkomendasikan dalam mengelola kelainan serum fosfat, kalsium dan PTH adalah dengan pembatasan asupan fosfat, paratiroidektomi, agen pengikat fosfat, dan dialisis. Agen pengikat fosfat dibagi menjadi : (a) Calcium containing phospate binder (kalsium karbonat, kalsium asetat) Calcium containing phospate binder, kalsium karbonat (CaCO 3) dan kalsium asetat yang biasa digunakan untuk pencegahan hiperfosfatemia. Hipokalsemia terkoreksi merupakan salah satu manfaat dari agen fosfat yang mengandung kalsium, meskipun risiko hiperkalsemia dan kalsifikasi kardiovaskular terkait dalam penggunaan jangka lama. Kalsium sitrat merupakan Calcium containing phospate binder yang sama dengan CaCO 3, namun karena juga meningkatkan absorpsi aluminum dari saluran pencernaan maka tidak direkomendasikan untuk pasien gagal ginjal kronik (Wells, 2009). Risiko hiperkalsemia pada penggunaan agen pengikat fosfat yang mengandung kalsium harus sering dievaluasi. Penggunaan bersamaan dengan vitamin D dan kalsium juga meningkatkan risiko hiperkalsemia. Koreksi serum kalsium dilakukan sebelum memulai terapi dan secara berkala setelah penggunaannya. Menghitung kalsium terkoreksi disesuaikan untuk perubahan perbandingan kalsium bebas dengan protein-bound calcium akibat pengurangan konsentrasi albumin. K/DOQI merekomendasikan untuk koreksi kalsium total sampai nilai normal untuk PGK tahap 3 dan 4 dan total kalsium koreksi dari 8,4 sampai 9,5 mg/dl untuk tahap 5. Secara umum, penghitungan nilai produk kalsium-fosfat (CaxP) digunakan sebagai indikasi kapan kalsium dan fosfat terpresipitasi kedalam jaringan lunak, memicu calcific uremic arteriolopathy (CUA). CUA atau calciphylaxis merupakan karakteristik kalsifikasi arteriola dan arteri dengan intima proliferasi dan fibrosis endovaskular dan manifestasi klinik visual sebagai nekrosis kulit hal ini juga terjadi pada awal pengobatan. K/DOQI merekomendasikan untuk target CaxP kurang dari 55 mg/dl 2, sedangkan CaxP (b) lebih dari 60-70 mg/dl 2 menunjukkan peningkatan risiko CUA. Pada pasien yang menjalani dialisis, pengurangan konsetrasi garam kalsium dialisat juga meningkatkan risiko hiperkalsemia. Meskipun menghindari risiko hiperkalsemia tetapi risiko kalsifikasi kardiovaskular tetap berisiko pada pasien PGK. Sehingga pembatasan asupan agen pengikat fosfat yang mengandung kalsium tidak lebih dari 1.500 mg/hari dan total harian dari sumber lain tidak lebih dari 2.000 mg/hari. Pada pasien hemodialisa tidak direkomendasikan pemberian agen pengikat fosfat yang mengandung kalsium ketika pengukuran serum kalsim >10,2 mg/dl atau PTH <150 mg/dl (Wells dkk., 2014). Non calcium containing phospate binder (lanthanum karbonat, magnesium hidroksida, aluminum hidroksida). Aluminium hidroksida sebagian besar tidak digunakan lagi karena ketoksikan aluminium dengan hasil berupa osteomalacia, demensia, miopati, dan anemia, meskipun dalam kondisi berat (serum fosfat 0,7 mg/dl) dan refraktori hiperfosfatemia. Magnesium hidroksida juga pada umumnya dihindari penggunaannya karena risiko hipermagnesemia dan diare (Ossareh, 2014). Lanthanum karbonat adalah agen pengikat fosfat yang baru untuk pasien PGK tahap akhir. Penggunaan jangka pendek (6-28 minggu) dan jangka panjang (2-3 tahun) menunjukkan efikasi dalam mengkontrol fosfat dan PTH dalam nilai normal, dan lebih sedikit risiko terhadap hiperkalsemia dibandingkan dengan calcium containing phospate binder. Dosis awal lanthanum karbonat 750-1500 mg (dosis terbagi makanan) dengan dosis 1500-3000 mg untuk menjaga kadar fosfat pada pasien PGK. Efek yang ringan terhadap saluran pencernaan, efek terhadap sistemik terbatas, dan ikatan yang tinggi dengan fosfat merupakan efek yang menguntungkan dan sebagai lini kedua setalah gagal dengan calcium containing phospate binder. Lanthanum karbonat tersedia sebagai tablet chewable yang bisa sesuai untuk beberapa pasien (Wells, 2009). THE 5 TH URECOL PROCEEDING 430 ISBN 978-979-3812-42-7

(c) Non-absorbable polymers (Sevelamer) Sevelamer hidroklorida (Renagel) atau karbonat (Renvela) merupakan nonabsorbable polymers yang mengikat fosfat didalam saluran pencernaan. Manfaatnya dalam mengurangi kadar fosfat tanpa efek signifikan terhadap peningkatan serum kalsium pada pasien PGK. Selain itu juga sevelamer signifikan pada pasien yang berisiko terhadap kejadian kardiovaskular, dalam menurunkan LDL kolesterol dan meningkatkan HDL kolesterol oleh ratarata masing-masing sekitar 30% dan 18%. Pada pasien hemodialisa yan menerima sevelamer menunjukkan penurunan terjadinya kalsifikasi kardiovaskular dibandingkan terhadap pemberian calcium containing phospate binder. Sevelamer direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pasien dialisa dengan vaskular yang parah atau kalsfikasi jaringan lunak, dan juga digunakan sebagai lini pertama agen pengikat fosfat pada pasien PGK tahap 5. Agen ini mengandung carbonate buffer yang membantu dalam menjaga kadar bikarbonat dalam kadar normal dan mengurangi efek samping terhadap saluran pencernaan (Wells, 2009). Sevelamer hidroklorida tersedia dengan dosis tablet 400-800 mg. Sevelamer karbonat tersedia dengan dosis tablet 800 mg dan serbuk 0,8g. Sevelamer karbonat disetujui oleh FDA pada bulan Oktober 2007. Pada pemberian dosis awal bervariasi dan tergantung pada baseline serum konsentrasi serum fosfat yaitu, dosis 800 mg jika serum fosfat <7,5 mg/dl, dosis 1.600 mg jika serum fosfat >7,5 mg/dl. Penyesuaian dosis dilakukan bertahap dengan interval dua minggu pemberian dengan melihat kadar serum fosfat. Penyesuaian dosis juga untuk pasien yang mengganti dari calcium containing phospate binder ke sevelamer. Untuk penurunan serum fosfat dosis 800 mg sevelamer setara dengan 667 mg kalsium asetat (169 mg elemental kalsium). Pemberian sevelamer 1 jam sebelum atau 3 jam setelah pemberian agen lain dengan indeks terapi sempit (Wells dkk., 2014). 3. Kualitas Hidup Kualitas hidup merupakan persepsi individu sebagai laki-laki atau perempuan dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka tinggal, dan hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat keberhasilan, hubungan sosial dan hubungan kepada karakteristik mereka ( Center of Disease Control and Prevention (CDC), 2011). Kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana seseorang menikmati kepuasan dalam hidupnya. Untuk mencapai kualitas hidup maka seseorang harus dapat menjaga kesehatan tubuh, pikiran, dan jiwa sehingga seseorang dapat melakukan segala aktivitas tanpa ada gangguan (Cruz dkk., 2011). a. Health related quality of life (HRQOL) Health related quality of life (HRQOL) adalah kepuasan individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kesehatan. HRQOL merupakan sebuah konsep multidimensi yang mencakup domain yang berikatan dengan fisik, mental, emosional, dan sosial. Lebih jauh lagi, domain tersebut mengukur kesehatan populasi, harapan hidup, penyebab kematian dan fokus pada kesehatan yang memiliki dampak pada kualitas hidup. Konsep terkait HRQOL adalah well-being, yang menilai aspek positif dari kehidupan seseorang, seperti emosi positif dan kepuasan hidup. Menurut Center of Disease Control and Prevention (CDC) (2011), pengukuran terhadap HRQOL merupakan suatu langkah penting untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu mengevaluasi kemajuan bangsa dalam mencapai tujuan kesehatan penduduknya dan mengukur efektifitas intervensi perawatan kesehatan suatu penyakit tertentu (Jiang dan Li, 2004). b. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita PGK Beberapa penelitian melaporkan bahwa kualitas hidup pasien hemodialisis lebih buruk dibandingkan dengan populasi secara umum, dimana hal tersebut berhubungan dengan perubahan fisik, psikologi dan sosial yang terjadi pada pasien. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien PGK dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sosio demografi yaitu jenis klamin, usia, suku/etnik, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan. Kedua adalah medik yaitu lama menjalani hemodialisa, THE 5 TH URECOL PROCEEDING 431 ISBN 978-979-3812-42-7

stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang dijalani (Desita, 2010). Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita PGK, antara lain karakteristik penderita, komorbid, dan frekuensi hemodialisis. i. Karakteristik penderita Karakteristik penderita dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita PGK, seperti usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, status sosial ekonomi rendah dan semakin lama menjalani hemodialisis dihubungkan dengan skor kualitas hidup yang lebih rendah (Jiang dan Li, 2004). ii. iii. Komorbid Komorbid sangat mempengaruhi fungsi fisik dan menambah jumlah gejala yang dialami oleh penderita PGK, keduanya menghasilkan skor kualitas hidup yang rendah (Jiang dan Li, 2004). Frekuensi hemodialisis Frekuensi hemodialisis umumnya berkisar 2 kali perminggu atau 3 kali perminggu. Idealnya hemodialisis dilakukan 3 kali perminggu dengan durasi 4-5 jam HRQOL meningkat seiring dengan pelaksanaan hemodialisis yang lebih sering, karena kontrol terhadap anemia dan metabolisme kalsium/fosfat yang lebih baik (Jiang dan Li, 2004). HIPOTESIS Hipotesis awal penelitian yaitu ada pengaruh penggunaan terapi sevelamer terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang dinilai dengan menggunakan KDQOL-SF 36. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah Quasi Eksperimental. Pada penelitian ini menggunakan rancangan pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Proposal dan protokol penelitian telah mendapatkan surat kelayakan etik dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Gadjah Mada dengan nomor Ref : KE/FK/934/EC/2016. Responden dalam penelitian ini yaitu pasien yang menjalani hemodialisa rutin di Rumah Sakit UGM, Yogyakarta yang sebelumnya telah mengisi dan menandatangani informed consent sebagai pernyataan kesediaannya menjadi subjek uji dalam penelitian. Penelitian ini meliputi pretes dan postes dengan kuisioner KDQOL-SF 36 yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Tahapan pertama, kedua kelompok diberikan kuisioner yang telah divalidasi. Selanjutnya, untuk kelompok perlakuan diberikan terapi sevelamer dan kelompok kontrol diberi terapi standar penanganan hiperfosfatemia yaitu kalsium karbonat. Penentuan kelompok dalam penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling. Selanjutnya dilakukan pengisian kembali kuisioner sebagai tahapan post-intervensi. Penilaian kuisioner dilakukan sesuai dengan panduan pada A Manual for Use and Scoring KDQOL-SF 36 yang dikembangkan oleh Research and development (RAND) dan Universitas Arizon. Analisis data menggunakan prangkat lunak SPSS 16 yaitu chi-square, paired t-test dan independent t-test untuk data yang terdistribusi normal, sedangkan uji wilcoxon dan uji mann whitney untuk data tidak terdistribusi normal. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu bulan Oktober-Desember 2016. Pemilihan responden dilakukan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu usia 18 tahun, pasien menjalani hemodialisa rutin minimal 3 bulan sebelum penelitian dan merupakan pasien dengan hemodialisis rutin rawat jalan selama penelitian berlangsung, frekuensi hemodialisa 2 kali seminggu, mendapatkan terapi pengikat fosfat, dapat membaca dan menulis, dapat berkomunikasi dengan baik, dan ersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. Pasien yang menjalani hemodialisa non penyakit ginjal kronik, pasien dengan komorbid penyakit jantung, mengalami gangguan kesadaran / mental / kognitif, pasien yang menjalani transplantasi ginjal, kemoterapi, penderita Human Immuno Deficiency Virus (HIV) / acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan penderita penyakit keganasan di eksklusi dari penelitian. Berdasarkan hasil analisis statistik tidak terdapat perbedaan bermakna secara signifikan pada seluruh karakteristik kecuali pada variabel kadar fosfat antara kelompok perlakuan dan THE 5 TH URECOL PROCEEDING 432 ISBN 978-979-3812-42-7

kelompok kontrol dengan nilai p-value 0,000 (p<0,05). Meskipun terdapat hasil yang berbeda secara signifikan pada perbadingan baseline karakteristik pasien antar kelompok perlakuan dan kontrol namun penelitian ini tetap dilanjutkan karena dalam pengukuran kualitas hidup tidak hanya dipengaruhi oleh parameter kadar fosfat saja namun kualitas hidup dipengaruhi oleh keseluruhan hal-hal yang terkait dengan kenyamanan pasien dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Hasil pengukuran kualitas hidup baseline pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,420. Tabel 1. Karakteristik Responden yang Menjalani Hemodialisis RS UGM Yogyakarta Selama Penelitian Karakteristik Kelompok p- Kontrol % Perlakuan % value (n=21) (n=16) Jenis kelamin Laki-laki 8 38,09 8 50 0,469 Perempuan 13 61,9 8 50 Usia 1-14 Tahun 0 0 0 0 0,175 15-24 Tahun 0 0 2 12,5 25-34 Tahun 3 14,28 2 12,5 35-44 Tahun 3 14,28 6 37,75 45-54 Tahun 6 28,57 3 18,75 55-64 Tahun 6 28,57 3 18,75 65 Tahun 3 14,28 0 0 Durasi HD 2012 0 0 2 12,5 0,264 2013 0 9 0 0 2014 8 38,09 8 50 2015 11 52,38 5 31,25 2016 2 9,52 1 6,25 Komorbid CKD st 5 1 4,76 1 6,25 0,836 CKD st 5, HT 12 57,14 10 62,5 CKD st 5, DM 1 4,76 0 0 CKD st 5, HT dan 7 33.33 5 31.25 DM Kadar Ca < 8,1 mg/dl 21 100 16 100-8,1 9,7 mg/dl 0 0 0 0 > 9,7 mg/dl 0 0 0 0 Kadar PO 4 < 2,5 mg/dl 1 4,76 0 0 0,000 * 2,5 4,5 mg/dl 13 61,9 0 0 > 4,5 mg/dl 7 33,33 16 100 Kualitas Hidup > 59 57,25±1,05 65,56±9,97 0,420 Analisis menggunakan uji Chi-Square; * berbeda bermakna secara statistik (p<0,05); HT=hipertensi; DM= Diabetes Melitus; CKD st 5= Chronic Kidney Disease Stage 5; HD= hemodialisa; Ca= kalsium; PO 4= Fosfat. Pengukuran kualitas hidup pasien PGK menggunakan KDQOL SF-36 terdapat 4 domain utama yang diperhatikan yaitu kesehatan secara umum, penyakit ginjal, pengaruh penyakit ginjal terhadap kehidupan sehari-hari (kesehatan mental), dan kepuasan pasien. Analisis hasil antar pre intervensi kontrol dengan pre-intervensi perlakuan ini dilakukan dengan menggunakan uji T- tidak berpasangan dan uji mann whitney pada perangkat lunak SPSS. Adapun hasil uji analisis statistik untuk kelompok perlakuan (sevelamer) disajikan dalam tabel 2. THE 5 TH URECOL PROCEEDING 433 ISBN 978-979-3812-42-7

Tabel 2. Perbandingan Kualitas Hidup Kel. Kontrol (CaCO 3) dan Kel. Perlakuan (Sevelamer) Pada Tahap Pre-intervensi Domain Skala Pre-intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan p- Rata-rata ± Min- Rata-rata ± Min- value Kesehatan Fisik SD Max SD Max Fungsi Fisik 65,93 ± 1,79 45-95 76,87 ± 2,07 25-100 0,094 b Status Pekerjaan 37,50 ± 2,23 0-50 53,12 ± 1,25 50-100 0,036 b* Peran Fisik 32,81 ± 4,25 0-100 62,50 ± 4,08 0-100 0,009 b* Presepsi Kesehatan 58,44 ± 1,48 30-85 65,62 ± 1,68 35-90 0,036 a* Umum Nyeri 62,94 ± 2,28 20-100 79,75 ± 2,06 32-100 0,007 b* Energi/Kelelahan 66,56 ± 1,59 40-90 76,25 ± 1,50 40-100 0,031 a* Fungsi Sosial 74,87 ± 2,04 50-100 83,44 ± 1,76 50-100 0,097 b Total 56,93 ± 1,77 28-85 72,12 ± 1,70 35-92 0,442 a Penyakit Fungsi Kognitif 31,75 ± 2,08 6-60 37,68 ± 3,04 0-80 0,951 b Ginjal Gejala/Problem 47,06 ± 1,93 18-81 40,50 ± 1,67 6-75 0,165 a Fungsi Seksual 34,37 ± 4,64 0-100 57 ± 4,74 0-100 0,159 b Efek Penyakit 72,87 ± 1,77 50-72,08 ± 1,31 50-93 0,484 a Ginjal 100 Tidur 63,37 ± 1,57 37-90 72,43 ± 2,30 20-95 0,148 a Total 50,12 ± 1,52 24-71 55,44 ± 1,50 21-79 0,343 a Kesejahteraan Kesejahteraan 76,25 ± 2,14 36-100 83 ± 1,63 40-100 0,146 b Mental emosional Kualitas Interaksi 23,06 ± 1,79 0-60 17,12 ± 1,35 0-40 0,123 b Sosial Beban Penyakit 42,25 ± 2,36 0-75 41,81 ± 2,03 6-81 0,388 b Ginjal Dukungan Sosial 94,75 ± 1,32 50-100 95,75 ± 9,81 66-100 0,982 b Peran emosional 58,25 ± 4,64 0-100 79 ± 3,20 0-100 0,093 b Total 54,06 ± 5,49 45-63 55,94 ± 7,44 42-68 0,835 a Kepuasan Kepuasan Pasien 60,73 ± 1,61 49,98-60,76 ± 1,35 49,98-0,359 b pasien 100 83,30 Dorongan Staff 92,19 ± 1,76 50-100 97,62 ± 6,85 75-100 0,777 b Analisis Total 77,81 ± 1,04 50-100 80,81 ± 7,98 75-100 0,257 a Skor rata-rata kualitas hidup keseluruhan 57,25 ± 1,05 38-78 65,56 ± 9,97 44-78 0,420 a a analisis dengan Independent t-test ; b analisis dengan uji mann-whitney ; * berbeda bermakna secara statistik (p<0,05) Nilai rata-rata kualitas hidup pada awal/baseline responden kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dalam penelitian berturutturut adalah 57,25±1,05 dan 65,56±9,97 dengan nilai p-value sebesar 0,420 (p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dalam hal nilai rata-rata kualitas hidup secara keseluruhan. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan terdapat beberapa skala dalam domain kesehatan THE 5 TH URECOL PROCEEDING 434 ISBN 978-979-3812-42-7

fisik yang bermakna secara statistik antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada penilaian awal penelitian yaitu skala status pekerjaan dan skala presepsi kesehatan umum dengan nilai p-value 0,036, dan skala nyeri memiliki nilai p-value 0,007. Rasa sakit yang dirasakan pasien selama kurun waktu 4 minggu terakhir mempengaruhi pekerjaan pasien baik di luar maupun di dalam rumah. Selain itu skala energi/kelelahan juga bermakna secara statistik dengan nilai p-value 0,031. Skala ini menunjukkan seberapa sering pasien masih merasakan perasaan bersemangat, bertenaga maupun kelelahan. Kondisi penyakit ginjal yang dialami oleh pasien menjadi penyebab yang menghambat pasien dalam bekerja sehingga banyak pasien yang tidak dapat melakukan pekerjaannya. Skala peran fisik memiliki nilai p- value 0,009. Pasien memiliki kendala dalam kegiatan rutin sehari-hari akibat kesehatan fisik yang menurun, sehingga mengakibatkan pasien harus mengurangi atau membatasi sebagian besar pekerjaan dan kegiatan rutin yang biasa dilakukannya. Keseluruhan skala yang bermakna secara statitstik merupakan skala-skala yang termasuk dalam domain kesehatan fisik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shresta (2008) dan Pehzeski (2009) bahwa domain kualitas hidup yang paling bermakna yaitu pada domain kesehatan fisik. Kondisi PGK menyebabkan penurunan kesehatan fisik seperti penurunan kemampuan berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, gerak badan dan kemampuan aktifitas berat. Penurunan aktifitas fisik ini menyebabkan keterbatasan yang pada akhirnya mengganggu pekerjaan dan aktifitas sehari-hari, seperti memperpendek waktu untuk bekerja atau beraktifitas dan kesulitasn dalam beraktifitas (Hays et al, 1997). Analisis dilanjutkan dengan uji paired t- test dan uji wilcoxon untuk melihat perbedaan hasil pengukuran awal/baseline dengan hasil pengukuran setelah pemberian sevelamer selama 8 minggu. Berdasarkan hasil uji statistik pada kelompok perlakuan (sevelamer) menunjukkan bahwa domain kesejahteraan mental bermakna secara statistik antara pre-intervensi dan postintervensi dengan p-value 0,026 (p<0,05). Sevelamer memiliki efek yang baik pada penanganan kondisi Mineral and Bone Disorder yang biasa terjadi pada pasien PGK, namun sevelamer tentunya juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping sangat lazim (dapat terjadi pada lebih dari 1 dari 10 orang) yang dilaporkan pada penggunaan sevelamer antara lain muntah, sembelit, nyeri perut bagian atas, dan mual. Efek samping lazim (terjadi pada 1 dari 10 orang) berupa diare, sakit perut, gangguan pencernaan, dan perut kembung, selain itu juga terdapat beberapa efek samping yang pernah dilaporkan terjadi pada penggunaan sevelamaer berupa gatal-gatal, ruam, motilitas usus menurun dan sembelit. Beberapa efek samping tersebut juga terjadi pada pasien dalam kelompok perlakuan yang mendapatkan terapi sevelamer. Terjadinya efek samping yang tidak diinginkan dalam penggunaan suatu terapi obat tentunya berpengaruh pada fungsi fisik pasien. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan Leigh, dkk tahun 2016 bahwa terdapat penurunan nilai kualitas hidup pada domain kesejahteraan emosional yang berpengaruh signifikan secara statistik dengan p- value 0,001. Beberapa faktor yang dihubungkan dengan adanya penurunan nilai pada domain kesejahteraan mental ini yaitu adanya rentang waktu tertentu seseorang menderita penyakit ginjal kronik yang harus menjalani hemodialisis baik laki-laki maupun perempuan memiliki ambang batas kemampuan menerima kondisi stress. Hal ini dipengaruhi oleh adanya keterbatasan fungsi fisik, keterbatasan energi yang dimiliki, variasi rasa nyeri yang dirasakan, dan variasi dukungan sosial selama menderita penyakit ginjal kronik yang berdampak pada kesejahteraan mental pasien. Adapun hasil uji analisis statistik untuk kelompok perlakuan (sevelamer) disajikan dalam tabel 3. THE 5 TH URECOL PROCEEDING 435 ISBN 978-979-3812-42-7

Tabel 3. Perbandingan Kualitas Hidup Pre-intervensi dan Post-intervensi Kelompok Perlakuan (Sevelamer) Domain Skala Kelompok Perlakuan Pre-intervensi Post-intervensi p- Rata-rata ± Min- Rata-rata ± Min- value Kesehatan Fisik SD Max SD Max Fungsi Fisik 76,87 ± 2,07 25-100 81,87 ± 1,30 60-100 0,135 b Status Pekerjaan 53,12 ± 1,25 50-100 40,62 ± 2,01 0-50 0,046 b Peran Fisik 62,50 ± 4,08 0-100 53,12 ± 4,27 0-100 0,470 b Presepsi Kesehatan 65,62 ± 1,68 35-90 66,25 ±1,93 25-90 0,850 a Umum Nyeri 79,75 ± 2,06 32-100 78,75 ± 2,21 32-100 0,637 b Energi/Kelelahan 76,25 ± 1,50 40-100 75,31 ± 1,62 50-100 0,857 a Fungsi Sosial 83,44 ± 1,76 50-100 82,94 ± 1,99 37-100 0,877 b Total 72,12 ± 1,70 35-92 68,44 ± 1,49 48-87 0,194 a Penyakit Fungsi Kognitif 37,68 ± 3,04 0-80 18,93 ± 1,58 0-40 0,035 b Ginjal Gejala/Problem 40,50 ± 1,67 6-75 25,75 ± 2,13 00-75 0,001 a* Fungsi Seksual 57 ± 4,74 0-100 58,56 ± 4,29 0-100 0,832 b Efek Penyakit 72,08 ± 1,31 50-93 77,81 ± 1,28 59-96 0,022 a* Ginjal Tidur 72,43 ± 2,30 20-95 76,69 ± 1,86 35-100 0,388 a Total 55,44 ± 1,50 21-79 52,56 ± 1,36 28-68 0,483 a Kesejahteraan Kesejahteraan 83 ± 1,63 40-100 84 ±1,61 56-100 0,674 b Mental emosional Kualitas Interaksi 17,12 ± 1,35 0-40 14,19 ± 1,25 0-33 0,345 b Sosial Beban Penyakit 41,81 ± 2,03 6-81 48,62 ± 1,66 25-81 0,550 b Ginjal Dukungan Sosial 95,75 ± 9,81 66-100 96,87 ± 2,87 50-100 0,343 b Peran emosional 79 ± 3,20 0-100 62,37 ± 4,53 0-100 0,151 b Total 55,94 ± 7,44 42-68 50,19 ± 4,68 41-56 0,026 a* Kepuasan Kepuasan Pasien 60,76 ± 1,35 49,98-60,76 ± 1,35 49,98-1,000 b pasien 83,30 83,30 Dorongan Staff 97,62 ± 6,85 75-100 92,94 ± 1,58 50-100 0,279 b Analisis Total 80,81 ± 7,98 75-100 79,25 ± 1,3 50-100 0,576 a Skor rata-rata kualitas hidup keseluruhan 65,56 ± 9,97 44-78 63,06 ± 8,74 47-74 0,453 a a analisis dengan paired t-test ; b analisis dengan uji Wilcoxon ; * berbeda bermakna secara statistik (p<0,05) Skala yang memiliki kebermaknaan secara statistik juga ditunjukkan pada skala gejala/problem dengan nilai p-value 0,001 (p<0,05). Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheung, dkk tahun 2012 dengan nilai p-value 0,001 pada skala gejala/problem. Terdapat penurunan nilai rata-rata pada gejala/problem antara pre-intervensi dan postintervensi kelompok perlakuan (sevelamer) yaitu berturut-turut 40,50±1,67 dan 25,75±2,13. Semakin rendah nilai rata-rata pada skala gejala/problem berarti bahwa semakin baik atau terdapat penurunan gejala/problem pada pasien sebelum dan setelah adanya intervensi sevelamer. Gejala/problem yang dimaksud THE 5 TH URECOL PROCEEDING 436 ISBN 978-979-3812-42-7

antara lain nyeri otot, nyeri dada, kram, kulit gatal, kulit gering, sesak nafas, sakit kepala, nafsu makan menurun, lemah, mati rasa di tangan atau kaki, mual atau perasaan tidak nyaman di perut, dan permasalahan yang mengganggu pada tempat pemasangan jarum hemodialisa yang dirasakan pasien selama kurun waktu 4 minggu terakhir.. Skala efek penyakit ginjal juga memiliki kebermaknaan secara statistik dengan p-value 0,022 (p<0,05). Terdapat peningkatan nilai ratarata pada skala efek penyakit ginjal antara preintervensi dan post-intervensi kelompok perlakuan (sevelamer) yaitu berturut -turut 72,08±1,31 dan 77,81±1,28. Semakin tinggi nilai rata-rata pada skala efek penyakit ginjal berarti bahwa semakin baik atau terdapat peningkatan kemampuan pasien dalam hal penerimaan adanya pembatasan minum dan makan, penurunan kemampuan bekerja diluar rumah dan perjalanan jauh, ketergantungan pada dokter dan paramedis, kondisi stress dan cemas, serta kehidupan seksual dan kepribadian pada pasien sebelum dan setelah adanya intervensi sevelamer. Hal serupa juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan Nayana, dkk tahun 2016 bahwa skala efek penyakit ginjal memiliki nilai rata-rata yang cukup tinggi dibandingkan dengan skala lainnya yaitu 46,32±18,20. Skala ini berhubungan dengan kondisi penyakit ginjal kronik yang mengakibatkan pasien harus membatasi asupan cairan dan makanan, menjadi tergantung pada dokter dan paramedis, keterbatasan kemapuan bekerja dan perjalanan jauh, serta berhubungan dengan kehidupan seksual dan kepribadian. Analisis selanjutnya yaitu membandingkan antara post intervensi kontrol dengan post-intervensi perlakuan ini dilakukan dengan menggunakan uji T- tidak berpasangan dan uji mann whitney. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa domain kesehatan fisik untuk skala peran fisik dan nyeri antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan bermakna signifikan secara statistik dengan nilai p-value berturut-turut yaitu 0,037 dan 0,015 (p < 0,05). Skala peran fisik antara kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan memiliki nilai rata-rata berturut-turut yaitu 21,87±3,01 dan 53,12±4,27. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa kelompok perlakuan memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Semakin tinggi nilai rata-rata pada skala peran fisik menunjukkan bahwa kelompok perlakuan memiliki kemampuan dalam hal mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan rutin sehari-hari lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Skala nyeri antara kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan memiliki nilai rata-rata berturut-turut yaitu 61,12±2,19 dan 78,75±2,21. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa kelompok perlakuan memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Semakin tinggi nilai rata-rata pada skala nyeri menunjukkan bahwa kelompok perlakuan merasakan beratnya sakit jasmani dan pengaruh rasa sakit tersebut terhadap pekerjaan di dalam maupun diluar rumah selama 4 minggu terakhir ini lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Pada domain penyakit ginjal untuk skala fungsi kognitif, gejala/problem, dan tidur juga memiliki kebermaknaan yang signifikan secara statistik (p < 0,05). ). Pada skor rata-rata skala fungsi kognitif dan gejala/problem menunjukkan bawa nilai kelompok sevelamer lebih rendah yaitu 18,93±1,58 dan 25,75±2,13. Pada skala fungsi kognitif dan gejala/problem, semakin rendah nilai rata-rata menunjukkan semakin baik fungsi kognitif dan gejala/problem pasien. Hal ini berarti bahwa kelompok sevelamer lebih baik dalam hal fungsi kognitif dan gejala/problem dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah adanya intervensi. Selain itu skala yang memiliki kebermaknaan secara statistik juga ditunjukkan pada skala tidur dengan nilai rata-rata kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berturut-turut yaitu 59,68±2,01 dan 76,69±1,86. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa kelompok sevelamer memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Pada skala tidur, semakin tinggi nilai rata-rata menunjukkan semakin baik tingkat kualitas tidur pasien. Hal ini berarti bahwa kelompok sevelamer lebih baik dalam hal kualitas tidur pasien dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah adanya intervensi. Hasil analisis keseluruhan untuk ratarata kualitas hidup antara kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan pada tahapan pre-intervensi maupun post-intervensi tidak memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik dengan p-value berturut-turut 0,420 dan 0,146 (p>0,05). Nilai rata -rata kualitas hidup secara keseluruhan kelompok kontrol dan THE 5 TH URECOL PROCEEDING 437 ISBN 978-979-3812-42-7

kelompok perlakuan setelah intervensi diberikan yaitu berturut-turut 57,75±9,15 dan 63,06±8,74. Adapun hasil uji analisis statistik untuk disajikan dalam tabel 4. Tabel 4. Perbandingan Kualitas Hidup Kel. Kontrol (CaCO 3) dan Kel. Perlakuan (Sevelamer) Pada Tahap Post-intervensi Domain Skala Post-intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan p- Rata-rata ± Min- Rata-rata ± Min- value Kesehatan Fisik SD Max SD Max Fungsi Fisik 70,31 ± 2,05 25-100 81,87 ± 1,30 60-100 0,082 b Status Pekerjaan 37,50 ± 2,23 0-50 40,62 ± 2,01 0-50 0,380 b Peran Fisik 21,87 ± 3,01 0-100 53,12 ± 4,27 0-100 0,037 b* Presepsi 58,44 ± 1,39 30-75 66,25 ±1,93 25-90 0,084 a Kesehatan Umum Nyeri 61,12 ± 2,19 20-100 78,75 ± 2,21 32-100 0,015 b* Energi/Kelelahan 71,56 ± 1,63 45-95 75,31 ± 1,62 50-100 0,249 a Fungsi Sosial 76,25 ± 1,86 25-100 82,94 ± 1,99 37-100 0,099 b Total 58,56 ± 1,34 34-85 68,44 ± 1,49 48-87 0,578 a Penyakit Fungsi Kognitif 34,68 ± 2,69 0-80 18,93 ± 1,58 0-40 0,017 b* Ginjal Gejala/Problem 39,75 ± 1,86 2-70 25,75 ± 2,13 00-75 0,019 a* Fungsi Seksual 36,69 ± 4,90 0-100 58,56 ± 4,29 0-100 0,528 b Efek Penyakit 85,19 ± 1,46 56-100 77,81 ± 1,28 59-96 0,294 a Ginjal Tidur 59,68 ± 2,01 25-92 76,69 ± 1,86 35-100 0,047 a* Total 49,18 ± 1,11 30-69 52,56 ± 1,36 28-68 0,890 a Kesejahteraan Kesejahteraan 87,25 ± 1,65 40-100 84 ±1,61 56-100 0,951 b Mental emosional Kualitas 17,25 ± 2,08 0-80 14,19 ± 1,25 0-33 0,898 b Interaksi Sosial Beban Penyakit 41,87 ± 1,86 12-75 48,62 ± 1,66 25-81 0,121 b Ginjal Dukungan Sosial 86,31 ± 2,68 0-100 96,87 ± 2,87 50-100 0,064 b Peran emosional 49,75 ± 3,65 0-100 62,37 ± 4,53 0-100 0,147 b Total 54,44 ± 7,48 42-67 50,19 ± 4,68 41-56 0,036 a* Kepuasan Kepuasan Pasien 60,73 ± 1,61 49,98-60,76 ± 1,35 49,98-0,359 b pasien 100 83,30 Dorongan Staff 97,62 ± 6,84 75-100 92,94 ± 1,58 50-100 0,583 b Analisis Total 80,56 ± 9,26 69-100 79,25 ± 1,3 50-100 0,401 a Skor rata-rata kualitas hidup keseluruhan 57,75 ± 9,15 40-69 63,06 ± 8,74 47-74 0,146 a a analisis dengan Independent t-test ; b analisis dengan uji mann-whitney ; * berbeda bermakna secara statistik (p<0,05) Berdasarkan KDQOL SF 36 vers 1,3 A Mannual for Use and Scoring, kualitas hidup pasien hemodialisis dikatakan baik apabila memiliki nilai lebih dari 59±19,54. Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa rata- THE 5 TH URECOL PROCEEDING 438 ISBN 978-979-3812-42-7

rata pasien hemodialisis di RS UGM dikatagorikan memiliki kualitas hidup yang baik karena memiliki nilai > 59±19,54. Penelitian Nayana (2016) menyim pulkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis dilaporkam memiliki penurunan kualitas hidup yang tinggi. Hal ini diakibatkan oleh penyakit ginjal yang berefek pada fisik dan status mental pasien. Terapi obat sebisa mungkin dapat meningkatkan kapasitas fungsional pasien, namun tidak dapat memodifikasi progresifitas kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan pasien. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan hasil pengukuran kualitas hidup yang didapatkan berdasarkan hasil penelitian pada pasien hemodialisis di RS UGM Yogyakarta yang diberikan terapi Sevelamer adalah terdapat pengaruh secara bermakna antara kualitas hidup pasien pada domain kesejahteraan mental (p=0,026) dan domain penyakit ginjal khususnya untuk skala gejala/problem (p=0,001) dan efek penyakit ginjal (p=0,022). Namun, tidak terdapat pengaruh secara bermakna antara kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan postintervensi pada nilai rata-rata kualitas hidup keseluruhan dengan p-value 0,146 (p>0,05). Saran Disarankan untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mengetahui hubungan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisa dengan terapi sevelamer. Disarankan untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan durasi intervensi yang lebih lama untuk mengetahui hubungan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisa dengan terapi sevelamer jangka panjang. Referensi Data, P., Kemkes, S.E.S., dan Jenderal, I.K.K.S., 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009-[BUKU]. Johansen, K.L. dan Chertow, G.M., 2007. Chronic kidney disease mineral bone disorder and health-related quality of life among incident end-stage renaldisease patients. Journal of Renal Nutrition: The Official Journal of the Council on Renal Nutrition of the National Kidney Foundation, 17: 305 313. Kesehatan, D. dan RI, K.K., 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. National Kidney Foundation, 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. National Kidney Foundation, New York. National Kidney Foundation, 2003. K/DOQI clinical practice guidelines for bone metabolism and disease in chronic kidney disease. American Journal of Kidney Diseases: The Official Journal of the National Kidney Foundation, 42: S1 201. Pezeshki, L.M and Rostami, Z. 2009, Contributing Factors in Health-Related Quality of Life Assesment of ESRD Patients: A Single Center Study, International Journal Nephrology and Urology; 1:129-136. Shrestha, S., Ghoteka, L. R., Sharma, S.K, Shangwa, P.M. and Karki, P.J. 2008, Assessment of Quality of Life in Patients of End Stage Renal Disease on Different Modalities of Treatment, Nepal Medical Association, 47:1-6. Tomasello, S., 2008. Secondary Hyperparathyroidism and Chronic Kidney Disease. Diabetes Spectrum, 21: 19 25. THE 5 TH URECOL PROCEEDING 439 ISBN 978-979-3812-42-7