Jurnal Agribisnis Perternakan, Vol. 2, No. 2, Agustus 2006 Pemanfaatan Solid Dekanter dan Suplementasi Mineral Zinkum dalam Ransum terhadap Produksi Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) Umur 6 17 Minggu dan Daya Tetas (Utilization of Solid Decanter and Supplementation of Mineral Zinkum in Feed to Production of Quail (Coturnix-coturnix japonica) in 6-17 Weeks of Age and Hatchability) Irawati Bachari, Roeswandy, dan Agustina Nasution Departemen Perternakan, Fakultas Pertanian USU Abstract: This research is to observe response of utilization solid decanter and supplementation of mineral zinkum in feed to production of quail (Coturnix-coturnix japonica) in 6-17 weeks of age and hatchability.this research was conducted by using factorial complete randomized design (FCRD). The first factor which was tested solid decanter with level S 0 = without solid decanter, S 1 = 3% solid decanter level give and S 2 = 6% solid decanter level give, S 3 = 9% solid decanter level give. The second factor which was tested supplementation of mineral zinkum with level Z 0 = without supplementation of mineral zinkum level give, Z 1 = 100 ppm/kg ration supplementation of mineral zinkum level give and Z 2 = 200 ppm/kg ration supplementation of mineral zinkum level give, and Z 3 = 300 ppm/kg ration supplementation of mineral zinkum level give.the result of research indicated the average of egg production (%) 57,01 and the higher production on S 3 Z 3 (with 9% solid decanter and 300 ppm/kg ration supplementation of mineral zinkum) for 61,16% and the lowest S 0 Z 0 (without solid decanter + without supplementation of mineral zinkum level give) for 55,13%. The average of hatchability (%) is 84,04 and the higher hatchability on S 3 Z 3 (with 9% solid decanter and 300 ppm/kg ration supplementation of mineral zinkum) for 87.50 and the lowest on S 0 Z 0 (without solid decanter + without supplementation of mineral zinkum level give) for 80,36. The result of research indicated that utilization of solid decanter and supplementation of mineral zinkum and interaction beetwen both factors, exected no significant effect to production of quail (coturnixcoturnix japonica) in 6-17 weeks of age and hatchability. Keywords: solid decanter, mineral zinkum, quail, hatchability Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji respons pemberian solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum dalam ransum terhadap produksi burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) umur 6 17 minggu dan daya tetas. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor pertama yang diuji adalah tepung solid dekanter dengan level pemberian S 0 = tanpa pemberian tepung solid dekanter; S 1 = tepung solid dekanter 3%; S 2 = tepung solid dekanter 6%; S 3 = tepung solid dekanter 9%. Faktor kedua yang diuji adalah suplementasi mineral zinkum dengan level pemberian Z 0 = tanpa mineral zinkum; Z 1 = suplementasi mineral zinkum 100 ppm/kg ransum; Z 2 = suplementasi mineral zinkum 200 ppm/kg ransum, Z 3 = suplementasi mineral zinkum 300 ppm/kg ransum. Dari hasil penelitian diperoleh rataan produksi telur (%) sebesar 57,01 dan produksi paling tinggi pada S 3 Z 3 (tepung solid dekanter 9% + suplementasi mineral zinkum 300 ppm/kg ransum) sebesar 61,16% dan terendah pada S 0 Z 0 (tanpa tepung solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum) sebesar 55,13%. Rataan daya tetas (%) diperoleh sebesar 84,04 dan daya tetas tertinggi pada S 3 Z 3 (tepung solid dekanter 9% + suplementasi mineral zinkum 300 ppm/kg ransum)sebesar 87,50% dan yang paling rendah pada S 0 Z 0 (tanpa tepung solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum) sebesar 80,36%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan tepung solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum serta interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) umur 6-17 minggu dan daya tetas. Kata Kunci: solid decanter, mineral zinkum, burung puyuh, daya tetas 72
Irawati Bachari, Roeswandy, dan Agustina Nasution: Pemanfaatan Solid Dekanter dan Suplementasi Pendahuluan Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pengetahuan tentang gizi, menjadikan kebutuhan protein hewani meningkat. Salah satu sumber protein hewani adalah burung puyuh. Burung puyuh mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan, sebab dalam pemeliharaannya burung puyuh tidak membutuhkan areal yang luas dan pengembalian modalnya relatif cepat dikarenakan burung puyuh mencapai dewasa kelamin sekitar 41 hari dengan produksi telur antara 250 sampai 300 butir per tahun (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Peningkatan kebutuhan pangan membawa pengaruh terhadap peningkatan teknologi dalam bidang perternakan. Salah satunya dari segi pengolahan pakan ternak. Pemanfaatan limbah industri pertanian adalah salah satu cara untuk mencari bahan pakan alternatif untuk ternak. Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan, buah kosong, dan solid (Utomo dan Widjaja, 1999). Solid dekanter merupakan produk sampingan dari hasil pengolahan minyak sawit kasar yang sejauh ini belum dimanfaatkan. Solid dekanter adalah bagian padat yang dihasilkan dari proses pemurnian minyak kelapa sawit (CPO) dengan menggunakan alat Three Phase Decanter (Pusat Penelitian Perkebunan Akan 1983, disitasi Simanjuntak, 1994). Solid dekanter dapat digunakan sebagai pupuk dan makanan ternak karena mengandung zat-zat nutrisi yang tinggi. Akan sangat menguntungkan bagi pihak pabrik dan peternak apabila solid dekanter ini dimanfaatkan secara luas, salah satunya sebagai pakan ternak burung puyuh. Kandungan protein solid dekanter bervariasi sekitar 11 14%. Ditinjau dari kandungan protein dan lemaknya yang relatif tinggi, solid dekanter merupakan sumber energi, protein dan mineral. Batubara et al. (1995) menyatakan bahwa kandungan protein solid dekanter 14%, daya cerna bahan kering 65% dan Digestible Energy (energi yang dapat dicerna) 3,0 Mcal/kg. Penggunaan solid dekanter dalam ransum ternak dibatasi oleh tingginya kadar abu dan tembaga (Cu: 20-50 ppm). Secara umum, babi dapat mentoleransi 10-20%, unggas 5-10%, sapi 66%, domba 30% (Wong dan Zahari, 1992). Burung puyuh mempertahankan populasinya dengan cara bertelur. Dari telur akan keluar burung puyuh baru setelah ditetaskan. Pembentukan sebutir telur memerlukan protein dan lemak dalam jumlah yang cukup tinggi. Telur adalah suatu bentuk tempat penimbunan zat gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio sampai menetas. Jadi, kebutuhan akan protein dan lemak pada burung puyuh untuk pembentukan sebutir telur dapat disediakan dari pemberian pakan burung puyuh yang ditambahkan dengan solid. Produksi telur adalah banyaknya jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor unggas/puyuh dalam jangka waktu tertentu. Secara garis besar yang mempengaruhi produksi telur adalah faktor genetik, pakan, kualitas ransum, konsumsi ransum, keadaan kandang, temperatur, penyakit, dan stress (Yasin, 1988). Rasyaf (1995) mengemukakan bahwa faktor pakan sangat perlu diperhatikan terutama zat-zat yang dikandung dalam pakan yang diberikan, karena hal ini mempengaruhi tingkat produksi telur. Dalam penyusunan ransum, yang sering diperhatikan adalah kandungan energi dan proteinnya. Selain dari energi dan protein, kandungan mineral dalam ransum juga perlu diperhatikan. Anggorodi (1985) menyatakan bahwa mineral sebagai zat makanan diperlukan tubuh sama halnya seperti asam amino, energi, vitamin, dan asam lemak. Mineral digunakan untuk proses metabolisme yang terjadi didalam tubuh. Defisiensi suatu mineral jarang memberikan kematian tetapi kesehatan ternak akan terganggu sehingga menyebabkan kerugian yang besar. Zinkum merupakan salah satu mineral mikro yang esensial. Zinkum pada ransum unggas sering defisiensi. Defisiensi ini disebabkan karena jumlah zinkum dalam bahan makanan tidak mencukupi jumlah yang dibutuhkan tubuh. Menurut Tillman et al., (1991) mineral zinkum termasuk dalam mineral mikro yang terdapat dalam tulang, kulit, rambut, bulu, wol, otot, dan darah. Zinkum berfungsi dalam metabolisme melalui dua cara yaitu : 1. sebagai komponen dari enzim, 2. mempengaruhi konfigurasi struktur ligandligand organik nonenzim. Zinkum terlibat dalam fungsi berbagai enzim yang ada hubungannya dengan metabolisme serta dapat meningkatkan nafsu makan. Pada ransum petelur dan bibit yang defisiensi akan zinkum, akan menurunkan produksi telur dan daya tetas (Yasin, 1988). Suplementasi mineral zinkum pada taraf 112,5 mg nyata meningkatkan produksi telur karena pada taraf ini mineral zinkum 73
Jurnal Agribisnis Perternakan, Vol. 2, No. 2, Agustus 2006 dapat mengaktifkan enzim karboksipeptidase dan aminopeptidase untuk menyediakan asam amino yang cukup untuk pembentukan telur. Pada daya tetas, suplementasi mineral zinkum pada taraf 112,5 mg juga nyata meningkatkan daya tetas. Hal ini disebabkan karena pada taraf ini mineral zinkum cukup untuk mempengaruhi kerja enzim pencernaan untuk menyediakan zat gizi yang cukup dalam pembentukan telur tetas (Sitindaon, 2005). Menurut Tillman et al., (1991) kadar zinkum 2000 mg/kg ransum akan menyebabkan keracunan pada semua ternak, tetapi jarak antara kebutuhan dan keracunan sangat jauh. Ransum unggas petelur yang mengandung mineral zinkum sebanyak 34 mg menghasilkan telur-telur dengan daya tetas rendah, setelah suplementasi 200 mg mineral zinkum karbonat ke dalam ransum ternyata dapat memperbaiki daya tetas telur. Ayam petelur memberikan produksi yang optimal jika dalam ransumnya disuplementasikan sebanyak 125 mg mineral zinkum dalam bentuk zinkum karbonat (Piliang et al., 1982). Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Solid Dekanter dan Suplementasi Mineral Zinkum dalam Ransum Terhadap Produksi Burung Puyuh (Coturnixcoturnix japonica) Umur 6-17 minggu dan Daya Tetas. Tujuan Penelitian Untuk menguji respons pemberian solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum dalam ransum terhadap produksi burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) umur 6 17 minggu dan daya tetas. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Departemen Perternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. A. Sofyan No. 3 dan di Jl. Bunga Cempaka XV No. 72 Pasar Baru, Medan. Penelitian ini dilaksanakan selama 11 minggu dimulai dari bulan Desember 2005 sampai dengan bulan Februari 2006. Bahan dan Alat Penelitian Bahan: - Burung puyuh betina 128 ekor umur 6 minggu. - Bahan pakan penyusun ransum (jagung, dedak, bungkil kedelai, minyak nabati sawit, solid dekanter, kapur pertanian). - Mineral zinkum yang berasal dari ZnSO 4_ 7H 2 O. - Air minum - Obat-obatan seperti vaksin ND dan vitamin seperti vitachick - Desinfektan yang digunakan yaitu rodalon Alat: - Kandang sebanyak 32 plot dengan ukuran 60 x 40 x 20 cm - Tempat pakan dan minum - Candler (alat peneropong telur) - Egg tray (tempat telur) - Lampu sebagai pemanas dan penerangan - Alat-alat pembersih kandang - Ember dan handsprayer - Alat tulis dan kalkulator - Jam - Termometer ( 0 C) - Timbangan, yaitu timbangan electric balance dan timbangan shalter dengan kepekaan 0,01 gram - Mesin tetas 1 unit Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial, yang terdiri atas 2 faktor yaitu: A. Faktor pertama adalah solid dekanter (S), terdiri dari 4 level: S 0 = tanpa pemberian solid dekanter dalam ransum S 1 = 3% solid dekanter dalam ransum S 2 = 6% solid dekanter dalam ransum S 3 = 9% solid dekanter dalam ransum B. Faktor kedua adalah suplementasi mineral zinkum (Zn), terdiri dari 4 level: Z 0 = 0 ppm/kg ransum Z 1 = 100 ppm/kg ransum Z 2 = 200 ppm/kg ransum Z 3 = 300 ppm/kg ransum Maka kombinasi perlakuan yang didapat sebanyak 4 x 4 adalah sebagai berikut: S 0 Z 0 S 1 Z 0 S 2 Z 0 S 3 Z 0 S 0 Z 1 S 1 Z 1 S 2 Z 1 S 3 Z 1 S 0 Z 2 S 1 Z 2 S 2 Z 2 S 3 Z 2 S 0 Z 3 S 1 Z 3 S 2 Z 3 S 3 Z 3 Model matematis yang digunakan menurut (Sastrosupadi, 2000): adalah: Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + Єijk Parameter Penelitian Produksi Telur Produksi telur dihitung dalam persen di mana jumlah telur yang dihasilkan dibagi dengan jumlah burung puyuh betina dikali dengan 100%. 74
Irawati Bachari, Roeswandy, dan Agustina Nasution: Pemanfaatan Solid Dekanter dan Suplementasi Atau: jumlah telur jumlah puyuh betina X 100% Daya tetas Daya tetas ditentukan dengan menghitung jumlah telur yang menetas dibandingkan dengan jumlah telur yang fertil dikali seratus persen. Atau: jumlah telur yang menetas X 100% jumlah telur yang fertil Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian pemanfaatan solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pemanfaatan solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum dalam ransum terhadap produksi burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) umur 6 7 minggu dan daya tetas Perlakuan Produksi Telur (%) Daya Tetas (%) Ransum basal S 0 Z 0 55,13 tn 80,36 tn Solid S 1 55,43 tn 81,67 tn S 2 56,70 tn 83,33 tn S 3 56,92 tn 84,52 tn Zinkum Z 1 55,43 tn 81,67 tn Z 2 55,73 tn 83,33 tn Z 3 56,03 tn 84,52 tn Interaksi S 1 Z 1 56,32 tn 83,33 tn S 1 Z 2 56,70 tn 84,52 tn S 1 Z 3 56,92 tn 84,52 tn S 2 Z 1 56,85 tn 84,52 tn S 2 Z 2 56,85 tn 84,52 tn S 2 Z 3 57,44 tn 85,42 tn S 3 Z 1 58,78 tn 85,42 tn S 3 Z 2 59,82 tn 85,42 tn S 3 Z 3 61,16 tn 87,50 tn Keterangan: Notasi yang sama menurut kolom menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Produksi telur Produksi telur adalah banyaknya telur yang dihasilkan oleh seekor unggas/puyuh dalam jangka waktu tertentu. Dari hasil penelitian diperoleh produksi telur burung puyuh berkisar antara 51,79% sampai 62,50%, dengan rataan produksi telur sebesar 57,01%. Dari hasil analisis keragaman pemanfaatan solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap produksi telur burung puyuh umur 6 17 minggu. Namun secara matematis pada perlakuan yang mendapat solid dekanter dan mineral zinkum dalam ransum burung puyuh mempunyai kecenderungan menghasilkan produksi telur yang lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan yang tidak menggunakan solid dekanter dan mineral zinkum dalam ransum burung puyuh. Menurut Yasin (1988), secara garis besar yang mempengaruhi produksi telur adalah faktor genetik, pakan, kualitas ransum, konsumsi ransum, keadaan kandang, temperatur, penyakit, dan stress. Tidak adanya pengaruh nyata terhadap produksi telur burung puyuh dapat disebabkan oleh faktor kandungan gizi dalam ransum tidak begitu berbeda. Rasyaf (1995) menyatakan bahwa faktor pakan sangat perlu diperhatikan terutama zat-zat yang dikandung dalam pakan yang diberikan, karena hal ini mempengaruhi tingkat produksi. Dari hasil pemberian mineral zinkum dalam ransum burung puyuh tanpa menggunakan solid dekanter pada perlakuan (S 0 Z 1, S 0 Z 2, S 0 Z 3 ) menyebabkan produksi telur yang semakin tinggi. Menurut Sitindaon (2005), semakin tinggi taraf zinkum yang disuplementasi dalam ransum menyebabkan produksi telur semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh zinkum yang merupakan aktifator berbagai enzim, salah satunya adalah karboksipeptidase dan aminopeptidase di mana enzim tersebut berperan dalam menghidrolisis peptida menjadi asamasam amino yang mudah diserap tubuh sehingga tersedia untuk produksi telur. Seperti kita ketahui, protein dan asam amino merupakan zat yang diperlukan dalam produksi telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan produksi telur burung puyuh tertinggi selama penelitian terdapat pada interaksi antara solid dekanter 9% dengan suplementasi mineral zinkum 300 ppm (S 3 Z 3 ). Walaupun angka-angka tersebut menunjukkan jumlah produksi yang bervariasi, akan tetapi setelah dilakukan analisis keragaman ternyata tidak menunjukkan perbedaan-perbedaan yang nyata pada tiap-tiap perlakuan. Sehingga dapat diartikan bahwa ada kecenderungan burung puyuh dapat berproduksi dengan baik bila diberikan ransum yang mengandung solid dekanter sampai pada tingkat 9% dan suplementasi mineral zinkum hingga 300 ppm. 75
Jurnal Agribisnis Perternakan, Vol. 2, No. 2, Agustus 2006 Daya Tetas Daya tetas adalah jumlah telur yang menetas dibagi dengan jumlah telur yang fertil dikali 100%. Daya tetas telur burung puyuh (%) yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 75% sampai 87,50%, dengan rataan sebesar 84,04%. Rataan daya tetas telur burung puyuh tertinggi terdapat pada perlakuan S 3 Z 3 pada level pemberian solid dekanter 9%/kg ransum dan mineral zinkum 300 ppm yaitu sebesar 87,50% sedangkan rataan daya tetas telur burung puyuh terendah terdapat pada perlakuan S 0 Z 0 yaitu tanpa pemberian solid dekanter dan mineral zinkum sebesar 80,36%. Hasil analisis keragaman pemanfaatan solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap daya tetas telur burung puyuh umur 6 17 minggu. Menurut Rasyaf (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas antara lain ransum pembibit, temperatur mesin tetas, kelembapan mesin tetas, sex ratio, fertilitas, lama penyimpanan telur tetas, dan pemutaran telur. Tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap daya tetas telur burung puyuh menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan solid dekanter, mineral zinkum, dan interaksi solid dekanter dan mineral zinkum dalam ransum tidak memberikan perbedaan terhadap daya tetas telur burung puyuh. Sitindaon (2005) menyatakan bahwa suplementasi mineral zinkum pada taraf 112,5 mg/kg ransum nyata meningkatkan daya tetas telur. Hal ini disebabkan karena pada taraf ini mineral zinkum cukup untuk mempengaruhi kerja dari enzim pencernaan untuk menyediakan zat gizi yang cukup dalam pembentukan telur tetas. Piliang et al. (1982) menyatakan bahwa suplementasi 200 mg zinkum karbonat ke dalam ransum dapat memperbaiki daya tetas telur. Menurut Tillman et al. (1991) kadar mineral zinkum 2000 mg/kg ransum akan menyebabkan keracunan pada semua ternak. Pada penelitian yang dilakukan, tingkat pemberian zinkum yang tertinggi adalah sebesar 300 ppm. Pada tingkat tertinggi ini (zinkum 300 ppm) menghasilkan persentase daya tetas yang tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan pada tingkat mineral zinkum 100 ppm dan 200 ppm, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian zinkum pada level 300 ppm belum merupakan batasan penggunaan zinkum dalam ransum burung puyuh, walaupun uji statistik menyatakan tidak berpengaruh nyata. Kesimpulan Pemanfaatan solid dekanter dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur burung puyuh. Pemanfaatan mineral zinkum dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap daya tetas telur burung puyuh. Interaksi antara solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan daya tetas telur burung puyuh. Daftar Pustaka Anggorodi, H. R., 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia, Jakarta. Batubara, L. P., J. Sianipar, S. Karokaro dan E. Simon, 1995. Penggunaan Solid Sawit dalam Pakan Tambahan untuk Domba. JPPS 1 (5). Februari. Sub Balitnak Sei Putih. Sumatera Utara, Indonesia. Listiyowati, E. dan K. Roospitasari. 2000. Puyuh Tata Laksana Budidaya Secara Komersil. Penebar Swadaya, Jakarta. Piliang, W. G., Sastradipradja dan W. Manalu, 1982. Pengaruh Penambahan berbagai Tingkat Kadar Zn dalam Ransum yang Mengandung Dedak Padi terhadap Penampilan serta Metabolisme Zn pada Ayam-ayam Petelur. Laporan Penelitian Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan. Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Penetasan. Kanisius, Yogyakarta. Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Simanjuntak, A. 1994. Kecernaan Zat Makanan dan Energi Ransum yang Menggunakan Solid Sawit pada Ternak Domba. Fakultas Perternakan Universitas Andalas, Padang. Sitindaon. S. H. 2005. Pengaruh Suplementasi Mineral Zinkum terhadap Produksi, Fertilitas dan Daya Tetas Telur Burung Puyuh (Coturnix-coturnix Japonica) Umur 6-14 Minggu. Skripsi Universitas Sumatera Utara, Medan. 76
Irawati Bachari, Roeswandy, dan Agustina Nasution: Pemanfaatan Solid Dekanter dan Suplementasi Tillman, D.A., H. Hartadi, S. Reksohadiprdjo, S. Prawirokusumo, S. Lebdosoekojo., 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Utomo, B. N. dan E. Widjaja, 1999. Limbah Padat Pengolahan Minyak Sawit Kasar sebagai Sumber Nutrisi Ternak Ruminansia. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Wong, H. K. dan Wan Zahari, W. M., 1992. Oil Palm by Products as Animal Feed. Procedings of th MASP Ann. Conf. Kuala Rengganu pp. 58-61. Yasin, S., 1988. Fungsi dan Peranan Zat-zat Gizi dalam Ransum Ayam Petelur. Mediatama Sarana Perkasa, Mataram. Tabel 2. Formulasi dan kandungan nutrisi ransum perlakuan Bahan SO S1 S2 S3 Jagung Kuning 57,5 55,5 53,5 51,5 Bungkil kelapa 9 8 7 6 Dedak halus 14 14 14 14 Tepung ikan 5 5 5 5 Bungkil kedelai 8 8 8 8 Solid - 3 6 9 Kapur 5 5 5 5 Top mix 1,5 1,5 1,5 1,5 Total 100 100 100 100 Crude Protrein (%) 14,95 14,99 15,03 15,07 EM (Kkal/Kg) 2.698,23 2.693,91 2.689,59 2.685,27 Serat Kasar (%) 4,74 5,04 5,33 5,63 Lemak (%) 5,71 5,92 5,13 5,34 Ca (%) 2,85 2,86 2,97 2,89 P (%) 1,88 1,88 1,88 1,87 Zinkum (ppm/kg) 0 100 200 300 Keterangan: S0 = ransum basal tanpa pemanfaatan solid dekanter dan suplementasi mineral Zinkum S1 = ransum dengan pemanfaatan solid dekanter 3% dan suplementasi mineral Zinkum 100ppm/kg ransum S2 = ransum dengan pemanfaatan solid dekanter 6% dan suplementasi mineral Zinkum 200ppm/kg ransum. S3 = ransum dengan pemanfaatan solid dekanter 9% dan suplementasi mineral Zinkum 300ppm/kg ransum Mineral Zinkum diberikan dalam bentuk Z n SO 4.7H 2 O (Zink Sulfat Heptahidrat). 77