BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ventilator associated pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada pasien yang dilakukan ventilasi mekanik setelah pemasangan pipa endotrakea selama 48 jam atau lebih. 1,2 Kejadian VAP di ruang unit perawatan intensif (UPI) masih sangat tinggi dengan angka mortalitas yang tinggi, lama rawatan yang memanjang dan biaya perawatan yang sangat tinggi. 2 Meskipun belum ada data mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, pada kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian VAP sekitar 9% -27% dengan angka mortalitas 15% - 50%. 1,3,4 Tingginya angka ini dipengaruhi oleh populasi pasien dan organisme penyebab, dengan pemanjangan masa rawatan pada VAP sekitar 6,1 hari dan penambahan biaya mencapai 40.000 dolar Amerika setiap pasien. 3 Mengingat hal tersebut diatas, maka pencegahan VAP menjadi hal yang sangat penting. Prinsip pencegahan VAP meliputi 3 hal yaitu edukasi staff di UPI, pencegahan kolonisasi bakteri dan pencegahan aspirasi 5. Pencegahan kolonisasi bakteri dapat dilakukan dengan beberapa hal seperti mencuci tangan dan menggunakan handscoon dan baju steril di UPI, oral higiene, melakukan penghisapan pipa endotrakea,dll. Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan melakukan oral sucksion dan subglotic suction, posisi head up 30 0, mencegah manipulasi pipa endotrakea dan menjaga tekanan cuff pipa endotrakea antara 20-30 cmh20 atau 15-22 mmhg 5,6. Pada VAP care bundle pencegahan VAP dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti menilai penggunaan sedasi setiap hari, penilaian untuk tindakan weaning dan ekstubasi setiap hari, memposisikan pasien dengan head up minimal 30 0, dekontaminasi oral dengan klorheksidin setiap hari, dan penggunaan drainage subglotic pada pasien dengan ventilator lebih dari 48 jam. 7 Chastre dan Fagon (2002) menyatakan bahwa VAP sebagian besar berawal dari aspirasi organisme orofaring ke bronkus distal kemudian terjadi pembentukan biofilm oleh bakteri diikuti dengan proliferasi bakteri dan invasi bakteri pada parenkim paru. 4 15
Mengetahui patogenesis terjadinya VAP penting dalam rangka pencegahan VAP. Secara garis besar pencegahan VAP dapat dilakukan dengan pendekatan nonfarmakologis maupun secara farmakologis. 8 Pendekatan secara nonfarmakologis pada umumnya lebih mudah dilakukan, dan secara ekonomis juga lebih murah. Adapun pendekatan nonfarmakologis yg dapat dilakukan untuk mencegah kejadian VAP di UPI meliputi pencegahan intubasi yang tidak perlu, memperpendek durasi penggunaan ventilator, memberikan pemahaman tentang pencegahan VAP pada perawat UPI, melakukan sucksioning subglotic, oral intubasi, posisi semirecumbent 45 0, mencegah distensi lambung, pencegahan terbentuknya biofilm, melakukan tindakan desinfeksi tangan sebelum kontak dengan pasien. 7,8 Pendekatan secara farmakologis yang dapat dilakukan antara lain mencegah penggunaan stress ulcer profilaksis, dekolonisasi saluran aerodigestive, intervensi penurunan jumlah bakteri dengan selective decontamination digestive tract (SDD) dengan pemberian antibiotik melalui mulut atau nasogastric tube (NGT) dan dekontaminasi oral baik dengan antibiotik topikal maupun dengan antiseptik, pemberian antibiotika profilaksis, pemberian vaksin 8,9. Mengingat patogenesis utama VAP berhubungan dengan aspirasi bakteri dari orofaring yang masuk ke paru, maka dekontaminasi orofaring menjadi pencegahan yang memegang peranan penting. Pencegahan VAP dengan dekontaminasi oral menggunakan zat antiseptik menjadi pilihan, dimana dekontaminasi oral dengan antibiotik akan meningkatkan resistensi kuman. 10 Beberapa zat antiseptik telah digunakan dalam tindakan dekontaminasi orofaring seperti klorheksidin, povidone iodine, hidrogen peroksida, dan listerine. 11 Pada penelitian Chua,dkk (2004) penggunaan povidone iodine kumur secara statistik tidak bermakna dalam menurunkan kejadian VAP, Selain itu angka mortalitas, lamanya rawat ICU juga tidak berbeda bermakna dengan kontrol. 12 Pemakaian povidone iodine juga memiliki beberapa kelemahan: pada pemakaian jangka panjang dapat merubah warna gigi menjadi kecoklatan, lebih sering menimbulkan alergi, tidak dianjurkan pada pasien hipertiroid. 12 16
Klorheksidin kumur saat ini sangat banyak digunakan untuk dekontaminasi oral dan menunjukkan penurunan yang bermakna dalam menurunkan kejadian VAP. 8,11,14 Klorheksidin merupakan antibakteri dengan spektrum luas dan sangat efektif untuk bakteri gram(+), gram (-), bakteri ragi, jamur dan protozoa. Klorheksidin juga dapat menghambat algae dan virus. 14 Ozcaka O dkk (2012), menyebutkan penggunaan klorheksidin swab pada mukosa mulut menunjukkan penurunan kejadian VAP dibandingkan dengan saline 0.9% ( 41,4% dan 68.8%) 15 Tantipong H dkk (2008), menyebutkan pada pemakaian klorheksidin 2% untuk dekontaminasi oral dapat menurunkan kejadian VAP, dimana kejadian VAP 4,9% pada kelompok klorheksidin dibandingkan dengan kelompok NaCl 0,9% yang kejadian VAP nya sebesar 11,4%. 16 Gordon dkk (1985) menyebutkan listerine sebagai antiseptik secara bermakna menurunkan kejadian plak gigi pada bulan 1,3,6 dan 9 serta penurunan kejadian gingivitis pada bulan 9 dibandingkan dengan kontrol. 17 Houston S dkk (2002), membandingkan pemakainan klorheksidin 0,12% dengan listerine sebagai kontrol 2 kali sehari pada 561 sampel dengan ventilasi mekanik yang dipilih secara acak. Kejadian nosokomial pneumonia pada kelompok klorheksidin dibandingkan dengan kelompok listerine dijumpai tidak bermakna (4/270 dan 9/291, p=0,21). Pemeriksaan kultur menunjukkan pertumbuhan bakteri lebih sering pada kelompok klorheksidin dibandingkan dengan kelompok listerine, dimana perbedaan ini juga tidak bermakna (52/270 dan 44/291, p=0,19). 13 Pada penelitian Sharma S,Kaur J (2012) membandingkan klorheksidin 0,12% dengan saline sebagai kontrolnya. Dekontaminasi oral dilakukan 2 kali sehari, jam 7 pagi dan jam 7 sore. Pada kelompok klorheksidin didapati kejadian VAP 46 sampel dari 130 sampel yang diperiksa (35,4%), sedangkan pada kelompok saline didapati kejadian VAP 7 sampel dari 130 sampel yang diperiksa (5,7%), dimana pada penilaian statistika didapati perbedaan kejadian VAP pada kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05) 19 17
Pada penelitian yang dilakukan Primartanto (2008) di ICU RSCM Jakarta, disebutkan kejadian infeksi nasokomial cukup tinggi (46.6%). 18 Pemakaian klorheksidin sebagai dekontaminasi oral dalam mencegah kejadian VAP sudah cukup banyak dipublikasikan dalam beberapa literatur dan terbukti menurunkan kejadian VAP. Mengingat preparat klorheksidin dekontaminasi oral pada beberapa tempat masih sulit dijumpai, dan selama ini tindakan dekontaminasi oral di UPI RS H Adam Malik juga menggunakan larutan listerine, maka peneliti ingin meneliti apakah listerine yang ketersediaannya di pasaran lebih banyak efektif dalam mencegah kejadian VAP. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan adalah sebagai berikut : Apakah listerine sebagai dekontaminasi oral lebih efektif dalam mencegah kejadian VAP dibandingkan klorheksidin 0,2% 1.3 HIPOTESA Listerine lebih efektif mencegah kejadian VAP dibandingkan dengan klorheksidin 0,2%. 1.4 TUJUAN PENELITIAN 1.4.1 Tujuan Umum Mendapatkan obat alternatif yang dapat digunakan sebagai dekontaminasi oral dalam mencegah kejadian VAP selain klorheksidin. 1.4.2. Tujuan Khusus Mengetahui proporsi kejadian VAP di UPI RS HAM Medan dengan penggunaan listerine. Mengetahui proporsi kejadian VAP di UPI RS HAM Medan dengan penggunaan klorheksidin. Mengetahui hubungan penggunaan antiseptik oral (listerine atau klorheksidin) dengan kejadian VAP di UPI RS HAM. 18
1.5 MANFAAT PENELITIAN a. Manfaat dalam bidang akademik - mengetahui kegunaan listerin dalam pencegahanvap - mendapatkan obat yang efektif untuk dekontaminasi oral pada pasien dengan ventilasi mekanik. b. Manfaat dalam bidang pelayanan masyarakat - memberikan beberapa pilihan antiseptik oral yang dapat digunakan sebagai dekontaminasi orofaring pada pasien dengan ventilasi mekanik. - mencegahan terjadinya VAP - mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh VAP c. Manfaat dalam bidang penelitian - memberi data untuk penelitian selanjutnya dalam bidang VAP 19