BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Determinasi Pasien TB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Determinasi Kasus TB

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium. mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) secara teratur dievaluasi dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru. 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

Pengobatan TB pada keadaan khusus. Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang sampai saat ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

UNTUK PENGOBATAN TUBERKULOSIS DI UNIT PELAYANAN KESEHATAN

LISTY CEARINA N K

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. M. Tuberculosis merupakan kelompok bakteri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI RATIH YUANASARI K

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN. Saya sebagai mahasiswa program studi D III keperawatan, Fakultas ilmu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Paru-paru merupakan

7 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya (Depkes RI, 2011). Manusia adalah satu-satunya tempat untuk. termasuk bakteri aerob obligat (Todar, 2009).

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Tuberkulosis merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

Transkripsi:

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Paru 1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (DepKes, 2007). Mycobacterium tuberculosis menyebabkan TBC dan merupakan patogen manusia yang sangat penting (Jawetz, Melnick & Adfcerg, 2008). Sebagian besar dinding kuman terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin, hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Sifat dormant inilah yang dapat menyebabkan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi (Bahar, 2003). 2. Cara Penularan Sebagian besar basil Mycobacterium masuk ke dalam jaringan paru melalui airborne infection). Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes, 2007). 7

8 3. Klasifikasi Berdasarkan Depkes (2007) Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu: a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif; c. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. d. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah untuk menentukan paduan pengobatan yang sesuai, registrasi kasus secara benar, menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif, dan analisis kohort hasil pengobatan. Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi, menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective) dan mengurangi efek samping. Ada beberapa klasifikasi TB yaitu menurut Depkes (2007) yaitu: a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1) Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

9 b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif. a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. 1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced ), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

10 b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

11 4. Gejala - gejala Tuberkulosis Gejala-gejala tuberkulosis terdiri atas gejala umum yaitu batuk terusmenerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih dan gejala lain, yang sering dijumpai yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, malaise, berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, serta demam/ meriang lebih dari sebulan (Depkes, 2007). 5. Komplikasi Tuberculosis Komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut menurut Depkes (2005): a. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau retraktif) pada paru. d. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolapsspontan karena kerusakan jaringan paru. e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian,ginjal dan sebagainya. f. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency). Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap dirumah sakit. Penderita TBC paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus sembuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis. Bila pendarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik (Depkes, 2005).

12 6. Masalah Tuberkulosis di Indonesia Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan penemuan penderita baru mencapai 9,8% dengan angka keberhasilan 89%, sehingga WHO menggolongkan Indonesia sebagai penyelenggara program yang baik tapi ekspansi sangat lambat (Depkes, 1999). Berdasarkan hasil Suskernas tahun 2004, prevalensi TB di DIY dan Bali sebesar 64 per 100.000 penduduk, di Jawa 107 per 100.000, di Sumatra 160 per 100000, dan yang tertinggi daerah Indonesia Timur sebesar 210 per 100.000 penduduk. Keadaan ini masih memprihatinkan padahal Menteri Kesehatan melalui SK Menkes 2004 sudah menyatakan program TB di Indonesia menunjukkan hasil yang baik dan pemerintah telah mencanangkan program bebas biaya untuk pemberantasan TB. Peningkatan kembali morbiditas penyakit TB ini, ternyata diikuti oleh peningkatan prevalensi Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap banyak obat atau Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Batasan MDR-TB menurut American Thoracic Society (ATS) adalah strain M. tuberculosis yang secara in vitro resisten terhadap isoniazid (INH) dan rifampisin, dengan atau tanpa resisten terhadap OAT lain. MDR-TB seringkali disebabkan oleh pengawasan pengobatan yang tidak benar (Depkes, 2002). Masalah penanggulangan TB semakin pelik dengan adanya beberapa kondisi saat ini seperti ko-infeksi dengan HIV dan berkembangnya fenomena resistensi obat. Ko-infeksi TB dan HIV merupakan salah satu tantangan terbesar, sebab TB merupakan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV/AIDS, dan sebaliknya HIV merupakan risiko terbesar mengubah TB laten menjadi TB aktif. Sebagai catatan diperkirakan 2,5-3 juta ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) mengalami ko-infeksi dengan TB (Djoerban, 2005).

13 Menurut Permatasari (2005) hasil penelitian dan program yang dilakukan di Indonesia oleh berbagai pihak maka ada beberapa masalah dalam program TB yang harus diatasi bersama antara lain: a. Belum seragamnya definisi dari Tuberkulosis b. Penemuan penderita yang terkena TB (Deteksi Kasus) c. Ketidakmampuan petugas menurunkan angka DO terhadap OAT d. Tidak tersedianya vaksin yang ampuh, yaitu yang bertahan dalam jangka waktu lama/ seumur hidup e. Angka Multi Drug Resisten (MDR)-TB yang tinggi f. Obat pencegahan yang kurang memadai. (Saat ini hanya menyembuhkan penderita, tanpa memperhatikan anggota keluarga yang potensial untuk tertular) g. Kurangnya perhatian dari pihak-pihak terkait h. Lain-lain. 7. Program DOTS dalam penanggulangan TB di Indonesia Sebagai salah satu program penanggulangan TB pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan World Health Organization (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama yang menghasilkan rekomendasi, perlunya segera dilakukan perubahan mendasar yang kemudian disebut sebagai Strategi DOTS. Sejak saat itulah dimulailah era baru pemberantasan TB di Indonesia (Depkes, 1999). Upaya penurunan angka penderita TB paru yang telah dilakukan oleh pihak program pada tahun 1995 berupa pemberian obat intensif melalui puskesmas ternyata kurang berhasil. Survei pada tahun 1995 menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan dan nomor satu dari golongan infeksi (Depkes, 2007). Lima kunci utama dalam strategi DOTS yaitu: (1) Komitmen; (2) Diagnosis yang benar dan baik; (3) Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat; (4)

14 Pengawasan penderita minum obat; (5) Pencatatan dan pelaporan penderita dengan sistem kohort (WHO, 2006). Kunci sukses penanggulangan TB adalah menemukan penderita dan mengobati penderita sampai sembuh. WHO menetapkan target global Case Detection Rate (CDR) atau penemuan kasus TB menular sebesar 70%, dan Cure Rate (CR) atau angka kesembuhan/ keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Sejak DOTS diterapkan secara intensif terjadi penurunan angka kesakitan TB menular yaitu pada tahun 2001 sebesar 122 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2005 menjadi 107 per 100.000 penduduk. Hasil yang dicapai Indonesia dalam menanggulangi TB hingga saat ini telah meningkat. Angka penemuan kasus TB menular yang ditemukan pada tahun 2004 sebesar 128.981 orang (54%) meningkat menjadi 156.508 orang (67%) pada tahun 2005. Keberhasilan pengobatan TB dari 86,7 % pada kelompok penderita yang ditemukan pada tahun 2003 meningkat menjadi 88,8 % pada tahun 2004 (Depkes, 2004). Selain itu mulai tahun 2003 dipergunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam bentuk Kombipak bagi penderita dewasa dan anak dan didukung pula dalam kebijakan pemerintah melalui Surat Keputusan tentang pemberian gratis Obat Anti Tuberkulosis dan Obat Anti Retro Viral untuk HIV/AIDS (Depkes, 2005). 8. Pengobatan Tuberkulosis a. Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. b. Jenis, sifat dan dosis OAT Jenis, sifat dan dosis OAT diuraikan dalam tabel 2.1

15 Tabel 2.1. Jenis, sifat dan dosis OAT Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian 3x seminggu Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12) Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12) Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40) Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18) Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35) c. Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis menurut Depkes (2007) dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. a) Tahap awal (intensif) (1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. (2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. (3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

16 (4) Jika setelah pengobatan 2 bulan pasien TB BTA positif belum menjadi BTA negatif (tidak konversi), maka diberikan OAT sisipan (HRZE) sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). b) Tahap Lanjutan (1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. (2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia 1) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: a) Kategori 1 : 2(HRZE)/ 4(HR)3 b) Kategori 2 : 2(HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) c) Kategori Anak: 2HRZ/ 4HR 2) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. 3) Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

17 kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Adapun paket obat KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien e. Paduan OAT dan peruntukannya. 1) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: a) Pasien baru TB paru BTA positif. b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c) Pasien TB ekstra paru Tabel 2.2 dan 2.3 menjelaskan dosis untuk paduan OAT KDT dan kombipak kategori 1. Berat Badan Tabel 2.2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

18 Tahap Pengobatan Tabel 2.3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1 Dosis per hari / kali Jumlah hari/kali menelan obat Tablet Kaplet Tablet Lama Tablet Isoniasid Rifampisin Etambutol Pengobatan Pirazinamid @ 300 @ 450 @ 250 @ 500 mgr mgr mgr mgr Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56 Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48 2) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: a) Pasien kambuh b) Pasien gagal c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Tabel 2.4 dan tabel 2.5 menjelaskan dosis untuk paduan OAT KDT dan Kombipak kategori 2 Berat Badan Tabel 2.4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 28 Selama 56 hari hari 30-37 kg 2 tab 4KDT + +500 mg Streptomisin inj. 38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj. Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400) selama 20 minggu 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg Streptomisin inj. 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

19 Tabel 2.5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 Tahap Pengobatan Tahap Intensif (dosis harian) Lama Pengobata n 2 bulan 1 bulan Tablet Isoniasid @ 300 Mgr 1 1 Kaplet Rifampisin @ 450 Mgr 1 1 Tablet Pirazinamid @ 500 mgr 3 3 Etambutol Tablet @ 250 Mgr 3 3 Tablet @ 400 mgr - - Strepto misin injeksi 0,75 gr - Jumlah hari/kali menelan obat 56 28 Tahap Lanjutan (dosis 3x Seminggu) 4 bulan 2 1-1 2-60 3) OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). Tabel 2.6 dan 2.7 menjelaskan dosis KDT dan Kombipak untuk sisipan Tabel 2.6. Dosis KDT untuk Sisipan Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 30 37 kg 2 tablet 4KDT 38 54 kg 3 tablet 4KDT 55 70 kg 4 tablet 4KDT 71 kg 5 tablet 4KDT Tabel 2.7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan Tahap Pengobatan Tahap intensif (dosis harian) Lamanya Pengobatan Tablet Isoniasid @ 300 mgr Kaplet Ripamfisin @ 450 mgr Tablet Pirazinamid @ 500 mgr Tablet Etambutol @ 250 mgr Jumlah hari/kali menelan obat 1 bulan 1 1 3 3 28 Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan

20 kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua (Depkes, 2007) f. Permasalahan pengobatan TB Proses penyembuhan akan berhasil jika penderita TBC mengkonsumsi anti-tb (OAT) secara teratur sampai selesai dengan pengawasan yang ketat Keteraturan berobat yaitu diminum tidaknya obat-obat tersebut, penting karena ketidakteraturan berobat menyebabkan timbulnya masalah resistensi (Taufan, 2008). Walaupun telah ada cara pengobatan tuberkulosis dengan efektivitas yang tinggi, angka sembuh masih lebih rendah dari yang diharapkan. Penyakit utama terjadinya hal tersebut adalah pasien tidak mematuhi ketentuan dan lamanya pengobatan secara teratur untuk mencapai kesembuhan. Terutama pemakaian obat secara teratur pada 2 bulan fase inisial sering kali tidak tercapai, sementara itu dengan mempersingkat lamanya pengobatan menjadi 6 bulan telah menunjukkan penurunan angka drop out. Hal ini mudah dimengerti, karena kalau penderita tidak tekun meminum obat-obatnya, hasil akhir hanyalah kegagalan penyembuhan ditambah dengan timbulnya basilbasil TB yang multiresisten. Resistensi obat anti tuberkulosis terjadi akibat pengobatan tidak sempurna, putus berobat atau karena kombinasi obat anti tuberkulosis tidak adekuat. Kondisi seorang penderita penyakit tuberkulosis sering berada dalam kondisi rentan dan lemah, baik fisik maupun mentalnya. Kelemahan itu dapat menyebabkan penderita tidak berobat, putus berobat, dan atau menghentikan pengobatan karena berbagai alasan. TB dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur sampai selesai dalam waktu 6-8 bulan.

21 Masa pemberian obat memang cukup lama yaitu 6-8 bulan secara terusmenerus agar dapat mencegah penularan kepada orang lain. Oleh sebab itu, para penderita TB jika ingin sembuh harus minum obat secara teratur. Tanpa adanya keteraturan minum obat penyakit sulit disembuhkan. Jika tidak teratur minum obat penyakitnya sukar diobati kuman TB dalam tubuh akan berkembang semakin banyak dan menyerang organ tubuh lain akan membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat sembuh biaya pengobatan akan sangat besar dan tidak ditanggung oleh pemerintah (Ainur, 2008). g. Efek samping pemberian OAT Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala menurut Depkes (2007). Tabel 2.8 Efek samping OAT Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan 1) Efek Samping Ringan Tidak ada nafsu makan, Rifampisin Semua OAT diminum malam sebelum tidur mual, sakit perut Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni (urine) 2) Efek Samping Berat INH Rifampisin Beri vitamin B6 (piridoxin) 100 mg per hari Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien. Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Jika tidak mereda, hentikan semua OAT. Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol. Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol. Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang. Bingung dan muntahmuntah (permulaan Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segeralakukan tes fungsi hati ikterus karena obat) Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol. Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin.

22 Pada UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut. b. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas. c. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid, etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh. d. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat. B. Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Sejak tahun 1995, manajemen

23 operasional yang menyesuaikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) menekankan adanya pengawas menelan obat (PMO) untuk setiap penderita TB paru dengan harapan dapat menjamin keteraturan minum obat bagi setiap penderita selama masa pengobatan. 1. Persyaratan/ kriteria PMO a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita. b. Seseorang yang tinggal dekat penderita. c. Bersedia membantu penderita dengan sukarela. d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. 2. Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Depkes, 2007). 3. Tugas seorang PMO Menurut PDPI (2006), tugas PMO antara lain: a. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik. b. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat. c. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan yaitu akhir bulan kedua, 1 bulan sebelum akhir pengobatan dan atau akhir bulan pengobatan. d. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai. e. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat serta merujuk pasien bila efek samping memberat. f. Melakukan kunjungan rumah (jika PMO bukan anggota keluarga)

24 g. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan diri kepada petugas kesehatan. Kinerja PMO yang optimal akan meningkatkan keberhasilan pngobatan TBC. Ada beberapa pengertian tentang kinerja yaitu: 1. Menurut Sulistiyani (2003) pengertian kinerja adalah kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Sedangkan menurut Bernardin dan Russel dalam Sulistiyani (2003) menyatakan bahwa kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. 2. Menurut Rivai dan Basri (2005) pengertian kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawab dengan hasil seperti yang diharapkan. Adapun Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah hasil kerja yang dicapai oleh PMO melalui aktivitas kerja yang telah ditentukan menurut kriteria yang berlaku bagi pekerjaan tersebut. Kinerja PMO dipengaruhi beberapa variabel antara lain usia, jenis kelamin, pendidikan, keluarga, tingkat sosial, pengalaman, kemampuan, dll (Sukamto, 2002). C. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB 1. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan

25 dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Selain pemantauan kemajuan pengobatan dan pemeriksaan dahak, telah ditetapkan tata laksana pemantauan pasien dengan berobat tidak teratur. Adapun tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur adalah: a. Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan 1) Lacak pasien 2) Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur 3) Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai b. Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: 1) Lacak pasien 2) Diskusikan dan cari masalah 3) Periksa 3 kali dahak (SPS) dan lanjutkan pengobatan sementara menunggu hasilnya Adapun tindakan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA: 1) Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru: Lanjutkan pengobatan sampai seluruhbdosis selesai 2) Bila satu atau lebih hasil BTA positif: a) Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: Lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak. b) Lama pengobatan sebelumnya lebih dari 5 bulan i. Kategori-1: mulai kategori-2 ii. Kategori-2: rujuk, mungkin kasus kronik. c. Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default) 1) Periksa 3 kali dahak SPS 2) Diskusikan dan cari masalah 3) Hentikan pengobatan sambil menunggu hasil pemeriksaan dahak.

26 Adapun tindakan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA: 1) Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru: Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi bila gejalanya semakin parah perlu pemeriksaan kembali (SPS dan atau biakan) 2) Bila satu atau lebih hasil BTA positif: i. Kategori-1: mulai kategori-2 ii. Kategori-2: rujuk, mungkin kasus kronik. 2. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif Hasil pengobatan TB BTA positif menurut Depkes (2007) dikategorikan menjadi: a. Sembuh: Adalah pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. b. Pengobatan Lengkap: Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. c. Meninggal: Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. d. Pindah: Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. e. Default (Putus berobat): Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. f. Gagal: Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 3. Angka Keberhasilan Pengobatan Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR) ditunjukkan dari angka kesembuhan yang ditentukan menurut target WHO sebesar 85%. Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh

27 maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori menurut Depkes, (2007) dapat dilihat dalam rumus berikut: SR = Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan lengkap) x 100% Jumlah pasien baru TB BTA positif yang diobati D. Kerangka Teori Pengobatan TB Strategi DOTS Komitmen Politik Distribusi Obat Deteksi Kasus Pencatatan dan Pelaporan Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) Usia Jenis Kelamin Pendidikan Hubungan keluarga Tingkat sosial Pengalaman Kemampuan Keberhasilan Pengobatan Penderita TB Skema 2.1. Kerangka Teori Sumber: Depkes (2007) Tingkat Pendidikan Mutu Pelayanan Sarana & Prasarana Kesehatan Efek Samping Obat Regimen Pengobatan Keteraturan Berobat

28 E. Kerangka Konsep Skema 2.2. Kerangka Konsep Variabel Bebas Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) Variabel Terikat Keberhasilan Pengobatan Penderita TB F. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2006). Variabel bebas yang diteliti adalah kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO). 2. Variabel terikat Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2006). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keberhasilan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS di RSUP Dr Kariadi Semarang. G. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap keberhasilan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS di RSUP Dr. Kariadi Semarang.