BAB I PENDAHULUA N A.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN A.

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB II PEMBELAJARAN INQUIRY DAN SCIENTIFIC INQUIRY LITERACY. atau pengetahuan. Secara alami, sebenarnya manusia telah sering melakukan

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui. pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL INKUIRI TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA SUB POKOK BAHASAN CERMIN DATAR

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

I. PENDAHULUAN. rendah hingga makhluk hidup tingkat tinggi. Biologi tidak hanya terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Melalui pendidikan

2016 PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMP PADA PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE CONNECTED BERBASIS GUIDED INQUIRY

2016 PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA PRAKTIKUM INKUIRI TERBIMBING REAKSI TRANSESTERIFIKASI PADA KONTEKS PEMBUATAN BIODIESEL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) merupakan ilmu yang berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. interaksi antara guru dan siswa (Johnson dan Smith di dalam Lie, 2004: 5).

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan kajian kuikulum pada pelajaran IPA, materi kelistrikan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang

ANALISIS BUKU AJAR IPA YANG DIGUNAKAN DI SEMARANG BERDASARKAN MUATAN LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

PENGARUH METODE INKUIRI TERBIMBING PADA PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA DALAM PRAKTIKUM ANIMALIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara

BAB I PENDAHULUAN. dengan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu cara

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

I. PENDAHULUAN. jenjang pendidikan menengah, sehingga tanggung jawab para pendidik di

I. PENDAHULUAN. alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya sekedar penguasaan. kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari peranan dunia

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PERANCANGAN PEMBELAJARAN LITERASI SAINS BERBASIS INKUIRI PADA KEGIATAN LABORATORIUM

2015 PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah menengah adalah kurikulum

BAB 1 PENDAHULUAN. Literasi sains didefinisikan oleh The National Science Education Standards

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. SMA (Sekolah Menengah Atas) dan MA (Madrasah Aliyah) diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Santi Helmi et al., Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA (Fisika)...

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUA N A. Latar Belakang Penelitian Sains memiliki peran yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan manusia, oleh karena itu sains diperlukan oleh seluruh masyarakat Indonesia (science for all) dalam membentuk masyarakat yang melek sains. Pembelajaran sains bertanggungjawab atas literasi sains peserta didik, karena itu kualitas pembelajaran sains perlu ditingkatkan agar dapat mencapai taraf pengembangan yang berkelanjutan (Liliasari,2011). Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA (Program for International Student Assessment) sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (Firman,2007). Literasi sains ini sangatlah penting dimiliki oleh setiap orang, menurut Zuriyani (2011:1) bahwa Negara-negara maju sudah membangun literasi sains sejak lama, yang pelaksanaannya terintegrasi dalam pembelajaran. Literasi sains ini juga menurut Wenning (2007) merupakan tujuan utama dari pendidikan. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan bagi semua siswa. Begitu pentingya literasi sains ini dimiliki oleh setiap orang, karena banyak manfaat yang dapat diperoleh jika kita sudah melek sains, tetapi secara berturut-turut, kemampuan literasi sains siswa Indonesia pada tes PISA yang diikuti oleh siswa berusia 15 tahun, dari tahun ke tahun adalah pada tahun 2000 Indonesia menduduki peringkat 38 dari 41 negara peserta, pada tahun 2003 peringkat 38 dari 40 negara peserta, tahun 2006 peringkat 50 dari 57 negara peserta, dan tahun terakhir yaitu 2009 adalah peringkat 60 dari 65 negara peserta dengan skor rata-rata Indonesia dari tahun ke tahun masih dibawah rata-rata skor internasional (Zuryani,2011).

2 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hadinughraha (2012) juga menunjukkan bahwa hasil capaian siswa SMA dalam merespon soal-soal literasi sains PISA konten pengetahuan biologi relatif rendah dan memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang rendah sebagai pembelajar sains. Berdasarkan hasil tes PISA yang diikuti oleh siswa di Indonesia dan dari penelitian yang ada, jelas terlihat bahwa kemampuan literasi sains siswa Indonesia masih sangat rendah. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi kepada guru (teacher centered) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan kurang optimal (Depdiknas, 2007). Hal serupa juga diungkapkan oleh Hadinugraha (2012), menurutnya salah satu penyebab rendahnya capaian literasi sains tersebut adalah karena pembelajaran biologi ataupun sains lainnya cenderung menekankan aspek pemahaman berdasarkan ingatan dan sangat jarang membangun kemampuan analisis (menerjemahkan, menghubungkan, menjelaskan, dan menerapkan informasi) berdasarkan data ilmiah. Dalam praktek pembelajaran IPA di banyak SMP di Indonesia cenderung memberikan materi sebagai hafalan. Hampir dipastikan tidak terjadi pembelajaran yang bernuansa proses, yang didalamnya peserta didik dilatih untuk memformulasikan pertanyaan ilmiah untuk penyelidikan, menggunakan pengetahuan yang diajarkan untuk menerangkan fenomena alam, serta menarik kesimpulan berbasis faktafakta yang diamati. Sangat wajar apabila mereka tidak mampu memecahkan masalah yang diberikan pada PISA yang didalamnya sarat penggunaan proses IPA ( Firman, 2007: 22). Moore dan Sutman (Moore dan Foy,1997) menyusun rangkaian tes yang dinamakan Scientific Attitude Inventory (SAI) untuk mengukur sikap ilmiah siswa. Selain mengevaluasi literasi sains PISA juga mengevaluasi sikap, yakni sikap siswa terhadap sains. Pada tes TOSRA yang dikembangkan oleh Fraser

3 (Anwer, 2012) salah satu indikator yang diukur dalam sikap terhadap sains adalah penggunaan sikap ilmiah. Selain itu, hubungan antara sikap terhadap sains dan sikap ilmiah adalah seseorang yang memiliki sifat seperti para ilmuwan (memiliki sikap ilmiah) mereka akan mempunyai sikap terhadap sains yang positif karena aktivitas sains memerlukan sifat-sifat tersebut (Osman et al.,2007; Zuryani,2011). Oleh karena itu, terdapat irisan antara sikap terhadap sains dan sikap ilmiah, dan terdapat persamaan antara muatan indikator sikap terhadap sains PISA dan sikap ilmiah pada SAI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka diperlukan metode mengajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk dapat meningkatkan literasi sains dan sikap ilmiah, karena mengajar sains merupakan mengajar siswa untuk melakukan observasi dan melakukan eksperimen dengan mengembangkan sikap ilmiah seperti yang dimiliki oleh para ilmuwan. Sikapsikap ilmiah ini akan muncul dari seringnya mereka melakukan eksperimeneksperimen terbimbing (Widiarti,2008). Metode inkuiri cocok diberikan pada pembelajaran sains. Hal tersebut sesuai dalam BSNP (2006) yang menyatakan bahwa pembelajaran IPA/sains sebaiknya dilakukan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Selain itu, menurut BouJaoude dan Saad (2012), bahwa sains adalah cara berfikir dan penyelidikan tentang dasar-dasar sains. Dasar-dasar sains ini merupakan bagian dari literasi sains dan dapat dihubungkan secara langsung dengan pembelajaran sains berbasis inkuiri. Metode inkuiri yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sains khususnya biologi adalah metode inkuiri yang bersumber dari Wenning (2010) yang membaginya menjadi beberapa level. Level Inquiry ini terdiri dari Discovery Learning, Interactive Demonstrative, Inquiry Lesson, Inquiry lab, Real-world Application, dan Hypothetical Explanation. Masing-masing level inkuiri memiliki karakteristik masing-masing. Menurut Brickman et al. (2009) dalam penelitiannya disebutkan bahwa mahasiswa yang menggunakan inquiry

4 lab memiliki gain yang signifikan berbeda pada kemampuan literasi sainsnya dan kemampuan proses sainsnya dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan praktikum biasa. Pembelajaran berbasis inkuiri ini juga harus dimulai lebih awal, bahkan pembelajaran inkuiri harus dimulai ketika seseorang menduduki bangku Taman Kanak-Kanak dan harus diteruskan di tingkat menengah dan selanjutnya (Abdelraheem dan Asan, 2006). The National Research Council (Moore,2009) juga mengungkapkan bahwa siswa di setiap tingkat memiliki kesempatan yang sama untuk menggunakan inkuiri ilmiahnya dalam meningkatkan kemampuannya untuk berpikir dan berprilaku. Untuk itu, dalam rangka mempersiapkan siswa yang memiliki literasi sains yang tinggi dan untuk mempersiapkan tes PISA di tahun-tahun berikutnya, maka perlu dilakukan persiapan mulai dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Salah satu materi biologi yang diajarkan di SMP kelas VIII pada kurikulum KTSP adalah gerak pada tumbuhan, khususnya gerak tropisme memiliki potensi untuk diajarkan menggunakan inkuiri karena dalam materi tersebut dapat dilakukan percobaan yang akan merangsang siswa untuk melakukan inkuiri. Materi gerak pada tumbuhan cukup banyak mengandung hafalan, jika pembelajaran disampaikan dengan menggunakan metode konvensional maka tidak akan terjadi proses pembelajaran yang berarti bagi siswa. Siswa akan merasa kesulitan untuk dapat membedakan jenis-jenis gerak pada tumbuhan karena jarang mengamati langsung gerak pada tumbuhan tersebut. Berdasarkan uraian-uraian diatas, dan dari permasalahan-permasalahan yang telah diungkapkan, maka muncul suatu keinginan untuk melakukan penelitian terhadap pengaruh model pembelajaran inquiry lab terhadap peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP pada materi gerak pada tumbuhan.

5 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP dengan menggunakan model pembelajaran inquiry lab pada materi gerak pada tumbuhan? Rumusan masalah tersebut dijabarkan melalui pertanyaan penelitian berikut : 1. Bagaimanakah keterlaksanaan tahapan model pembelajaran Inquiry lab pada materi gerak pada tumbuhan? 2. Bagaimanakah kemampuan literasi sains siswa SMP di kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional dan di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Inquiry lab sebelum dan setelah dilakukan pembelajaran? 3. Bagaimanakah perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains siswa SMP pada kelas kontrol dengan kelas eksperimen? 4. Bagaimanakah capaian tiap indikator kemampuan literasi sains siswa pada kelas kontrol dan eksperimen? 5. Bagamanakah sikap ilmiah siswa SMP di kelas kontrol dan di kelas eksperimen sebelum dan setelah dilakukan pembelajaran? 6. Bagaimanakah perbedaan peningkatan sikap ilmiah siswa SMP pada kelas kontrol dengan kelas eksperimen? 7. Bagaimanakah capaian tiap indikator sikap ilmiah siswa SMP pada kelas kontrol dan eksperimen? C. Batasan Masalah Agar penelitian ini terarah dan cakupan yang diteliti tidak terlalu luas, maka batasan masalah yang akan diuraikan adalah sebagai berikut : 1. Subjek penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII semester genap tahun ajaran 2012/2013. 2. Pembelajaran Inquiry lab merupakan pembelajaran inkuiri laboratorium menurut Wenning (2010). Dalam Inquiry lab ini terdapat tiga level inquiry lab, yaitu guided inquiry lab, bounded inquiry lab dan free inquiry lab,

6 dan level inquiry lab yang dimaksud dalam penelitian ini adalah guided inquiry lab. 3. Gerak pada tumbuhan yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada materi tropisme. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP pada materi gerak pada tumbuhan dengan menggunakan model pembelajaran inquiry lab. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Bagi Siswa a. Menjadi model pembelajaran yang dapat membantu siswa memahami materi IPA, khususnya pada materi gerak pada tumbuhan. b. Menanamkan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah yang baik yang dapat digunakan siswa dalam kehidupan sehari-hari. c. Mempersiapkan siswa dalam menghadapai soal-soal literasi sains pada PISA berikutnya. 2. Bagi Pendidik a. Memberikan alternatif pembelajaran IPA pada materi gerak pada tumbuhan. b. Memberikan informasi tentang kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP kelas VIII. 3. Bagi Peneliti lain a. Memberikan sumber rujukan untuk melakukan penelitian lainnya yang serupa agar dapat dikembangkan. b. Hasil penelitian dapat diajdikan masukan dan bahan pertimbangan untuk penelitian sejenis pada konsep yang berbeda ataupun bidang yang berbeda.

7 F. Asumsi Penelitian 1. Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan metode yang banyak digunakan dan metode terbaik dalam mengajarkan sains (Moore,2009). 2. Literasi sains dapat dihubungkan secara langsung dengan pembelajaran sains berbasis inkuiri (BouJaoude & Saad, 2012). 3. Berdasarkan literatur tentang literasi sains bahwa guru dianjurkan untuk menerapkan inkuiri sebagai bagian penting dari pembelajaran (National Science Education Standards dalam Wenning,2010). 4. Pembelajaran IPA sebaiknya secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup (BSNP, 2006). 5. Pembelajaran berbasis inkuiri dapat melatih siswa untuk memiliki sikap ilmiah (Hermawati, 2012) 6. Sikap-sikap ilmiah akan muncul dari seringnya siswa melakukan eksperimen-eksperimen terbimbing (Widiarti,2008). G. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah : H 0 = Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP antara kelas kontrol dan kelas eksperimen pada materi gerak pada tumbuhan. H 1 = Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP antara kelas kontrol dan kelas eksperimen pada materi gerak pada tumbuhan.