I. PENDAHULUAN Latar Belakang Selama periode penyimpanan benih mengalami kemunduran yang disebabkan oleh faktor-faktor alami. Proses ini disebut deteriorasi. Kemunduran benih dapat juga tejadi oleh tindakan non alami, misalnya oleh deraan Mesin Pengusang Cepat (MPC) dengan menggunakan uap etanol. Untuk membedakan dari istilah deteriorasi, proses kemunduran non alami oleh Sadjad (1994) disebut devigorasi. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai deteriorasi terkontrol. Perubahan yang terjadi akibat deraan uap etanol menurut hasil penelitian Pian (1981) adalah menurunnya potensi tumbuh rnaksimum, daya berkecambah dan vigor benih yang merupakan perwujudan fisiologi. Perwujudan biokimiawi akibat deraan uap etanol adalah menurunnya aktivitas enzim, respirasi benih, laju sintesis dan meningkatnya kebocoran hasil metabolisme. Pemjudan sitologik terlihat pada kerusakan tudung akar embrio benih yaitu terlepasnya plasma sel dari dinding sel dan hubungan antar sel menjadi renggang. Perubahan metabolik, sitologik dan genetik terjadi selama proses kemunduran viabilitas benih. Pada benih-benih yang mengalami kemunduran te jadi akumulasi krornosom yang rusak, denaturasi lipoprotein membran sel dan asam nukleat (Roberts, 1972). Hasil penelitian Pian (1981) menunjukkan adanya kesarnaan antara deteriorasi dan devigorasi dilihat secara fisiologi, biokimiawi, maupun sitologi. Studi ultrasbuktur pada tudung akar dari beberapa tingkat kemunduran benih, menunjukkan bahwa semua organel sel terpengaruh oleh proses penuaan. Namun pada lot benih yang mengalami kemunduran tipe I dengan protoplas masih relatif baik walaupun sudah ada perubahan degeneratif, ketidaknormalan
tersebut menghilang setelah imbibisi 48 jam. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme perbaikan. Kemunduran tipe I1 dengan protoplas sudah tidak beraturan dan organel-organel sudah mengalami degenerasi, tidak dapat pulih kembali. Demikian pula pada tingkat kemunduran yang lebih lanjut pada tipe I11 (Roberts, 1972). Faktor internal benih dan kondisi lingkungan kadang-kadang menyebabkan pertumbuhan bibit lambat atau abnormal. Benih-benih yang sudah mengalami penman viabilitas biasanya sangat peka terhadap kondisi sub optimum. Salah satu upaya untuk mengatasi kondisi tersebut diperlukan suatu perlakuan sebelum tanam sehingga benih dapat mengatasi kondisi sub optimum, rnetabolisrne perkecambahan yang terjadi lebih awal dan pengaruh pen- benih dapat dikurangi. Perlakuan tertentu pada benih yang telah mengalami kemunduran dapat meningkatkan vigor. Proses bertambahnya vigor benih disebut invigorasi (Sadjad, 1994). Murray dm Wilson (1987) mengemukakan bahwa salah satu usaha untuk menambah vigor benih adalah dengan perlakuan priming. Priming adalah suatu metode untuk mengatur jurnlah air yang diimbibisi oleh benih, serta mengatur kecepatan masuknya air ke dalam benih. Ada beberapa metode priming yaitu hydropriming, osmotic priming dan matriconditioning. Hydropriming yaitu priming dengan cara merendam benih dalam air beberapa jam lalu diikuti dengan perlakuan inkubasi pada kondisi kelembaban nisbi 100% (Koch, Hoffinan dan Steiner, 1992 ; Fujikura et al., 1993). Osmotic priming yaitu priming dengan cara menempatkan benih dalam larutan osmotik, metode ini sering juga disebut osmopriming atau osmoconditioning (Murray dan Wilson,1987). Matriconditioning yaitu priming
Fenomena invigorasi ditunjukkan oleh indikasi fisiologi maupun biokimiawi. Perlakuan osmotic priming dengan PEG 6000 pada benih kedelai yang telah mengalami devigorasi dapat meningkatkan Daya Berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (I(CT), Keserempakan Tumbuh (I(ST) dan persentase pemunculan bibit (Nursandi, 1990; Sagala, 1990 ; Shatters et al., 1994). Hasil penelitian Shatters et al. (1994) menunjukkan adanya peningkatan intensitas pewarnaan pada analisis izoenzim glutamat dehidrogenase (GDH) pada benih yang diberi perlakuan osmotic priming dibanding kontrolnya. Kandungan protein terlarut lebih tinggi pada benih yang diberi perlakuan osmotic priming dib&ding kontrol (Smith dan Cobb, 1992). Hasil penelitian Armstrong dan McDonald (1992) menunjukkan bahwa pada perlakuan osmotic priming terjadi pemantapan integritas membran. Viabilitas benih merupakan fokus pengembangan ilmu benih (Sadjad, 1992). Dalam pengembangan ilmu benih tersebut diharapkan dapat ditemukan indikasiindikasi viabilitas benih yang dapat diukur dengan tolok ukur yang spesifik. Pada penelitian ini diharapkan dapat diperoleh indikasi viabilitas yang spesifik dalam kaitannya dengan invigorasi benih. Proses invigorasi ditunjukkan oleh tingkat pulih vigor yaitu selisih nilai viabilitas benih, baik yang dinyatakan dengan tolok ukur fisiologi maupun biokimiawi antara lot yang diinvigorasi dan kontrolnya (tanpa invigorasi). Hasil penelitian Widajati, Suwarno dan Murniati (1990) pada benih kacang tanah menunjukkan bahwa benih vigor tinggi dan vigor rendah tidak menunjukkan peningkatan vigor dengan perlakuan invigorasi, sedangkan pada benih vigor sedang terjadi peningkatan vigor secara nyata. Fenomena yang sarna juga terjadi pada benih kedelai (Sagala, 1990) dan benih jagung (Setiarini, 1995). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat pulih vigor memiliki kecenderungan garis yang sarna
dengan garis Nilai Delta pada Periode I11 konsepsi Steinbauer-Sadjad. Analog dengan garis Nilai Delta, maka fenomena pulih vigor tersebut diduga dapat digunakan untuk paiameter viabilitas suatu lot benih. Proses invigorasi pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk kriteria viabilitas suatu lot benih. Lot benih pada hakekatnya me~pakan campuran individu-individu benih baik, sedang dan jelek, oleh karena itu informasi viabilitas benih mengikuti kurva distribusi normal. Dalam prakteknya dua atau lebih lot benih dapat diblending. sehingga didapatkan komposisi lot benih yang lebih baik. Greg et al. (1970) mendefinisikan blending adalah mencampur dua atau lebih lot benih, sehingga dihasilkan lot benih yang lebih homogen. Pemanfaatan benih yang sudah menurun viabilitasnya dalam budi daya tanarnan diduga akan dapat menghasilkan pertanaman yang lebih seragam di lapang jika benih yang sudah menurun viabilitasnya diblending dengan benih berviabilitas tinggi. Penentuan dapat tidaknya benih tersebut diblending diduga dapat dilakukan dengan uji invigorasi. Lot benih yang sudah menurun viabilitasnya dan setelah uji invigorasi dapat pulih vigor termasuk kelompok benih vigor sedang dan dapat digunakan untuk blending. Blended seed mempakan campuran benih vigor tinggi dan sedang dengan berbagai variasi rasio. Batas rasio yang dapat diterima adalah rasio-rasio yang memiliki delta relatif konstan apabila campuran lot tersebut diinvigoraqi. Jika ha1 ini dapat dilakukan maka penambahan waktu dan tenaga untuk penyularnan dapat ditiadakan dan benih yang sudah mengalami kemunduran dapat dimanfaatkan dan pertanaman yang dihasilkan lebih baik. Senyawa P di dalam benih sangat penting peranannya dalam metabolisme perkecambahan benih. Fitin adalah kompleks garam kalsium, magnesium dan kalium dari asam inositolheksafosfat (asam fitat). Walaupun fitin jumlahnya
kecil namun merupakan surnber fosfat dan unsur mineral penting bagi benih. Selain itu fitin merupakan cadangan Fe, Mn dan Cu (Bewley dan Black, 1985). Benih-benih yang pulih vigor dan diberi perlakuan invigorasi diduga mengalami peningkatan aktivitas enzim-enzim hidrolisis, terrnasuk enzim fitase sebagai penghidrolisis fitin. Pemanfaatan cadangan P dalam benih yang mengalami deteriorasi dan devigorasi akan menurun. Perlakuan invigorasi diduga dapat meningkatkan pemanfaatan cadangan P selama perkecambahan. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan mempelajari proses deteriorasi dan devigorasi yang ditengarai oleh asam fitat, P teresterifikasi oleh mitokondria, aktivitas enzim fitase, aktivitas enzim peroksidase di dalam benih kedelai yang memungkinkan untuk &ja&ikan indikator vigor biokimiawi maupun DB dan ST sebagai indikator mutu fisiologi. Tujuan lainnya adalah mempelajari tingkat pulih vigor sebagai kriteria analisis benih dalam variasi benih yang mengalarni deteriorasi dan devigorasi. Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari mekanisme invigorasi pada lot benih yang pulih vigor dengan indikasi fisiologi dan indikasi biokimiawi. Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari aplikasi fenomena invigorasi pada lot-lot benih yang diduga sudah mundur narnun masih dalam batasan pulih vigor, sehingga dapat ditentukan apakah lot benih tersebut dapat digunakan untuk tujuan blending. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Tingkat viabilitas clan kepulihan vigor benih dari lot benih yang mengalami deteriorasi maupun devigorasi dapat diindikasikan dengan indikasi fisiologi dan biokimiawi.
2. Kandungan asarn fitat, aktivitas enzirn fitase, aktivitas enzim peroksidase, jumlah P teresterifikasi oleh mitokondria, serta pola pita protein dapat rnenjelaskan mekanisme invigorasi. 3. Indikasi kecambah kuat pada pengujian vigor benih berkorelasi positif dengan lot benih yang masih mengalami pulih vigor 4. Tingkat invigorasi dapat rnengindikasikan vigor benih. 5. Pada lot benih yang pulih vigor dapat dilakukan blending, narnun lot benih hasil blending dibatasi oleh rasio lot benih pulih vigor.