BAB IV ANALISIS KINEMATIK

dokumen-dokumen yang mirip
Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

TUGAS PRAKTIKUM GEOLOGI TEKNIK ROCK QUALITY DESIGNATION (RQD) & SCANLINE

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

ANGGUNING DIAH FAHMI NIM

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV SIMULASI PENGARUH PERCEPATAN GEMPABUMI TERHADAP KESTABILAN LERENG PADA TANAH RESIDUAL HASIL PELAPUKAN TUF LAPILI

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Analisis Kestabilan Lereng Batuan

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

PENGARUH BIDANG DISKONTINU TERHADAP KESTABILAN LERENG TAMBANG STUDI KASUS LERENG PB9S4 TAMBANG TERBUKA GRASBERG

MEKANIKA TANAH (CIV -205)

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

Studi Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) pada Lereng Bekas Penambangan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

ANALISIS TIPE LONGSOR DAN KESTABILAN LERENG BERDASARKAN ORIENTASI STRUKTUR GEOLOGI DI DINDING UTARA TAMBANG BATU HIJAU, SUMBAWA BARAT

ANALISIS KEMANTAPAN LERENG PADA JENJANG PENAMBANGAN PT SUGIH ALAMANUGRAHA KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA SKRIPSI

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Parameter geomekanika yang dibutuhkan dalam analisis kestabilan lereng didasarkan

4 BAB VIII STABILITAS LERENG

Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32 Inderalaya Sumatera Selatan, 30662, Indonesia Telp/fax. (0711) ;

MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

BAB 4 PENGUMPULAN DATA LAPANGAN. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

ANALISIS KINEMATIKA KESTABILAN LERENG BATUPASIR FORMASI BUTAK

BAB II RUANG LINGKUP PENELITIAN

BAB 4 HASIL ANALISA PENGARUH GEMPA TERHADAP KONSTRUKSI LERENG DENGAN PERKUATAN GEOTEKSTIL WOVEN

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA

ANALISIS KESTABILAN LERENG BATU DI JALAN RAYA LHOKNGA KM 17,8 KABUPATEN ACEH BESAR

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

Gambar 3.14 Peta pola kelurusan lembah dan bukit di daerah penelitian

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian banjir, air baku 300 liter/ detik dan energi listrik 535 KWH (Wicaksono,

BAHAN AJAR. MEKANIKA BATUAN (Semester 6 / 2 SKS / TKS 1607)

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

ANALISIS KERENTANAN GERAKAN TANAH (LONGSOR) DENGAN MENGGUNAKAN SIG

BAB III METODE PENELITIAN. geologi, seperti data kekar dan cermin sesar, untuk melukiskan karakteristik

Cara uji geser langsung batu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Oleh: Yasmina Amalia Program Studi Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

BAB II LANDASAN TEORI

Menentukan Jurus dan Kemiringan Batuan serta Struktur Patahan di Sepanjang Sungai Cinambo, Jawa Barat. Abstrak

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28

Analisis Kinematik untuk Mengetahui Potensi Ambrukan Baji di Blok Cikoneng PT. CSD Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI STRUKTUR PRINSIP GAYA & DEFORMASI

PENYELIDIKAN GEOLISTRIK DAN HEAD ON DI DAERAH PANAS BUMI SAMPURAGA, MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA

DAFTAR ISI... RINGKASAN... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I. PENDAHULUAN

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

STUDI KEKUATAN GESER TERHADAP PENGARUH KEKASARAN PERMUKAAN DIAKLAS BATU GAMPING

BAB III METODE KAJIAN

ANALISIS STABILITAS LERENG TEBING SUNGAI GAJAHWONG DENGAN MEMANFAATKAN KURVA TAYLOR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

Bab III Pengolahan Data

DAFTAR PUSTAKA. Bieniawski, Z. T., Rock Mechanics Design in Mining and Tunneling. A.A. Balkema, Amsterdam. 272 hal.

UNIVERSITAS DIPONEGORO

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian

ABSTRAK Kata Kunci : Nusa Penida, Tebing Pantai, Perda Klungkung, Kawasan Sempadan Jurang, RMR, Analisis Stabilias Tebing, Safety Factor

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Sari. Penyelidikan Geolistrik Tahanan Jenis di Daerah Panas Bumi Pincara, Kabupaten Masamba Sulawesi Selatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Stabilitas Lereng Menggunakan Cerucuk Kayu

GEOLOGI DAERAH KLABANG

Geologi Daerah Pela dan Sekitarnya...Wahyu Haryadi 14

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS KINEMATIK 4.1 Data Lereng yang dijadikan objek penelitian terletak di pinggir jalan raya Ponjong Bedoyo. Pada lereng tersebut terdapat banyak diskontinuitas yang dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya runtuhan batuan (Gambar 4.1). Gambar 4.1 Lereng yang dijadikan objek penelitian Seperti yang telah disebutkan dalam dasar teori bahwa kestabilan lereng di alam sangat dipengaruhi oleh diskontinuitas yang terdapat dalam massa batuan. Diskontinuitas-diskontinuitas tersebut dapat terbentuk baik secara primer (bidang perlapisan) maupun secara sekunder (rekahan). 36

4.1.1 Teknik Pengambilan Data Dalam penelitian ini digunakan metode scanline sampling. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui orientasi bidang diskontinuitas pada permukaan yang dianggap mewakili orientasi bidang diskontinuitas batuan secara keseluruhan. Peralatan yang dipakai berupa tali, kompas, clip board, dan penggaris. Cara pengambilan data dengan metode scanline sampling adalah dengan mencatat semua karakteristik bidang diskontinuitas yang memotong tali yang dibentangkan di sepanjang permukaan batuan dengan batasan 30 centimeter ke atas dan 30 centimeter ke bawah dari garis pengamatan. Arah dari scanline ini harus dicatat. Sedapat mungkin arah dari scanline sama di semua segmen untuk mengurangi bias pengukuran. Batas toleransi perbedaan arah scanline adalah 20, sehingga perbedaan tersebut masih dapat diabaikan. Data-data yang diambil dalam penelitian ini, yang selanjutnya akan digunakan dalam analisis kinematik dan klasifikasi massa batuan, berupa data diskontinuitas (lihat Lampiran B) baik yang terbentuk secara primer maupun secara sekunder, JRC, SHV, dan kondisi keairan. Secara sistematik, teknik pengambilan data dalam penelitian in meliputi : Pengukuran panjang, arah kemiringan dan kemiringan scanline Pengukuran arah dan kemiringan lereng Pengukuran atribut diskontinuitas, yang terdiri dari orientasi diskontinuitas, panjang diskontinuitas, jarak/spasi diskontinuitas, kondisi diskontinuitas, dan lebar bukaan diskontinuitas Penentuan kondisi umum keairan Penilaian koefisien kekasaran permukaan diskontinuitas (JRC) Pengujian Schmidt hammer untuk menentukan Schmidt Hammer Value (SHV) 37

4.1.2 Teknik Pengolahan Data Setelah melakukan pengumpulan data diskontinuitas dengan metode scanline sampling, maka langkah selanjutnya adalah melihat penyebaran orientasi bidang diskontinuitas pada bidang stereonet. Untuk mempermudah prosesnya digunakan program aplikasi Stereonet dan Dips. Tujuan pengeplotan orientasi bidang diskontinuitas pada stereonet adalah mendapatkan arah umum dari orientasinya. Dari hasil pengeplotan didapatkan bahwa orientasi umum diskontinuitas terutama rekahan sangat dipengaruhi oleh arah tegasan utama utara selatan. Rekahan-rekahan tersebut memiliki arah umum utara selatan, baratlaut tenggara, dan timurlaut baratdaya. Berdasarkan arah dari rekahan yang dikaitkan dengan arah tegasan utama, maka rekahan-rekahan yang berarah utara selatan dikelompokkan pada extension joints dan pasangan kekar berarah baratlaut tenggara dan timurlaut baratdaya merupakan shear joints. Langkah berikutnya adalah membuat set diskontinuitas dari contour plot tersebut. Penentuan kelompok diskontinuitas dilakukan berdasarkan penyebaran orientasi bidang diskontinuitas pada bidang stereonet. Bidang-bidang diskontinuitas yang membentuk satu kelompok dapat dikelompokkan dalam satu set diskontinuitas. Selanjutnya adalah pengujian sifat keteknikan dari batugamping (lihat Lampiran C). Pengujian tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kohesi residual, sudut geser dalam residual, kekuatan batuan rata-rata dan densitas kering batugamping. Dari pengujian, didapatkan hasil kohesi residual sebesar 2,059 MPa, sudut geser dalam residual sebesar 8,43, kekuatan batuan rata-rata sebesar 25 MPa, dan densitas kering sebesar 22,5 kn/m 3. Setelah didapatkan hasil kohesi residual, sudut geser dalam residual, JRC (lihat Lampiran D), dan JCS (lihat Lampiran E), maka akan dapat diketahui nilai sudut geser dalam efektif (lihat Lampiran F). Berikutnya adalah pengeplotan kedudukan-kedudukan set diskontinuitas, muka lereng dan sudut geser dalam efektif masing-masing scanline pada stereonet. Setelah itu didapatkan potensi keruntuhan lereng batuan pada masing-masing scanline dari model pengeplotan tersebut. 38

Lereng di lokasi penelitian dibagi menjadi lima segmen scanline berdasarkan perubahan arah dan sudut kemiringan dari lereng. Kelima segmen scanline tersebut akan dijabarkan dan dianalisis secara kinematik dalam subbab-subbab di bawah ini. 4.2 Scanline I Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data : Kedudukan lereng Arah garis pengukuran Panjang lereng : 63, N 212 E : N 152 E : 8 meter Ketinggian lereng rata-rata : ± 15 meter Diskontinuitas yang ada pada lereng scanline I berupa rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline I ditemukan 32 rekahan dan 6 bidang perlapisan, dimana hanya 1 bidang perlapisan yang berada pada jarak 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan (Gambar 4.2). Jarak bentangan tali pada scanline ini adalah 8 meter. Data diskontinuitas yang berupa bidang perlapisan tidak memotong garis scanline, namun data tersebut akan tetap diperhitungkan karena diperkirakan akan mempengaruhi kestabilan lereng batuan yang ada pada scanline I (lihat Gambar 4.2). Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129 E / 9 SW. 39

Gambar 4.2 Scanline I dan kedudukan diskontinuitas utamanya Karena hanya diskontinuitas yang berupa rekahan yang melewati garis pengamatan, maka untuk pengeplotan set diskontinuitas hanya akan digunakan data rekahan. Dari proses pengelompokan diskontinuitas yang berupa rekahan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Stereonet dan Dips, didapatkan dua set diskontinuitas untuk scanline I, yakni JS1 dan JS2 (Gambar 4.3). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 73 E / 52 SE, sedangkan kedudukan umum untuk JS2 adalah N 157 E / 44 SW. 40

Gambar 4.3 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline I Berdasarkan pola set diskontinuitas yang berupa rekahan dan kedudukan lereng yang telah diplot di Stereonet, menunjukkan adanya model runtuhan baji (Gambar 4.4). Runtuhan ini dibentuk oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) Ψ i sebesar 34º dengan sudut geser dalam efektif (Φ i ) sebesar 16,06º (lihat Lampiran F) dan kemiringan lereng (Ψ f ) adalah 63º. Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe keruntuhan baji, yaitu Φ i < Ψ i < Ψ f, dapat dikatakan bahwa keruntuhan baji dapat terjadi pada scanline I karena syarat-syarat kinematik terjadinya keruntuhan tersebut telah terpenuhi. Jadi keruntuhan pada lereng scanline I sangat dipengaruhi oleh kehadiran diskontinuitasnya baik berupa rekahan maupun bidang perlapisan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk lereng pada scanline I yang seakan-akan menggantung (lihat Gambar 4.2). Sehingga dapat disimpulkan bahwa lereng tersebut telah mengalami keruntuhan sebelumnya yang diakibatkan oleh orientasi rekahan-rekahannya dan dipicu juga oleh orientasi bidang perlapisannya. Selanjutnya setelah terjadi gempa pada tanggal 29 Mei 2006 diperkirakan terjadi pula rekahan-rekahan baru, dimana rekahan-rekahan baru dan yang telah ada sebelumnya membentuk potensi keruntuhan baji, sedangkan bidang perlapisan yang ada akan memicu potensi keruntuhan baji tersebut. 41

Gambar 4.4 Analisis kinematik pada scanline I 4.3 Scanline II Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data : Kedudukan lereng Arah garis pengukuran Panjang lereng Ketinggian lereng rata-rata : 67, N 204 E : N 154 E : 14,8 meter : ± 20 meter Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline II hanya berupa data rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline II ditemukan 14 rekahan dengan jarak bentangan tali 14,8 meter (Gambar 4.5). Di lereng ini juga terdapat 9 bidang perlapisan, dengan kedudukan N 129 E / 9 SW. Namun hanya 1 bidang perlapisan yang terletak pada batas 30 cm ke atas dari garis pengamatan. 42

Gambar 4.5 Scanline II dan kedudukan diskontinuitas utamanya Dari proses pengelompokan diskontinuitas, didapatkan dua set diskontinuitas untuk scanline II, yakni JS1 dan JS2 (Gambar 4.6). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 7 E / 58 SE, sedangkan kedudukan umum untuk JS2 adalah N 186 E / 68 NW. 43

Gambar 4.6 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline II Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng yang telah diplot di Stereonet, menunjukkan adanya model runtuhan baji (Gambar 4.7). Runtuhan ini dibentuk oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) Ψ i sebesar 2º dengan sudut geser dalam efektif (Φ i ) sebesar 13,22º (lihat Lampiran F) dan kemiringan lereng (Ψ f ) adalah 67º. Namun besarnya sudut penunjaman tidak memenuhi syarat kinematik untuk keruntuhan baji, yakni Φ i < Ψ i < Ψ f. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keruntuhan baji tidak dapat terjadi pada scanline II karena besarnya sudut penunjaman masih jauh lebih kecil daripada sudut geser dalam efektif. Dari analisis kinematik di atas terlihat fenomena tipe keruntuhan yang seakan cenderung tidak beraturan (raveling failure), terutama membentuk mekanisme jatuhan batuan (rock fall), dan umumnya dijumpai pada batuan yang telah mengalami proses pelapukan (weathered rocks). Selain pelapukan, mekanisme keruntuhan ini juga sangat dikontrol oleh diskontinuitas batuan baik berupa rekahan maupun bidang perlapisan. Indikasi ini tampak dari adanya jejak-jejak rekahan (fracture traces) dan bidang perlapisan pada batuan, meskipun telah mengalami lapuk kuat hingga lapuk sempurna (highly completely weathered rocks). 44

Gambar 4.7 Analisis kinematik pada scanline II 4.4 Scanline III Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data : Kedudukan lereng Arah garis pengukuran Panjang lereng Ketinggian lereng rata-rata : 47, N 210 E : N 170 E : 8,7 meter : ± 23 meter Diskontinuitas yang ada pada lereng scanline III berupa rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline III ditemukan 34 rekahan dengan jarak bentangan tali 8,7 meter (Gambar 4.8). Pada lereng ini terdapat 8 bidang perlapisan, namun hanya 2 bidang perlapisan yang terletak di 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan. Data diskontinuitas yang berupa bidang perlapisan tidak memotong garis scanline, namun data tersebut akan tetap diperhitungkan karena diperkirakan akan 45

mempengaruhi kestabilan lereng batuan yang ada pada scanline III (lihat Gambar 4.8). Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129 E / 9 SW. Gambar 4.8 Scanline III dan kedudukan diskontinuitas utamanya Karena hanya diskontinuitas yang berupa rekahan yang melewati garis pengamatan, maka untuk pengeplotan set diskontinuitas hanya akan digunakan data rekahan. Dari proses pengelompokan rekahan, didapatkan tiga set diskontinuitas untuk scanline III, 46

yakni JS1, JS2 dan JS3 (Gambar 4.9). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 22 E / 64 SE, JS2 adalah N 171 E / 63 SW dan JS3 adalah N 129 E / 66 SW. Gambar 4.9 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline III Berdasarkan pola-pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng menunjukkan adanya model keruntuhan baji dan planar (Gambar 4.10). Model keruntuhan baji dibentuk oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) Ψ i sebesar 23º dengan sudut geser dalam efektif (Φ i ) sebesar 15,2º (lihat Lampiran F) dan kemiringan lereng (Ψ f ) adalah 47º. Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe keruntuhan baji, yaitu Φ i < Ψ i < Ψ f, dapat dikatakan bahwa keruntuhan baji dapat terjadi pada scanline III karena syarat-syarat kinematik terjadinya keruntuhan tersebut telah terpenuhi. Selanjutnya untuk tipe keruntuhan planar, dengan bidang gelincir JS3 dan arah kemiringan (α c ) sebesar N 219º E. Sedangkan kemiringan lereng (α f ) memiliki arah sebesar N 210º E. Maka lereng tersebut memiliki perbedaan sebesar 9º dengan arah kemiringan lereng. Lereng tersebut memiliki kemiringan (Ψ f ) sebesar 47º. Sedangkan bidang gelincirnya memiliki kemiringan (Ψ c ) sebesar 66º. Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu Φ i < Ψ c < Ψ f, dapat dikatakan bahwa keruntuhan planar tidak dapat terjadi karena syarat kinematik tidak terpenuhi. 47

Gambar 4.10 Analisis kinematik pada scanline III Dari Gambar 4.8 terlihat bahwa beberapa bentuk lereng seakan-akan menggantung. Sehingga disimpulkan bahwa lereng ini telah mengalami keruntuhan sebelumnya yang diakibatkan oleh orientasi rekahan-rekahan dan dipicu juga oleh orientasi bidang perlapisannya. Jadi keruntuhan batuan pada lereng scanline III sangat dipengaruhi oleh kehadiran diskontinuitasnya baik berupa rekahan maupun bidang perlapisan. Kehadiran rekahan-rekahan tersebut membentuk potensi keruntuhan baji, sedangkan bidang perlapisan yang ada dapat memicu terjadi keruntuhan baji pada lereng scanline III. 4.5 Scanline IV Dari hasil pengamatan dan pengukuran, didapatkan data : Kedudukan lereng Arah garis pengukuran Panjang lereng Ketinggian lereng rata-rata : 51, N 219 E : N 172 E : 2,9 meter : ± 4,3 meter 48

Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline IV berupa data rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline IV ditemukan 14 rekahan dengan jarak bentangan tali 2,9 meter (Gambar 4.11). Terdapat 4 bidang perlapisan pada lereng ini, sengan kedudukan N 129 E / 9 SW. Namun kesemua bidang perlapisan tersebut tidak terletak pada batas 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan, sehingga tidak diplot pada gambar. Gambar 4.11 Scanline IV dan kedudukan diskontinuitas utamanya 49

Karena hanya data rekahan yang melewati garis pengamatan, maka untuk pengelompokan diskontinuitas hanya digunakan data rekahan. Dari proses pengelompokan diskontinuitas, hanya didapatkan satu set diskontinuitas untuk scanline IV, yakni JS1 (Gambar 4.12). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 150 E / 45 SW. Gambar 4.12 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline IV Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng pada stereonet terlihat adanya model keruntuhan planar (Gambar 4.13), dimana set diskontinuitas yang terlibat adalah JS1. Set diskontinuitas tersebut juga bertindak sebagai bidang gelincir dengan arah kemiringan (α p ) sebesar N 240º E, memiliki perbedaan sebesar 20º dengan arah kemiringan lereng (α f ). Lereng tersebut memiliki kemiringan (Ψ f ) sebesar 51º dan arah kemiringan sebesar N 220º E. Sedangkan bidang gelincirnya memiliki kemiringan (Ψ p ) sebesar 45º dengan sudut geser dalam efektifnya (Φ i ) sebesar 17,1º (lihat Lampiran F). Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu Φ i < Ψ p < Ψ f, maka dapat dikatakan bahwa keruntuhan planar dapat terjadi karena syarat kinematik untuk terjadinya keruntuhan tersebut terpenuhi. Bidang perlapisan yang ada akan ikut memicu terjadinya keruntuhan planar pada lereng di scanline IV. Jadi keruntuhan batuan yang ada pada lereng scanline IV sangat dikontrol oleh bidang diskontinuitas baik berupa rekahan maupun bidang perlapisan. 50

Gambar 4.13 Analisis kinematik pada scanline IV 4.6 Scanline V Dari hasil pengamatan dan pengukuran, didapatkan data : Kedudukan lereng Arah garis pengukuran Panjang lereng Ketinggian lereng rata-rata : 55, N 212 E : N 168 E : 4,5 meter : ± 5,1 meter Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline V berupa data rekahan dan bidang perlapisan. Pada lereng scanline V ditemukan 19 diskontinuitas dengan jarak bentangan tali 4,5 meter (Gambar 4.14). Pada lereng ini juga ditemukan 3 bidang pelapisan, namun tidak ada yang terletak pada batas 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan. Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129 E / 9 SW. 51

Gambar 4.14 Scanline V dan kedudukan diskontinuitas utamanya Dari proses pengelompokkan diskontinuitas, sama halnya dengan scanline IV, hanya didapatkan satu set diskontinuitas untuk scanline V, yakni JS1 (Gambar 4.15). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 103 E / 46 SW. 52

Gambar 4.15 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline V Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng pada stereonet menunjukkan adanya model keruntuhan planar (Gambar 4.16), dimana set diskontinuitas yang terlibat adalah JS1. Set diskontinuitas tersebut juga bertindak sebagai bidang gelincir dengan arah kemiringan (αp) sebesar N 193º E, memiliki perbedaan sebesar 20º dengan arah kemiringan lereng (αf). Lereng tersebut memiliki kemiringan (Ψ f ) sebesar 55º dan arah kemiringan sebesar N 213º E. Sedangkan bidang gelincirnya memiliki kemiringan (Ψ p ) sebesar 46º dengan sudut geser dalam efektifnya (Φ i ) sebesar 14,04º (lihat Lampiran F). Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu Φ i < Ψ p < Ψ f, maka dapat dikatakan bahwa keruntuhan planar dapat terjadi karena syarat kinematik untuk terjadinya keruntuhan tersebut terpenuhi. Data diskontinuitas berupa bidang perlapisan juga ikut berpengaruh pada terjadinya keruntuhan batuan yang ada pada lereng scanline V. Bidang perlapisan tersebut akan memicu terjadinya keruntuhan planar pada lereng ini. 53

Gambar 4.16 Analisis kinematik pada scanline V Berikut disajikan data rekapitulasi hasil analisis kinematik di seluruh segmen scanline (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Rekapitulasi hasil analisis kinematik di seluruh segmen scanline Scanline Potensi Keruntuhan Set Diskontinuitas Terlibat I Baji JS1 dan JS2 II Tak beraturan Rekahan dan bidang perlapisan III Baji JS1 dan JS2 IV Planar JS1 V Planar JS1 54