BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan bagian dari lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral industri. Secara umum daerah Pengunungan Selatan ini ditempati oleh berbagai batuan sedimen vulkanik yang berumur Tersier hingga Kuarter (Widodo et al, 2002). Daearah penelitian sendiri masuk dalam zona Pengunungan Selatan Jawa Timur bagian barat yaitu di Daerah Sambirejo, yang mempunyai potensi terdapatnya batugamping yang dapat di manfaatkan sebagai bahan bangunan industri. Batugamping merupakan salah satu mineral industri yang banyak digunakan oleh sektor industri ataupun konstruksi dan pertanian, antara lain untuk bahan bangunan, batu bangunan, bahan penstabil jalan raya, pengapuran untuk pertanian, bahan keramik, industri kaca, industri semen, pembuatan karbit, untuk peleburan dan pemurnian baja, untuk bahan pemutih dalam industri kertas pulp dan karet, untuk proses pengendapan bijih logam dan industri gula. Batugamping dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, secara mekanik, atau secara kimia Sebagian besar batugamping di alam terjadi secara organik. (Haryadi dalam Suhala dan Arifin,1997). Jenis ini berasal dari pengendapan cangkang atau rumah kerang dan siput. Atau berasal dari kerangka binatang koral/kerang. Untuk batugamping yang terjadi secara mekanik, sebetulnya bahannya tidak jauh berbeda dengan jenis batugamping yang terjadi secara organik. Yang membedakannya adalah terjadinya perombakan dari bahan batu kapur tersebut yang kemudian terbawa oleh arus dan biasanya diendapkan tidak jauh dari tempat semula. Sedangkan yang terjadi secara kimia adalah jenis batugamping yang terjadi dalam kondisi iklim dan suasana lingkungan tertentu dalam air laut ataupun air tawar. Selain hal diatas, mata air mineral dapat pula mengendapkan batugamping. Jenis batugamping ini terjadi karena peredaran air panas alam yang melarutkan lapisan batugamping dibawah permukaan, yang kemudian diendapkan kembali dipermukaan bumi. Magnesium, lempung dan pasir merupakan unsur pengotor yang mengendap bersama-sama pada saat proses pengendapan (Haryadi dalam Suhala dan Arifin,1997). 1
Keberadaan pengotor batugamping memberikan klasifikasi jenis batugamping. Apabila pengotornya magnesium, maka batugamping tersebut diklasifikasikan sebagai batugamping dolomitan. Begitu juga apabila pengotornya lempung, maka batu kapur tersebut diklasifikasikan sebagai batugamping lempungan, dan batugamping pasiran apabila pengotornya pasir. Persentase unsur-unsur pengotor sangat berpengaruh terhadap warna batu kapur tersebut, yaitu mulai dari warna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, coklat, bahkan hitam. Warna kemerah-merahan misalnya, biasanya disebabkan oleh adanya unsur mangan, sedangkan kehitam-hitaman disebabkan oleh adanya unsur organik. Batugamping dapat bersifat keras dan padat, tetapi dapat pula kebalikannya. Selain yang pejal dijumpai pula yang porous. Batugamping yang mengalami metamorfosa akan berubah penampakannya maupun sifat-sifatnya. Hal ini terjadi karena pengaruh tekanan maupun panas, sehingga batugamping tersebut menjadi berhablur, seperti yang dijumpai pada marmer. Selain itu, air tanah juga sangat berpengaruh terhadap penghabluran kembali pada permukaan batugamping, sehingga terbentuk hablur kalsit. Dibeberapa daerah endapan batu batugamping seringkali ditemukan di gua dan sungai bawah tanah. Hal ini terjadi sebagai akibat reaksi tanah. Air hujan yang mengandung CO 3 dari udara maupun dari hasil pembusukan zat-zat organik dipermukaan, setelah meresap ke dalam tanah dapat melarutkan batugamping yang dilaluinya. Reaksi kimia dari proses tersebut adalah sebagai berikut : CaCO 3 + 2 CO 2 + H 2 O Ca (HCO 3 ) 2 + CO 2 Ca (HCO 3 ) 2 larut dalam air, sehingga lambat laun terjadi rongga di dalam tubuh batugamping tersebut. Secara geologi, batugamping erat sekali hubungannya dengan dolomite. Karena pengaruh pelindian atau peresapan unsur magnesium dari air laut ke dalam batugamping, maka batugamping tersebut dapat berubah menjadi dolomitan atau jadi dolomite. Kadar dolomite atau MgO dalam batugamping yang berbeda akan memberikan klasifikasi yang berlainan pula pada jenis batugamping tersebut (Haryadi dalam Suhala dan Arifin,1997). Oleh sebab itu untuk mengetahui keterdapatan batugamping disuatu daerah perlu dilakukan studi geologi yang detail diantaranya studi lapangan yang meliputi pemetaan geologi, pengambilan sampel, serta analisis laborotorium maupun interpretasi data-data lapangan yang akan mendukung dalam menentukan kualitas dan karatekristik dari batugamping tersebut. 2
Peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian didaerah ini karena belum ada penelitian sebelumnya dengan tujuan untuk mengetahui kualitas batugamping yang akan dimanfaatkan sebagai industri bahan bangunan yang meliputi mineralogi, karakteristik dan kuat tekan yang ada serta cara penambangan yang baik dan peneliti berharap ini dapat membantu dan memberikan konstribusi dalam pemahaman akademis tentang pemanfaatan batugamping tersebut pada daerah Sambirejo, Kecematan Ngawen. I.2. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian dan karakteristik batugamping di Desa Sambirejo Kacamatan Ngawen Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan batugamping di daerah penelitian sebagai bahan bangunan ditinjau dari karakterisitik dan sifat keteknikan batuan yang ada. I.3. Manfaat Penelitian Manfaat utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui karakteristik dan keteknikan dari batugamping untuk dimanfaatkan 2. Sebagai bahan bangunan dan bahan baku dalam industri misalnya: bahan baku pembuatan kaca, industri peleburan dan pemurnian baja dan lain sebagainya yang nantinya akan menjadi pembahasan dalam bab-bab selanjutnya. I.4. Batasan Masalah Batasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai kondisi geologi daerah penelitian, karakteristik keteknikan dari batugamping berdasarkan datadata dari pemetaan geologi, analisis petrografi, analisis keteknikan. Data-data tersebut akan digunakan untuk menentukan pemanfaatan dari batugamping yang terdapat di daerah penelitian. 3
I.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Daerah penelitian secara administratif termasuk ke dalam Desa Sambirejo, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah ini terletak sekitar 50 km ke arah timur dari kota Yogyakarta, Daerah penelitian dapat di tempuh mengunakan kendaraan roda dua maupun roda empat selama 1-2 jam perjalanan dari kota Yogyakarta. Pemetaan yang dilakukan didaerah penelitian menggunakan peta topografi sebagai dasar dengan skala 1: 25.000. 4
Gambar 1.1 Peta Indeks dan lokasi penelitian 5
I.6. Peneliti Terdahulu Daerah Pegunungan Selatan merupakan salah satu tempat jalur magmatik tersier di Pulau Jawa, dengan terdapatnya endapan hasil kegiatan gunung api yang berumur Oligosen Miosen Awal dan Pliosen Kuarter. Hasil penyelidikan para ahli tersebut baik mengenai geologi maupun paleontologinya sudah banyak dipublikasikan. Dikenal ada beberapa peneliti daerah Pegunungan Selatan, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Bothe (1929) Bothe menyusun buku pedoman untuk ekskursi geologi di wilayah perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan. Buku pedoman itu merupakan laporan geologi pertama dan dianggap sebagai dasar serta bahan acuan bagi peneliti geologi daerah tersebut. Bothe (1934) melakukan penelitian di pegunungan Baturagung dan sekitarnya. Hasil penelitian tersebut kemudian disadur oleh Van Bemmelen (1949) dan Marks (1956) yang sampai sekarang dianggap sebagai salah satu dasar untuk pengetahuan geologi daerah Pegunungan Selatan Pulau Jawa. 2. Van Bemmelen (1949) Van Bemmelen melakukan penelitian mengenai fisiografi dan mengelompokkan Pegunungan Selatan sebagai satu zona fisiografi.van Bemmelen membagi Pegunungan Selatan Jawa Bagian Timur dibagi menjadi beberapa zona diantaranya, Baturagung Range, Panggung Masif & KambenganRange di bagian utara, Plateu batugamping berbentuk topografi karst (Gunung Sewu) di bagian selatan, serta cekungan antar gunung yaitu cekungan Wonosari dan cekungan Baturetno di bagian tengah. 3. Surono, Toha, B. Sudarno, I. dan Wiryosujono, S. (1992) Surono dan kawan-kawan menyusun peta geologi lembar Surakarta- Giritontro, Jawa Tengah dengan skala 1 : 100.000 Dalam penelitian ini disebutkan bahwa umur Formasi Nglanggran adalah N7 N8 (Miosen Awal), yang didasarkan pada keterdapatan foraminifera plankton antara lain : Globigerina praebulloides BLOW, Globigerinoides primordius BLOW & BANNER, Gs. Sacculifer (BRADY), Globoquadrina dehiscens (CHAPMANN, PARR & COLLINS). 6
4. J. Soesilo, A. Subandrio, Sutarto (1996) J. Soesilo dan kawan-kawan menyebutkan bahwa data stratigrafi sekitar Pegunungan Selatan Jawa Tengah memperlihatkan kehadiran lava basalt andesine berstruktur bantal baik pada seri Oligosen maupun Miosen, hanya pada seri Miosen didapatkan struktur tabung dan berlembar. 5. S. Bronto, S. Pambudi, G. Hartono, dan D. Purwanto (2002) S. Bronto dan kawan-kawan menyebutkan bahwa sebelah utara Pegunungan Baturagung pada dataran rendah, terdapat batuan ekstrusi berupa 3 lapisan lava aliran berkomposisi basalt tersingkap di beberapa tempat. Lava aliran tersebut merupakan hasil dari letusan gunungapi bawah laut. Berasosiasi dengan batuan piroklastik hasil letusan gunungapi bawah laut antara lain batupasir hitam dan tuff hijau pada bagian bawah, sisipan tipis batuan karbonat Hasil paleontology dari batuan karbonat menunjukkan umur N5 yang diendapkan pada lingkungan neritik tengah. S. Bronto menganggap bahwa lokasi tersebut hasil dari dua sumber yang berbeda terbentuk pada satu cekungan. Peneliti terdahulu mengenai kondisi morfologi, geologi dan pengelolaan lahan di daerah penelitian serta peneltian lain yang berhubungan antara lain : 1. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) UGM dan BAPPEDA (2000), melakukan kajian kerusakan lahan akibat pertambangan golongan C di Kecematan Pojong Kabupaten GunungKidul. Penelitian ini membahas beberapa tahapan cara studi yang meliputi penetapan beberapa indicator kerusakan lahan, cara penilaian, pembobotan dan evaluasinya sehingga diperoleh tingkat kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan bahan galian golongan C. Upaya pengolahan ditinjau dari aspek hidrologi, pertanian, pertamabangan, lingkungan dan nilai ekonomisnya serta prioritas unutk pelaksanaan reklamasi. 2. Setiawan (2002) melakukan penelitian tentang zonasi kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian C di Kecamatan Ponjong dan Semin Kabupaten GunungKidul. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana teknis penambangan serta pengetahuan akan metode penambangan yang berwawasan lingkungan mempengaruhi tingkat kerusakan lahan. Hasilnya kerusakan lahan di daerah ini terbagi menjadi tiga zona kerusakan yakni : zona kerusakan ringan, zona kerusakan sedang, dan zona kerusakan berat dengan tingkat resiko yaitu : ringan,sedang, dan berat. 7
3. Anonim, BAPPEDA (2003), bekerja sama dengan jurusan teknik geologi UGM melakukan penyusun profil bahan galian industri yang terendapkan di Kabupaten Gunungkidul. Profil bahan galian ini memuat berbagai informasi yang berkaitan dengan nama atau jenis bahan galian industri beserta gambar, komposisi, sifat fisik dan kimia bahan galian industriletak atau bahan galian industry beserta sumberdaya, kegunaan dan cara penambangannya. 4. Salahuddin Husein dan Srijono (2008) dalam seminar dan workshop geologipegunungan Selatan untuk pengembangan wilayah melakukan penelitian tentang peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan. Dari penelitian tersebut dihasilkan geomorfologi Pegunungan Selatan dibangun oleh interaksi proses endogenik dan proses eksogenik yang kompleks (multigenetik). Pembagian zona fisiogr afi Pegunungan Selatan secara transversal menjadi tiga (utara, tengah, dan selatan) mencerminkan periodisasi pengangkatan dan eksposure terhadap erosi. Bagian utara Pegunungan Selatan telah terangkat pada Miosen Tengah. Setelah pengendapan batugamping Formasi Wonosari, keseluruhan Pegunungan Selatan terangkat secara episodik mulai Pleistosen Tengah. Episode pengangkatan Pleistosen Tengah (final morphological arrangement) dapat dikelompokkan menjadi dua sekuel, BL-Tg dan BBL-TTg. Kompleksitas geomorfologi Pegunungan Selatan dan genesanya memerlukan pendekatan multidisiplin seperti geologi struktur, tektonika, volkanologi, geokimia, sedimentologi, hidrogeologi, geopedologi. 5. Kholis Mohammad (2009), melakukan stud i penelitian mengenai zonasi kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian golongan C di Kecematan Ngawen Kabupaten GunungKidul Daerah Istimewa Yogyakarta, tujuan dari penelitian ini yaitu mengkaji sejauh mana teknis penambangan serta pengetahuan akan metode penambangan yang berwawasan lingkungan mempengaruhi tingkat kerusakan lahan. 8
1.7 Hipotesa Berdasarkan studi pustaka serta dasar teori yang berkaitan dengan penelitian ini maka, kesimpulan awal yang dapat diajukan sebagai hipotesis dari permasalahan ini adalah : Mengenai kondisi keadaan potensi penambangan didaerah penelitian, Karakteristik mineralogi batuan, Keteknikan dari batuan, berdasarkan data-data dari pemetaan geologi, maka hasil dari data-data tersebut akan digunakan untuk menentukan pemanfaatan dari batugamping yang terdapat di daerah penelitian. Apabila dilihat dari potensi sumberdaya alam (batugamping) di daerah penelitian ini memungki nkan untuk dikembangkan sehigga harus diketahui besarnya potensi, karakteristik batuan (keteknikan) sebagai dasar dalam pemanfaatan/pengembangan baik sebagai bahan galian industri maupun sebagai bahan bangunan (pondasi dan ornamen). 9