FAKTOR RISIKO TERJADINYA RELAPS PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID

dokumen-dokumen yang mirip
PERBANDINGAN OLANZAPIN INTRAMUSKULAR DAN HALOPERIDOL INTRAMUSKULAR DALAM PENATALAKSANAAN AGITASI PADA PASIEN SKIZOFRENIK TESIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyebabkan penderitaan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

GAMBARAN JENIS KELAMIN, USIA, LATAR BELAKANG PENDIDIKAN, DAN DURASI PENYAKIT TERHADAP FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN SKIZOFRENIK TESIS

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

BAB 1. PENDAHULUAN. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN TINGKAT RISIKO GAGASAN BUNUH DIRI PADA PASIEN GANGGUAN DEPRESIF MAYOR TESIS TIO DORIS SIREGAR

PSIKOPATOLOGI PADA PERAWAT WANITA USIA PERIMENOPAUSE DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN T E S I S

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIODEMOGRAFIK DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID TESIS ENDAH TRI LESTARI

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

I. PENDAHULUAN. yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat,

BAB I PENDAHULUAN. berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat

BAB 1. PENDAHULUAN. Stres adalah satu dari konsep-konsep sentral psikiatri, walaupun istilah ini

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. penutupan rumah sakit jiwa dan cepatnya pengeluaran pasien tanpa

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. minum obat dan gejala klinis skizofrenia. Penelitian cross sectional mencakup

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Waham Menetap (Paranoid)

4. HASIL 4.1 Karakteristik pasien gagal jantung akut Universitas Indonesia

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN. Kerangka penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan faktor-faktor yang

TESIS DEASY HENDRIATI NIM:

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan lainnya ( Samuel, 2012). Menurut Friedman, (2008) juga

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

diantaranya telah meninggal dunia dengan Case Fatality Rate (CFR) 26,8%. Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

HUBUNGAN ANTARA BEBAN PERAWATAN DENGAN EXPRESSED EMOTION PADA KELUARGA PASIEN SKIZOFRENIK

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik. gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga. yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi

Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN :

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

BAB IV METODE PENELITIAN. khususnya sub bidang geriatri dan ilmu manajemen rumah sakit. Kariadi Semarang, Jawa Tengah. sampai jumlah sampel terpenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN FREKUENSI KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID DI POLIKLINIK RS JIWA DAERAH PROPSU MEDAN

LAMPIRAN. : Peserta PPDS-I Kedokteran Jiwa FK USU/RSHAM. : dr. M. Surya Husada, SpKJ. 1. Akomodasi dan transportasi : Rp

Peran keluarga / caregiver dalam perawatan pasien dengan epilepsi. Dr. Guntara Hari, SpKJ

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kedokteran Jiwa.

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel

BAB I PENDAHULUAN. dapat ditemukan pada semua lapisan sosial, pendidikan, ekonomi dan ras di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAGIAN PSIKIATRI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA JL. Tali Air no. 21 Medan PERNYATAAN KESEDIAAN BERPARTISIPASI DALAM PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

PANSS - EXCITED COMPONENT

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

TINGKAT KEPARAHAN ANSIETAS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI INSTALASI RAWAT JALAN SMF PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI RSUP H

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Waham adalah keyakinan yang salah, menetap, dipegang teguh. dan tidak dapat digoyahkan dan tidak sesuai dengan latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

Volume VI Nomor 4, November 2016 ISSN: PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam khususnya Ilmu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan case control

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa. hilang kontak dengan kenyataan yaitu penderita

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular atau NCD (Non-Communicable Disease) yang ditakuti karena

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

Transkripsi:

Rabu, 9 Juli 2008 FAKTOR RISIKO TERJADINYA RELAPS PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID USULAN PENELITIAN TESIS Oleh : Yusak P Simanjuntak Nomor Registrasi CHS : 17408 Pembimbing : Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp.KJ (K) DEPARTEMEN PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN 2008

FAKTOR RISIKO TERJADINYA RELAPS PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID T E S I S Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara OLEH : YUSAK P SIMANJUNTAK DEPARTEMEN PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN OKTOBER 2008

LEMBAR PESETUJUAN TESIS Judul Tesis : Faktor RisikoTerjadinya Relaps pada Pasien Skizofrenia Paranoid Nama Peserta PPDS : Yusak P. Simanjuntak Nomor Registrasi CHS : 17408 Menyetujui, Pembimbing, Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp.KJ(K) NIP. 130 517 437 Mengetahui/Mengesahkan : Ketua Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran USU Ketua Program Studi Psikiatri Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Syamsir Bs, Sp.KJ (K) NIP. 130 517 440 Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp.KJ(K) NIP. 130 517 437

UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena berkat dan karunia-nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas yang ada sebelumnya dan memenuhi salah satu syarat untuk melengkapi keahlian dalam bidang Ilmu Kedokteran Jiwa. Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis ini memiliki banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Namun demikian, besar harapan saya kiranya tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang: Faktor RisikoTerjadinya Relaps pada Pasien Skizofrenia Paranoid Dengan selesainya laporan penelitian, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan ketua TKP PPDS I Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Prof. dr. Bahagia Loebis, SpKJ (K), selaku Ketua Program Studi PPDS I Psikiatri Fakultas Kedokteran USU dan sebagai pembimbing penulis yang telah banyak memberikan bimbingan, memberikan pengarahan, pengetahuan, dorongan, dukungan dan memberikan buku-buku bacaan yang berharga selama penulis menyelesaikan tesis dan mengikuti pendidikan spesialis, baik dalam pertemuan formal maupun informal. 3. Prof. dr. Syamsir BS, SpKJ (K), selaku Ketua Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran USU Medan dan sebagai guru penulis yang

telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan yang sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi. 4. dr. Harun. T. Parinduri, SpKJ (K), sebagai guru dan sebagai pembimbing penulis dalam menyelesaikan tulisan ini, dengan penuh kesabaran, perhatian dalam membimbing, mengarahkan dan memberi masukan-masukan berharga sehingga penulis mampu menyelesaikan tulisan ini. 5. dr. Marhanuddin Umar, SpKJ (K) sebagai guru penulis yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan yang sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi. 6. dr. Raharjo Suparto, SpKJ, sebagai guru penulis yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan yang berharga selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi. 7. Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, SpKJ (K) sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan yang sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi, terutama di bidang Psikiatri Anak. 8. dr. Elmeida Effendy, Sp.KJ, sebagai Sekretaris Program Studi PPDS I Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan guru penulis yang telah banyak membimbing, memberikan pengarahan, pengetahuan, dorongan, dan dukungan, selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi. 9. dr. Mustafa Mahmud Amin, Sp.KJ, sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan yang sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi ini. 10. dr. Vita Camelia, Sp.KJ sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan yang sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi ini. 11. dr. Donald F. Sitompul, SpKJ sebagai Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

12. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes. selaku pembimbing statistik yang penuh dengan perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan sepenuhnya kepada penulis, sehingga selesainya penulisan tesis ini. 13. dr. Rosminta Girsang, SpKJ; dr. Artina R. Ginting, SpKJ; dr. Sulastri Effendi, SpKJ; dr. Hj. Mariati, SpKJ; dr. Evawati Siahaan, SpKJ; dr. Paskawani Siregar, SpKJ; dr. Citra J. Tarigan SpKJ; dr. Dapot P. Gultom, SpKJ; dan dr. Vera R.B. Marpaung, SpKJ sebagai senior penulis yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat selama mengikuti pendidikan spesialisasi. 14. dr. Herlina Ginting, SpKJ; dr. Juskitar, SpKJ, dr. Mawar Gloria Tarigan, SpKJ, dr. Freddy S. Nainggolan dan SpKJ, dr. Adhayani Lubis, SpKJ yang telah banyak memberikan masukan, dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi ini. 15. Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran USU atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi Psikiatri FK USU. 16. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan, Direktur Rumah Sakit Tembakau Deli Medan yang telah memberikan izin, kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk belajar dan bekerja selama mengikuti pendidikan spesialisasi. 17. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, SpS(K) selaku Ketua Departemen Neurologi FK USU, dan dr. Rusli Dhanu, SpS selaku Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi FK USU, Prof. dr. Darulkutni Nasution, SpS (K) dan dr. Yuneldy Anwar, SpS yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani stase di Departemen Neurologi FK USU. 18. Prof. dr. Habibah Hanum Nasution, SpPD, KPSi, selaku Kepala Sub Divisi Psikosomatik Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang telah

menerima dan membimbing penulis selama belajar di stase Sub Divisi Psikosomatik Ilmu Penyakit Dalam FK USU. 19. Teman-teman sejawat peserta PPDS-I Psikiatri FK USU : dr. Evalina Peranginangin, dr. Ghafur Fauzi, dr. Friedrich Lupini, dr. Wilson Rimba, dr. Rudyhard E. Hutagalung, dr. Laila Silvya Sari, dr. Juwita Saragih, dr. M. Surya Husada, dr. Silvy A. Hasibuan, dr. Victor E. Pinem, dr. Siti Nurul Hidayati, dr. Lailan Sapinah, dr. Herny T. Tambunan, dr. Baginda, dr. Yusuf, dr. Ricky dan dr. Ira yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusidiskusi kritis baik dalam pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan yang membangkitkan semangat penulis dalam menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini. 20. Perawat, pegawai RSUP. H. Adam Malik Medan, RSUP. Dr. Pirngadi Medan, RS. Tembakau Deli Medan, Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara, yang telah membantu penulis selama dalam pendidikan spesialisasi. 21. Buat istriku Yunita dan anakku Yosephine yang telah banyak membantu dan mendorong dalam menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini. 22. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu namanya yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan spesialisasi ini. Medan, Oktober 2008 Penulis Yusak P. Simanjuntak

ABSTRAK Tujuan Penelitian: Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid dan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh dalam menyebabkan relaps pada pasien skizofrenia paranoid. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan disain case-control yang menilai hubungan antara faktor risiko dengan kejadian relaps dengan cara membandingkan sekelompok pasien yang mengalami relaps (kasus, n=100) dan sekelompok pasien yang terkontrol (kontrol, n=100) setelah dilakukan matching group pada jenis kelamin dan usia, di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan. Penelitian dilakukan selama 6 bulan, terhitung sejak Mei 2008 s/d Oktober 2008. Data-data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kriteria diagnostik untuk skizofrenia paranoid menurut PPDGJ-III dan Positive And Negative Syndrome Scale (PANSS) yang sudah divalidasi oleh Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dibantu oleh seorang interater yang telah mendapatkan pelatihan (nilai uji korelasi peringkat 0.85, signifikansi pada level 0.001), dan data sekunder didasarkan pada catatan yang ada pada buku status pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara Medan. Hasil Penelitian: Terdapat hubungan bermakna antara ketidakpatuhan dan stresor psikososial secara umum dengan kejadian relaps. Faktor sehubungan dengan pasien, sehubungan dengan pengobatan dan faktor lingkungan sebagai bagian dari ketidakpatuhan juga memiliki hubungan bermakna dengan kejadian relaps, sedangkan faktor sehubungan dengan dokter tidak ada dilaporkan oleh responden. Pada stresor psikososial

problem dengan primary support group, problem pekerjaan, dan problem ekonomi memiliki hubungan bermakna dengan kejadian relaps. Problem berkaitan dengan lingkungan sosial, problem dengan akses pelayanan kesehatan dan problem psikososial dan masalah lingkungan lain tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian relaps. Problem pendidikan, problem perumahan dan problem berkaitan dengan sistem hukum/kriminal tidak ada dilaporkan oleh responden. Setelah dilakukan uji regresi logistik ganda didapatkan bahwa problem dengan primary support group merupakan faktor risiko paling dominan dengan nilai OR 131.2, diikuti faktor lingkungan (OR 18.5) dan problem ekonomi (OR 13.0). Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara ketidakpatuhan dan stresor psikososial secara umum dengan kejadian relaps, dan problem dengan primary support group merupakan faktor risiko paling dominan dalam menyebabkan relaps. Kata Kunci: Relaps, skizofrenia paranoid, ketidakpatuhan, stresor psikososial.

DAFTAR ISI UCAPAN TERIMA KASIH...i ABSTRAK...v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL...x DAFTAR GAMBAR/SKEMA...xi DAFTAR SINGKATAN... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 3 1.3 Hipotesis... 4 BAB 2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN... 5 2.1 Tujuan Penelitian... 5 2.1.1 Tujuan Umum... 5 2.1.2 Tujuan Khusus... 5 2.2 Manfaat Penelitian... 5 BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA... 6 3.1. Tinjauan Umum... 6 3.1.1. Prinsip Dasar Dari Relaps... 8 3.1.2. Hubungan Relaps Dengan Prognosis... 8 3.1.3. Angka Relaps (Relaps Rate)... 9 3.2. Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan... 10 3.2.1. Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Pasien... 11 3.2.2. Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Pengobatan... 13 3.2.3. Faktor Lingkungan... 15 3.2.4. Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Dokter... 15 3.3. Faktor Psikososial... 16 BAB 4. KERANGKA KONSEP... 19 BAB 5. METODA PENELITIAN... 20 5.1. Disain Penelitian... 20

5.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 20 5.3. Populasi dan Sampel... 20 5.3.1. Populasi... 20 5.3.2. Sampel... 20 5.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi... 21 5.4.1. Kriteria Inklusi... 21 5.4.2. Kriteria Ekslusi... 21 5.5. Besar Sampel... 22 5.6. Identifikasi Variabel... 23 5.6.1. Variabel Bebas... 23 5.6.2. Variabel Tergantung... 23 5.7. Definisi Operasional... 23 5.8. Manajemen Data... 26 5.8.1. Sumber Data... 26 5.8.2. Metode Pengumpulan Data... 26 5.8.3. Pengolahan Data... 26 5.8.4. Analisis Data... 27 BAB 6. KERANGKA OPERASIONAL... 29 BAB 7. HASIL PENELITIAN... 30 7.1. Karakteristik Sampel Penelitian... 30 7.2. Analisis Univariat... 31 7.3. Analisis Bivariat... 33 7.4. Analisis Multivariat... 35 BAB 8. PEMBAHASAN... 39 8.1. Keterbatasan Penelitian... 39 8.1.1. Rancangan Penelitian... 39 8.1.2. Parameter... 39 8.1.3. Kualitas Data... 39 8.2. Pembahasan Hasil Penelitian... 40 8.2.1. Hubungan Ketidakpatuhan dan Stresor Psikososial dengan Kejadian Relaps... 40 8.2.2. Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Berdasarkan

Variabel Bebas, Nilai p, Rasio Odds, Rasio dengan Confidence Interval (CI) 95% pada Pasien Skizofrenia Paranoid... 40 8.2.3. Hasil Analisis Multivariat... 44 BAB 9. KESIMPULAN DAN SARAN... 46 9.1. Kesimpulan... 46 9.2. Saran... 46 DAFTAR PUSTAKA... 47 LAMPIRAN... 50

DAFTAR TABEL Tabel 1. Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Pekerjaan, Pendidikan, Tempat Tinggal, Status Perkawinan dan Penghasilan Kasus dan Kontrol Pasien Skizofrenia Paranoid... 30 Tabel 2. Hasil Uji-t pada Kelompok Umur dan Hasil Uji Chi-Square Jenis Kelamin Kasus dan Kontrol Pasien Skizofrenia Paranoid... 31 Tabel 3. Hasil Uji Chi-Square pada Tempat Tinggal dan Penghasilan/bulan Kasus dan Kontrol Pasien Skizofrenia Paranoid... 32 Tabel 4. Hubungan Ketidakpatuhan dan Stresor Psikososial dengan Kejadian Relaps.... 32 Tabel5. Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Bebas, Nilai p, Rasio Odds, Rasio dengan Confidence Interval (CI) 95% pada Pasien Skizofrenia Paranoid... 33 Tabel 6. Uji Regresi Logistik Ganda untuk Identifikasi Variabel dengan nilai p 0.05.... 37 Tabel 7. Hasil akhir Analisis Regresi Logistik Ganda Pemodelan Faktor Risiko Relaps Pada Pasien Skizofrenia Paranoid..... 37

DAFTAR GAMBAR/SKEMA Gambar/Skema Kerangka Konsep Penelitian...19 Gambar/Skema Kerangka Operasional...29

DAFTAR SINGKATAN CI COV OR PANSS PPDGJ-III SD WHO : Confidence Interval : Coefisien of Varians : Odds Ratio : Positive And Negative Syndrome Scale : Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, Edisi III : Standard Deviation : World Health Organization

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1. POSITIVE AND NEGATIVE SYNDROME SCALE... 50 LAMPIRAN 2. KUESIONER PENELITIAN... 53 LAMPIRAN 3. LEMBAR PENJELASAN UNTUK PENELITIAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA RELAPS PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID... 54 LAMPIRAN 4. LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN... 56 LAMPIRAN 5. Tabel Induk Penelitian... 57 LAMPIRAN 6. Hasil Pemeriksaan PANSS... 61 LAMPIRAN 7. Hasil Uji Korelasi Peringkat PANSS... 62 PERSETUJUAN KOMISI ETIK TENTANG PELAKSANAAN PENELITIAN BIDANG KESEHATAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu yang melibatkan proses pikir, emosi, persepsi dan tingkah laku. 1 Argumentasi yang dipelopori Emil Kraepelin menyatakan bahwa skizofrenia dikarakteristikkan dengan onset dini yang diikuti dengan perjalanan penyakit dan kemunduran yang kronik. Bleuler menyatakan bahwa perjalanan penyakit dan kemunduran yang kronik tersebut sering terjadi tetapi bukanlah merupakan pegangan bahwa hal tersebut akan selalu menjadi demikian sebagai suatu hasil akhir. Meskipun skizofrenia selalu dianggap sebagai suatu penyakit yang serius, sudah jelas sekarang bahwa pasien skizofrenik kemungkinan mengalami perjalanan penyakit dengan keadaan relatif ringan. 1 Perjalanan gangguan skizofrenik dapat berlanjut atau bersifat episodik dengan defisit yang bersifat progresif atau bisa menetap atau mengalami satu atau lebih episode dengan remisi sempurna atau tidak sempurna. 1 Kebanyakan pasien-pasien skizofrenik mengalami perjalanan penyakit yang kronik dengan berbagai bentuk karakteristik relaps dengan eksaserbasi psikosis dan peningkatan angka rehospitalisasi. Successive relapse dapat menurunkan tingkat dan durasi remisi, memperburuk disabilitas dan meningkatkan refrakteritas bagi pengobatan selanjutnya. 2 Sebanyak 90% penderita successive relapse dan pada akhirnya tidak pernah sembuh secara sempurna (full recovery). Banyak studi-studi menunjukkan bahwa angka relaps (relapse rate) penderita skizofrenik dapat diturunkan dari 75% menjadi 20% dengan obat-obat neuroleptik. 3 Menurut Campbell dalam Psychiatric Dictionary relaps didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana apabila seorang pasien yang sudah pulih atau mengalami perbaikan kembali menunjukkan gejala sebelumnya. 4 Setiap relaps berpotensi membahayakan bagi pasien dan keluarganya.

Dalam keadaan seperti ini pasien mungkin akan dirawat inap kembali dan membutuhkan biaya yang tinggi. 5 Penderita skizofrenik episode pertama umumnya berespons baik terhadap pengobatan, tetapi angka relaps masih tinggi dalam setahun perjalanan penyakit. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan salah satu penyebab relaps dan pasien perlu dirawat inap kembali. 6,7 Walaupun antipsikotik konvensional dapat menurunkan gejalagejala positif pada kebanyakan pasien setelah beberapa minggu, penghentian obat antipsikotik dapat menyebabkan relaps sekitar 10% setiap bulan, jadi kira-kira 50% atau lebih akan mengalami relaps dalam waktu 6 bulan setelah penghentian pengobatan. 8 Sehingga secara internasional direkomendasikan pengobatan episode pertama dimulai secepatnya dan dilanjutkan sekurang-kurangnya selama 2 tahun. Apabila terjadi relaps, sebaiknya pengobatan dilanjutkan selama 5 tahun atau lebih. 3 Terapi dengan menggunakan obat merupakan pertahanan paling penting dalam mencegah relaps. Perbedaan angka relaps antara pasienpasien yang menggunakan plasebo dan obat neuroleptik telah diteliti (kirakira 69% pada kelompok yang menggunakan plasebo vs 26% pada kelompok yang menggunakan neuroleptik setelah 1 tahun). Angka relaps tahun pertama dapat diturunkan dari 75% menjadi 15% dengan menggunakan neuroleptik dalam pengobatan propilaktik. 5 Suatu kesimpulan dari riset klinis yang didasarkan pada studi follow-up menyatakan bahwa beberapa faktor berikut berkontribusi dalam membentuk episode psikotik yang baru (mengakibatkan terjadinya relaps): 5 a. ketidakpatuhan terhadap pengobatan; b. faktor-faktor farmakologik (dosis obat); c. faktor-faktor psikososial; dan d. penyalahgunaan alkohol dan obat. 5 Beberapa peneliti memasukkan faktor-faktor farmakologik sebagai bagian dari ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang meliputi efek samping obat yang mengganggu dan dosis yang tidak efektif. 3,9,10 Atas

dasar tersebut, pada penelitian ini selanjutnya faktor-faktor farmakologik yang diduga berperan dalam menimbulkan relaps akan dianggap sebagai bagian dari ketidakpatuhan terhadap medikasi. Disamping itu, penyalahgunaan alkohol dan obat selanjutnya akan menjadi faktor yang diekslusikan untuk menghindari terjadinya diagnosis ganda. Hal ini dialaskan pada kenyataan bahwa penyalahgunaan alkohol dan obat memiliki blok tersendiri dalam buku panduan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III di Indonesia (PPDGJ III), yaitu pada blok Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (F1..). 11 Pemilihan kelompok relaps sebagai target populasi dalam penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa rehospitalisasi sering terjadi pada pasien-pasien yang mengalami relaps di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, umumnya pada pasien skizofrenia, khususnya skizofrenia paranoid. Data tentang kejadian relaps yang cukup sering terjadi ini juga belum ada karena belum pernah dilakukan penelitian tentang hal ini sebelumnya. Dengan mengetahui faktor risiko yang mengakibatkan terjadinya relaps diharapkan dapat dilakukan pencegahan kejadian relaps dan dapat menurunkan angka rehospitalisasi. Berdasarkan keadaan tersebut diatas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada skizofrenia, yang dapat digunakan untuk mencegah kejadian relaps dan menurunkan angka rehospitalisasi. 1.2. Perumusan Masalah a. Berapa prevalensi relaps pada pasien skizofrenik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara? b. Apakah ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan faktor risiko terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid? c. Apakah faktor psikososial merupakan faktor risiko terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid?

1.3. Hipotesis a. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan faktor risiko terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid. b. Faktor psikososial merupakan faktor risiko terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid.

BAB 2 TUJUAN PENELITIAN 2.1. Tujuan Penelitian 2.1.1. Tujuan Umum Memperoleh data faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid. 2.1.2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan faktor risiko ketidakpatuhan dengan kejadian relaps pada pasien skizofrenia paranoid. b. Mengetahui hubungan faktor risiko stresor psikososial dengan kejadian relaps pada pasien skizofrenia paranoid. c. Mengetahui faktor yang paling berpengaruh dalam menyebabkan relaps pada pasien skizofrenia paranoid. 2.2. Manfaat Penelitian a. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid, maka angka relaps dapat diturunkan sehingga dapat menurunkan angka rehospitalisasi. b. Dapat dijadikan sebagai data untuk penelitian selanjutnya.

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Tinjauan Umum Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri, merupakan sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu, yang melibatkan proses pikir, persepsi, emosi, gerakan, dan tingkah laku. 1,12 Sebagai suatu gangguan kronik dengan konsekuensi fisik, sosial dan ekonomik 2, skizofrenia merupakan masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang berpengaruh pada sebagian besar orang dan kerugian ekonomi diseluruh dunia. 1 Kerugian secara ekonomik yang diakibatkan skizofrenia diperkirakan sekitar 33 milyar dolar di Amerika Serikat pada tahun 1990. Kebanyakan biaya tersebut dihubungkan dengan konsekuensi gejala psikosis yang mengalami relaps. 2 Gangguan skizofrenik umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Gangguan ini melibatkan fungsi yang paling mendasar yang memberikan kepada orang normal suatu perasaan kepribadian (individuality), keunikan dan pengarahan diri (self-direction). 11 Skizofrenia merupakan gangguan mental yang mengakibatkan kerusakan berat dan mengakibatkan disabilitas. 13 Di Amerika Serikat, prevalensi Skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1-1.5% 14, biasanya diawali pada masa remaja atau pada awal dewasa muda 13, dengan usia puncak onset untuk laki-laki adalah 10-25 tahun; untuk wanita 25-35 tahun 1,14, kurang dari 20 persen pasien mengalami kesembuhan total (full recovery) setelah episode pertama. 15 Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham-

waham yang secara relatif stabil, seringkali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi (simtom positif). 11 Istilah relaps biasanya ditujukan untuk gejala perburukan atau rekurensi gejala positif daripada gejala negatif, dan relaps mengganggu perjalanan penyakit. 5 Relaps yang satu akan mengakibatkan kemungkinan terjadinya relaps berikutnya dan simtom residual pada penderita skizofrenik. 16 Sebagai gangguan kronik, skizofrenia biasanya dikarakteristikkan dengan kemungkinan relaps dengan periode sembuh total atau sebagian. 15 Meskipun medikasi antipsikotik efektif dalam menurunkan angka relaps, 30-40% pasien mengalami relaps dalam 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit meskipun mendapatkan medikasi maintenance. 2,15 Dalam pengamatan selama setahun, ditemukan bahwa 33% penderita skizofrenik relaps dan 12,1% akan dilakukan rawat inap kembali. Tidak ada perbedaan kemungkinan relaps pada penderita yang langsung diobati dibandingkan dengan yang terlambat diobati; meskipun demikian, penderita yang sering relaps biasanya memiliki riwayat durasi yang lebih panjang dari psikosis yang tidak diobati dibandingkan penderita tanpa relaps. 6 Disamping fakta bahwa obat-obat neuroleptik dengan efektifitas yang tinggi telah tersedia sejak 40 tahun yang lalu, 50% pasien skizofrenik, yang mendapatkan pengobatan di bawah normal, mengalami relaps dalam satu tahun setelah episode terakhirnya. Situasi paradoksikal ini menjadi tantangan bagi para profesional, sejak hal ini mengimplikasikan penderitaan, bagi pasien maupun keluarga, dan mengakibatkan kerugian yang sangat besar dalam biaya perawatan. 5 Pasien-pasien skizofrenik tetap akan mengalami relaps meskipun mereka harus menghabiskan 15-20% waktunya dalam institusi psikiatrik dan menempati sepertiga ranjang rumah sakit jiwa. 5

3.1.1. Prinsip Dasar Dari Relaps Tidak ada kriteria umum yang dapat dianggap sebagai kriteria relaps. Secara umum, istilah relaps ditujukan untuk gejala perburukan atau rekurensi gejala positif daripada gejala negatif. Meskipun demikian, batasan istilah schizophrenic relapse belum begitu jelas. Pada kenyataannya, relaps merupakan suatu istilah relatif dan harus meliputi beberapa faktor berikut: kondisi pasien sebelum onset penyakit terakhir (sebelumnya); tingkat keberfungsian sebelum episode terbaru; keparahan dari relaps dalam terminologi keparahan simtom, durasi dan pengaruhnya terhadap fungsi personal; dan gambaran bentuk simtom atau perilaku yang baru. 5 Menurut Johnstone, relaps dapat didefinisikan sebagai pemunculan kembali simtom-simtom skizofrenik pada pasien yang sudah mengalami bebas gejala selama episode sebelumnya (tipe I) dan eksaserbasi simtom positif secara persisten (tipe II). Tipe-tipe tersebut tidak selalu mudah untuk dibedakan. 5 Sehubungan dengan kesulitan dalam pengukuran skizofrenik secara simtomatologi, beberapa sumber mengusulkan tambahan beberapa penilaian dengan menggunakan penilaian secara (relatif) kasar terhadap beberapa perubahan, seperti misalnya perujukan untuk dirawat kembali. Meskipun demikian, dengan metode ini beberapa keadaan relaps mungkin membutuhkan rujukan sehubungan dengan perilaku bunuh diri atau kesulitan dalam hal sosial, tidak selalu berhubungan dengan simtom positif. 5 3.1.2. Hubungan Relaps Dengan Prognosis Beberapa bukti menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi membutuhkan waktu yang lama dari yang diperkirakan bagi pasien-pasien yang menghentikan medikasi antipsikotik untuk kemudian mengalami relaps ke fungsi klinis sebelum mereka menghentikan obat. 5 Johnson et al. mengamati bahwa pasien-pasien yang akan mengalami relaps, saat menghentikan medikasi antipsikotik secara

perlahan akan kembali ke kondisi sebelumnya, dan belum begitu jelas apakah semua pasien akan mengalami hal yang sama, pada kenyataannya, akan kembali ke fungsi sebelum mereka menghentikan obat. Hanya 53% pasien yang menghentikan medikasi yang memiliki pekerjaan yang sesuai 18 bulan setelah mereka mendaftarkan diri dalam penelitian, dibanding dengan 84% pasien yang melanjutkan medikasi secara reguler. 5 Curson et al., menemukan korelasi negatif yang tinggi antara penyesuaian diri secara sosial dan jumlah relaps yang terjadi setelah follow-up selama 7 tahun. 5 Baru-baru ini, dalam suatu penelitian prospektif yang dilakukan terhadap pasien-pasien skizofrenik episode pertama, Lieberman menemukan bahwa pasien-pasien menunjukkan respons yang buruk dan waktu yang lebih lama untuk remisi pada episode berikutnya (kedua dan ketiga), meskipun pasien-pasien tersebut mendapatkan pengobatan yang sama seperti saat episode pertama. 5 Temuan ini memberi kesan bahwa strategi intervensi penatalaksanaan dibutuhkan sehingga diharapkan dapat meningkatkan identifikasi dan penatalaksanaan skizofrenia secara dini, demikian juga dengan ketaatan dan kepatuhan seiring dengan perbaikan dari kondisi sebelumnya. Temuan ini juga menimbulkan pertanyaan yang menarik sehubungan dengan mekanisme bagaimana hal ini bisa terjadi. 5 Keseluruhan hasil pengamatan ini konsisten dengan pendapat Kraeplin. Pada dasarnya, Kraeplin beranggapan bahwa defek yang berkembang merupakan karakteristik dari gangguan ini, dan meskipun beberapa penyakit mengalami perburukan yang progresif, pada kebanyakan kasus dikarakteristikkan oleh episode selanjutnya yang secara kolektif memperburuk gambaran klinisnya. 5 3.1.3. Angka Relaps (Relapse Rate) Meskipun angka relaps tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenik, bagaimanapun

juga, parameter ini cukup signifikan dalam beberapa aspek. Setiap relaps berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan keluarganya; seringkali mengakibatkan rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan. Lebih jauh lagi, pertanyaan apakah dan berapa lama pencegahan relaps dengan menggunakan neuroleptik dapat diandalkan. 5 Di sisi lain, keuntungan dengan melanjutkan penggunaan neuroleptik dalam mencegah eksaserbasi klinis dari skizofrenia merupakan suatu penegasan, menunjukkan perbedaan yang besar secara signifikan dalam hal angka relaps antara pengobatan aktif dan plasebo. Pada saat ini angka relaps pada tahun pertama dapat diturunkan dari 75% menjadi 15% dengan pengobatan propilaktik dengan menggunakan neuroleptik. Artinya, tidak hanya membuat perbaikan yang sangat besar dalam kualitas hidup pasien, akan tetapi secara langsung atau tidak langsung telah menyelamatkan milyaran dolar uang negara. 5 3.2. Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan Faktor yang paling penting sehubungan dengan relaps pada skizofrenia adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Bahkan dalam penelitian terkontrol, persentase pasien-pasien yang tidak memakan obat (36.5%) secara nyata lebih tinggi daripada pasien-pasien yang menjalani pengobatan secara rutin. 5 Menurut data Ayuso-Gutierrez et al., banyak sekali penderita skizofrenik yang mengalami eksaserbasi klinis dan membutuhkan perawatan akibat tidak menuruti penatalaksanaan yang diberikan. 5 Menurut Kinon et al., kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini: 17 a. Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan dua episode dari: 1) Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif. 2) Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang diberikan. 3) Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan.

b. Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan. c. Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh orang lain dalam waktu sebulan. d. Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat-obatan walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal tersebut. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan ketidakpatuhan antara lain: 3,9,10 a. Faktor-faktor sehubungan dengan pasien (keparahan penyakit, insight yang buruk, komorbid dengan penggunaan zat). b. Faktor-faktor sehubungan dengan pengobatan (efek samping obat yang mengganggu, dosis yang tidak efektif). c. Faktor lingkungan (kurangnya dukungan). d. Faktor-faktor sehubungan dengan dokter (ikatan terapetik yang buruk). 3.2.1. Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Pasien Beberapa karakteristik demografi telah dihubungkan dengan perilaku patuh. Usia masih merupakan masalah yang kontroversial dalam hubungannya dengan ketidakpatuhan. Tampaknya pasien-pasien yang berusia lanjut mempunyai permasalahan tentang kepatuhan terhadap rekomendasi yang diberikan. Di kalangan usia muda, terutama pria, cenderung mempunyai tingkat kepatuhan yang buruk terhadap pengobatan. Alasan untuk hal ini kemungkinan bahwa pada dewasa muda sehubungan dengan segala bentuk terapi atau dalam mengatur perjanjian, mereka menganggap dirinya istimewa dan berbeda dengan yang lain. Sedangkan pada orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan. Selain itu, pada orangtua sering mendapat berbagai macam obat-obatan sehubungan dengan

komorbiditas fisik. Wanita cenderung lebih patuh terhadap pengobatan dibandingkan pria, begitu juga wanita muda menunjukkan kepatuhan yang lebih baik dibandingkan yang tua. 10 Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam penerimaan terhadap pengobatan. Pasien yang merasa tersiksa atau khawatir akan diracuni, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan. 18 Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit-penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh, jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan. 10 Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam pengaruhnya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada pasien dengan skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simtom positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama pasien akan berubah sikapnya terhadap pengobatan. 10 Terakhir adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat juga mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan transportasi dapat menjadi penghalang. 10

3.2.2. Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Pengobatan Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. 16 Efek samping obat neuroleptik yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan sebab dapat berperan dalam menurunkan kepatuhan. Efek samping yang umum dan penting adalah efek pada ekstrapiramidal, gangguan seksual dan penambahan berat badan. Namun, pada data ternyata tidak ada hubungan antara regimen terapi dan profil efek samping dengan kepatuhan terhadap pengobatan. Kenyataannya, pasien yang tidak patuh tidak berbeda dari pasien yang patuh dalam melaporkan efek samping obat neuroleptik. Penemuan ini adalah sama dengan penelitian lain yang menemukan bahwa efek samping obat bukanlah alasan yang sering dikatakan pasien dalam menolak pengobatan. 5 Penderita skizofrenia yang menggunakan antipsikotik atipikal lebih mau meneruskan pengobatan dibandingkan penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional. 19 Masalah tambahan dalam pengobatan skizofrenia adalah kebanyakan obat-obat antipsikotik kerja obatnya (onset of action) lambat, sehingga pasien tidak merasakan dengan segera efek positif dari antipsikotik. Malahan kadang-kadang pasien lebih dahulu merasakan efek samping sebelum efek obat terhadap penyakitnya tersebut. Begitu juga dengan pasien skizofrenia yang sudah dalam remisi biasanya relaps tidak langsung segera terjadi bila pengobatan dihentikan. Relaps dapat terjadi beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah obat anti psikotik dihentikan, jadi penghentian pengobatan tidak terlalu berhubungan dengan memburuknya keadaan pasien. Sebagai akibatnya pasien yang sudah dalam remisi sempurna mempunyai permasalahan apakah remisi tersebut berhubungan dengan pengobatan yang dilakukannya. 10 Pasien mungkin juga merasakan obat-obatan tersebut tidaklah seefektif seperti yang mereka harapkan atau bahkan berbahaya. Hal ini menjadi tanggung jawab dokter dalam melakukan pengobatan untuk melengkapi pasien dengan pandangan yang seimbang dan realistik

mengenai profil keuntungan dan kerugian antipsikotik yang akan diberikan. 10 Beragamnya obat yang diresepkan juga memiliki peran penting dalam kepatuhan. Pasien yang menerima regimen pengobatan yang kompleks, misalnya mengkonsumsi beberapa obat dengan waktu yang berbeda dalam satu hari atau mengkonsumsi 2 macam atau lebih obatobatan, mempunyai permasalahan dalam ketaatan terhadap obat yang diberikan dibanding pasien yang hanya mengkonsumsi 1 macam obat dengan dosis tunggal. 10 Cara pemberian obat dapat juga mempengaruhi kepatuhan. Namun hasil ketidakpatuhan yang sama diperoleh pada pasien yang tidak patuh terhadap pemberian obat oral yang diganti dengan depot neuroleptik. Hal ini yang sering terjadi kesalahpahaman bahwa pemberian obat depot akan meningkatkan kepatuhan. Namun penggunaan antipsikotik kerja lama dapat mengatasi kepatuhan yang parsial sehingga dapat memperbaiki outcome penyakit. 20 Dosis obat neuroleptik yang adekuat merupakan hal yang penting. 5 Sayangnya, penelitian tentang obat seringkali berhenti sampai ditentukan apakah suatu antipsikotik bermanfaat dalam menurunkan simtom positif yang akut. Beberapa data telah tersedia tentang urutan tahapan pengobatan. 16 Beberapa studi telah dilakukan apakah obat neuroleptik dosis rendah sama efektifnya dengan terapi jangka panjang. Hasil yang ditunjukkan adalah perbedaan dalam angka relaps dengan menggunakan dosis standar, berlawanan dengan fungsi sosial yang baik dengan obat dosis rendah, kemungkinan terhadap efek samping yang ringan. Studi ini membandingkan regimen yang konvensional dengan dosis rendah dan tidak menentukan dosis minimum yang efektif. 5 Sementara itu, dosis minimum efektif yang telah direkomendasikan dalam suatu konsensus adalah sebagai berikut: 5 Haloperidol 2,5 mg/hari. Fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari. Fluphenazine Decanoate 6,5 12,5 mg i.m tiap 2 minggu.

Haloperidol Decanoate 50 60 mg i.m tiap 4 minggu. 5 Bila dosis di bawah (kurang dari) yang tersebut di atas, maka risiko relaps akan meningkat secara signifikan. 5 3.2.3. Faktor Lingkungan Dukungan dan bantuan merupakan variabel penting dalam kepatuhan terhadap pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Sebagai kemungkinan lain, sikap negatif dalam lingkungan sosial pasien terhadap pengobatan psikiatri atau terhadap pasien sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan. Interaksi sosial yang penuh dengan stres dapat mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien tinggal dengan orang lain. Sebagai contohnya adalah situasi emosional yang tinggi dan keluarga atau pihak lain yang tidak mau memperhatikan sikap positif pasien terhadap pengobatan. 10 Tidak kalah penting faktor yang mempengaruhi perilaku pasien terhadap kepatuhan adalah pengaruh obat terhadap penyakitnya. Sangat penting untuk memberi dukungan untuk menambah sikap yang positif terhadap pengobatan pada pasien. Sebagai dokter kadang-kadang melupakan hal tersebut bahwa sikap positif tersebut perlu dibantu terus menerus. 10 Lingkungan terapetik juga harus diperhitungkan. Dalam pasien rawat inap dimana teman sekamar pasien pernah mengalami pengalaman yang buruk terhadap satu jenis obat dan menceritakannya maka akan merubah sikap pasien terhadap obat yang sama. 10 3.2.4. Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Dokter Hubungan terapetik yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Bagaimana menunjukkan bahwa dokter memiliki perhatian kepada pasien dan dokter mau meluangkan waktu untuk mendengar

keluhan-keluhan pasien adalah penting. Terciptanya suatu hubungan yang baik merupakan prasyarat untuk masuk ke dalam ikatan terapetik dan memberikan informasi adalah hal yang penting dalam hubungan ini. Informasi dapat diberikan pada pasien ataupun keluarga baik dalam jadwal konsultasi ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan dilakukan. Psikoedukasi telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan secara signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk mendiskusikan perencanaan pengobatan baik kepada pasien atau kepada keluarga dimana pasien dan keluarga dilibatkan dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya. Adanya efek samping dapat memunculkan ketidakpatuhan dan sering menimbulkan kesalahpahaman. 10 Penting juga bagi dokter agar dapat menepati jadwal pertemuan selanjutnya. Pasien yang sudah menerima jadwal pertemuan berikutnya dan dokter akan menepati dan untuk tidak menjadwal ulang walaupun sangat sibuk. Dokter juga dapat melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan pasien baik itu dengan gaya atau bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga dapat tercipta hubungan terapetik yang baik yang nantinya dapat meningkatkan kepatuhan. 14 Klinisi juga harus mengikuti pedoman terapi yang direkomendasikan. Dengan mengikuti pedoman yang telah ditentukan maka pengobatan akan menjadi berguna, rasional dan gampang dimengerti oleh pasien dan mereka tidak menjadi bingung bila mereka mencoba mencari pendapat dokter lain. 10 3.3. Faktor Psikososial Berbagai macam stresor lingkungan kemungkinan berhubungan dengan relapsnya skizofrenia. 5 Yang dimaksud dengan stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang yang memaksa orang tersebut untuk beradaptasi atau menanggulangi. 21 Biasanya stresor psikososial terjadi

dalam kurun waktu satu tahun sebelum gangguan jiwa saat ini. Yang termasuk stresor psikososial adalah sebagai berikut: 22 - Problem dengan kelompok pendukung utama (primary support group). - Problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial. - Problem pendidikan. - Problem pekerjaan. - Problem perumahan. - Problem ekonomi. - Problem dengan akses pelayanan kesehatan. - Problem yang berkaitan dengan interaksi sistem hukum/kriminal. - Problem psikososial dan masalah lingkungan lainnya. Brown dan Birley menyatakan bahwa banyaknya peristiwa dalam kehidupan dalam beberapa minggu sebelum relaps secara signifikan lebih besar pada kasus relaps akut daripada kontrol normal. Begitupun juga, tinjauan-tinjauan tersebut menimbulkan keraguan tentang validitas dari apa yang disebut dengan hipotesis triggering ini. Penelitian retrospektif terbaru tidak mampu mendukung temuan tersebut. 5 Perhatian utama ditujukan bagi emosi yang diekspresikan (expressed emotion) dan risiko terjadinya relaps pada skizofrenia. 5 Sebagai salah satu faktor, apa yang dimaksud dengan expressed emotion dalam hal ini, berupa kebiasaan mempertontonkan kritikan atau emosi yang berlebihan oleh orangtua terhadap anak-anaknya. Selain faktor transaksional keluarga lainnya, studi-studi terbaru menunjukkan ketertarikannya terhadap gaya afektif negatif (negative affective style), yang terdiri dari: kritisisme, sikap menyalahkan, gangguan-gangguan, dan dukungan yang tidak adekuat. Pasien-pasien skizofrenia yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan expressed emotion yang kuat (highly expressed emotion) atau gaya afektif negatif secara signifikan lebih sering mengalami relaps dibandingkan dengan yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan expressed emotion yang rendah (low expressed emotion), atau gaya afektif yang normal. 23 Studi-studi keluarga (family studies) menunjukkan bahwa pasien skizofrenik yang kembali ke

lingkungan rumah dimana sering terjadi keadaan kritis, kekerasan atau emosi yang diekspresikan cenderung akan meningkatkan relaps. Studi WHO menunjukkan outcome yang lebih baik pada pasien skizofrenik secara tradisional, di negara-negara non-barat, dimana keluarga lebih toleran. Intervensi keluarga terhadap terapi mungkin dapat menurunkan atau paling tidak akan memperlambat relaps pada pasien. Intervensi yang dapat dilakukan keluarga adalah lebih dapat menerima bentuk manajemen, yang pada kebanyakan pasien tidak dapat menerimanya. Selain itu, percobaan intervensi sosial pada keluarga penderita skizofrenik dengan pengobatan ternyata menghasilkan angka relaps yang rendah dibandingkan dengan hanya menggunakan pengobatan. 5 Sehubungan dengan skizofrenia, Leff dan Vaughn melaporkan bahwa bentuk empati merupakan bagian dari sekumpulan sikap dengan pengekspresian emosi yang rendah. Sikap dari keluarga merupakan salah satu prediktor yang kuat terhadap relaps pada skizofrenia. 24

BAB 4 KERANGKA KONSEP (Relaps Pada Pasien Skizofrenia Paranoid) KETIDAKPATUHAN -Faktor sehubungan dengan pasien -Faktor sehubungan dengan pengobatan -Faktor lingkungan -Faktor sehubungan dengan dokter RELAPS STRESOR PSIKOSOSIAL -Problem dengan primary support group. -Problem berkaitan dgn lingkungan sosial. -Problem pendidikan. -Problem pekerjaan. -Problem perumahan. -Problem ekonomi. -Problem dgn akses pelayanan kesehatan. -Problem berkaitan dgn interaksi TERKONTROL

BAB 5 METODA PENELITIAN 5.1. Disain penelitian Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan disain case-control yang menilai hubungan antara faktor risiko dengan kejadian relaps dengan cara membandingkan sekelompok pasien yang mengalami relaps (kasus) dan sekelompok pasien yang terkontrol (kontrol). 5.2. Tempat dan Waktu Penelitian a. Tempat Penelitian: Poliklinik umum pria/wanita, bangsal pria/wanita dan Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. b. Waktu Penelitian: terhitung sejak Mei 2008 s/d Oktober 2008. 5.3. Populasi dan Sampel 5.3.1. Populasi a. Populasi target: Penderita skizofrenia paranoid yang mengalami relaps dan yang terkontrol. b. Populasi terjangkau: Penderita skizofrenia paranoid yang mengalami relaps dan yang terkontrol, yang berobat ke poliklinik umum dan UGD, maupun yang dirawat di bangsal Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. 5.3.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini ditetapkan secara consecutive, yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu sampai jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi dimana kasus dan kontrol akan diambil dalam satu populasi.

a. Kasus Kasus adalah penderita skizofrenia paranoid pria dan wanita yang mengalami relaps, berusia 21-60 tahun yang berobat kepoliklinik umum jiwa dan UGD maupun yang dirawat di bangsal Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. b. Kontrol Kontrol adalah penderita skizofrenia paranoid dalam keadaan remisi yang terkontrol, berusia 21-60 tahun yang berobat kepoliklinik umum jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Kontrol dipilih setelah dilakukan matching terhadap kasus, berupa matching group pada jenis kelamin dan usia. 5.4. Kriteria inklusi dan ekslusi 5.4.1. Kriteria Inklusi a. Penderita skizofrenia paranoid (memenuhi kriteria PPDGJ-III) yang mengalami relaps. b. Penderita skizofrenia paranoid (memenuhi kriteria PPDGJ-III) yang terkontrol. c. Berusia 21-60 tahun. 5.4.2. Kriteria ekslusi a. Memiliki komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lainnya. b. Riwayat penggunaan zat 1 bulan terakhir.

5.5. Besar Sampel Dihitung berdasarkan rumus di bawah ini: 25 n 1 =n 2 = Zα/2 + Zβ PQ (P -½ ) 2 Dimana P = R dan Q = 1- P (1+R) Keterangan: R = Perkiraan Oddds Rasio = 2 α= 0,005 Zα = 1,96 β = 0,10 Zβ = 1,28 P = 0,66 Q = 1-0,66 = 0,34 n 1 =n 2 = 1,96/2 + 1,28 0,66 0,34 (0,66 0,5) 2 n 1 =n 2 = 1,5816 0,16 2 n 1 =n 2 = 97,7 Jumlah Kasus=Jumlah Kontrol minimal= 98 100.

5.6. Identifikasi Variabel 5.6.1. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari ketidakpatuhan terhadap medikasi mencakup: faktor-faktor sehubungan dengan pasien, sehubungan dengan pengobatan, faktor lingkungan, faktor-faktor sehubungan dengan dokter; stresor psikososial mencakup: problem dengan kelompok pendukung utama (primary support group), problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial, problem pendidikan, problem pekerjaan, problem perumahan, problem ekonomi, problem dengan akses pelayanan kesehatan, problem yang berkaitan dengan interaksi sistem hukum/kriminal, problem psikososial dan masalah lingkungan lainnya. 5.6.2. Variabel tergantung Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kejadian relaps. 5.7. Definisi Operasional a. Skizofrenia paranoid adalah gangguan yang memenuhi kriteria diagnostik PPDGJ-III. b. Relaps adalah suatu keadaan pemunculan kembali simtom-simtom skizofrenik pada pasien yang sudah mengalami bebas gejala selama episode sebelumnya (tipe I) dan eksaserbasi simtom positif secara persisten (tipe II). c. Terkontrol adalah suatu keadaan dimana pasien skizofrenia paranoid yang telah mengalami remisi atau dalam fase stabil tidak mengalami relaps. d. Remisi adalah suatu keadaan dimana didapatkan nilai masingmasing item PANSS 3. 26 e. Simtom positif adalah: 1). Halusinasi: halusinasi auditorik, suara yang mengkomentari, suara yang bercakapcakap, halusinasi visual, halusinasi penghidu, dan halusinasi somatiktaktil.

2). Waham: waham kejar, waham kebesaran, waham menyangkut diri sendiri, waham dikendalikan, waham dikendalikan, waham membaca pikiran, siar pikiran, sisip pikiran, penarikan pikiran, pikiran yang dikendalikan, waham cemburu, waham bersalah/dosa, waham keagamaan, waham somatik. 3). Perilaku aneh: berpakaian dan berpenampilan aneh, perilaku sosial dan seksual yang aneh, perilaku agresif-teragitasi, perilaku berulang-stereotipik. 4). Gangguan pikiran formal positif: penyimpangan, tangensialitas, inkohorensi, ilogikalitas, sirkumstansialitas, tekanan bicara, bicara mudah dialihkan, menggemerincing (clanging). f. Status perkawinan ditentukan apakah subjek masih dalam ikatan perkawinan (menikah) atau tidak (belum menikah/janda/duda) adalah kawin, tidak kawin. g. Pendidikan merupakan jenjang pengajaran yang telah diikuti atau sedang dijalani responden melalui pendidikan formal yang terbagi atas SLTP ke bawah dan SLTA ke atas. h. Pekerjaan adalah suatu pekerjaan yang mendapatkan upah yang terbagi atas bekerja dan tidak bekerja. i. Penilaian Status ekonomi dilihat dari penghasilan keluarga/bulan, dibagi menjadi penghasilan < Rp. 1.500.000/bulan dan > Rp. 1.500.000/bulan. j. Alamat adalah lingkungan demografik tempat di mana responden berdomisili, dibagi dalam dua lingkungan, yaitu: Medan dan luar Medan. k. Kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan, jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini: 1) Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan dua episode dari: a). Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif.