SKENARIO GLOBAL PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BAGI PENINGKATAN DAYA SAING NASIONAL. Oleh Bambang Tata Samiadji 1



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur, merata baik materil maupun spiritual. Negara yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/1996

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

KAJIAN JARINGAN TRAYEK ANGKUTAN LAUT NASIONAL UNTUK MUATAN PETIKEMAS DALAM MENUNJANG KONEKTIVITAS NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah

INOVASI BIROKRASI DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR

UPAYA UNTUK MENEROBOS HAMBATAN INVESTASI JALAN TOL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pelayanan masyarakat, menciptakan keadilan dan pemerataan, serta mendorong

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektorsektor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

2015, No Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN. Kebijakan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

CANN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR :_3 TAHUN 2010 TAHUN TENTANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

vii Tinjauan Mata Kuliah

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR :_3 TAHUN 2010 TAHUN TENTANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STRATEGI MEMBANGUN INFRASTRUKTUR PEMERINTAH DAERAH

BAB VI PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Pembangunan Infrastruktur Untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi Kesenjangan

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 217/PMK.05/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. penting. Investasi dapat berasal dari luar negeri berupa penanaman modal asing. pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan cara pembangunan infrastruktur sebagai pendorong

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

Sumber: Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 12, No. 3, 2010

BAB I PENDAHULUAN I - 1

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

MODEL PENDANAAN KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN WISATA TELAGA SARANGAN MAGETAN

Perkembangan Infrastruktur Indonesia

ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR

BAB V PENUTUP. rahim kedaulatan internal sebuah negara pantai / kepulauan atas territorial laut dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL

OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. Permasalahan yang Dihadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

Alternatif Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Daerah

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR ISI HAND BOOK Hal. Daftar Isi.. 1. Pendahuluan.2. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah...4

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

OBLIGASI DAERAH MEMBERI PELUANG MEMBANGUN PRASARANA TRANSPORTASI DALAM MEMAJUKAN PEREKONOMIAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN TRIWULAN III

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

- 1 - DOKUMEN STANDAR KSNP SPAM, JAKSTRA SPAM PROVINSI, DAN JAKSTRA SPAM KABUPATEN/KOTA

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dasa warsa terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil

POKOK-POKOK PIKIRAN TANGGAPAN ATAS : PEMAPARAN HASIL KAJIAN ANALISA KEBIJAKAN PERENCANAAN PENDANAAN PEMBANGUNAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Frequently Asked Questions (FAQ)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. puluh tahun yang lampau pemerintah Indonesia telah mengunakan pola Build

2011, No.70 2 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010; 4. Peraturan Menteri Ke

BAB I PENDAHULUAN. saing global, dan memperbaiki iklim investasi secara keseluruhan.

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

OBLIGASI PEMERINTAH (GOVERNMENT BOND) VS OBLIGASI DAERAH (MUNICIPAL BOND)

BAB 1 PENDAHULUAN. Rancangan Akhir RPJMD Tahun Hal. I LATAR BELAKANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 9 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN

1.1 Latar Belakang I - 1. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. adanya penurunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA DIREKTORAT PENGELOLAAN DUKUNGAN PEMERINTAH DAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

Transkripsi:

SKENARIO GLOBAL PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BAGI PENINGKATAN DAYA SAING NASIONAL Oleh Bambang Tata Samiadji 1 Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan ekonomi suatu Negara banyak dipacu oleh kemantapan pembangunan infrastruktur di Negara yang bersangkutan, tetapi tidak selalu bahwa pembangunan infrastruktur kemudian dapat sesegera memacu kemajuan ekonominya. Ada faktor keunggulan lokasi yang juga mempengaruhi. Begitu pun terjadi bagi daerah-daerah. Ada daerah-daerah yang sangat sensitif terhadap kebutuhan pembangunan infrastruktur, dan ada juga daerah-daerah yang geming saja sehingga pembangunan infrastruktur sering underutilized. Indonesia adalah Negara besar dan berpulau-pulau dengan spektrum geografi yang luas dan kultur beragam serta keunggulan lokasi yang heterogen. Tidak dapat dielakkan terjadinya kesenjangan antar wilayah akibat keunggulan wilayah-wilayah tertentu dan ketertinggalan banyak bagian wilayah lain. Diferensiasi wilayah ini juga menjadi tantangan dalam pembangunan infrastruktur dikarenakan outcome atas pembangunannya tidak berdampak sama. Dalam kontek investasi beberapa wilayah unggul mempunyai daya saing tinggi dan sebaliknya bagi wilayah-wilayah lain dengan daya saing yang tertatih-tatih. Di tingkat global. keunikan (keberagaman) wilayah Indonesia di satu pihak memberi peluang untuk dipacu pembangunan infrastrukturnya sehingga mampu menjadi anchor kemajuan ekonomi nasional, sementara banyak wilayah lain yang harus dijaga agar tetap tumbuh dan menjadi bagian dari satuan nasional. Untuk itu Indonesia memerlukan skenario (scenario) strategi jitu dalam pembangunan infrastruktur agar tidak tertinggal di kancah global. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia sudah memiliki strategi yang dimaksud yang secara global dulu tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang seterusnya diwujudkan dalam jangka menegah dalam format Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kemudian, setelah adanya perubahan politik dan sistem pemerintahan melalui Keketapan MPR yang diteruskan dengan amandemen UUD 1945, strategi global dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dalam bentuk Undang-undang No. 17/2007 dan diwujudkan dalam jangka lima tahunan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) berupa Perpres. RPJP dan RPJM ini secara struktural diikuti sampai tingkat daerah (provinsi, kabupaten/kota) dalam format RPJP-Daerah dan RPJM-Daerah pada masing-masing daerah. Kendati Indonesia telah memiliki strategi yang dimaksud, berkenaan dengan perkembangan zaman, fokus dan titik berat pembangunan infrastruktur sangat berbeda. Dulu manakala pemerintahan masih bersifat sentralisme dengan kemajuan teknologi masih terbatas, melalui GBHN dan Repelita, pergaulan internasional juga masih terbatas pada lalu lintas barang dengan outlet/inlet pada titik-titik tertentu (utamanya Jakarta sebagai hub ). Namun manakala terjadi revolusi teknologi informasi dan komunikasi, serta sistem pemerintahan yang semakin liberal, RPJP dan RPJM memperoleh tekanantekanan baru yang mau tak mau harus mengikuti arus global. Dengan strategi global dalam pembangunan infrastruktur juga bergerak ikut dalam irama global yang lebih terbuka demikian strategi global dalam pembangunan infrastruktur juga bergerak ikut dalam irama global yang lebih terbuka. Tak bisa dielakkan dalam irama global terbuka ini semakin terangkai ketergantungan, saling isi, dan kompetisi. Dalam perdagangan, arena ketergantungan dan kompetisi sangat terasa, sampai kemudian diperlukannya organisasi semacam WTO dan institusi-institusi pembiayaan. 1 Penulis adalah konsultan free-lancer di bidang Infrastruktur dan Keuangan Publik. 1

Dalam pembangunan infrastruktur, RPJP mengamanatkan : 1. Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan; 2. Terwujudnya Indonesia sebagai Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Adapun pembangunannya pada prinsipnya diarahkan kepada : 1. Peningkatan pembangunan infrastruktur dengan sebanyak mungkin melibatkan pihak swasta; 2. Pembangunan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan fungsi sebagai sumber daya sosial (social goods) dan sumber daya ekonomi (economic goods); 3. Pembangunan transportasi diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah; 4. Pembangunan pos dan telematika diarahkan untuk mendorong terciptanya masyarakat berbasis informasi (knowledge-based society) melalui penciptaan landasan kompetisi jangka panjang penyelenggaraan pos dan telematika dalam lingkungan multioperator; 5. Pembangunan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan; 6. Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya. Berdasarkan arahan pembangunan infrastruktur di atas, tampak jelas diperlukan sistem jaringan nasional untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur jangka panjang dan sistematis. Sistem Jaringan Nasional Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Untuk memfasiltasi jaringan bagi pembangunan infrastrukutur jangka panjang, telah dirumuskan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) melalui Peraturan Pemerintah No. 26/2007 dalam bentuk pengembangan struktur ruang yang meliputi : 1. Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah; 2. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana. diperlukan sistem jaringan nasional untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur jangka panjang dan sistematis. Kedua lingkup pengembangan struktur ruang tersebut divisualisasikan dalam Peta Struktur Wilayah Nasional yang di dalamnya terdapat : 1. Jaringan prasarana transportasi, kelistrikan, dan telekomunikasi; dan 2. Simpul-simpul bandar udara, pelabuhan, kota-kota pusat kegiatan nasional (PKN), kota-kota pusat kegiatan wilayah (PKW), kota-kota pusat kegiatan strategis nasional (PKSN), dan metropolitan. Yang menjadi problem dalam membangun infrastruktur yang berwawasan jaringan dan ruang berjangka panjang tersebut adalah implementasinya. Prolem implementasi ini karena kurang adanya intermittent target jangka menengah sehingga sulit untuk dapat di-prognosis agar dapat dilakukan langkah-langkah praktis pembangunan dan penyediaan infrastruktur di kawasan nusantara ini sesuai dengan RTRWN. Langkah-langkah praktis selama ini berdasarkan prognosis linier, bercermin masa lalu dan kebutuhankebutuhan nyata jangka pendek sampai jangka menengah sesuai dengan kapasitas fiskal yang dimiliki secara nasional maupun daerah-daerah di Indonesia. Problem lain bahwasanya pembangunan infrastruktur dalam konteks struktur ruang selain dimensi waktu perencanaan yang terlalu lama, juga terlalu banyak bertumpu pada peran Pemerintah terutama untuk Dengan adanya RTRWN dengan segala arahan lokasi dan jaringannya, maka cukup jelas dan tegas ke mana strategi global sektor-sektor pem bangunan infrastruktur nasional kini dan masa mendatang. 2

jangkauan daerah-daerah yang kurang beruntung atau tertinggal. Sementara kapasitas fiskal Pemerintah juga terbatas yang tidak mungkin mampu mengatasi semuanya. Pembiayaan Infrastruktur Bagaimanapun pembangunan infrastruktur memerlukan banyak biaya. Pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia relatif masih sangat rendah. Sebelum krisis lalu (1998), rata-rata pembiayaan infrastruktur baru mencapai 2,2% terhadap GDP, kemudian meningkat menjadi 5-6% terhadap GDP. Berdasarkan kebutuhan RPJP bahwasanya total kebutuhan dana bagi pembangunan infrastruktur sebesar Rp 1400 triliun, sementara itu kemampuan Pemerintah maksimal hanya Rp 452 triliun sehingga masih ada kekurangan sekitar Rp 948 triliun. Dari mana kekurangan dana ini bisa diperoleh 2? Sudah menjadi wacana umum bahwa pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan daya saing global sesuai dengan struktur ruang nasional (RTRWN) memerlukan biaya besar yang tak mungkin bertumpu pada kapasitas fiskal Pemerintah. Untuk itu perlu kerja sama antara Pemerintah dengan pihak swasta maupun bersama masyarakat. Diharapkan peran swasta dan masyarakat mampu mengisi kekurangan dana sebesar Rp 948 triliun tersebut. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan peraturan bagi terwujudnya kerja sama yaitu : 1. Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur 2. Perpres No. 42/2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) 3. Perpres No. 36/2005 jo Perpres No. 65/2006 ttg Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pada dasarnya kerja sama antara pemerintah dan swasta tersebut terkait dengan kerja sama pengadaan investasi. Secara konvesional kerja sama selama ini dalam bentuk kontrak layanan (Service Contract) yang hampir seluruhnya adalah investasi publik (dari Pemerintah), kemudian perlu pengembangan yang lebih banyak peranan investasi dari pihak swasta mulai dari semacam kontrak operasi dan pemliharaan (O&M Contract), BLT (Leasing), BOT/T, BOOT (DBFO)/T, BOO/, sampai dengan semua investasi dari swasta dalam bentuk privatization/divestiture (lihat gambar 1). Model Kerja Sama Pemerintah-Swasta 3 Investasi Pemerintah Service Contract O&M Contract BLT (Leasing) BOT ROT BOOT (DBFO) T BOO Privati- - zation Divesti ture Investasi Swasta Gambar 1. Model Kerja Sama Pemerintah-Swasta Keterangan : O&M Contract BLT (Leasing) BOT ROT BOOT DBFO BOO Operation and Maintenance Build and Transfer Build Operate Transfer Rehabilitate Operate Transfer Build Own Operate Transfer Develop Build Finance Operate Build Own Operate Rehabilitate Operate Own 2 Penjelasan Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah Swasta-Bappenas, Water Forum, 30 Maret 2009. 3 Courtesy to Pak Bastary P. Indra (Dir. Peng. Kerja Sama Pemerintah-Swasta Bappenas). 3

Perkembangan kerja sama antara Pemerintah dan swasta belum menunjukkan gelagat yang lebih baik dalam arti masih banyak kendala-kendala, khususnya dalam penggalakan dana dari financier perbankan umum dengan harga uang dalam bentuk interest yang masih mahal. Kemahalan dana perbankan umum utamanya disebabkan pleh risiko yang masih tinggi berhubungan dengan kurang teguhnya peraturan perundangan, terutama berhadapan dengan kebutuhan masyarakat yang dinilai melalui tarif. Oleh karena itu Pemerintah terus berusaha menelorkan berbagai regulasi dan sekaligus bertindak sebagai operator (bila perlu) untuk meningkatkan akses pembiayaan ini antara lain melalui : 1. Peraturan Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Dalam konteks ini Pemerintah telah membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP). PIP ini menyediakan dana yang cukup murah untuk keperluan pembangunan infrastruktur. 2. Pendirian PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berupa persero. Kelak PT SMI ini akan mendirikan anak perusahaan dan joint venture dengan Bank Dunia dan ADB yang sudah mendirikan Indonesian Infrastructure Finance Facility (IIFF). 3. Penjaminan Pinjaman (untuk infrastruktur air minum dan kelistrikan) dan Unit Pengelolaan Risiko (Management Risk Unit) yang berada di Departemen Keuangan (Peraturan Menteri Keuangan No. 38/2006). Pada dasarnya, kelembagaan pembiayaan yang dibentuk tersebut sebagai katalisator bagi pembangunan prasarana nasional dalam rangka meningkatkan daya saing global dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri khususnya. Pada dasarnya, kelembagaan pembiayaan sebagai katalisator bagi pembangunan prasarana nasional dalam rangka meningkatkan daya saing global dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri khususnya. Peranan Daerah Apapun yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan RPJP, RTRWN, belanja APBN, kerja sama dengan swasta, maupun pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan dan pengelolaan risiko tersebut merupakan langkah-langkah yang strategis, tetapi tetap dalam kapasitas yang masih terbatas dan masih banyak kendala. Akan lebih elok bila pembangunan infrastruktur itu juga didukung sepenuh hati oleh pemerintah daerah. Selama ini pemerintah daerah masih saja ada yang terus membebani Pemerintah dengan permintaan bantuan-bantuan langsung. Alasan daerah bahwasanya dana yang dimiliki sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur bagi daerahnya sendiri. Memang ada benarnya bahwa dana daerah berupa Belanja Modal bagi pembangunan infrastruktur masih sangat kecil. Rata-rata Belanja Modal daerah adalah sebesar 20% dari total APBD 4. Rendahnya Belanja Modal ini lebih karena sebagian besar APBD digunakan untuk Belanja Operasional seperti gaji pegawai, biaya perjalanan, ATK, dan banyak kebutuhan operasional lainnya yang mencapai 80% sehingga hanya tersisa 20% bagi pembangunan infrastruktur. Angka 20% ini semakin kecil bagi pemerintah kota yang rata-rata hanya 13% saja. Gambaran ini menunjukkan bahwa pemerintahan di daerah masih kurang efisien karena terlalu banyak dana yang dipakai untuk operasional ketimbang pembangunan infrastruktur yang mampu mengangkat ekonomi daerahnya. Terlepas dari persoalan ketidakefisienan pemerintah daerah sehingga kurangnya dukungan terhadap pembangunan prasarana, pemerintah daerah sebenarnya masih memiliki dana selain dari pendapatan, yaitu berupa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). SILPA umumnya berupa akumulasi Surplus (Pendapatan dikurangi Belanja) tiap tahun. Rata-rata Surplus daerah adalah 12,6% dari total APBD tiap tahun yang terkumpul dan sebagian digunakan untuk pembiayaan lain dan tersisa menjadi SILPA. Karena pembiayaan lain yang dilakukan daerah masih relatif kecil, sehingga jumlah SILPA jumlahnya semakin meningkat. Pada tahun 2006 yang lalu, dari sekitar 360 kabupaten/kota, jumlah SILPA ini 4 Penelitian Penulis dari 360 kabupaten/kota tahun 2006. pemerintahan di daerah masih kurang efisien karena terlalu banyak dana yang dipakai untuk operasional ketimbang pembangunan infrastruktur yang mampu mengangkat ekonomi daerahnya 4

mencapai Rp 33,6 triliun dan kabarnya pada tahun 2007 sudah mencapai Rp 45 triliun. Dan bila jumlah ini ditambah dengan SILPA milik provinsi (33 provinsi), maka bisa mencapai Rp 60 triliun lebih. SILPA ini umumnya disimpan dalam bentuk Deposito On call di Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat dan oleh karenanya banyak yang ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Jadi apabila daerah bekerja efisien dan mampu memanfaatkan dana-dananya, termasuk SILPA untuk penyertaan modal, pinjam meminjam, menutupi defisit, dan kegiatan pembiayaan lainnya yang ditujukan bagi pembangunan infrastruktur, maka sebenarnya akan sangat membantu Pemerintah dalam mewujudkan strategi pembangunan infrastruktur yang berdaya saing global. Kesimpulan Pembangunan infrastruktur merupakan kunci bagi kemajuan ekonomi suatu Negara walaupun pembangunan infrastruktur itu sendiri bukan faktor satu-satunya. Dari pembahasan di atas, sebenarnya secara formal Indonesia telah memiliki strategi pembangunan infrastruktur yang mampu meningkatkan daya saing nasional di kancah global sebagaimana komitmen yang ada dalam RPJP dan RTRWN serta Rencana-rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah maupun di daerah. Dalam pelaksanaan strateginya masih ditemui banyak kendala, pelajaran, dan kekurangsinkronan dalam mengelola sumber-sumber yang ada. Sudah banyak upaya mulai dari regulasi dan kebijakan fiskal, tetapi masih dalam proses dan hasilnya belum tampak nyata. Beberapa upaya seperti diarahkan dalam RTRWN, khususnya dalam pembentukan struktur ruang, dan upaya kerja sama swasta, serta pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan masih berjalan dan memerlukan pembelajaran. Potensi-potensi yang ada juga belum digunakan terutama potensi pemerintah daerah yang semestinya punya sumbangan besar. Tapi belum terjadi karena juga masih memerlukan pembelajaran. Pada akhirnya Pemerintah yang baru diharapkan mampu mengatasi dan memberi stimulus-stimulus yang memungkinan seluruh potensi dapat berkoalisi dalam rangka mendongkrak percepatan pembangunan infrastruktur agar berdaya saing kuat di kancah global. 5