BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENUTUP. penyandang disabilitas tuna rungu maka dapat disimpulkan bahwa;

BAB I PENDAHULUAN. hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

JURNAL KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI PENYANDANG DISABILITAS TUNA RUNGU DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun Setiap

BAB I PENDAHULUAN. dalam diri manusia. Sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, hak

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi 1. Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. sudah memberikan perlindungan yang dimasukkan dalam peraturan-peraturan yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah : Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

berlandaskan pada pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang Indonesia harus taat dan patuh terhadap hukum yang ada di Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perlakuan yang sama dihadapan hukum 1. Menurut M. Scheltema mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mana berbunyi: Negara

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

BAB I PENDAHULUAN. maupun dewasa bahkan orangtua sekalipun masih memandang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Alinea ke-4 Pembukaan (Preamble) Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. harkat dan martabatnya serta dijamin hak-haknya untuk tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

SKRIPSI. SINKRONISASI HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA (Kajian Tentang Sinkronisasi Hak Anak Sebagai Pelaku Kejahatan)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. negara yang diinginkan serta tujuan pembentukan pemerintahan. Negara

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani

13 ayat (1) yang menentukan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. ada sehingga setiap manusia diharapkan mampu menghadapi tantangan sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan. memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-iii. Dalam Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang belum tercukupi kebutuhan hidupnya. Hambatan-hambatan

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengemis merupakan salah satu golongan masyarakat yang harus

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga sebagai Negara demokrasi. Indonesia juga menjungjung tinggi nilai hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), hal tersebut dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) saling terkait dan tidak dapat terpisahkan. Hukum merupakan tempat yang mengatur mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki oleh setiap manusia sejak masih di dalam kandungan dan tidak akan pernah hilang sampai tutup usia. Semua tindakan harus sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar hukum yang paling hakiki disamping produk-produk hukum lainnya. Hukum tersebut harus selalu ditegakkan guna mencapai cita-cita dan tujuan Negara Indonesia dimana tertuang di dalam Alinea ke-empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. 1 1 Yadiman,Konflik Sosial dan Anarkisme,Yogyakarta:Andi Offset,2013,hlm.187 1

2 Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi yang telah diberikan oleh-nya sesuai dengan harkat dan martabatnya. Indonesia melindungi hak-hak tersebut dengan mengacu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali dan dituangkan di dalam Pasal 28 D. Hal ini membuat setiap manusia dijamin untuk mendapatkan haknya dan wajib diakui derajatnya yang setara dengan manusia lainnya. Hak sebagai manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk tidak diperlakukan tidak sesuai dengan harkat, martabat, dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang berkesetaraan. Pasal 27 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan Setiap warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Pasal ini adalah rujukan yang harus benar-benar melandasi seluruh produk dan ketentuan moral dan hukum yang mengikat. 2 Persamaan ini termasuk bagi penyandang disabilitas yang memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan manusia normal dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan termasuk juga setara di hadapan hukum, tanpa diskriminasi, serta mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang setara yang mana tertuang di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas). 2 Siswono Yudo Husodo, Menuju Welfare State,Kumpulan Tulisan tentang Kebangsaan,Ekonomi,dan Politik,Jakarta;Baris Baru,2009.hlm.5

3 Penyandang disabilitas sebagai warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan sosial, penyandang disabilitas harus diperlakukan sama dengan orang normal lainnya sehingga dengan ini maka penyadang disabilitas harus mendapatkan akses yang sama sebagaimana orang normal. Harus diakui bahwa keberadaan penyandang disabilitas saat ini tidak sepenuhnya diakui. Ini terlihat dari minimnya pemenuhan hak, kebutuhan, perlindungan, bahkan diskriminasi. Dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental. Warga Negara mempunyai kewajiban menjunjung tinggi dan dianggap tau akan hukum yang berlaku, dalam mewujudkan Negara Indonesia sebagai Negara hukum, maka diperlukan tanggung jawab dan kesadaran bagi warga negaranya. Tanggung jawab dan kesadaran itu harus diwujudkan dalam tingkah laku dan tindakan setiap orang yang ada di Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum, oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum atau asas persamaan dimata hukum. Kesetaraan bagi penyandang disabilitas sebagai manusia dan warga Negara mempunyai hak asasi manusia sehingga harus disetarakan dengan orang normal pada umumnya di muka hukum juga diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang intinya penyandang

4 disabilitas berhak memperoleh perlakuan lebih atau khusus berkenaan dengan kekhususannya sebagai penyandang disabilitas. Persamaan bagi Penyandang Disabilitas di depan hukum ditegaskan pula dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Dapat diartikan bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak untuk mengemukakan kesaksiannya sebagai orang yang mengalami sesuai dengan aturan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai kesaksian. Pelaksanaan aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. 3 Seringkali masih banyak penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam pemenuhan hak-haknya dimana saksi penyandang disabilitas diabaikan karena tidak masuk kategori kesaksian penuh, yakni yang mampu melihat, mendengar dan mengalami. Pembuktian kejahatan pada penyandang disabilitas terhambat ketika kesaksian hanya dari korban dan sesama penyandang disabilitas, peran penyandang disabilitas terbatasi mengingat statusnya dianggap tidak cakap hukum. 4 Kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani kasus terhadap penyandang disabilitas antara lain adanya kendala komunikasi dengan penyandang disabilitas khususnya penyandang tuna rungu. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 178 ayat (1) juga telah mengatur bahwa jika terdakwa atau saksi tidak dapat mendengar dan/atau tidak dapat berbicara serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul 3 Yadiman,Loc.Cit. 4 http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/02/19/079555622/difabel-kerap-jadi-korban-diskriminasi- Seksualitas,diakses pada 23 Oktober 2014 pukul 22:06 WIB

5 dengan terdakwa atau saksi. Penterjemah adalah oarng yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi, hal ini membuat kebingungan mengenai kepastian atau kesamaan maksud yang diutarakan penterjemah dengan apa yang ingin diutarakan oleh penyandang disabilitas dan juga kebenaran dari terjemahan bahasa yang diutarakan oleh penyandang disabilitas tersebut. Contoh-contoh kasus yang dialami penyandang disabilitas : 1. SL yang cenderung pendiam dan sering murung membuat keluarga korban curiga. Karena didesak, akhirnya korban bercerita menggunakan bahasa isyarat. Dalam pengakuan itu, korban mendapat perlakukan tidak senonoh dari pelaku dalam waktu berbeda sejak empat bulan lalu. Pelaku merupakan tetangga korban. Penangkapan kelima pelaku berdasarkan laporan dari keluarga korban dan pelaku dijerat dengan pasal 81 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 5 2. Seorang perempuan tunawicara berusia 25 tahun diperkosa secara bergiliran di dua tempat yang berbeda oleh empat pemuda dan uang milik korban juga dirampas oleh pelaku. Perbuatan tak terpuji itu dilakukan kerena pengaruh minuman keras (miras). Atas perbuatannya, pelaku dijerat dengan Pasal 285 KUHP tentang Pemerkosaan subsider Pasal 365 KUHP tentang Pencurian dengan kekerasan. 6 Dari beberapa contoh kasus di atas membuktikan bahwa adanya kekerasan terhadap penyandang disabilitas. Kasus yang dialami oleh penyandang disabilitas 5 http://www.sragenpos.com/2011/lakukan-pencabulan-pada-gadis-tuna-wicara-5-orang-dibekuk- 102854 diakses pada 23 Oktober 2014 pukul 21:34 WIB 6 http://www.boyolalipos.com/2012/perempuan-tunawicara-diperkosa-4-pemuda-354178 diakses pada 23 Oktober 2014 pukul 21:38WIB

6 ini rentan terhadap diskriminasi. Diskriminasi dalam pengertian pembedaan dan pembatasan selama proses persidangan 7, hal ini dikarenakan permasalahan mengenai keterangan penyandang disabilitas sebagai saksi untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses persidangan pidana dimana keterangan mereka sebagai acuan untuk mencari fakta mengenai kasus yang dialami oleh penyandang disabilitas dianggap tidak kuat seperti keterangan saksi orang normal pada umumnya karena penyandang disabilitas dianggap sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi saksi. Dengan adanya diskriminasi ini membuat proses peradilan menjadi terhambat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah keterangan saksi yang menyandang disabilitas tuna rungu memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan keterangan saksi yang normal? 2. Bagaimana dinamika pemeriksaan terhadap saksi yang menyandang tuna rungu dalam proses peradilan pidana? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui apakah keterangan saksi yang menyandang disabilitas tuna rungu memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan keterangan saksi yang normal. 7 Sulistyowati Irianto,Perempuan di Persidangan:pemantauan peradilan berspektif perempuan, Jakarta;Yayasan Obor Indonesia, 2006.hlm.224

7 2. Untuk mengetahui dinamika pemeriksaan terhadap saksi yang menyandang tuna rungu dalam proses peradilan pidana. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah : 1. Manfaat Teoritis : Untuk pengembangan ilmu hukum dan khususnya hukum pidana mengenai kesaksian penyandang disabilitas. 2. Manfaat Praktis : a. Lembaga Swadaya Masyarakat, agar mendapatkan jalan dalam membantu penyandang disabilitas yang menjadi saksi di dalam persidangan. b. Instansi Kepolisian Republik Indonesia, agar lebih memahami mengenai penyandang disabilitas dan dapat mengurusi kasus-kasus yang terjadi pada penyandang disabilitas. c. Hakim, agar dapat memutus kasus-kasus mengenai penyandang disabilitas dengan adil sehingga dapat memberikan rasa adil bagi penyandang disabilitas. d. Pemerintah, agar dapat merumuskan peraturan mengenai perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas dan peraturan mengenai kesasksian yang diberikan oleh penyandang disabilitas. e. Masyarakat, agar dapat merubah cara pandang dan stigma masyarakat mengenai penyandang disabilitas.

8 f. Penulis, agar dapat belajar lebih dalam lagi dan dapat menerapkan ilmunya sebaik mungkin di dalam kehidupan dan di tengah masyarakat. E. Keaslian Penelitian : Proposal ini benar sebagai karya asli penulis dan bukan sebagai duplikasi atau hasil plagiat dari karya orang lain atau penulis lain. Kekhususan proposal ini berada pada alat bukti keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu dalam proses peradilan pidana yang mana untuk : 1. Untuk mengetahui apakah keterangan saksi yang menyandang disabilitas tuna rungu memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan keterangan saksi yang normal. 2. Untuk mengetahui dinamika pemeriksaan terhadap saksi yang menyandang tuna rungu dalam proses peradilan pidana. Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh penulis maka ditemukan skripsi yang senada dengan judul Kekuatan Hukum Kesaksian Penyandang Disabilitas Dalam Tindak Pidana, yaitu Penelitian yang dilakukan oleh : a. Puguh Ari Wijayanto dalam penyusunan skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan judul Upaya Perlindungan Hukum terhadap Kaum Difabel Sebagai Korban Tindak Pidana. Permasalahan dalam penelitian tersebut adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap difabel sebagai korban tindak pidana dan siapa yang bertanggung jawab memberikan perlindungan hukum bagi kaum difabel sebagai korban tindak pidana. Hasil penelitian adalah penerapan hukum kepada difabel yang menjadi korban tindak

9 pidana belum maksimal karena masih disamakan dengan korban non-difabel dan pihak pihak yang berwenang serta bertanggung jawab terhadap penyandang disabilitas adalah aparat penegak hukum yang mana adalah polisi, jaksa, hakim serta Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. b. Ujang Setiawan dalam penyusunan skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan judul Efektivitas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kesetaraan Kemandirian Dalam Memberikan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Kaum Difabel di Kabupaten Klaten, tujuan penelitian penulis adalah untuk memperoleh dan menganalisis data tentang wujud perlindungan dan pemenuhan hak bagi kaum difabel di Kabupaten Klaten serta kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya. Hasil penelitian adalah Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kesetaraan dan Kemandirian Difabel, dalam pelaksanaannya tidak dapat efektif karena tidak ada atribusi dan delegasi yang jelas dan baik. Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2011 dalam pelaksanaannya hingga kini belum dilaksanakan secara maksimal karena hingga kini hak-hak para difabel yang diamanatkan Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 2 Tahun 2011 belum terlaksana dengan baik, sehingga konsekuensinya Peraturan Daerah tersebut belum mampu memberikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi kaum difabel di Kabupaten Klaten.

10 F. Batasan Konsep Guna memberikan pemahaman dan penafsiran yang sama terhadap beberapa istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, berikut disajikan batasan konsep atau pengertian istilah yang berkaitan dengan objek penelitian sebagai berikut : 1. Alat bukti Alat bukti adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. 8 2. Keterangan saksi Keterangan saksi merupakan alat bukti di persidangan dan berguna dalam mengungkap duduk perkara suatu peristiwa pidana yang nantinya akan dijadikan salah satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa serta kesalahan terdakwa. 9 3. Penyandang disabilitas Penyandang disabilitas adalah seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan/mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. 10 8 Darwan Prinst,Hukum Acara Pidana Dalam Praktik,Jakarta:1998.hlm.135 9 Aloysius Wisnubroto,Teknis Persidangan Pidana,Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2009.hlm.9 10 https;/id.m.wikipedia.org/wiki/disabilitas-wikipediabahasaindonesia diakses pada 23 Oktober 2014 pukul 21:44 WIB

11 4. Tuna Rungu Tuna rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar dengan baik sebagian atau seluruhnya diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera pendengaran. 11 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder. Penelitian hukum normatif berupa norma hukum peraturan perundang-undangan yang dikaji secara vertikal dan horizontal, yaitu mengkaji undang-undang yang berkaitan dengan Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Dalam Proses Peradilan Pidana. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah berupa data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-empat 11 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imperial Bhakti Utama,2007.hlm.50

12 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 3) Undang-Indang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat 4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Hak- Hak Penyandang Disabilitas) 6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban 7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah beberapa buku dan internet yang berkaitan atau membahas persoalan kekuatan alat bukti keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu dalam proses peradilan pidana. 3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Cara ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal, koran, website, dan pendapat hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. b. Wawancara

13 Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, mengadakan wawancara langsung dengan Lembaga Advokasi Penyandang Disabilitas, Polisi, serta Hakim yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan melakukan tanya jawab. Narasumber yang penulis cari yaitu Advokat Wardana And Partners, manager program Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA), Penyidik Reskrim Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sleman dan Hakim Pengadilan Negeri Sleman. 4. Metode Analisis Data Langkah-langkah dalam melakukan analisis adalah : a. Analisis terhadap bahan hukum primer : 1) Deskripsi, yaitu memaparkan atau menguraikan isi maupun struktur hukum positif berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuatan hukum kesaksian penyandang disabilitas sebagai alat bukti dalam tindak pidana. 2) Sistematisasi, langkah ini dilakukan untuk mensistematisasi isi dan struktur hukum positif secara vertikal dan horizontal. Sistematika secara vertical yaitu menemukan ada tidaknya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah. 3) Interpretasi hukum dilakukan secara :

14 a) Gramatikal, yakni mengartikan suatu terminology hukum atau suatu bagian kalimat bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. b) Sistematis, dilakukan secara titik tolak dari system aturan mengartikan suatu ketentuan hukum. c) Teleologis, yakni undang-undang yang ditetapkan berdasarkan tujuan dari kekuatan hukum kesaksian kaum disabilitas sebagai alat bukti dalam tindak pidana. 4) Menilai hukum positif yaitu akan menilai secara gramatikal bahwa penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) belum dapat diterapkan dengan baik. b. Analisis terhadap bahan hukum sekunder : Bahan hukum sekunder yang berupa pendapat hukum atau pendapat yang bukan hukum yang diperoleh dari buku, internet dan juga wawancara dengan narasumber akan didiskripsikan, diperbandingkan, dicari perbedaan atau persamaan pendapat. Dokumen yang berupa data dan kuisioner yang diperoleh dari pihakpihak terkait akan didiskripsikan, diperbandingkan dengan peraturan perundang-undangan dan pendapat hukum. Langkah selanjutnya adalah membandingkan bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan dengan bahan hukum

15 sekunder yang berupa pendapat-pendapat hukum yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, internet tentang Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Dalam Proses Peradilan Pidana. 5. Proses Berpikir Langkah terakhir dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu metode penyimpulan yang bertitik tolak dari preposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Metode penyimpulan yang bertolak pada preposisi umum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku ke hal-hal yang khusus berupa permasalahan yang berkaitan erat dengan kekuatan alat bukti keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu dalam proses peradilan pidana. H. Sistematika Penelitian Penulisan skripsi ini terdiri dari tiga bab dan setiap bab memiliki sub bab yang akan memberikan penjelasan yang relevan dengan pembahasan, secara garis besar sistematika penulisan hukum ini terdiri dari : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Batasan Konsep, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian.

16 BAB II KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI PENYANDANG DISABILITAS TUNA RUNGU DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Bab kedua ini dimulai dengan menjelaskan mengenai Alat Bukti Keterangan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana yang di dalamnya membahas mengenai pengertian dan jenis alat bukti, pengertian keterangan saksi dan syarat saksi dan fungsi alat bukti keterangan saksi dalam proses peradilan pidana. Selanjutnya dalam bab ini membahas mengenai Penyandang Disabilitas Tuna Rungu yang di dalamnya berisikan pengertian, jenis-jenis serta istilah penyandang disabilitas tuna rungu, faktor penyebab tuna rungu, hak-hak penyandang disabilitas tuna rungu serta persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas tuna rungu sebagai saksi dalam proses peradilan pidana serta kebutuhan penyandang disabilitas dalam proses peradilan pidana. Dibahas pula mengenai Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Penyandang Disabilitas Tuna Rungu yang mana menjelaskan mengenai kekuatan keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu, faktor yang mempengaruhi nilai kekuatan keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu, proses keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu dan fungsi penerjemah bahasa isyarat terhadap keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu dan kekuatan pembuktiannya. Akhir pembahasan membasah Dinamika Pemeriksaan Penyandang Disabilitas Tuna Rungu yang menguraikan kasus yang dialami penyandang disabilitas tuna rungu, analisis kasus, kesulitan dalam pemeriksaan penyandang disabilitas tuna

17 rungu serta revitalisasi system pembuktian perspektif perlindungan penyandang disabilitas. BAB III PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari penulis setelah melakukan penelitian hukum sebagai jawaban dari permasalahan.