The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

THE JUDICIAL REVIEW PROPERTY RIGHTS CITIZENS WHO MARRY FOREIGNERS IN INDONESIA BASED ON LAW NUMBER 5 OF 1960 ON THE BASIC REGULATION OF AGRARIAN

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 69/PUU-XII/2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai

BERSAMA PERCA INDONESIA DUKUNG IKE FARIDA DI MAHKAMAH KONSTITUSI (a Judicial Review for Mix Marriage Couple)

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGATURAN DAN MANFAAT PEMBUATAN POST-MARITAL AGREEMENT DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

BAB I PENDAHULUAN. Pelaku perkawinan campuran merasa dirugikan oleh sejumlah ketentuan

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

Lex Administratum, Vol. V/No. 5/Jul/2017. Kata kunci: Penyelesaian sengketa, harta bersama, agunan, perceraian.

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 69/PUU-XIII/2015

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA DALAM AKTA PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT OLEH NOTARIS BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN (Studi Kasus di Desa Mojopilang Kabupaten Mojokerto)

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB II PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

PERJANJIAN PRANIKAH DAN AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. mengenai nasabah serta dana yang disimpannya dari pihak-pihak yang dapat

PEMISAHAN HARTA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN UNTUK MENGHINDARI KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK OLEH ORANG ASING

SURAT PERJANJIAN KAWIN ADAT DAYAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA *)

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. Group, Jakarta, 2012, hlm Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, ctk. Pertama, Kencana Prenada Media

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM. sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah SWT telah menghiasi alam semesta ini dengan rasa cinta dan kasih

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 101/PUU-XV/2017 Peralihan Hak Milik atas Tanah

Dilema Penegakan Hukum Putusan MK No.69/PUU-xii/2015 (Persoalan Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin)*

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Transkripsi:

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords: perjanjian perkawinan; perkawinan campuran; putusan Mahkamah Konstitusi Abstrak Perkawinan merupakan suatu yang sakral, yang tidak boleh digunakan hanya sekedar untuk memenuhi hubungan biologis saja. Hal ini sesuai yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan (UUPerkawinan), bahwa: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan akan menimbulkan akibat terhadap harta kekayaan yang diperoleh baik sebelum maupun selama perkawinan berlangsung. Akibat terhadap harta kekayaan ini mulai timbul persoalan manakala perkawinan tersebut menyangkut perkawinan yang berbeda kewarganegaraannya, yaitu antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara Asing (WNA), yang di dalam UUPerkawinan disebut perkawinan campuran. Persoalannya adalah bahwa pasangan perkawinan campuran tersebut tidak membuat perjanjian perkawinan, yang terkait dengan kepemilikan harta kekayaan bersama oleh pasangan WNI, yang berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UUPA bahwa seorang perempuan WNI yang kawin dengan WNA tidak dapat membeli tanah, atau bangunan dengan hak milik ataupun HGB. Berdasarkan hal tersebut maka perempuan WNI yang melakukan perkawinan campuran mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana keberlakuan dan implementasi perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengkaji keberlakuan dan implementasi perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Metode pendekatan yang digunakan yaitu metode yuridis normatif. Bahan penelitian terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Spesifikasi penelitian merupakan penelitian deskripsi-analitis. Teknik penarikan sampel menggunakan metode purposive sampling, alat penelitian berupa studi kepustakaan. Analisis data menggunakan analisa kualitatif, dengan menggunakan metode induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perjanjian perkawinan dapat mulai berlaku sejak dilangsungkannya perkawinan atau dapat pula ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian kawin. Implementasi perjanjian perkawinan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu dibolehkannya membuat perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan atau sepanjang perkawinan, maka terpisahnya harta dapat terjadi pada saat perjanjian perkawinan itu dibuat atau pada saat perkawinan dilangsungkan (sesuai kehendak suami isteri yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan). ISSN 2407-9189 79

1. PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu yang sakral, yang tidak boleh digunakan hanya sekedar untuk memenuhi hubungan biologis saja. Hal ini sesuai yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan); Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan, bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum agama dan kepercayaan masing-masing [4]. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi, maka antara negara satu dengan lainya dengan mudah dijangkau dapat melakukan suatu hubungan antar negara, sehingga banyak warga negara asing (WNA) yang dengan mudahnya masuk ke Negara Indonesia, untuk melakukan berbagai aktivitas. Tidak sedikit WNA yang melakukan perkawinan di Indonesia dengan warga negara Indonesia (WNI). Perkawinan ini dikenal dengan istilah perkawinan campuran. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57 UU Perkawinan). Perkawinan campuran ini menarik untuk dibahas yang terkait dengan kepemilikan harta benda dalam perkawinan, khususnya terhadap kepemilikan atas benda tidak bergerak oleh WNA. Berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, dalam Pasal 21 dijelaskan bahwa WNA tidak dapat memiliki hak milik atau hak guna bangunan atas benda tidak bergerak. Hal ini menurut [6] adanya kemungkinan terjadinya penyelundupan hukum yang dilakukan oleh WNA untuk memiliki properti dengan status hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) dengan cara meminjam nama perempuan WNI yang kemudian dinikahi oleh pria WNA tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 berawal dari permohonan judicial review yang dilakukan oleh Ike Farida yang menikah secara sah dengan WNA di Indonesia. Pengujian UU (judicial review) tersebut berkenaan dengan Pasal 21 ayat (1), ayat (3) dan Pasal 36 ayat (1) Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA); Pasal 29 ayat (1),ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Ike merasa dirugikan oleh sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Persoalan muncul ketika Ike akan membeli satu unit rusun, namun setelah dibayar lunas pihak pengembang membatalkan secara sepihak perjanjian pembelian rusun dengan alasan status suami Ike Farida seorang WNA dan Ike tidak memiliki perjanjian perkawinan dengan pisah harta. Alasan pengembang untuk tidak melakukan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB), atau akta jual beli (AJB) dengan Ike karena berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa seorang perempuan (WNI) yang kawin dengan WNA dilarang membeli tanah dan/ atau bangunan dengan Hak Guna Bangunan (HBG); pengembang menyimpulkan berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama. Jadi apabila suami isteri membeli rusun (benda tidak bergerak) dalam masa perkawinan, maka harta benda tersebut menjadi harta gono gini (harta bersama), itu artinya rusun yang dibeli 80 ISSN 2407-9189

pasangan suami isteri (perkawinan campuran) secara otomatis juga menjadi milik suami yang WNA. Padahal berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUPA maupun dalam UU Perkawinan melarangnya. Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan secara bersyarat permohonan uji materi yang diajukan oleh Ike Farida tersebut. Mahkamah Konstitusi mengabulkan Pasal 29 ayat (1),(3),(4) UU No 1 Tahun 1974, terkait dengan perjanjian perkawinan, yaitu bahwa pembuatan perjanjian perkawinan yang sebelumnya hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan saja, sekarang dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian perkawinan dapat dibuat oleh suami istri sepanjang perkawinan mereka yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasangan. Berdasarkan latar belakang dari uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan perjanjian perkawinan. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana keberlakuan dan implementasi perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Adapaun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji keberlakuan dan implementasi perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing (Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, selain merumuskan pengertian perkawinan, juga merumuskan tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57 UU Perkawinan). Adapun syarat perkawinan campuran, apabila perkawinan tersebut dilangsungkan di Indonesia maka harus dilakukan menurut hukum yang berlaku di Indonesia (Pasal 59 ayat (2)) jo Pasal 2 (syarat-syarat perkawinan) dan Pasal 6 (persetujuan untuk melangsungkan perkawinan) jo Pasal 60 (pembuktian syaratsyarat untuk dapat dilangsungkannya perkawinan campuran) UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan atas persetujuan kedua belah pihak, perjanjian mana dilakukan secara tertulis, disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan (Pasal 29 UU Perkawinan). Menurut [1] perjanjian perkawinan adalah sebuah bentuk dari perikatan, dan persetujuan kedua belah pihak yang sifatnya mengikat. Secara umum perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan calon suami istri dan pada prinsipnya pengertian perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umunya, yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian yang dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan. Perjanjian perkawinan selain diatur di dalam UU No. I Tahun 1974 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Hal-hal yang diatur ISSN 2407-9189 81

dalam ketentuan tersebut meliputi: (a.) Perjanjian kawin dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan; (b.) Bentuk perjanjian kawin adalah dalam bentuk ta lik ta lak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Biasanya bentuk perjanjian lain adalah tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan; (c.) Isi perjanjian kawin, meliputi: percampuran harta pribadi dan pemisahan harta perkawinan. Percampuran harta pribadi, meliputi: semua harta, baik yang dibawa masing-masing pihak dalam perkawinan, dan yang diperoleh masing-masing selama perkawinan; sedangkan pemisahan harta perkawinan tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga; (d.) Kewenangan masingmasing pihak untuk melakukan pembebanan atas hipotik atau Hak Tanggungan atas pribadi dan harta bersama atau harta syarikat [5]. Pasal 29 UU Perkawinan, menentukan bahwa: (a.) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut; (b.) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan; (c.) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; (d.) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan menimbulkan konsekuensi hukum yaitu para pihak yang telah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut tidak boleh melanggarnya. Jika salah satu pihak melakukan pelanggaran (ingkar janji) dapat dilakukan gugatan, baik gugatan cerai atau ganti rugi. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, secara tegas menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat diubah melainkan harus ada kesepakatan kedua belah pihak, dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. 2. METODE Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisa data dengan menggunakan pendekatan melalui dalil atau kaidah yang menjadi pedoman perilaku manusia [3]. Pendekatan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang apa yang dikaji dan diteliti dengan norma atau hukum melalui sumber hukum positif. Bahan penelitian yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer, di peroleh dari penelitian kepustakaan dengan cara mengadakan penelitian terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum primer berupa Peraturan Perundang-undangan, hukum adat, yurisprudensi dan berbagai sumber hukum lainya yang mempunyai kekuatan mengikat. Data sekunder di peroleh dari penelitian kepustakaan dengan cara mengadakan penelitian terhadap bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder adalah penjelas bahan hukum primer seperti bukubuku ilmu hukum, jurnal hukum, prosiding, artikel ilmiah (makalah seminar), artikel hukum dari media cetak maupun elektronik. Teknik sampling atau penetapan sampel yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode non random sampling/purposivesampling yaitu tidak semua unsur dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Non random sampling/purposive sampling adalah penetapan sampel berdasarkan ciri-ciri khusus yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti [2]. Penelitian ini mengambil sampel Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Perjanjian Perkawinan. 82 ISSN 2407-9189

Spesifikasi dalam penelitian ini ialah deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan secara sistematis, faktual, akurat terhadap suatu obyek yang ditetapkan untuk menemukan sifat-sifat, karateristikkarateristik serta faktor-faktor tertentu, di mulai dari faktor dan teori yang umum yang dipublikasikan terhadap data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan, dan kemudian dianalisis dalam bentuk laporan penelitian. Analisis data menggunakan analisa kualitatif, dan pengambilan kesimpulan menggunakan metode induktif. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Keberlakuan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 setidaknya membawa angin segar bagi pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan campuran, sementara pasangan tersebut pada saat melangsungkan perkawinan belum membuat perjanjian perkawinan yang mengatur tentang harta yang diperoleh selama dalam perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan penafsiran terhadap Pasal 29 UU Perkawinan, yaitu bahwa pasangan suami isteri dimungkinkan dapat mengatur ulang terhadap harta bendanya sepanjang perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 setidaknya memberi kelonggaran kepada pasangan suami isteri untuk bisa mengatur hartanya dalam suatu perjanjian perkawinan sepanjang perkawinannya, sehingga terjadi perubahan yang terkait dengan pembuatan perjanjian perkawinan. Perlu dipahami ketentuan yang mengatur tentang harta dalam perkawinan, yaitu harta benda dalam perkawinan yang diatur dalam Pasal 35 Undang-undang Perkawinan adalah pertama: harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, yang dimaksud harta benda bersama yaitu semua harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan. Kedua: harta bawaan; harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing yang berasal dari hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain, maksudnya adalah bahwa harta kekayaan yang dibawa oleh masingmasing suami isteri serta harta benda yang diperoleh masing-masing yang berasal dari hadiah/ warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Jadi jika perkawinan tersebut tidak dibuat perjanjian perkawinan yang mengatur tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan, maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (gono-gini). Namun apabila pasangan suami isteri akan membuat perjanjian perkawinan yang mengatur tentang hartanya, maka berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat dirubah, kecuali apabila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah, dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Kemudian setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015, bahwa perjanjian perkawinan selain dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, juga dapat dibuat setelah atau selama dalam ikatan perkawinan, atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian perkawinan secara tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris yang isinya dapat berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. ISSN 2407-9189 83

Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan yang mengatur mulai berlakunya perjanjian perkawinan dapat mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan atau dapat pula keberlakuannya itu ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian kawin yang dibuat oleh pasangan suami isteri tersebut. Sementara Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan mengatur bahwa perjanjian kawin mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Selanjutnya yang terkait dengan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, dapat dirubah atau dicabut berdasar atas kata sepakat sepanjang tidak merugikan pihak lain. Ketentuan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan peluang kepada pasangan suami isteri untuk melakukan perubahan ataupun mencabut perjanjian perkawinan, kendati tidak boleh merugikan pihak ketiga. Hal ini jika dicermati maka kepastian hukum adanya perjanjian perkawinan menjadi tidak ada kepastian hukumnya, karena kapan saja para pihak (suami/ isteri) dapat merubahnya atau mencabutnya. 3.2. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan tentunya akan berbeda akibat hukumnya jika perjanjian perkawinan tersebut dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Secara sederhana akibat hukum perjanjian perkawinan sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, WNI yang melangsungkan perkawinan campuran dan tidak membuat perjanjian perkawinan, maka WNI tersebut tidak dapat memiliki benda tidak bergerak dengan hak milik atau hak guna bangunan. Sebaliknya jika WNI yang melangsungkan perkawinan campuran tersebut membuat perjanjian perkawinan sebelum atau sesaat perkawinan dilangsungkan, maka WNI tersebut dapat memiliki hak milik atau hak guna bangunan, karena tidak terjadi percampuran harta dalam perkawinan. Selanjutnya implementasi perjanjian perkawinan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang menentukan dibolehkannya membuat perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan atau sepanjang perkawinan, maka terpisahnya harta dapat terjadi pada saat perjanjian perkawinan itu dibuat dan menjadi milik masing-masing atau pada saat perkawinan dilangsungkan (dibolehkan sesuai kehendak suami isteri yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan). Sehingga WNI pelaku perkawinan campuran dapat memiliki hak milik atau hak guna bangunan atas tanah. Akan tetapi jika dikaji lebih mendalam tidak sesederhana itu. Oleh karena itu perlu pemahaman lebih mendalam atas terpisahnya harta pada saat perjanjian perkawinan itu dibuat, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015; hal ini tergantung dari pasangan suami isteri, yaitu jika perjanjian perkawinan itu ditentukan berlakunya setelah dibuatnya perjanjian perkawinan, maka disini akan terdapat dua jenis harta, yaitu harta bersama sampai dibuatnya perjanjian perkawinan, dan harta terpisah setelah dibuatnya perjanjian perkawinan. Dua jenis harta tersebut akan sulit untuk membedakannya seperti misalnya kasus Ike, pemohon judicial review karena kehidupan rumah tangganya sekarang terdapat ada dua jenis harta, sebagian merupakan harta bersama sebagian lagi harta terpisah. Bagaimana kalau perkawinan mereka putus, baik karena perceraian 84 ISSN 2407-9189

ataupun karena kematian. Jika terjadi perceraian para pihak dapat membaginya sesuai kedudukan harta tersebut, kalau harta tersebut merupakan harta terpisah setelah dibuatnya perjanjian perkawinan setelah berlangsungnya perkawinan maka harta tersebut akan menjadi milik masing-masing pihak. Akan tetapi kalau harta tersebut merupakan harta bersama, maka harta bersama tersebut dibagi antara para pihak suami isteri. Hal ini suami isteri tersebut terlebih dahulu menyepati yang menjadi harta bersama sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan. Akan berbeda kalau perceraian mereka putus karena suatu kematian, maka pembagiannya juga dibedakan antara harta bersama dan harta yang terpisah. Harta bersama dibagi dua, yaitu untuk yang masih hidup dan untuk yang meninggal yang merupakan harta waris, sedangkan harta yang terpisah akan menjadi harta waris, sehingga bagian harta bersama yang meninggal dan harta harta terpisah si yang meninggal akan dijadikan satu menjadi harta waris. Pembagian harta waris ini tidak menutup kemungkinan dari pasangan perkawinan campuran tersebut melahirkan keturunan yang belum menjadi WNI. Meskipun dalam pembagian waris dilakukan menurut hukum si pewaris. Jika harta waris merupakan benda tidak bergerak, sementara ahli warisnya ada yang WNA, maka dari hasil penelitian benda tidak bergerak tersebut tidak boleh langsung dibagi dalam wujud benda tidak bergerak, akan tetapi harus dijual lebih dahulu, kemudian dibagi dalam bentuk uang (responden advokat). Oleh karena itu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tentang Perjanjian Perkawinan ini perlu pelaksanaan yang sangat hati-hati dan bijaksana, serta menurut Sari Murti (2017) disyaratkan bahwa pelaksanaan pembuatan perjanjian perkawinan harus dilakukan dengan itikat baik. Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan upaya pembaharuan hukum yang memberikan jaminan hak konstitusional bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran yang terkait dengan pengaturan harta bendanya dalam perkawinan. Perlu dipahami pula bahwa lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 atas permohonan judicial review bagi pasangan perkawinan campuran yang pada saat dilangsungkannya perkawinan tidak membuat perjanjian perkawinan. Sementara itu dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA berdasarkan asas nasionalitas bahwa WNA tidak dapat mempunyai hak milik dan HGB atas tanah (benda tidak bergerak). Jadi menurut hemat penulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 hendaknya dimaknai bahwa kebelakuannya hanya untuk pasangan perkawinan campuran yang pada saat dilangsungkannya perkawinan belum/ tidak dibuat perjanjian perkawinan. 4. KESIMPULAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tentang Perjanjian Perkawinan memberikan penafsiran terhadap Pasal 29 UU Perkawinan, yaitu bahwa pasangan suami isteri dimungkinkan dapat mengatur ulang terhadap harta bendanya sepanjang perkawinan, sehingga memberi kelonggaran kepada pasangan suami isteri untuk bisa mengatur hartanya dalam suatu perjanjian perkawinan sepanjang perkawinannya, sehingga terjadi perubahan yang terkait dengan pembuatan perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat mulai berlaku sejak dilangsungkannya perkawinan atau dapat pula keberlakuannya itu ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian kawin yang dibuat oleh pasangan suami isteri tersebut. Mahkamah Konstitusi memberi peluang kepada pasangan suami ISSN 2407-9189 85

isteri untuk melakukan perubahan ataupun mencabut perjanjian perkawinan, kendati tidak boleh merugikan pihak ketiga Akibat hukum perjanjian perkawinan sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, WNI yang melangsungkan perkawinan campuran dan tidak membuat perjanjian perkawinan, maka WNI tersebut tidak dapat memiliki benda tidak bergerak dengan hak milik atau hak guna bangunan. Implementasi perjanjian perkawinan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang menentukan di bolehkannya membuat perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan atau sepanjang perkawinan, maka terpisahnya harta dapat terjadi pada saat perjanjian perkawinan itu dibuat dan menjadi milik masing-masing atau pada saat perkawinan dilangsungkan (dibolehkan sesuai kehendak suami isteri yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan). 1974 sampai KHI), cet. I. Jakarta:Kencana. 2004. [2] Bambang Sunggono. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali, 2006. [3] Johanes Suprapto. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 2003. [4] Simanjuntak. P.N.H.,. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group. 2015. [5] Salim HS, Erlies Septiana Nurbani. Perbandingan Hukum Perdata (Comparative Law). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2015. [6] Sari Murti. Y,. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015. FH Universitas Atma Jaya. Yogyakarta. 2017. [7] Perundang-undangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Perjanjian Perkawinan. REFERENSI [1] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 86 ISSN 2407-9189