UJIAN AKHIR SEMESTER ARKEOLOGI SOSIAL Kebaya Sebagai Identitas Nasional Perempuan Indonesia Shafrina Fauzia, 140653884 a. Latar Belakang Secara etimologis identitas nasional berasal dari dua kata, yaitu identitas dan nasional. Identitas merupakan hasil konstruksi sosial. Setiap orang memiliki identitas yang dapat menunjukkan karakter dirinya masing-masing, maka dari itu identitas yang dimiliki setiap orang dapat berbeda. Dalam kehidupan sosial, manusia memiliki beberapa identitas yang digunakannya untuk bernegosiasi dan mengatur hubungannya dengan individu atau kelompok lain (Craib, 1998: 4-9). Oleh karena itu, identitas sangat mempengaruhi manusia dalam berperilaku. Identitas dapat berupa etnis, ras, nasional, agama, seksual, kelas, dan lainlain. Sedangkan kata nasional menurut KBBI berarti bersifat kebangsaan; berkenaaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Menurut H. A. R. Tilaar (2007) identitas nasional berkaitan dengan pengertian bangsa. Bangsa merupakaan komunitas dari orangorang yang menaati hukum dan institusi yang sama dalam suatu wilayah. Identitas nasional didasarkan atas kepercayaan memiliki bangsa yang sama serta memiliki atribut yang dapat menunjukkan perbedaan dengan bangsa lain. Atribut tersebut dapat berupa budaya, sejarah, bahasa, agama, wilayah, ritual, dan sebagainya. Keberadaan komunitas politik tidak dapat dipisahkan dari identitas nasional. Komunitas politik menyiratkan institusi serta hak dan kewajiban yang sama untuk semua anggota di dalam komunitas (Smith, 1991: 9). Identitas nasional selalu terbuka untuk diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsional dengan perkembangan kondisi masyarakat. Di dalam identitas nasional terdapat beberapa indikator, yaitu pola perilaku yang nampak dalam kegiatan masyarakat, berupa adat-istiadat, tata kelakuan, dan kebiasaan; lambang-lambang yang menjadi ciri bangsa dan negara, berupa bendera, bahasa, dan lagu kebangsaan; alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan, berupa bangunan, peralatan manusia, dan teknologi; serta tujuan yang dicapai suatu bangsa, berupa budaya unggul, dan prestasi di bidang tertentu. Kemunculan identitas nasional tidak dapat dipisahkan dari adanya identitas etnis. Hal tersebut dapat terlihat dari pembentukkan identitas nasional di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa sehingga memiliki banyak ragam budaya dan tradisi. Keanekaragama budaya merupakan warisan yang dimiliki bangsa
Indonesia dan harus terus dilestarikan. Salah satu warisan budaya Indonesia adalah busana tradisional. Menurut Tomlinson (2003), gaya berbusana merupakan ekspresi dari identitas kebudayaan yang menjadi kekayaan kolektif masyarakat lokal. Busana tidak hanya lagi digunakan sebagai alat pelindung tubuh, tetapi juga digunakan sebagai public image. Dengan menggunakan busana, seseorang menampilkan identitas dirinya yang ingin ditujukkan kepada orang lain. Di Indonesia kebaya ditetapkan sebagai busana nasional untuk kaum perempuan. Penetapan itu dilakukan karena kebaya dianggap busana yang paling cocok untuk mencerminkan karakter perempuan Indonesia. b. Sejarah Perkembangan Kebaya di Indonesia Kata kebaya berasal dari bahasa Arab, Cina, dan Portugis. Ketiga bangsa terebut juga memiliki kaitan dengan asal-usul kebaya. Menurut Denys Lombar dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), kebaya berasal dari bahasa Arab kaba yang berarti pakaian. Terdapat juga anggapan bahwa kata kebaya diperkenalkan oleh bangsa Portugis. Bangsa Portugis dianggap yang membawa kebaya ke Melayu. Kebaya merujuk pada atasan yang digunakan perempuan Indonesia antara abad 15 16 Masehi. Kebaya juga dianggap berkaitan dengan pakaian panjang atau lebih dikenal dengan kebaya encim yang digunakan perempuan pada masa kekaisaran Ming di Cina. Pengaruh gaya berpakain ini kemudian menyebar ke Malaka, Jawa, Sulawesi, Bali, dan Sumatera. Pada tahun 1600-an kebaya secara resmi digunakan oleh keluarga kerajaan. Terdapat dokumentasi lama kerajaan Islam Cirebon, Surakarta, dan Yogyakarta yang menunjukkan penggunaan kebaya sebagai pakaian kerajaan. Kebaya menjadi busana yang populer dan menjadi simbol perjuangan dan nasionalisme. Pada masa kolonial, kebaya tidak hanya digunakan oleh perempuan Indonesia saja, tetapi digunakan juga oleh perempuan Eropa sebagai pakaian resmi. Bentuk kebaya pada masa itu hampir sama dengan yang ada di masa sekarang, blouse ketat dengan lipatan kerah dan bukaan di bagian depan, serta menggunakan jenis kain yang semitransparan menjadi ciri khas kebaya. Penggunaan kain yang dililitkan di bagain perut atau dikenal dengan nama stagen juga menjadi ciri khas penggunaan kebaya pada masa itu. Seiring berkembangnya zaman, bahan dan model yang digunakan dalam kebaya semakin beragam. Keberagaman bahan dan model digunakan ternyata memunculkan perbedaan status dan kelas sosial. Perempuan bangswan Jawa memakai kebaya berbahan sutra, beludru, dan brokat, sedangkan perempuan Jawa yang berasal dari masyarakat biasa menggunaka kebaya berbahan katun. Untuk perempuan Eropa, kebaya yang digunakan pada siang dan malam hari berbeda. Pada siang hari mereka menggunakan kebaya katun berwarna putih dengan renda
buatan tangan, dan pada malam harinya mereka menggunakan kebaya sutra berwarna hitam. Dari segi model, perempuan Indonesia menggunakan kebaya berlengan panjang, sedangkan perempuan Eropa khususnya Belanda lebih menyukai kebaya berwarna putih dengan lengan tiga per empat yang lebih pendek. Penggunaan kebaya tidak hanya terbatas bagi perempuan Jawa saja. Perempuan di Bali juga mengenakan kebaya dalam kehidupan sehari-harinya. Tahun 1908-an Perempuan Bali diidentikan sebagai perempuan yang bertelanjang dada. Kemiskinan dan kondisi udara yang panas menjadi faktor yang menyebabkan perempuan Bali tidak menggunakan penutup dada (Putra, 2007: 33). Perempuan di Bali pada masa itu tidak malu untuk bertelanjang dada dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Akan tetapi jika sedang bersembahyang di pura, mereka menggunakan kemben dan kamben. Kemben digunakan dengan cara dililitkan untuk menutupi tubuh bagian atas, sedangkan kamben merupakan kain yang melingkar untuk menutupi tubuh bagian bawah. Kebaya mulai diperkenalkan di Bali oleh bangsa Belanda dari tahun 1991-1931. Perempuan Buleleng dianggap sebagai perempuan pertama di Bali yang mengaadopsi cara berpakain menggunakan kebaya. Penggunaan kebaya awalnya hanya dikenal dikalangan puri saja. Tetapi seiring berkembangnya zaman dan pengaruh dari penjajahan Belanda, kebaya kemudian menjadi busana yang fashionable di kalangan perempuan Bali (Jayanti, 2008: 60). Kebaya juga disepakati secara sosial sebagai busana yang digunakan untuk menghadiri berbagai upacara agama, adat, dan pesta seremonial lainnya. Secara tidak langsung, kebaya telah dilegitimasi oleh adat istiadat Bali sebagai bentuk kultural (Jayanti, 2008: 60). Bali dikenal sebagai daerah yang paling sering mengadakan upacara adat dan keagamaan. Hal tersebut menjadikan perempuan Bali harus mempunyai kebaya yang lebih banyak jika dibandingkan dengan perempuan di daerah lain. Oleh karena itu, kebaya menjadi salah satu kebutuhan yang penting bagi perempuan di Bali. Tahun 1920, muncul gerakan perjuangan nasionalis di Indonesia. Perempuan Eropa mulai berhenti menggunakan kebaya karena busana ini diidentifikasikan sebagai pakaian khas Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, kebaya digunakan sebagai pakaian tahanan dan pekerja perempuan pribumi, bukan gaun khas barat. Dalam kondisi politiknya, pakaian tradisional ini menegaskan posisi perempuan Indonesia yang membedakan diri mereka dengan perempuan Eropa yang juga menjadi tahanan perang. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa kebaya merupakan simbol sejarah budaya nasionalisme Indonesia (Aprilia A, 2013). Penetapan kebaya sebagai busana nasional bermula dari lokakarya pada tahun 1978 di Jakarta yang diikuti oleh 28 provinsi. Mulai pada masa itu, kebaya digunakan sebagai pakaian resmi dalam acara kenegaraan. Kebaya yang dimaksud merupakan kebaya kutu baru dengan motif bunga atau renda, dengan brassiere dan stagen yang terlihat dari luar, serta penggunaan batik
khas Jawa Tengah. Penataan rambut dan penggunaan aksesoris juga diperhatikan. Rambut disanggul dengan konde yang besar dan dihias dengan tusuk konde. Aksesoris yang digunakan berupa liontin, anting dengan bentuk kancing, dan sandal dengan model lowheeled. c. Penggunaan Kebaya oleh Ibu Negara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibu Negara adalah kata benda untuk menunjukkan istri kepala negara atau istri presiden. Ibu Negara bersama dengan istri para menteri memiliki tugas untuk menjalankan kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan lingkungan hidup. Selain itu, Ibu Negara harus mendampingi presiden dalam seluruh aktivitasnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam menjalankan tugasnya, Ibu Negara akan berbusana mengikuti beberapa aturan khusus, diantaranya Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1987 tentang protokol yang salah satunya mengatur penggunaan busana nasional yang harus dipakai pada acara resmi dan nonresmi. Penggunaan busana nasional menjadi penanda yang merepresentasikan petanda-petanda identitas kolektif dari tata nilai dan perilaku sosio-kultural komunitas pemakainya (Suciati dkk, 2015: 54). Foto 1. Presiden RI Soeharto dan Hj. RA. Fatimah Siti Hartinah Salah seorang tokoh Ibu Negara yang paling dikenal sangat taat dalam menggunakan busana nasional adalah Hj. RA. Fatimah Siti Hartinah atau yang biasa dikenal dengan Ibu Tien. Ibu Tien merupakan istri dari Presiden Republik Indonesia ke-2, yaitu Soeharto. Ibu Tien merupakan sosok Ibu Negara yang dapat menjadi teladan. Ibu Tien merupakan perempuan Jawa keturunan Mangkunegara yang memiliki aturan dalam bersikap, berbicara, dan berbusana. Busana menjadi salah satu penentu dalam melegitimasi kekuasaan. Keadaan itu menjadi pertimbangan dalam pemilihan busana yang indah. Tujuan utama berbusana dalam kelas priyayi tidak hanya untuk pelindung tubuh, tetapi juga untuk menunjukkan
tingkat yang lebih tinggi, yaitu sebagai pertunjukkan atau pameran, serta pemberi nilai kepantasan (Yuastanti, 2016: 566). Karena adanya tujuan-tujuan tersebut, Ibu Tien selalu berpenampilan anggun, menggunakan kebaya, selendang dan berkonde dalam setiap kegiatannya. Dalam menjalankan tugasnya, Ibu Tien memilih menggunakan busana nasional yaitu kebaya. Kebaya yang selalu dipakai oleh Ibu Tien adalah kebaya kutu baru. Ciri model kebaya yang muncul pada abad ke-18 ini adalah secarik kain yang menghubungkan lipatan kebaya sisi kiri dan kanan di bagian dada. Kain tersebut mencerminkan kesederhanaan si pemakai. Dalam pemakaiannya, kebaya ini biasanya ditambahkan dengan kain yang dililit di bagian perut atau stagen. Ibu Tien sering menggunkan kebaya dengan motif bunga-bunga. Dalam filosofi Jawa, motif bunga-bunga dapat berarti kebahagiaan. Pemilihan warna kebaya juga perlu diperhatikan. Pada acara kunjungan kenegaraan dari luar negeri, Ibu Tien sering menggunakan warna ungu, biru, hijau, dan kuning. Pada acara resmi, warna yang sering digunakan adalah warna-warna lembut, seperti merah muda dan jingga. Sedangkan untuk acara sosial, Ibu Tien sering menggunakan warna-warna gelap, seperti merah marun dan coklat (Yuastanti, 2016: 568). Foto 2. Ibu Tien Berkebaya Penggunaan kebaya oleh Ibu Tien tidak hanya menjadi kewajiban yang harus dilakukan karena semata-mata sudah ditetapkan dalam sebuah aturan. Ibu Tien berusaha menciptakan harmonisasi dan keteladanan bagi masyarakat Indonesia melalui gaya berbusana. Ibu Tien mempunyai posisi sosial yang tinggi untuk mempengaruhi penggunaan kebaya bagi seluruh perempuan Indonesia, sehingga kebaya dapat diaplikasikan terhadap perempuan Indonesia sebagai identitas yang dibentuk oleh negara. Kebaya yang digunakan Ibu Tien memiliki identitas dan pesan yang ingin disampaikan. Hal tersebut dikarenakan busana merupakan media yang ampuh untuk membangun citra diri atau self-image. Pemerintahan Orde Baru cenderung melakukan dominasi dengan cara memunculkan pentingnya peran perempuan dalam masyarakat. Melalui busana, Orde Baru mendorong penampilan untuk membentuk sebuah kostum nasional sebagai karakter bangsa yakni berupa kebaya dan kain. Penetapan kebaya sebagai busana nasional Indonesia memiliki beberapa tujuan, yaitu (1) alat perekat bangsa, demi menciptakan rasa kesatuan bangsa Indonesia sehingga mampu mempertahankan kebudayaan asli bangsanya dalam menciptakan identitas perempuan Indonesia dan nasionalisme negara, (2) identitas negara, (3) semangat
nasionalisme, nasionalisme yang dimaksud adalah rasa cinta dan bangga terhadap tanah air (Yuastanti, 2016: 573). d. Peran Kebaya dalam Memunculkan Identitas Perempuan Indonesia Nasionalisme tidak selalu berkaitan dengan politik, etnis, dan geografis yang menjadi faktor pembentuk identitas suatu bangsa, namun juga konvensi atas simbol-simbol. Rebecca Earle menjelaskan bahwa pakaian bisa memainkan peran simbolis dalam penyebaran kesadaran kaum nasionalis. Meskipun kebaya berasal dari etnis Jawa, tetapi nilai yang ada di balik kebaya dapat mewakili sifat atau karakter yang dimiliki perempuan Indonesia. Kebaya sudah dikenal memiliki nilai estetis yang tinggi. Perempuan yang menggunakan kebaya dapat terlihat lebih anggun dan feminim. Kebaya dapat mengubah penampilan seorang wanita menjadi lebih berbeda dari biasanya. Selain berkaitan dengan nilai estetis, kebaya juga memiliki nilai sosial. Gaya berbusana dengan menggunakan kebaya dapat menjadi pembelajaran bagi wanita untuk berpakaian rapi, pantas, dan senantiasa menjaga kehormatannya. Busana kebaya juga tidak dapat dipisahkan dari citra kepribumian yang dimiliki bangsa Indonesia. Kebaya bukan hanya sekedar pakaian, namun sebuah simbol yang dapat mewakili seluruh perempuan Indonesia. Bentuknya yang sederhana merupakan wujud kesederhanaan perempuan Indonesia yang mewakili nilai-nilai kepatuhan, kehalusan, dan perilaku wanita yang serba lembut. Nilai-nilai yang dimiliki kebaya menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima dan mengakui kebaya sebaga busana nasional Indonesia. Peran tokoh publik seperti Ibu Negara semakin memperkuat nilai kebaya sebagai representasi dari perempuan Indonesia. Maka dari itu, semakin berkembangnya zaman penggunaan kebaya tidak ditinggalkan. Model kebaya terus berubah mengikuti perkembangan zaman, tetapi nilai yang terkandung di dalamya tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi pemakainya, khususnya bagi perempuan Indonesia. e. Kesimpulan Setiap orang pasti memiliki identitasnya masing-masing. Identitas dapat menujukkan karakter yang dimiliki oleh seseorang. Identitas nasional merupakan salah satu bentuk identitas yang didasari atas rasa nasionalisme atau kebangsaan. Identitas tersebut muncul karena adanya kepercayaan memiliki bangsa yang sama serta memiliki atribut yang dapat menunjukkan perbedaan dengan bangsa lain. Kemunculan identitas nasional tidak dapat dipisahkan dari adanya identitas etnis. Hal tersebut dapat terlihat dari pembentukkan identitas nasional di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keberagaman warisan budayanya. Salah satu bentuk warisan budaya Indonesia adalah busana tradisional.
Busana memainkan peran penting dalam membentuk identitas suatu kelompok. Busana dapat menjadi media yang efektif untuk menampilkan citra diri seseorang. Kebaya merupakan busana yang sudah ditetapkan menjadi busana nasional Indonesia. Sejarah perkembangan kebaya menunjukkan bahwa busana tersebut tidak hanya digunakan sebagai alat pelindung tubuh, tetapi juga sebagai alat aktualisasi diri. Hal tersebut dapat terlihat pada masa penjajahan, dimana para tahanan perempuan Indonesia menolak menggunakan pakaian yang disediakan dan lebih memilih menggunakan kebaya. Perempuan pada masa itu sudah menyadari pentingnya memiliki simbol yang dapat membedakan diri mereka dengan bangsa lain. Penggunaan kebaya tidak hanya terbatas bagi perempuan Jawa saja, tetapi juga digunakan di wilayah lain. Penggunaan kebaya di Bali mengubah cara hidup perempuan di sana. Mereka yang awalnya dianggap liar karena bertelanjang dada berhasil mengubah cara pandang orang luar dengan menggunakan kebaya. Kebaya sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bali. Penggunaan kebaya sebagai identitas nasional perempuan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran Ibu Negara. Ibu Negara menjadi tokoh perempuan yang dipandang dan dapat menjadi panutan bagi perempuan di negaranya. Oleh karena itu ketika kebaya digunakan sebagai busana resmi Ibu Negara, masyarakat semakin menyadari bahwa kebaya adalah salah satu identitas yang mereka miliki. Di luar dari segala kepentingan politik yang ada, penggunaan kebaya oleh Ibu Negara menjadi sesuatu yang dapat dicontoh oleh perempuan Indonesia. Nilai-nilai yang ada di dalam kebaya memunculkan daya tarik tersendiri untuk menggunakannya. Kebaya dianggap memiliki nilai-nilai yang sangat sesuai dengan karakter perempuan Indonesia. Oleh karena itu, kebaya dengan mudah dapat diterima dan dikenal luas sebagai identitas nasional perempuan Indonesia.
Daftar Referensi Alazemi, Enias. 2013. The Role of Design in the Construct of National Identity of Kuwaiti Women in the 21 st Century. Thesis for the Degree of Doctor of Philosphy. University of Southampton. Crane, Diana. 2000. Fashion and Its Social Agendas: Class, Gender, and Identity in Clothing. Chicago dan London: University of Chicago Press. Dwi, Putu Setia Aprilia, dkk. 2015. Kebaya sebagai Media Presentasi Diri Perempuan Bali di Kelurahan Ubud, Gianyar. Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Politik Universitas Udayana. http://ojs.unud.ac.id. Leve, Lauren. 2011. Identity. Current Anthropology, Vol. 52, No. 4, hal. 513-535. Meskell, Lyyn dan Robert W. Pruecel. 2007. A Companion to Social Archaeology. Inggris: Blackwell Publishing Ltd. Pentasari, Ria. 2007. Chic in Kebaya. Jakarta: Erlangga. Smith, Anthony D. 1991. National Identity. London: Penguin Books. Suciati, dkk. 2015. Nilai Feminitas dalam Desain Busana Kebaya Ibu Negara. Ritme, Vo. 1, No.1, hal. 52-59. Yuastanti, Erika. 2016. Gaya Busana Siti Hartinah Soeharto sebagai Ibu Negara Indonesia Tahun 1968-1996. AVATARA, Vol. 4, No. 2, hal. 563-577. http://www.expat.or.id/info/kebayatraditionaldress.html, diakses pada 6 November 2016. http://indonesiapositif.com/kebaya-busana-ratusan-tahun-nusantara/, diakses pada 26 Desember 2016. http://fashion-history.lovetoknow.com/clothing-types-styles/kain-kebaya, diakses pada 26 Desember 2016.