Kearifan Lokal dalam Menjaga Kelestarian Hutan: Kajian Awal pada Masyarakat Banten dan Jawa Barat

dokumen-dokumen yang mirip
hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT

REUSAM KAMPUNG BENGKELANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : TAHUN 2010

REUSAM KAMPUNG KALOY. No : Tahun 2010 TENTANG PERATURAN KAMPUNG (REUSAM) TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM / ADAT MERAGREH UTEN

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan yang berada di sebuah desa atau kota harus dilestarikan oleh

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 51 TAHUN 2003 SERI C NOMOR 6

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN DAN PERLINDUNGAN SEMPADAN SUNGAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

BUPATI MALINAU PROVINSI KALIMANTAN UTARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN POHON DAN TAMAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENERTIBAN PENEBANGAN POHON DAN BAMBU DI LUAR KAWASAN HUTAN

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 03 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR : 7 Tahun 2000 SERI : B NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR : 07 TAHUN 2000 TENTANG

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan

PERATURAN DESA.. KECAMATAN. KABUPATEN... NOMOR :... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 21 TAHUN 2001 SERI D.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 1 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN NAMA JALAN

NOMOR 28 TAHUN 1985 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG

Transkripsi:

Kearifan Lokal dalam Menjaga Kelestarian Hutan: Kajian Awal pada Masyarakat Banten dan Jawa Barat Dr. Ali Akbar Faculty of Humanities, University of Indonesia ali.akbar@ui.ac.id Abstract The destruction of an environment, in particular forest, has now been fast and uncontrollable. Various efforts have been done to protect forest in order that it can be used for the present needs and heritage for the future. One of the efforts is by implementing the high values which have been done by several communities in Indonesia and this is proved effective to conserve the forest. Baduy and Kampung Kuta communities have issued the forbidden or sacred forests in their areas of settlements. This rule is strongly believed and has been their tradition taught from generation to generation. Although these rules are not in the written texts, the rules are obeyed more by the communities than the positive laws implemented by the Government. This research, furthermore, shows that the communities determining their forbidden forest do not know the Government regulations in term of constitutions and Presidential, Ministerial and Directorate General regulations. The community of Kampung Kuta protects their forest due to the communities culture teaching them to protect their forest instead of being obliged or instructed by the Government. Due to such a strong attention to conserving their forest, President Republic of Indonesia has awarded the community a Kalpataru Honor as the Environmental Keeper. Such traditions can be references or inputs to prepare the rules about forest conservation in local areas or other places. Keywords: conservation, traditions, heritage, community 1. Pengantar Kerusakan dan pengrusakan lingkungan alam khususnya hutan dewasa ini semakin cepat dan tidak terkendali. Penebangan pohon di hutan yang lebih cepat dibandingkan gerakan penghijauan, penebangan liar, dan kebakaran hutan merupakan beberapa contoh penyebab berkurangnya jumlah hutan di Indonesia. Sebuah lembaga swadaya masyarakat pernah merilis angka kecepatan hilangnya hutan di Indonesia oleh berbagai sebab. Dalam waktu satu menit, hutan di Indonesia telah berkurang seluas empat kali lapangan sepakbola! Beragam upaya dilakukan untuk melestarikan hutan agar tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masa kini sekaligus juga menjadi warisan untuk generasi masa depan. Pemerintah Indonesia misalnya, telah mengeluarkan beragam peraturan mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, sampai peraturan-peraturan di tingkat daerah. Pengawasan juga dilakukan misalnya dengan membentuk satuan- 292

satuan petugas perlindungan hutan. Namun, fakta menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia tetap tidak terkendali. Mengingat hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu evaluasi di tingkat pemerintah pusat dan daerah sembari mencari cara lain untuk melestarikan hutan. Salah satunya adalah dengan menerapkan nilai-nilai luhur yang sampai saat ini masih dijalankan oleh beberapa masyarakat di Indonesia dan terbukti efektif untuk melestarikan hutan. Masyarakat Baduy di Banten dan masyarakat Kampung Kuta di Jawa Barat dapat dijadikan contoh dari masyarakat yang memiliki kearifan untuk melestarikan hutan beserta isinya. Penelitian di Baduy dan Kampung Kuta yang dilakukan penulis dalam dua tahun terakhir ini menggunakan metode pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam (in depth interview) dan studi kepustakaan. Wawancara mendalam bertujuan untuk mengumpulkan keterangan mengenai kehidupan manusia dan pendirian-pendirian mereka dalam suatu masyarakat dan membantu dalam metode pengamatan (Koentjaraningrat, 1991). Unit analisis dalam penelitian ini adalah masyarakat kedua kampung tersebut dengan satuan pengamatan yakni individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut (Jenskins, 1997). Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan persyaratan minimal untuk seorang informan, yakni enkulturasi penuh, keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal peneliti, non-analisis (Spradley, 1997). Informasi yang dikumpulkan antara lain terkait dengan unsur-unsur kebudayaan, misalnya sistem mata pencaharian hidup, sistem kemasyarakatan, bahasa, dan sistem religi (Koentjaraningrat, 1997). Tulisan ini mengetengahkan kearifan lokal masyarakat Baduy dan Kampung Kuta dalam bentuk pemaknaan hutan bagi kedua masyarakat tersebut. Oleh karena itu, gambaran umum kedua masyarakat tersebut akan disampaikan pula di dalam tulisan ini. Namun demikian, akan disampaikan terlebih dahulu mengenai peran yang telah dijalankan oleh pemerintah khususnya dalam bentuk peraturan setingkat undang-undang untuk mengetahui makna atau signifikansi hutan bagi pemerintah. 2. Undang-undang Terkait Pelestarian Hutan Sebagai penyelenggara negera, pemerintah Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat telah menghasilkan beberapa undang-undang terkat pelestarian hutan. Undang-undang tersebut di antaranya adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada bagian menimbang menyebutkan bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan. 293

Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi. Pasal 1 juga menjelaskan istilah-istilah lain seperti habitat, kawasan suaka alam, cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai Pasal 4 merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Di Pasal 27 disebutkan bahwa peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam mengembangkan peran serta rakyat, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan. Bagi pihak-pihak yang melanggar UU No. 5 tahun 1990 dikenakan ketentuan pidana penjara dan denda sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 40. Butir-butir pada pasal tersebut menyebutkan bahwa hukuman terberat adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000. Sementara itu, yang paling ringan adalah pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000. Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 1 menyebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pada Pasal 41 disebutkan mengenai ketentuan pidana bagi pelanggar undang-undang ini, misalnya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mungkin adalah aturan yang terkait langsung dengan hutan. Sebelum undang-undang tersebut disyahkan telah terdapat beberapa aturan tentang hutan. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63 adalah contohnya. Lalu terdapat pula Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perangkat hukum dari pemerintah sudah tersedia sejak masa kolonial Belanda dan Orde Baru. Pasal 1 undang-undang di atas menyebutkan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pasal 1 juga menjelaskan mengenai istilah-istilah seperti hutan 294

negera, hutan adat, hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Pasal 50 antara lain menyebutkan bahwa setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Setiap orang juga dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: a. 500 meter dari tepi waduk atau danau; b. 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; c. 100 meter dari kiri kanan tepi sungai; d. 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai; e. 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang; f. 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Pasal 50 juga menyebutkan bahwa tanpa izin dari pejabat yang berwenang, maka dilarang membakar hutan; menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan; menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan; membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan. Pasal 51 antara lain menyebutkan bahwa pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus berwenang untuk mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya, memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan, mencari keterangan dan barang bukti, dan menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang. Pasal 78 antara lain menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan undang-undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 menyatakan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 13 antara lain menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, serta pengendalian lingkungan hidup. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Pasal 1 antara lain menyebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Pasal 35 antara lain menyebutkan bahwa pengendalian 295

pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Ketentuan pidana pada undang-undang ini cukup banyak yakni ada 7 pasal yang masing-masing pasal terdiri atas beberapa batir. Salah satu butir dari Pasal 70 menyebutkan bahwa setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000. 3. Masyarakat Baduy di Banten Masyarakat Baduy bermukim di Kabupaten Lebak Propinsi Banten tepatnya di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar. Wilayah perbukitan tersebut berada pada ketinggian sekitar 300 600 m di atas permukaan laut dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%. Istilah Baduy diduga berawal dari sebutan peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab. Masyarakat itu sendiri lebih suka menyebut diri mereka sebagai Urang Kanekes atau Orang Kanekes (Garna, 1993). Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda Banten. Masyarakat Baduy tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, religi, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam budaya lisan (oral tradition). Menurut kepercayaan yang mereka anut, Orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang manusia yang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh ahli sejarah. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 M berpusat di Pakuan Pajajaran, yakni sekitar daerah Bogor sekarang ini. Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari daerah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Van Tricht yang pernah melakukan riset pada tahun 1928 berpendapat lain. Menurutnya, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Masyarakat Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang). Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Sunda Wiwitan (wiwitan berarti asli, asal, pokok, atau jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. 296

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh Buddha, Hindu, dan Islam. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Baduy adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Masyarakat Baduy mengunjungi lokasi yang terdapat di dalam hutan tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Masyarakat Baduy memandang hutan tempat Arca Domas berada sebagai hutan larangan. Selain tidak boleh ditebang, juga tidak boleh dimasuki oleh sembarangan orang. Pemberian makna terhadap hutan inilah yang menyebabkan hutan di Baduy menjadi lestari. Adapun pihak-pihak yang melanggar ketentuan tersebut akan mendapat hukuman berupa pengucilan. Meskipun tanpa hukuman denda atau penjara, namun ternyata pengucilan sangat efektif sehingga tidak ada yang berani melanggarnya. Ketentuan lisan tersebut dipatuhi oleh masyarakat Baduy dari generasi ke generasi. Inti kepercayaan masyarakat Baduy ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari (Garna, 1993). Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) adalah konsep "tanpa perubahan apapun" atau perubahan sesedikit mungkin: Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bamboo yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Kelompok tangtu dikenal sebagai Baduy Dalam yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga di Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Orang Baduy Dalam pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Luar mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, yaitu di Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam) (Permana, 2001). Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan pemerintah Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu puun. Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Orang Kanekes menjual hasil bumi melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar yang terletak di luar wilayah Kanekes. 297

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Sebagai tanda pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi kepada Gubernur Banten melalui Bupati Kabupaten Lebak. Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun, demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing. 4. Masyarakat Kampung Kuta di Jawa Barat Secara administratif, Kampung Kuta terletak di Dusun Kuta, Desa Karang Paninggal Kecamatan Tambak Sari, Kabupaten Ciamis. Bentang alam atau permukaan tanah Kampung Kuta tidak rata karena banyak patahan yang disebabkan oleh adanya pergeseran lapisan bumi yang terjadi hingga masa sekarang. Kelerengan tanah di Kampung Kuta ada yang mencapai 180. Kampung ini dikelilingi oleh bukit dengan ketinggian 30 40 meter. Kampung Kuta memiliki batas-batas sebagai berikut: sebelah barat berbatasan dengan Kampung Margamulya; sebelah timur berbatasan Sungai Cijolang/Jawa Tengah; sebelah utara berbatasan Kampung Cibodas; sebelah selatan berbatasan Sungai Cijolang/Jawa Tengah (Pratama, 2004). Kampung Kuta memiliki areal seluas 97 hektar, yang dalam penggunaannya terdiri dari 40 hektar untuk hutan keramat (leuweung karamat) dan sisanya dipergunakan untuk pemukiman, sawah dan ladang. Istilah kuta menurut masyarakat setempat berarti tebing atau tembok tinggi yang panjang. Kampung Kuta berarti pemukiman/kampung yang dikelilingi oleh tebing, sehingga seperti dikelilingi atau berada di kawah. Menurut legenda, manusia pertama yang mendiami Kuta bernama Amurama Raksabima Kalijaga, yang memiliki arti Ibu dan Bapak yang memelihara bumi sejagad. Mereka kemudian tidak diketahui lagi keberadaannya dan sampai sekarang yang teringat hanya namanya saja. Menurut penduduk setempat, dahulu Kampung Kuta ingin dijadikan keraton oleh Prabu Siliwangi dan kerajaan Galuh (500 M). Akan tetapi, niat tersebut tidak terlaksana, karena penduduk di Kampung Kuta pada saat itu tidak dapat memenuhi persyaratan untuk membuat keraton sebanyak 4000 domas (jiwa). Meskipun gagal, bahan-bahan bangunan untuk membuatnya sudah siap seperti batu, semen, tanah kapur, dan peralatan, serta besi. Benda-benda tersebut menurut istilah penduduk: gunung barang, kapur, dan semen masih ada sampai sekarang. Sejarah Kampung Kuta dalam masa Kerajaan Galuh dimulai dengan pengembaraan Prabu Ajar Sukaresi bersama dengan para pengawalnya untuk mencari daerah yang cocok untuk mendirikan pusat pemerintahan. Akhirnya, Prabu Ajar Sukaresi menemukan suatu daerah yang terletak di tepi sungai yang bernama Cijolang. Menurut pengamatan awal Prabu Ajar Sukaresi, daerah tersebut merupakan tempat yang cocok untuk mendirikan pusat pemerintahan. Sebelum mendirikan pusat pemerintahan, Prabu Ajar Sukaresi memerintahkan pengawalnya untuk mendirikan tempat peristirahatan sementara. Prabu Ajar Sukaresi 298

lalu meneliti dengan seksama daerah di sekeliling Sungai Cijolang, terutama daerah di seberang tepi Sungai Cijolang yang terletak di sebelah barat. Setelah mengamati dengan seksama, Prabu Ajar Sukaresi memerintahkan para pengawalnya untuk membongkar tempat peristirahatan sementara dan segera pindah ke sebelah barat tepi Sungai Cijolang untuk mulai membuka daerah yang akan jadi pusat pemerintahan. Prabu Ajar Sukaresi dan para pengawalnya kemudian sampai di daerah yang dianggap sesuai sebagai pusat pemerintahan. Ia ternyata menyadari bahwa daerah tersebut dikelilingi oleh tebing-tebing yang tinggi dan beranggapan bahwa daerah tersebut tidak dapat berkembang dan sulit untuk meluaskan kekuasaan. Segala persiapan yang telah dilaksanakan terpaksa dibatalkan dan daerah tersebut ditinggalkan. Ia bersama pengawalnya lalu melanjutkan pengembaraan untuk mencari daerah yang cocok untuk berdirinya pusat pemerintahan. Mengenai Kampung Kuta sendiri setelah ditinggalkan oleh Prabu Ajar Sukaresi tidak diketahui kelanjutan ceritanya. Saat ini, terdapat beberapa peninggalan yang dianggap sebagai tempat keramat oleh masyarakat Kampung Kuta dan merupakan sisa dari peninggalan Kerajaan Galuh ketika akan mendirikan pusat pemerintahan di Kampung Kuta. Tempat keramat tersebut, yaitu: hutan keramat, Gunung Wayang, Gunung Pandai Domas, Gunung Barang, dan Gunung Batu Goong. Hutan keramat (leuweung karamat) merupakan kawasan hutan lindung yang dikeramatkan. Letak hutan ini berada di selatan Kampung Kuta dengan luas hampir separuh Kampung Kuta yakni 40 hektar. Selain hutannya sendiri yang dikeramatkan, di dalamnya juga terdapat danau kecil yang disebut dengan sebutan kawah. Cara atau bentuk penghormatan terhadap hutan keramat ini dilakukan dengan memberlakukan sejumlah tabu atau pantangan bagi siapapun yang masuk ke hutan keramat. Tabu apabila dilanggar akan mendapat bencana. Tabu yang harus dipatuhi adalah tidak boleh menggunakan sandal ketika masuk ke hutan keramat, tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh buang air di hutan keramat termasuk juga tidak boleh meludah, tidak boleh membawa barang-barang elektronik, tidak boleh mengambil sesuatu apapun dari hutan keramat termasuk juga tidak boleh menebang pohonnya, pejabat tidak boleh masuk, tidak boleh mempergunakan baju hitam-hitam, tidak boleh masuk hutan ketika sedang menstruasi, tidak boleh masuk hutan kecuali hari senin dan jumat, serta harus seijin atau sepengetahuan kuncen. Keempat tempat keramat yang lain adalah Gunung Wayang, Gunung Pandai Domas, Gunung Barang, dan Gunung Batu Goong. Gunung Wayang terletak di sebelah utara Kampung Kuta. Gunung ini dikeramatkan karena terkait dengan asal-usul Kampung Kuta. Di Gunung Wayang itulah tersimpan peralatan kesenian termasuk wayang pada saat Kerajaan Galuh akan menjadikan Kampung Kuta sebagai pusat pemerintahan. Gunung Pandai Domas dikeramatkan karena di gunung ini tersimpan beberapa peralatan perang yang berasal dari besi ketika akan mendirikan pusat pemerintahan Kerajaan Galuh. Gunung Barang yang terletak di sebelah barat daya Kampung Kuta dikeramatkan karena dijadikan tempat menyimpan barang-barang yang akan dipakai untuk membuka pusat pemerintahan Kerajaan Galuh. Gunung Batu Goong yang terletak di sebelah timur laut ini dikeramatkan karena di gunung ini tersimpan gong (goong) pada saat akan mendirikan pusat pemerintahan Kerajaan Galuh. Ditetapkannya beberapa wilayah sebagai tempat keramat inilah yang menyebabkan hutan di Kampung Kuta menjadi lestari. Adapun hukuman yang 299

dikenakan pada pelanggar ketentuan itu adalah akan mendapat nasib sial, misalnya sakit dan jabatan menjadi hilang. Tidak ada ketentuan mengenai denda uang dan hukuman penjara. Dalam sistem kemasyarakatan Kampung Kuta dikenal adanya kuncen, punduh, dan ketua adat. Kuncen merupakan sistem kemasyarakatan yang berasal dari warisan leluhur. Saat ini setidaknya telah terdapat 10 kuncen atau dapat disebut telah terdapat 10 generasi. Kuncen memiliki posisi sentral sebagai pemimpin masyarakat Kampung Kuta yang dijadikan panutan baik dari tindakan maupun ucapannya. Kuncen memiliki peranan sebagai perantara dalam mengadakan komunikasi antara masyarakat Kampung Kuta dengan dengan para leluhur mereka dan menjadi penjaga hutan keramat yang dianggap sebagai tempat cikal bakal leluhur Kampung Kuta. Punduh berada di bawah Kuncen karena peranan Punduh hanya tebatas pada satu aspek saja yakni melaksanakan ritual berhubungan dengan kegiatan bertani sawah yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta. Punduh menjadi perantara antara masyarakat Kampung Kuta yang memiliki sawah dengan Dewi Sri (nyi pohaci) sebagai dewi yang menentukan gagal dan tidaknya panen. Seiring dengan perubahan sosial budaya yang terjadi, sistem kemasyarakatan yang berasal dari warisan leluhur mengalami perubahan dengan diciptakannya ketua adat dan wakil ketua adat. Penciptaan jabatan tersebut terjadi ketika Kampung Kuta akan dianugrahi Kalpataru pada tahun 2002. Presiden Republik Indonesia menganugrahkan piala tersebut kepada masyarakat Kampung Kuta sebagai Penyelamat Lingkungan. Tuntutan harus adanya perwakilan dari Kampung Kuta untuk menerima Kalpataru membuat jabatan ketua adat itu lahir. Mata pencaharian utama masyarakat Kampung Kuta adalah bertani dan berladang. Hasil dari pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta adalah padi, kacang. jagung, dan palawija. Masyarakat Kampung Kuta menjualnya ke pedagang kulakan di kecamatan Rancah dan Banjar. Namun, apabila musim kemarau mereka hanya mengusahakan perladangan saja dengan hasil berupa kelapa dan pohon nira (arenga pinnata) untuk diolah menjadi gula merah. Masyarakat Kampung Kuta dalam mendirikan rumah (ngadegkeun bumi) tidak dapat seenaknya saja dalam menentukan tanah yang akan dipergunakan bagi mendirikan rumah. Sebelum mendirikan rumah, tanah yang dipersiapkan untuk mendirikan rumah akan diuji terlebih dahulu secara metafisik (diteya). Masyarakat Kampung Kuta mendirikan rumah yang semua bahannya tidak boleh mempergunakan tembok dan lantainya tidak boleh mempergunakan tegel karena hal itu sesuai dengan amanat dari leluhurnya. Atap rumah menggunakan daun dari pohon kiray (palmae sp.), dindingnya menggunakan bambu (bilik) atau triplek, lantainya menggunakan papan. Rumah di Kampung Kuta berjarak sekitar 50 cm dari permukaan tanah dengan penyangga berupa batu yang dibentuk bujur sangkar (Akbar, 2006). Masyarakat beragama Islam dan terdapat sebuah masjid di kampung ini. Masyarakat tidak menggunakan pakaian khas tertentu, tetapi menggunakan pakaian yang umum misalnya kemeja atau batik. Listrik telah masuk ke kampung ini bahkan beberapa rumah telah dipasangi antena parabola. Traktor telah digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Jalan-jalan di Kampung Kuta juga sebagian telah diaspal. 300

5. Penutup Masyarakat Baduy dan Kampung Kuta menetapkan adanya hutan larangan di areal pemukiman mereka. Aturan yang diterapkan di hutan keramat tersebut dipegang teguh dan telah menjadi tradisi yang diajarkan secara turun-temurun. Meskipun aturan tersebut tidak dinyatakan secara tertulis, namun ternyata lebih ditaati ketimbang hukum positif yang diterapkan oleh pemerintah. Bahkan, penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat yang menetapkan hutan larangan tidak mengetahui ketetapan pemerintah, baik dalam bentuk undang-undang maupun keputusan presiden, menteri, dan direktur jenderal. Masyarakat Kampung Kuta melindungi hutannya bukan karena desakan atau instruksi pemerintah, tetapi karena budaya masyarakatnya memang mengajarkan pelestarian hutan. Dalam lingkup hukum dapat dipertanyakan sampai sejauh manakah tingkat efektifitas hukum yang dibuat oleh perangkat pemerintah Republik Indonesia. Secara kasat mata dapat dijawab bahwa hukum pemerintah atau hukum positif sejauh ini masih jauh dari efektif untuk melestarikan lingkungan hidup. Oleh karena itu, larangan atau pantangan atau hukum masyarakat setempat seperti halnya di Baduy dan kampung Kuta perlu dikaji lebih dalam dan mungkin dapat diterapkan ke masyarakat lainnya karena telah terbukti efektif. Suatu prinsip di mana bentuk hukum mana pun sama pentingnya dan tidak dapat tidak harus diikutsertakan, apakah itu mengenai hukum adat, hukum agama, atau pun hukum lembaga-lembaga kenegaraan disebut pluralisme hukum (Benda-Beckman, 2001). Mungkin sudah saatnya pluralisme hukum yang dirumuskan berdasarkan kearifan lokal dapat diterapkan di Indonesia. Masyarakat Baduy dan Kampung Kuta merupakan masyarakat yang menerapkan hukum adat berupa pantangan terkait adanya hutan larangan. Pantangan atau hukum menurut kacamata kedua masyarakat tersebut terbukti efektif untuk melestarikan lingkungan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa hukum yang bersifat spesifik dan diterapkan pada lingkup wilayah yang terbatas lebih efektif dibandingkan hukum positif yang memuat hal umum. Berdasarkan penelitian ternyata masyarakat Kampung Kuta tidak mengetahui adanya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Peraturan daerah tersebut dibuat dengan mengingat pada 36 buah undang-undang dan peraturan pemerintah, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Akbar, 2008). Masyarakat Baduy dan Kampung Kuta tidak mengetahui dan tentu saja tidak bermaksud menerapkan hukum yang dikeluarkan pemerintah misalnya undang-undang. Akan tetapi, masyarakat Baduy dan Kampung Kuta sangat mengetahui dan menerapkan aturan berupa pantangan yang telah ditetapkan oleh leluhurnya. Masyarakat Baduy dan Kampung Kuta telah melakukan proses enkulturasi terkait lingkungan hidup. Enkulturasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat, norma, dan peraturan yang terdapat di dalam kebudayaan (Koentjaraningrat, 1996). Dengan demikian, peran hukum adat tidak dapat diabaikan sebagai alat untuk melestarikan lingkungan hidup. Budaya-budaya lokal tersebut mungkin dapat dijadikan acuan atau pun masukan untuk menyusun aturan mengenai pelestarian hutan di daerah atau di lokasi-lokasi yang lain. 301

Daftar Pustaka Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Januari-April 2000, hal. 47 59. Akbar, Ali (2006). Kampung Kuta Ciamis Jawa Barat: Penelitian Awal untuk Studi Etnoarkeologi Seminar Hasil Penelitian Arkeologi. Depok: FIB Universitas Indonesia Akbar, Ali (2008) Beberapa Pemikiran untuk Melestarikan Lingkungan Hidup. Studi kasus: Kearifan Lokal Masyarakat Kampung Kuta Ciamis Jawa Barat. Temu Ilmiah Psikologi Psychology Expo 2008. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Benda-Beckman, F. von (2001). Dari Hukum Primitif sampai ke Penelaahan Sosiohukum Masyarakat-Masyarakat Kompleks, dalam Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai. T.O. Ihromi (Ed.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Koentjaraningrat dan Simorangkir (Ed.). Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dan Gramedia Pustaka Utama. Jenskins, Richard (1997). Rethinking Ethnicity: Argument and Explorations, London, Routledge Koentjaraningrat (1991) Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat Koentjaraningrat (1996) Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT Rineka Cipta Koentjaraningrat (1997). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan Permana, R.C.E. (2001). Kesetaraan Gender dalam Adat Inti Jagat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Pratama, Meidia (2004). Technological Innovation, Sustainable, Agriculture in a Process of Hybridization in Colonial and Post Colonial Contact. Bandung: Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial Spradley, James (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana 302

Lampiran Peta dan Foto Peta Lokasi Penelitian Baduy. Kampung Kuta Himbauan Pelestarian Hutan di Kampung Kuta 303

304 Pemukiman Masyarakat Baduy yang dikelilingi Hutan