BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual diantara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal dimana dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang (Halim dan Abdullah, 2006: 54). Lupia & Mc Cubbins (2000) dalam Halim dan Abdullah (2006: 54) menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (principal) memilih orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Pihak lain (agent) yang dimaksud adalah pemerintah daerah. Pemerintah daerah (agent) melakukan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh principal. Hubungan principal-agent terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain. Menurut Moe (1984) yang dikutip oleh Halim dan Abdullah (2006: 56) menyatakan di pemerintahan terdapat suatu keterkaitan dalam kesepakatan- 8
kesepakatan principal-agent yang dapat ditelusuri melalui proses anggaran: pemilih-legislatur, legislatur-pemerintah, menteri keuangan-pengguna anggaran, perdana menteri-birokrat, dan pejabat-pemberi pelayanan 2.1.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.2.1. Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Menurut Halim (2004 : 15) :Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) adalah suatu anggaran Daerah yang memiliki unsurunsur sebagai berikut : rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaranpengeluaran yang akan dilaksanakan; jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka; periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh 9
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan menurut Kemendagri Nomor 23 tahun 2014. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahuna Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD. Menurut Permendagri Nomor 37 Tahun 2014. Anggaran pendapatan dan belanja daerah yang selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Selanjutnya dikatakan bahwa Pemerintah daerah bersama-sama DPRD menyusun Arah dan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memuat petunjuk dan ketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Permendagri Nomor 37 Tahun 2014 menyatakan bahwa APBD tahun 2015 disusun berdasarkan urusan dan kewenangan pemerintah daerah, sesuai dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan, dan memudahkan masyarakat mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluasluasnya tentang APBD, dengan Memperhatikan asas 10
keadilan, kepatutan, dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. APBD harus memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan, serta bagian pendapatan APBD yang digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja modal/investasi. Unsur-Unsur APBD menurut Halim (2004 : 15-16) adalah sebagai berikut: 1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci. 2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaranpengeluaran yang akan dilaksanakan. 3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun. 2.1.2.2. Struktur APBD Struktur APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/ 2006 pasal 22 ayat (1) terdiri atas 3 bagian, yaitu : pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, 11
dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah. (Permendagri 13/ 2006). Oleh karena penelitian ini menggunakan laporan APBD yang memakai format Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2014, maka APBD yang berdasarkan format tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu : pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja digolongkan menjadi 4 yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasi menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan yaitu: sumber penerimaan daerah dan sumber pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah adalah : sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas : pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang. (Halim, 2004 : 18). 2.1.2.3. Fungsi APBD terdiri dari: Fungsi APBD pada dasarnya sama dengan fungsi APBN. Fungsi APBD 12
1. Fungsi otoritasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. 2. Fungsi perencanaan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintah daerah. 4. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian daerah. 5. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperlihatkan rasa keadilan dan kepatuhan. Fungsi stabilitas memiliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. 13
2.1.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan pertanggung jawaban diperlukan kewenangan dan kemampuan yang menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. untuk menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang semakin mantap, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan penerimaan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. yaitu: Menurut Halim (2004 : 67) tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu : pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah. Sebagaimana disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, maka diharapkan tiap-tiap pemerintah daerah dapat membangun infrastruktur ekonomi yang baik di daerahnya masing-masing, guna meningkatkan pendapatannya. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah selanjutnya disebutkan PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 14
PAD bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Sumber-sumber penerimaan daerah yang dimasukkan dalam pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta Lain-lain PAD yang sah. berikut: Klasifikasi PAD berdasarkan Permendagri 13/2006 adalah sebagai pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusaahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran / cicilan penjualan. Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah 15
yang diterima, maka akan semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksnakan kebijakannya. Upaya meningkatkan kemampuan penerimaan daerah, khususnya penerimaan dari pendapatan asli daerah harus diarahkan pada usaha yang terus menerus dan berlanjut agar pendapatan asli daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat memperkecil ketergantungan terhadap sumber penerimaan dari pemerintah diatasnya (pemerintah pusat). 2.1.4. Dana Alokasi Umum (DAU) Menurut Pemendagri 13 Tahun 2006, Kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Menurut UU No. 34 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Halim (2004 : 141), Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju 16
dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity), alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil, namun kebutuhan fiskal besar, akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Pada dasarnya, dengan diberlakukannya otonomi daerah diharapkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat tentang keuangan daerah diharapkan semakin kecil (sumbangan DAU kecil), atau dengan kata lain sumber pendapatan daerah bisa bersumber pada daerah sendiri (sumbangan PAD besar). 2.1.5. Sisa Lebih Pembiayaaan Anggaran (SiLPA) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) berdasarkan Permendagri No.13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. 17
SiLPA merupakan suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan netto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. Jika SiLPA positif maka ada pembiayaan netto setelah dikurangi defisit anggaran, tetapi jika SiLPA negatif berarti bahwa pembiayaan netto belum dapat menutupi defisit anggaran yang terjadi. 2.1.6. Perilaku Oportunistik Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun. Faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik adalah kekuatan (power) dan kemampuan (ability) (Maryono, 2013). Perilaku oportunistik mengarah pada terjadinya adverse selection (menyembunyikan informasi) dan moral hazard (penyalahgunaan wewenang). Hasil penelitian Tanzi & Davoodi (1997) memberi bukti tentang perilaku oportunistik politisi dalam pembuatan keputusan investasi publik. Karena capital spending is highly descretionary, para politisi membuat keputusan-keputusan terkait dengan (1) besaran anggaran investasi publik, (2) komposisi anggaran investasi publik tersebut, (3) pemilihan proyek-proyek khusus dan lokasinya, dan (4) besaran rancangan setiap proyek investasi publik. 18
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Nama dan Tahun Sularso & Restianto & Istiqomah (2014) Fathony (2011) Nurmayanti (2008) Tinjauan Penelitian Terdahulu Variabel Penelitian Hasil Penelitian Variabel Dependen: Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran Variabel Independen: Pendapatan Asli Daerah, Selisih Lebih Pembiayaan Anggaran, Dana Alokasi Umum Variabel Dependen: Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran Variabel Independen: Pendapatan Asli Daerah, Selisih Lebih Pembiayaan Anggaran, Dana Alokasi Umum Variabel Dependen: perilaku oportunistik legislative dan perilaku oportunistik eksekutif Variabel Independen: penganggaran daerah Semakin besar jumlah PAD, jumlah SiLPA dalam APBD, dan jumlah DAU yang diterima dan dimiliki oleh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, maka akan semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) berpengaruh negatif terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Perbedaan antara perilaku oportunistik legislatif dengan perilaku oportunistik eksekutif dalam penganggaran daerah. Penyebab perbedaan itu ditinjau dari segi teori keagenan, karena adanya asimetri informasi di antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif mempunyai banyak lembaga yang membantunya serta kedudukannya sebagai pelaksana program, menyebabkannya mempunyai lebih banyak informasi dibandingkan dengan legislatif. Sedangkan legislatif mempunyai kekuasaan untuk menerima atau menolak RAPBD. Karena kelebihan yang 19
Abdullah dan Asmara ( 2006) Variabel Dependen: perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran (OL) perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran (OL). Variabel Independen: sumber pendapatan berupa pendapatan sendiri yang diukur dengan spread pendapatan asli daerah (PPAD) dimiliki masing-masing badan itu berbeda, maka perilaku oportunistik yang ditunjukkan juga berbeda. Perbedaan antara perilaku oportunistik legislatif dengan perilaku oportunistik eksekutif dalam kebijakan penganggaran daerah, Hal ini terlihat dari strategi yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan masing-masing, yaitu DPRD cenderung untuk memperbesar belanja publik (dahulu disebut belanja rutin), sedangkan eksekutif cenderung membesarkan belanja pembangunan. Legislatif sebagai agen dari voters berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD, Besaran PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif, dan APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan political corruption. 2.3. Kerangka Konseptual Perspektif keagenan menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitasnya melalui pengalokasian sumber daya. Penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumber daya, karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah. Menurut Hagen et al., 1996 (dalam Abdullah 20
& Asmara, 2006), penganggaran sektor publik merupakan proses tawar menawar antara eksekutif dan legislatif. Pengalokasian anggaran yang tidak diperhatikannya jangka waktu penetapan perubahan APBD menjadikan anggaran tidak efektif atau bahkan tidak terserap sepenuhnya saat tahun anggaran berakhir, dan berdampak pada tingginya SiLPA, dimana dana yang seharusnya dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat ternyata tidak terserap sepenuhnya. SiLPA ini memiliki pengaruh pada pengalokasian APBD periode selanjutnya, karena SiLPA akan digunakan untuk menyeimbangkan anggaran yaitu dengan menutupi pengeluaran pembiayaan. Sementara DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Untuk menyederhanakan alur pemikiran tersebut, maka kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : 21
PAD SILPA Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran DAU Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah. Erlina (2011:30), Hipotesis adalah proporsi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris. Proporsi meruapakan ungkapan atau pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal, atau diuji kebenarannya mengenai konsep atau konstruk yang menjelaskan atau memprediksi fenomena-fenomena. Dengan demikian hipotesis merupakan penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Berdasarkan kerangka konseptual diatas, maka peneliti membuat hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah PAD, SiLPA dan DAU berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. 22