BAB III PENGATURAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES DI INDONESIA. A. Tinjauan Umum Good Manufacturing Practices

dokumen-dokumen yang mirip
RUANG LINGKUP MANAJEMEN MUTU TITIS SARI KUSUMA

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan

BAB III METODE PELAKSANAAN

BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan penyusunan dan penelitian tugas akhir ini dilakukan di Usaha Kecil Menengah

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL

Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)**

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam beberapa tahun belakangan ini, media di Indonesia sangat gencar

BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 3.1 Peraturan Perundang Undangan Standar Nasional Indonesia (SNI)

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

g. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

Undang-undang Pangan No. 7/1996

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P O Sanitasi

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 58/Permentan/OT.140/8/2007 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

FORMULIR PEMERIKSAAN SARANA PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA. Kabupaten / Kota Propinsi Nomor P-IRT. Penanggungjawab :

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015

PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PADA UNIT USAHA BUDIDAYA

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 40 TAHUN 2016 TENTANG KEAMANAN PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

TATA CARA PEMERIKSAAN SARANA PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

Pengantar HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)

PENGEMBANGAN PROSEDUR DAN LEMBAR KERJA

CARA PRODUKSI PANGAN YANG BAIK UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA (IRT)

Gambaran pentingnya HACCP dapat disimak pada video berikut

BAB I PENDAHULUAN. Toko Daging & Swalayan Sari Ecco merupakan salah satu industri

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017

SISTEM STANDARDISASI NASIONAL (SSN)

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk makanan dari jasaboga. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. olahan susu. Produk susu adalah salah satu produk pangan yang sangat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

Keberadaan mikroorganisme patogen pada makanan umumnya tidak menyebabkan perubahan fisik

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN. digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad)

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah salah satu

j ajo66.wordpress.com 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG

Studi Kelayakan Unit Pengolahan Udang Putih Beku Tanpa Kepala di PT. XX Gorontalo

MAKALAH STANDARISASI MUTU PANGAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PERMENTAN/SR.130/5/2009 TAHUN 2009 TENTANG PUPUK ORGANIK, PUPUK HAYATI DAN PEMBENAH TANAH

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. keamanan makanan serta efektivitas dalam proses produksi menjadi suatu

GMP (Good Manufacturing Practices) Cara Pengolahan Pangan Yang Baik

PRAKTEK BUDIDAYA PERTANIAN YANG BAIK (Good Agricultural Practices) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK

STANDARDISASI (STD) Oleh: Gunadi, M.Pd NIP (No HP ) data\:standardisasi_gun 1

SISTEM PENGAWASAN MUTU dan KEAMANAN PANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN. Produksi. Pangan Olahan.

III. METODE PENELITIAN

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. unsur tersebut terpenuhi, maka baru dapat disebut dengan makanan sehat. 2 Karena

BAB I PENDAHULUAN I.1.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan..

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang

2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

PENDAHULUAN Latar Belakang

Lampiran 1. Daftar Angka Paling Mungkin Coliform dengan Tiga Tabung

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

Transkripsi:

BAB III PENGATURAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Good Manufacturing Practices 1. Pengertian Good Manufacturing Practices Faktor keamanan pangan berkaitan dengan tercemar tidaknya pangan oleh cemaran mikrobiologis, logam berat, dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan. 124 Untuk dapat memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman bagi kesehatan, tidak cukup hanya mengandalkan pengujian akhir di laboratorium saja, tetapi juga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, atau penerapan sistem produksi pangan yang baik Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan analisis bahaya dan titik kendali kritis atau Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). 125 Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen. 126 Dengan menerapkan CPMB diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global. 127 124 Aufa Aulia Kanza, Sukma Chaedir Umar, Mutu, Gizi, dan Keamanan Pangan https://www.academia.edu/12468426/buku_mutu_gizi_dan_keamanan_pangan (diakses pada tanggal 26 April 2016). Ibid. 126 Ibid. 127 Ibid. 55

56 Pengertian GMP berdasarkan Permentan 20/2010 Pasal 1 angka 8 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian adalah sebagai berikut: Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara Pengolahan Hasil Pertanian yang Baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak dikonsumsi. 128 Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2008 ( Permentan 38/2008 ), GMP merupakan standar yang wajib digunakan dalam suatu unit usaha pangan asal tumbuhan karena merupakan pre-requisite (persyaratan dasar) yang berkaitan dengan sistem keamanan pangan. 129 Sedangkan Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) mendefinisikan GMP sebagai cara produksi atau pengolahan yang baik, yang mencakup ketentuan/pedoman/prosedur mengenai lokasi, bangunan, ruang dan sarana pabrik, proses pengolahan, peralatan pengolahan, penyimpanan dan distribusi produk olahan, kebersihan dan kesehatan pekerja, serta penanganan limbah dan pengelolaan lingkungan. 130 Kondisi ini diupayakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang baik dari sisi kimia, fisika, maupun mikrobiologi, serta menjamin konsistensi produk baik dari segi keamanan, mutu, maupun manfaatnya. Dengan kata lain, GMP merupakan suatu alat untuk menghasilkan produk yang aman, bermutu, dan bermanfaat. 131 128 Indonesia (Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian), Op. Cit., Pasal 1 angka 8. 129 Indrie Ambarsari, Sarjana, Kajian Penerapan Gmp (Good Manufacturing Practices) Pada Industri Puree Jambu Biji Merah Di Kabupaten Banjarnegara1, (Makalah disampaikan dalam Gelar Teknologi dan Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008, Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta, 18-19 November 2008), hal. 2. 130 Ibid. 131 Ibid.

57 2. Manfaat dan Tujuan Good Manufacturing Practices GMP berisi penjelasan-penjelasan tentang persyaratan minimum dan pengolahan umum yang harus dipenuhi dalam penanganan bahan pangan di seluruh mata rantai pengolahan dari mulai bahan baku sampai produk akhir. Adanya penerapan GMP dalam industri pangan yang meliputi tahap perencanaan. 132 Pelaksanaan, perbaikan dan pemeliharaan maka perusahaan dapat memberikan jaminan produk pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi yang nantinya akan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk pangan dan unit usaha tersebut akan berkembang semakin pesat. 133 Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : 134 a) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan; b) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak; c) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secarainternasional; dan 132 Afifah Na im K, Good Manufacturing Practices (GMP) dalam Industri Pangan https://www.academia.edu/15785422/makalah_good_manufacturing_practices_gmp_dalam _Industri_Pangan_Afifah_Naim_K_H3113016_Desy_Retno_Wulan_H3113028_Ega_Sulistyonin grum_h3113034 (diakses pada tanggal 25 April 2016). 133 Ibid. 134 Triningsih Herlinawati, Op. Cit., hal. 17

58 d) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : 135 a) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; b) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan c) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya. Adapun manfaat dari penerapan GMP adalah sebagai berikut: 136 a) Menjamin kualitas dan keamanan pangan. b) Meningkatkan kepercayaan dalam keamanan produk dan prouksi. c) Mengurangi kerugian dan pemborosan. d) Menjamin efisiensi penerapan HACCP. e) Memenuhi persyaratan peraturan/ spesifikasi/sandar. f) Meningkatkan image dan kompetensi perusahaan/organisasi.. 135 Triningsih Herlinawati, Op. Cit., hal. 43. 136 Afifah Na im K, Op. Cit.

59 g) Meningkatkan kesempatan perusahaan/organisasi untuk memasuki pasar global melalui produk/kemasan yang bebas bahan beracun (kimia, fisika dan biologi) h) Meningkatkan wawasan dan pengetahuan terhadap produk. i) Menjadi pendukung dari penerapan sistem manajemen mutu. Tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik konsumen domestik maupun internasional. 137 Sedangkan tujuan khusus penerapan GMP adalah: 138 a) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; b) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan penyimpanan dan distribusi; dan c) Mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan. 137 Triningsih Herlinawati, Op. Cit. 138 Ibid.

60 Berdasarkan Permentan 35/2008, tujuan yang ingin dicapai dari penerapan cara pengolahan hasil pertanian yang baik adalah untuk : 139 a) Meningkatkan daya saing produk olahan hasil pertanian; b) Meningkatkan mutu produk olahan yang dihasilkan secara konsisten sehingga aman dikonsumsi masyarakat; c) Meningkatkan efisiensi usaha pengolahan hasil pertanian di tingkat petani/gabungan Kelompok Tani/pelaku usaha yang bermitra dengan petani; dan d) Menciptakan unit pengolahan yang ramah lingkungan. B. Perkembangan Good Manufacturing Practices 1. Sejarah Good Manufacturing Practices GMP adalah kebijakan, prosedur dan metode yang ditetapkan oleh perusahan sebagai pegangan, seperti yang bergerak di bidang pangan, untuk melaksanakan program keamanan pangan dengan baik. 140 Dapat dikatakan bahwa GMP adalah dasar untuk melaksanakan program keamanan pangan yang baik. Awal terbentuknya GMP adalah berdasarkan praktik-praktik kerja terbaik yang dilakukan industri. Karena teknologi dan praktik berubah, GMP berubah pula. 141 GMP untuk pengolahan pangan di AS tercantum di dalam Seksi 21 dari Kode Peraturan Federal, bagian 110 (21 CFR 110) yang secara umum 139 Indonesia (Persyaratan Dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan Yang Baik (Good Manufacturing Practices) ), Peraturan Menteri Pertanian tentang Persyaratan Dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan Yang Baik (Good Manufacturing Practices), Permentan No. 35 Tahun 2008. 140 I Made S. Utama, Op. Cit., hal. 1. 141 Ibid.

61 menggambarkan kebutuhan pengaturan untuk personel dan manajemen (personel dan manajemen yang terlatih baik), bangunan dan fasilitas yang dirancang dengan baik, terpelihara dan bersih, Standard operating procedures (SOPs) tertulis, serta adanya unit mutu yang independent (seperti Unit Kendali dan/atau jaminan mutu). GMPs untuk produk veterinary di AS diatur dalam 21 CFR 210-211, dan produk untuk kebutuhan medis diatur dalam 21 CFR 820. 142 Istilah GMP di dunia industri pangan khususnya di Indonesia telah diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan RI sejak tahun 1978 melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 23/MEN.KES/SKJI/1978 tentang Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB). 143 Persyaratan GMP sendiri merupakan regulasi atau peraturan sistem mutu (Quality System Regulation) yang diumumkan secara resmi dalam Peraturan Pemerintah Federral Amerika Serikat No. 520 (Section 520 of Food, Drug and Cosmetics (FD&C) Act). Peraturan sistem mutu ini termuat dalam Title 21 Part 820 of the Code of Federal Regulation), (21CFR820), tahun 1970 dan telah direvisi tahun 1980. 144 Di Indonesia, GMP dikenal dengan istilah Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) yang diwujudkan dalam peraturan pemerintah. 145 Penerapan GMP atau CPMB akan dapat membantu jajaran manajemen untuk membangun suatu sistem jaminan mutu yang baik. 146 Jaminan mutu sendiri tidak hanya berkaitan dengan masalah pemeriksaan (inspection) dan pengendalian 142 Ibid.. 143 Good Manufacturing Practices, http://www.docfoc.com/good-manufacturingpracticesdocx (diakses pada tanggal 16 Juni 2016). 144 Ibid. 145 Ibid. 146 Ibid.

62 (control) namun juga menetapkan standar mutu produk yang sudah harus dilaksanakan sejak tahap perancagan produk (product design) sampai produk tersebut didistribusikan kepada konsumen. 147 Seiring dengan berlakunya UU Pangan, maka penerapan standar mutu untuk produk pangan dan mutu di dalam proses produksi telah menjadi suatu kewajiban (mandatory) yang harus dijalankan oleh para produsen pangan. 148 Dalam UU Pangan, Bab II tentang Keamanan Pangan secara tegas telah diatur bahwa produsen produk pangan harus mampu untuk memenuhi berbagai persyaratan produksi sehingga dapat memberikan jaminan dihasilkannya produk pangan yang aman dan bermutu bagi konsumen. 149 Hal ini menjadi penting karena akan berdampak pada keselamatan konsumen pribadi dan keselamatan masyarakat umum dan juga penting bagi produsen, terutama untuk melindungi pasarnya dan terpeliharanya kepercayaan konsumen dan target penjualan/keuntungan yang ingin dicapai. 150 Jaminan mutu bukan hanya menyangkut masalah metode tetapi juga merupakan sikap tindakan pencegahan terjadinya kesalahan dengan cara bertindak tepat sedini mungkin oleh setiap orang baik yang berada di dalam maupun di luar bidang produksi. 151 Penerapan jaminan mutu pangan harus di dukung oleh penerapan GMP dan HACCP sebagai sistem pengganti prosedur inspeksi tradisional yang mendeteksi adanya cacat dan bahaya dalam suatu produk pangan 147 Ibid. 148 Ananda Gagan, Good Manufacturing Practices (Gmp) Of Food Industry Cara Produksi Makanan Yang Baik (Cpmb), http://anandagagan.blogspot.co.id/2010/03/goodmanufacturing-practices-gmp-of.html, diakses pada tanggal 16 Juni 2016. 149 Ibid. 150 Ibid. 151 Ibid.

63 setelah produk selesai diproses. 152 GMP menetapkan Kriteria (istilah umum, persyaratan bangunan dan fasilitas lain, peralatan serta kontrol terhadap proses produksi dan proses pengolahan) 153, Stándar (Spesifikasi bahan baku dan produk, komposisi produk) dan Kondisi (parameter proses pengolahan) untuk menghasilkan produk mutu yang baik. Sedangkan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) memfokuskan perhatian terhadap masalah pengawasan dan pengendalian keamanan pangan melalui identifikasi, analisis dan pemantauan terhadap titik-titik kritis pada keseluruhan bahan yang digunakan dan tahapan proses pengolahan yang dicurigai akan dapat menimbulkan bahaya bagi konsumen. 154 C. Penerapan Good Manufacturing Practices Di Indonesia Pada dasarnya semua industri yang terkait dengan makanan, obat-obatan, kosmetik, pakan ternak wajib menerapkan sejak prabrik didirikan dan proses produksi pertama dilakukan, karena penerapan GMP merupakan persyaratan dasar bagi industri tersebut beroperasi. 155 Namun karena rata-rata industri di Indonesia bermula dari UKM, yang kemudian berkembang menjadi industri besar dengan tingkat pengetahuan GMP yang terbatas sehingga acap kali penerapannya di abaikan. 156 Baru setelah ada tuntutan oleh pelanggan untuk sertifikasi GMP atau 152 Ibid. 153 Ibid. 154 Ibid. 155 Afifah Na im K, Op. Cit. 156 Ibid.

64 standar lainnya seperti ISO 22000, HACCP, BRC, IFS, dan SQF baru GMP tersebut diterapkan. 157 Cakupan secara umum dari penerapan pedoman cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT) berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor : HK. 00.05.5.1639 tahun 2003 yang diperbaharui dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: 158 1. Lokasi dan lingkungan produksi Untuk menetapkan lokasi industri perlu dipertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang diproduksinya. 2. Bangunan dan Fasilitas Bangunan dan fasilitas industri dapat menjamin bahwa pangan selama dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis dan kimia serta mudah dibersihkan dan disanitasi. 3. Peralatan produksi Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan. 157 Ibid. 158 Triningsih Herlinawati, Op. Cit., hal. 44-46.

65 4. Suplai air atau sarana penyediaan air Air yang digunakan selama proses produksi harus cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan atau air minum. 5. Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi diperlukan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan. 6. Kesehatan dan higiene karyawan Kesehatan dan hygiene karyawan yang baik dapat menjamin bahwa pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan tidak menjadi sumber pencemaran. 7. Pemeliharaan dan program hygiene sanitasi karyawan Pemeliharaan dan program sanitasi terhadap fasilitas produksi (bangunan, mesin/ peralatan, pengendalian hama, penanganan limbah dan lainnya) dilakukan secara berkala untuk menjamin terhindarnya kontaminasi silang terhadap pangan yang diolah. 8. Penyimpanan Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan baku, bahan penolong, BTP) dan produk akhir dilakukan dengan baik sehingga tidak mengakibatkan penurunan mutu dan keamanan pangan.

66 9. Pengendalian proses Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a) Penetapan spesifikasi bahan baku; b) Penetapan komposisi dan formulasi bahan; c) Penetapan cara produksi yang baku; d) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan; e) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa. 10. Pelabelan pangan Label pangan harus jelas dan informatif agar memudahkan konsumen memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk, jika diperlukan. 11. Pengawasan oleh penangungjawab pangan Seorang penanggung jawab diperlukan untuk mengawasi seluruh tahap proses produksi serta pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang bermutu dan aman. 12. Penarikan produk Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan peredaran pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau keracunan pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang

67 lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan. 13. Pencatatan dan dokumentasi Pencatatan dan dokumentasiyang baikdiperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi. 14. Pelatihan karyawan Pimpinan dan karyawan harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses pengolahan pangan yang ditanganinya agar dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman. Di Amerika Serikat terdapat Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Food and Drug Administration (FDA). FDA adalah badan yang bertugasmengatur makanan, suplemenmakanan, obat-obatan, produk biofarmasi, transfusi darah, piranti medis, piranti untuk terapi dengan radiasi, produk kedokteran hewan, dan kosmetik. FDA sebagai badan pemerintahan memiliki kekuasaan publik untuk menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan sanksi. Salah satu peraturan FDA adalah mengenai penerapan GMP. 159 Merurut peraturan FDA, empat aspek yang tercakup dalam GMP adalah perlengkapan umum, bangunan dan fasilitas, peralatan, serta pengendalian 159 Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat, https://id.wikipedia.org/wiki/badan_pengawas_obat_dan_makanan_amerika_serikat, diakses pada tanggal 2 September 2016.

68 produksi dan proses. Pemaparan penerapan GMP menurut FDA selanjutnya berdasarkan urutan berikut : 160 1. Perlengkapan Umum a) Operasi sanitasi 1) Pemeliharaan umum Bangunan, peralatan dan fasilitas fisik lainnya harus dipelihara dan dirawat sehingga selalu dalam kondisi saniter. Dengan demikian peralatan tidak menjadi sumber pencemaran. 2) Bahan pembersih dan sanitasi Sanitasi alat dan bahan yang digunakan dalam pembersihan atau sanitasi harus bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan dan harus aman jika digunakan. Bahan pembersih harus dilengkapi dengan jaminan supplier atau tes laboratorium. Bahan sanitasi dan pestisida yang bersifat toksik harus diberi tanda pengenal, disimpan di tempat yang baik sehingga tidak menyebabkan kontaminasi terhadap produk maupun permukaan yang bersentuhan dengan produk. 3) Pengendalian hama Pengendalian hama harus dilakukan dengan baik agar mencegah kontaminasi silang ke dalam produk. 4) Penyimpanan dan penanganan alat-alat pembersih yang dapat dipindahkan (portable) 160 Chindarwani, Op. Cit., hal. 38-42.

69 Peralatan portable harus disimpan di tempat yang terlindung dari kontaminasi. b) Sanitasi Pekerja 1) Pemeriksaan kesehatan Setiap pekerja harus menjalani tes kesehatan, karena pekerja dengan luka terbuka, infeksi maupun penyakit dapat menyebabkan kontaminasi mikrobiologi. Pekerja yang sakit juga harus melaporkan kondisi kesehatannya kepada pengawas (supervisor). 2) Kebersihan Setiap pekerja yang bersentuhan dengan produk pangan dan bahan pengemas harus memakai pakaian pelindung sehingga tidak menyebabkan kontaminasi. 3) Pelatihan dan pembinaan Pekerja yang bersentuhan dengan produk pangan harus memiliki tanggung jawab dan kesadaran akan kebersihan, kesehatan, kondisi saniter dan keamanan produk pangan. Mereka harus mendapatkan pelatihan dan pembinaan tentang prinsip sanitasi pekerja.

70 2. Bangunan dan Fasillitas 161 a) Lingkungan pabrik Peralatan di pabrik harus didesain dengan rapih. Kotoran dan sampah harus dibuang. Rumput liar di sekitar bangunan harus dipotong karena dapat menjadi sarang hama. Jalan, pekarangan dan area parkir harus dipelihara sehingga tidak menjadi sumber pencemaran di dalam area pengolahan. Pabrik harus memiliki fasilitas saluran pembuangan yang cukup untuk mengaliran sampah. Sistem penanganan sampah dan limbah harus dilaksanakan dengan baik sehingga tidak terjadi kontaminasi dari sampah. b) Konstruksi dan desain lokasi Kontruksi dan rancang bangun diperlukan untuk membatasi masuk, berkembang biak, dan menyebarnya bahan pencemar di lingkungan sekitar makanan yang diproduksi. Lantai, dinding dan langit-langit dibangun sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan dan dirawat. Sumber penerangan harus cukup tersedia di area mencuci tangan, ruang ganti, toilet, area pengolahan produk, area pengujian produk dan tempat pembersihan peralatan. Lampu harus memiliki penutup yang tidak mudah pecah. Fasilitas pertukaran udara yang cukup (lubang ventilai, kipas angin, blower) untuk mencegah kondensasi uap air dan bau yang dapat mencemari produk pangan. 161 Ibid.

71 c) Fasilitas toilet Toilet harus dibersihkan dan selalu dalam kondisi saniter. Toilet harus diperbaiki jika mengalami kerusakan. Pintu toilet harus dapat menutup sendiri. Pintu toilet tidak boleh membuka ke area pengolahan pangan. d) Fasilitas ruang ganti karyawan Ruang ganti karyawan adalah ruang yang memisahkan area pengolahan pangan dengan lingkungan di luar area pengolahan pangan. Ruang ganti berfungsi sebagai filter atau penyaring setiap jenis bahaya yang terbawa oleh karyawan, seperti bakteri patogen, spora bakteri, serangga, tikus dan sebagainya. Oleh karena itu, kondisi ruang ganti harus selalu bersih, terang, tidak lembab, dilengkapi dengan perangkap tikus dan alat pembunuh serangga. e) Fasilitas mencuci tangan Fasilitas cuci tangan terdiri dari air, sabun, sanitizer, dan pengering tangan yang dapat digunakan setiap saat. Setiap karyawan harus dapat mencuci tangan dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut,diperlukan petunjuk tertulis cara mencuci tangan yang mudah dipahami pekerja. Kran air didesain sedemikian rupa sehingga tidak mengkontaminasi tangan yang sudah bersih. Pekerja harus mencuci tangan sebelum bekerja, setelah keluar dari area lain dan melanjutkan produksi, maupun saat tangan terkontaminasi.

72 f) Sampah dan pembuangan limbah Sampah dan kotoran limbah harus dialirkan, dikumpulkan dan dibuang sebelum menimbulkan bau dan berpotensi menjadi penyebab kontaminasi silang. g) Penyediaan air Air yang digunakan untuk pengolahan harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan diperoleh dari sumber yang bersih. Air harus aman dan saniter. h) Pipa-pipa saluran air Pipa air harus memiliki ukuran dan desain yang baik dan dipasang dengan baik sehingga dapat mengalirkan air dengan jumlah yang cukup untuk seluruh keperluan pengolahan dan sanitasi. Pipa limbah harus dapat dilewati oleh limbah dari seluruh pabrik. Saluran limbah tidak mencemarkan produk, saluran air bersih dan peralatan. Tidak terjadi aliran silang antara pipa yang mengalirkan air bersih dan pipa yang mengalirkan air limbah. 3. Peralatan dan Perlengkapan 162 Peralatan dan perlengkapan harus didesain sesuai dengan proses produksi dan kondisi pekerja. Peralatan harus mudah dibersihkan dan tidak menyebabkan kontaminasi bahan berbahaya. Peralatan sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak beracun dan tahan korosi. Sambungan pada permukaan yang bersentuhan dengan produk harus rapat dan halus, bersih dan bebas dari 162 Ibid.

73 akumulasi sisa produk maupun kotoran yang memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme. 4. Pengendalian Proses 163 a) Bahan baku dan bahan lainnya Bahan baku maupun bahan tambahan harus diperiksa dan ditangani dengan baik. Bahan baku harus bersih dan disimpan di tempat yang baik sehingga tidak rusak dan terkontaminasi kotoran. Bahan harus bebas dari mikroorganisme pada tingkat yang aman, tidak bersifat toksik dan tidak menimbulkan penyakit. Bahan harus bebas dari aflatoksin dan senyawa toksik berbahaya sesuai ketentuan FDA. Bahan baku cair dan kering diterima dan disimpan dengan baik sehingga tidak terjadi kontaminasi. b) Proses Produksi Peralatan produksi harus selalu bersih dan saniter. Semua tahap produksi, termasuk pengemasan dan penyimpanan harus dilakukan dengan pengawasan petugas. Pengawasan proses sterilisasi, iradiasi, pasteurisasi, pembekuan, refrigerasi, pengendalian ph dan aw harus cukup dilakukan. Proses diharapkan dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan maupun mikroba patogen. Kontaminasi tidak boleh terjadi sepanjang proses produksi mekanik seperti pencucian, pengupasan, pemotongan, sortasi dan sebagainya. Pengujian suhu produk harus dilakukan selama proses berlangsung. Pengujian ph pada produk dengan kadar asam rendah (ph < 4.6) harus dilakukan untuk mencegah 163 Ibid.

74 pertumbuhan mikroorganisme patogen. Area dan peralatan produksi tidak boleh digunakan untuk kegiatan produksi bahan nonpangan (nonfoodgrade) untuk mencegah timbulnya kontaminasi. c) Penyimpanan dan distribusi Kontaminasi produk oleh benda fisik, senyawa kimia maupun mikrobiologi tidak boleh terjadi selama proses penyimpanan dan distribusi. Sedangkan dalam Permentan 35/2008, ruang lingkup persyaratan dan penerapan cara pengolahan hasil pertanian asal tumbuhan yang baik (GMP) meliputi prasarana dan sarana; proses produksi; penyimpanan; keamanan dan keselamatan kerja serta pengelolaan lingkungan; kesehatan dan kebersihan pekerja; pengawasan, pencatatan dan penelusuran balik; sertifikat; dan pembinaan : 164 1. Prasarana dan Sarana a) Lokasi b) Bangunan (Unit Prosessing) c) Fasilitas Sanitasi d) Gudang e) Mesin dan Peralatan f) Pemeliharaan Bangunan dan Sarana Kerja 164 Indonesia (Persyaratan Dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan Yang Baik (Good Manufacturing Practices) ), Op. Cit.

75 2. Proses Produksi a) Penyiapan Bahan b) Proses Pengolahan c) Pengemasan 3. Penyimpanan a) Penyimpanan bahan baku dan bahan tambahan. b) Penyimpanan Produk Olahan 4. Keamanan Dan Keselamatan Kerja Serta Pengelolaan Lingkungan a) Keamanan dan Keselamatan Kerja b) Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan 5. Kesehatan dan Kebersihan Pekerja a) Kesehatan Pekerja b) Kebersihan Pekerja 6. Pengawasan, Pencatatan, dan Penelusuran Balik a) Sistem Pengawasan dan Pencatatan b) Penelusuran Balik Melihat beberapa penerapan GMP baik di Indonesia atau pun negara lain seperti Amerika dapat dilihat bahwa penerapan ini hampir sama di tiap negaranya. GMP untuk pengolahan pangan di Amerika secara umum menggambarkan kebutuhan pengaturan untuk personil dan manajemen (personel dan manajemen yang terlatih baik), bangunan dan fasilitas yang dirancang dengan baik, terpelihara dan bersih. Hampir sama halnya dengan GMP di Indonesia yang merupakan

76 serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi suatu produk olahan antara lain mencakup lokasi, bangunan, ruang dan sarana pabrik, proses pengolahan, peralatan pengolahan, penyimpanan dan distribusi produk olahan, kebersihan dan kesehatan pekerja, serta penanganan limbah dan pengolahan lingkungan. Bila merujuk pada dua peraturan diatas yakni peraturan FDA tentang penerapan GMP di Amerika dan Permentan 35/08 tentang penerapan GMP di Indonesia maka dapat dilihat bahwa kedua hampir sama dalam menerapkan GMP di negaranya masing masing. Namun terdapat perbedaan antara kedua penerapan ini yakni penerapan GMP di Indonesia tidak hanya sampai pada penyimpanan dan distribusi saja tapi di tahap selanjutnya ada pengawasan, pencatatan, dan penelusuran balik. Dalam permentan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan, pencatatan, dan penelusuran balik adalah bahwa penerapan GMP harus diawasi baik secara internal oleh pelaku usaha dan secara eksternal oleh instansi terkait yang setiap dilakukannya pengawasan maka hasilnya di dokumentasikan dengan melakukan pencatatan kemudian akan dilakukan penelusuran balik terhadap produk yang diproduksi pelaku usaha. Sedangkan di Amerika penerapan GMP hanya sampai pada proses distribusi dari produk pangan yang dihasilkan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengaturan GMP di Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/MEN.KES/SKJI/1978 tentang Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB). Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing

77 Practices (GMP) adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen. Dalam bidang pangan hasil pertanian pengaturan mengenai GMP sendiri diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Permentan 20/2010 yang menyebutkan bahwa GMP adalah syarat dasar dalam menjaga keamanan mutu pangan. Kemudian mengenai penerapan dari GMP ini diatur dalam peraturan lainnya yakni Permentan 35/2008.

BAB IV PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP) SEBAGAI BENTUK KEAMANAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Standardisasi Mutu Pangan di Indonesia Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, standar adalah: Spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. 165 Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, yang dimaksud sebagai standardisasi adalah: Proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. 166 Standardisasi diperlukan dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan atau personel, yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang 165 Indonesia (Standardisasi Nasional), Peraturan Pemerintah tentang Standardisasi Nasional, PP No. 102 Tahun 2000, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 1 angka 1. 166 Ibid, Pasal 1 angka 2. 78

79 keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup. 167 Dalam era globalisasi, dimana Indonesia juga telah ikut serta dalam persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), tentu saja masalah standardisasi menjadi syarat pokok yang harus disepakati bersama, agar terjadi suatu kepastian terhadap kualitas produk barang/jasa yang akan diperdagangkan antar negara. 168 Standardisasi mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, tenaga kerja dan masyarakat, mewujudkan jaminan mutu produk dan/atau jasa serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mentap dan tercapainya persaingan yang sehat dalam perdagangan serta menunjang kelestarian lingkungan hidup. 169 Dengan demikian, standardisasi harus dapat mendorong para konsumen untuk meningkatkan mutu dan daya saing produksinya, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri dan tercapainya persaingan yang sehat dan perdagangan yang menunjang kelestarian lingkungan hidup. 170 Di berbagai negara di dunia hingga saat ini sudah sangat banyak standar produk yang digunakan dan telah diakui keakuratannya, sehingga disepakati untuk dijadikan standar kualitas produk yang dapat diterima oleh berbagai negara 167 Pemanfaatan Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Peningkatan Mutu Produk Perkebunan, http://disbun.jabarprov.go.id/index.php/artikel/detailartikel/59 (diakses pada tanggal 2 Juli 2016 ). 168 Ibid. 169 Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 103. 170 Ibid.

80 melalui mekanisme perdagangan dunia. 171 Standar yang berlaku di sebuah negara sering disebut standar nasional, dikeluarkan oleh badan standar masing-masing negara. Contoh di Amerika oleh American National Standards Institute (ANSI), di Jerman oleh Deutsches Institute fur Normung (DIN), dan di Inggris oleh British Standard Instiutute (BSI) dll. 172 Dalam hal ini tentu saja masing-masing negara juga telah memiliki standar produk sesuai dengan kebutuhannya. Adapun di Indonesia telah ada apa yang disebut Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu standar acuan berbagai produk yang dihasilkan di Indonesia, yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. 173 Sistem standarisasi mutu memuat kebijakan mutu, standarisasi mutu oleh instansi, cara pengendalian mutu, cara analisa dan jaminan mutu. 174 Dengan demikian standarisasi mutu yang jelas harus mempunyai spesifikasi tertentu sebagai tolak ukur kesesuaian. Definisi standarisasi mutu memiliki 6 kata kunci, yaitu : 175 spesifikasi teknis (ada persyaratan dan dapat dikerjakan); didokumentasikan oleh instansi (bukan perorangan); a) kerjasama dan konsesus dengan berbagai pihak; b) konsultasi teknis/iptek; c) pengalaman; 171 Pemanfaatan Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Peningkatan Mutu Produk Perkebunan, Loc. Cit. 172 Sulistyo Basuki, Standard dan Standardisasi : Sebuah Pengantar Sangat Singkat, https://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/10/23/standard-dan-standardisasi-sebuah-pengantar-sangat-singkat/, (diakses pada tanggal 2 september 2016). 173 Pemanfaatan Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Peningkatan Mutu Produk Perkebunan, Loc. Cit. 174 Stella Darmadi, Tinjauan Aspek Mutu Dalam Kegiatan Industri Pangan, https://www.scribd.com/doc/27853638/tinjauan-aspek-mutu-dalam-kegiatan- INDUSTRI-PANGAN (diakses pada tanggal 26 Juni 2016). 175 Ibid.

81 d) serta manfaat/relevansi di masyarakat. Standarisasi mutu dapat dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan (berkaitan dengan bisnis). Mutu baku dibagi menjadi tiga, yaitu : 176 a) Mutu baku pemerintah, mutu baku pemerintah terbagi lagi menjadi dua, yaitu sukarela (voluntary), dan wajib (mandatory, obligatory). b) Mutu baku perusahaan, mutu baku perusahaan terbagi menjadi mutu yang terkait dengan merek, terkait dengan kelas mutu dan konstelasi kelas mutu. c) mutu baku laboratorium/prototipe. Unsur-unsur pembakuan atau standarisasi adalah standarisasi persyaratan mutu, standarisasi analisa mutu, standarisasi interpretasi hasil analisa, standarisasi pengambilan contoh dan standarisasi kelembagaan. 177 Standarisasi mutu nasional adalah standarisasi yang dibuat oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan secara sektoral atau oleh departemendepartemen. 178 Untuk produk pangan yang melakukan standarisasi mutu nasional adalah Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Badan POM yang dikoordinasi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Tahap pengembangan mutu terbagi menjadi tahap pemilihan komoditas, pengumpulan data teknis, penyusunan konsep, pertemuan teknis, forum konsensus, penetapan standar, pengenalan standar, evaluasi standar, penyempurnaan standar, dan penerapan standar. 179 Format standar mutuny terdiri dari nama standar mutu, 176 Ibid. 177 Ibid. 178 Ibid. 179 Ibid.

82 ruang lingkup, definisi produk, syarat mutu, cara sampling, dan cara uji atau analisa. 180 Setiap produk mempunyai kekhasan dan identitas masing-masing serta cenderung beragam. Ketidakseragaman produk tidak disukai oleh konsumen. Oleh karena itu mutu produk dikendalikan dengan disyaratkan agar produk memberi ciri mutu dan mempunyai sifat seragam. 181 Ciri suatu industri modern adalah produk yang seragam karena adanya pengendalian proses. Pengendalian prosesnya dilakukan oleh bagian produksi bersama dengan bagian Quality Control. 182 Pengendalian proses bertujuan menekan keragaman ini ke suatu nilai yang dapat diterima baik secara teknis maupun ekonomis. Kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian proses adalah: analisis faktor yang menyebabkan keragaman, mencari penyebab keragaman, melakukan tindakan koreksi proses, memonitor dan mengevaluasi mutu secara terus menerus. 183 Kegunaan pengendalian proses adalah untuk mengenali penyebab keragaman mutu, memberi peringatan dini kesalahan proses, serta menetapkan waktu yang tepat untuk koreksi kesalahan. 184 Standardisasi mutu di bidang pertanian diberlakukan berdasarkan Peraturan MenterI Pertanian Nomor 58 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional Di Bidang Pertanian, bahwa Sistem Standardisasi Nasional 180 Ibid. 181 Ibid. 182 Ibid. 183 Ibid. 184 Ibid.

83 di bidang Pertanian yang selanjutnya disebut Sistem Standardisasi Pertanian (SSP) dalam Pasal 1 angkan 1 adalah: Tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional di bidang pertanian, yang meliputi penelitian dan pengembangan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, persiapan akreditasi, verifikasi, sertifikasi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan, serta pendidikan dan pelatihan standardisasi. 185 Standar bidang pertanian adalah Standar Nasional Indonesia yang diartikan sebagai Persyaratan Teknis Minimal (PTM). Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58 Tahun 2007, PTM adalah: Batasan terendah dari spesifiksasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tatacara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syaratsyarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan/atau pertimbangan ekonomis, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesrbesarnya yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. 186 Standardisasi bidang pertanian dimaksudkan sebagai acuan dalam mengukur mutu produk dan/atau jasa didalam perdagangan, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan pada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya saing dan kelancaran 185 Indonesi (Pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional Di Bidang Pertanian), Peraturan Menteri Pertanian tentang Pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional Di Bidang Pertanian, Permentan No 58 Tahun 2007, Pasal 1 angkan 1. 186 Ibid, Pasal 1 angkan 5.

84 perdagangan. 187 Adapun ruang lingkup pengaturannya meliputi perumusan dan penetapan standar, penerapan standar, kerjasama dan pemasyarakatan standardisasi, pembinaan dan pengawasan, penelitian dan pengembangan standardisasi serta pemberian sanksi. 188 Persyaratan Teknis Minimal (PTM) yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian diberlakukan secara wajib. Barang pertanian dan/atau jasa pertanian, proses, sistem, dan/atau personel yang telah memenuhi spesifikasi teknis standar di bidang pertanian diberikan sertifikat mutu dan/atau dibubuhi tanda SNI atau PTM. 189 Sertifikat tersebut diberikan oleh Laboratorium Penguji Mutu, Lembaga Sertifikasi, Lembaga Personel, Lembaga Pelatihan atau Lembaga Inspeksi yang telah terakreditasi atau ditunjuk. Adapun Penunjukan Laboratorium Penguji Mutu, Lembaga Sertifikasi, Lembaga Personel, Lembaga Pelatihan atau Lembaga Inspeksi tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 190 Standarisasi yang ada di pertanian meliputi Prosedur, Persyaratan, dan Kegunaannya, Metode HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Points), Good Agricultural Practices (GAP), Good Handling Practice (GHP), 187 Pemanfaatan Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Peningkatan Mutu Produk Perkebunan, Loc. Cit. 188 Ibid. 189 Ibid. 190 Ibid.

85 Good Manufacturing Practices (GMP), Good Distribution Practices (GDP), Good Retailing Practices (GRP), Good Cathering Practices (GCP). 191 B. Pengawasan Mutu Pangan Pengawasan mutu merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran produk. Industri mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengawasan mutu karena hanya produk hasil industri yang bermutu baik yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, yaitu masyarakat konsumen. 192 Seperti halnya proses produksi, pengawasan mutu didasarkan pula pada ilmu pengetahuan dan teknologi. 193 Semakin modern tingkat suatu industri, maka semakin kompleks pula ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk menangani mutu produk industri tersebut. 194 Demikian pula dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, semakin maju tingkat kesejahteraan masyarakat, maka semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat terhadap beraneka ragam jenis produk pangan. Oleh karena itu, sistem pengawasan mutu pangan yang kuat dan dinamis diperlukan untuk membina produksi dan perdagangan produk pangan. 195 191 Indah Aritonang, Standardisasi di Pertanian, http://indaharitonangfakultaspertanianunpad.blogspot.co.id/2013/10/standardisasi-di-pertanian.html, diakses pada tanggal 14 Juli 2016. Aufa Aulia Kanza, Sukma Chaedir Umar, Loc. Cit. 193 Ibid. 194 Ibid. 195 Ibid.

86 Pengawasan mutu mencakup pengertian yang sangat luas, meliputi aspek kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan perundang-undangan. Pengendalian mutu pangan ditujukan untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan tersebut. Hal ini dilakukan melalui perbaikan proses produksi (menyusun batas dan derajat toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan, perencanaan, produksi, pemasaran dan pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum untuk memuaskan konsumen (persyaratan mutu) dengan menerapkan standardisasi perusahaan atau industri yang baku. 196 Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan standar (pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian), serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji). 197 Masalah jaminan mutu merupakan kunci penting dalam keberhasilan usaha. Jaminan mutu merupakan sikap pencegahan terhadap terjadinya kesalahan dengan bertindak tepat sedini mungkin oleh setiap orang yang berada di dalam maupun di luar bidang produksi. 198 Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri) dan empathy (keramahtamahan). 199 Dalam konteks pangan, jaminan mutu merupakan suatu 196 Stella Darmadi, Loc. Cit. 197 Ibid. 198 Ibid. 199 Aufa Aulia Kanza, Sukma Chaedir Umar, Loc. Cit.

87 kegiatan menyeluruh yang meliputi semua aspek mengenai produk dan kondisi penanganan, pengolahan, pengemasan, distribusi dan penyimpanan produk untuk menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan menjamin produksi makanan secara aman dengan produksi yang baik, sehingga jaminan mutu secara keseluruhan mencakup perencanaan sampai diperoleh produk akhir. 200 Menyatakan bahwa pengawasan mutu pangan juga mencakup penilaian pangan, yaitu kegiatan yang dilakukan berdasarkan kemampuan alat indera. 201 Cara ini disebut penilaian inderawi atau organoleptik. Selain menggunakan analisis mutu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu yang makin canggih, pengawasan mutu dalam industri pangan modern tetap mempertahankan penilaian secara inderawi atau organoleptik. 202 Nilai-nilai kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya dan kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan konsumen baik kesehatan fisik yang berhubungan dengan penyakit maupun kesehatan rohani yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan juga harus dipertimbangkan. 203 Hal ini dikarenakan produk pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar. Program pengawasan pangan sebaiknya juga diintegrasikan antara inspeksi, food monitoring dan surveillance dengan pendekatan rantai pangan, lintas sektor dan difokuskan pada program prioritas. Prioritas pengawasan ini berdasarkan pendekatan risiko (risk approach). 204 200 Ibid. 201 Ibid. 202 Ibid. 203 Ibid. 204 Ibid.

88 Keterkaitan Pengawasan Mutu Pengawasan mutu merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta manajerial dalam hal penanganan mutu pada proses produksi, perdagangan dan distribusi komoditas. Oleh karena itu, pengawasan mutu bukan semata-mata tentang penerapan ilmu dan teknologi, melainkan juga terkait dengan bidang-bidang ilmu sosial dan aspek-aspek lain, yaitu kebijakan pemerintah, kehidupan kemasyarakatan, kehidupan ekonomi serta aspek hukum dan perundang-undangan. 205 Terdapat keterkaitan pengawasan mutu pangan dengan kegiatan ekonomi, kepentingan konsumen, pemerintahan dan lain-lain. Pengawasan mutu pangan di satu pihak melayani berbagai kegiatan ekonomi dan di lain pihak memerlukan dukungan pemerintah dan insentif ekonomi, serta dibutuhkan masyarakat. 206 Campur tangan pemerintah diperlukan agar mutu dapat terbina dengan tertib karena jika terjadi penyimpangan atau penipuan mutu, masyarakat yang akan dirugikan. Campur tangan pemerintah dapat berwujud kebijaksanaan atau peraturan-peraturan, terciptanya sistem standarisasi nasional, dilaksanakannya pengawasan mutu secara nasional, dan dilakukan tindakan hukum bagi yang melanggar ketentuan. 207 Kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengawasan terhadap penerapan peraturan perundangundangan pangan Codex Alimentarius Commision (CAC) disebut Food Control, sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing industri dalam 205 Stella Darmadi, Loc. Cit. 206 Ibid. 207 Ibid.

89 mengendalikan mutu dan keamanan produknya sendiri disebut Food Quality Control. 208 Pengawasan mutu juga bergerak dalam berbagai kegiatan ekonomi. Berbagai kegiatan ekonomi seperti pengawasan mutu pangan berperan dalam keseluruhan industri pertanian yang menggarap produk pangan dari industri usaha produksi bahan pangan, sarana produksi pertanian, industri pengolahan pangan dan pemasaran komoditas pangan. 209 Selain itu, pengawasan mutu pangan juga berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat dalam melayani kebutuhan konsumen, memberi penerangan dan pendidikan konsumen. 210 Pengawasan mutu pangan juga melindungi konsumen terhadap penyimpangan mutu, pemalsuan dan menjaga keamanan konsumen terhadap kemungkinan mengkonsumsi produk-produk pangan yang berbahaya, beracun dan mengandung penyakit. 211 Di tingkat perusahaan, pengendalian mutu berkaitan dengan pola pengelolaan dalam industri. Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh pimpinan perusahaan dan dijaga oleh seluruh bagian atau satuan kerja dalam perusahaan/industri. 212 Dalam industri pangan yang maju, pengendalian mutu sama pentingnya dengan kegiatan produksi. Penelitian dan pengembangan (R&D) diperlukan untuk mengembangkan sistem standardisasi mutu perusahaan maupun dalam kaitannya dengan analisis mutu dan pengendalian proses secara 208 Ibid. 209 Aufa Aulia Kanza, Sukma Chaedir Umar, Loc. Cit. 210 Ibid. 211 Ibid. 212 Ibid.

90 rutin. 213 Dalam kaitan dengan produksi, pengawasan mutu dimaksudkan agar mutu produksi nasional berkembang sehingga dapat menghasilkan produk yang aman serta mampu memenuhi kebutuhan dan tidak mengecewakan masyarakat konsumen. 214 Bagian pemasaran juga harus melaksanakan fungsi pengawasan mutu menurut bidangnya. Kerjasama, kesinambungan, dan keterkaitan yang sangat erat antarsatuan kerja dalam organisasi perusahaan semuanya menuju satu tujuan, yaitu mutu produk yang terbaik. 215 2. Pengawasan Mutu Pangan di Indonesia Pengawasan mutu pangan yang berlangsung di Indonesia dilaksankan oleh minimal empat departemen, yaitu DepartemenKesehetan, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, dan Derpartemen Perindustrian. a) Pengawasan Mutu Pangan di Departemen Kesehatan Di Departemen Kesehatan, pengawasan mutu pangan dilaksanakan oleh Direktorat Jendral POM, khususnya Direktorat Pengwasan makanan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: legalisi (hukum); perizinan (licensing); pengawasan; registrasi; dan standarisasi. Keaktifan utama adalah proses pemberian izin untuk menjual jenis makanan tertentu dan registrasi bagi makanan yang terkemes atau terolah di Indonesia. 216 213 Ibid. 214 Ibid. 215 Ibid. 216 Winarno, Op. Cit., hal. 35.

91 Hingga kini lebih dari 10.000 jenis makanan yang telah terdaftar di Depkes, dengan biaya registrasi Rp. 1000 yang berlaku untuk 5 tahun. 217 Makanan di luar makanan di atas, seperti jenis makanan jajanan dan makanan tradisi belum masuk pengawasan Dirjen POM. Sedangkan jenis makan catering berada di luar tanggung jawab Dirjen POM, tetapi masuk dalam tanggung jawab Dirjen PPm dan PLH. 218 Pengawasan tersebut dilaksanakan oleh 225 inspektur obat dan makanan keseluruh Indonesia dan keseluruh Inspektur-Inspektur tersebut lulusan farmasi. Diperkirakan kurang dari 20-30 persen waktu kerja para Inspektur tersebut digunakan untuk mengendalikan/mengawasi pangan, sisanya untuk mengendalikan/mengawasi obat. 219 b) Pengawasan Pangan di Departemen Pertanian Pengawasan pangan di Departemen Pertanian terutama dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Tanaman Pangan, Perternakan, dan Perikanan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan bertanggungjawab pada monitoring hama penyakit, registrasi pestisida, pest control, dan wend control. 220 Hingga kini ada sekitar 400 pestisida dan zat kimia lain yang diizinkan untuk pertanian yang terdaftar. Pada direktorat ini terdapat laboratorium yang relatif lengkap dari bantuan pemerintah jepang yang memiliki kapasitas manganalisa sapai 2000 sampel/tahun. 221 Akan 217 Ibid. 218 Ibid. 219 Ibid. 220 Ibid. 221 Ibid.

92 tetapi pada prakteknya jumlah analisa yang dilakukan sekitar 20-30/tahun. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga solvent (pelarut). 222 c) Pengawasan Makanan di Departemen Perdagangan Pengawasan makanan atau yang ada kaitannya dengan hal tersebut juga ditangani oleh departemen Perdagangan khususnya Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu termasuk hasil pertanian, perkebunan, hasil hutan, hasil perikanan, dan perternakan. Direktorat tersebut memiliki tugas untuk melaksanakan pengendalian mutu dari komoditi pangan yang diekspor, diimpor, atau dijual di pasaran dalam negeri. 223 Pada Direktorat tersebut terdapat 671 pusat pengujian regional dan dilengkapi dengan sebuah laboratorium pusat di Jakarta, yang didukung dengan 1.130 inspektor. Laboratorium tersebut secara rutin mengeluarka sertifikat yang juga mampu menangani analisa kimia, mikrobiologi, serta sifta-sifat fisik. 224 d) Pengawasan Makanan di Departemen Industri Departemen industri menangani industri pangan besar dan industri pangan kecil. Salah satu tugasnya adalah untuk mempertimbangkan dan memberi izin produk pangan. Kerja sama dengan Depkes dibidang ini juga telah dimulai. 225 222 Ibid. 223 Ibid, hal. 36. 224 Ibid. 225 Ibid.