BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kerangka Teoritis Kelayakan Usahatani

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemasaran 2.2 Lembaga dan Saluran Pemasaran

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORITIS. Pengertian pasar telah banyak didefinisikan oleh ahli-ahli ekonomi. Pasar

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya berupa pupuk kandang, kulit, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

II. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 64/Kpts/SR.130/3/2005 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

margin pemasaran dapat dihitung dengan rumus matematis sebagai berikut:

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Nurida Arafah 1, T. Fauzi 1, Elvira Iskandar 1* 1 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ternak ini berasal dari keturunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barangnya ke pemakai akhir. Perusahaan biasanya bekerja sama dengan perantara untuk

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93/MPP/Kep/3/2001

I. PENDAHULUAN. PT Pupuk Sriwidjaja (PT. Pusri) Unit Usaha sebagai produsen pupuk Urea, juga

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR BALI, TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. cukup luas sangat menunjang untuk kegiatan pertanian. Sebagai negara agraris yang

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

WALIKOTA PROBOLINGGO

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

BERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT

Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 1, Mei 2003 : 90-95

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

Lanjutan Pemasaran Hasil Pertanian

TINJAUAN PUSTAKA. Tomat (Lycopersicum Esculentum L. Mill.) Di Desa Bangun Rejo Kecamatan

IV. METODE PENELITIAN

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kata Kunci : Pemasaran, Ikan Gurami, Efisiensi

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

BAB II LANDASAN TEORI

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat

III. KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah

SISTEM PEMASARAN AGRIBISNIS Sessi 4

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan pertanian di Indonesia masih menghadapi berbagai

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS TATANIAGA AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

KARYA ILMIAH MAHASISWA AGRIBISNIS

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

ANALISIS PEMASARAN PUPUK BERSUBSIDI TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN SANGGAU LEDO KABUPATEN BENGKAYANG

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan globalisasi yang disertai pertumbuhan perdagangan domestik dan

: Saluran, Pemasaran, Buah, Duku, Kabupaten Ciamis

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

Transkripsi:

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pupuk Bersubsidi Pupuk bersubsidi ialah pupuk yang pengadaanya dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebtuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah. Perusahan yang memproduksi pupuk Urea, SP-36, ZA, phonska dan organik di dalam negeri ialah PT Pupuk Sriwidjaja, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Petrokimia Gresik. Distributor ialah badan usaha yang sah ditunjuk oleh produsen untuk melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan, serta pemasaran pupuk bersubsidi, dalam partai besar untuk dijual kepada konsumen akhir melalui pengecer. Sedangkan pengecer resmi ialah perorangan atau badan usaha yang ditunjuk oleh distributor yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir dalam partai kecil (Anonimous, 2015b). Menurut Melda (2008), pola distributor dan stok pemasaran dihadapkan pada faktor-fator dimana sumber produksinya mempunyai ciri-ciri produksi konstan, sedangkan penggunaan pupuk berfluktuasi dipengaruh musim, belum lagi faktor-faktor yang ada dalam masalah angkutan. Usaha-usaha maksimal terus dilakukan guna menghindari timbulnya high cost economy yang tidak dikehendaki yaitu dengan mengembangkan pola distribusi dan penyaluran dengan metode least cost distribution system atau pola distribusi

8 dengan biaya terendah dimana pola pendistribusian pupuk diatur melalui titik yang terdekat untuk mendapatkan total biaya distribusi yang paling murah. Di samping itu dilakukan trobosan dengan menggunakan jalur yang lebih menguntungkan seperti pengiriman pupuk dalam kantong dari supply point langsung ke lini II atau lini III yang memungkinkan (Melda, 2008). Anonimous (2011), menyatakan bahwa mekanisme guna menjamin distribusi pupuk bersubsidi dan mencegah terjadinya penyimpangan penyaluran di lapangan diambil kebijakan untuk menerapkan sistem distribusi pupuk bersubsidi secara tertutup dengan memepergunakan RDKK atau rencana defnitif kebutuhan kelompok tani sebagai dasar penebusan pupuk ke kios-kios resmi. Manfaat dari sistem rencana definitif kebutuhan kelompok tani ialah : 1. Mempermudah pengawasan distribusi pupuk bersubsidi. 2. Memenuhi kebutuhan dan ketersediaan pupuk bagi petani sesuai kebutuhannya. 3. Menciptakan penyaluran pupuk yang lebih efektif.

9 B. Sistem Tataniaga Khol dan Uhl (2002) mendefinisikan tataniaga sebagai suatu aktivitas bisnis yang didalamnya terdapat aliran barang dan jasa dari titik produksi sampai ke titik konsumen. Produksi adalah penciptaan kepuasan, proses membuat kegunaan barang dan jasa. Kepuasan dibentuk dari proses produktif yang diklasifikasikan menjadi kegunaan bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan. Tataniaga mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barangbarang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari produsen ke tangan konsumen termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang dimaksud untuk lebih memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya (Limbong dan Sitorus, 1987). Kegiatan tataniaga merupakan kegiatan produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat dan hak milik. Menurut Saefudin dan Hanifah (1983), lembaga tataniaga terdiri dari golongan produsen, konsumen dan pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. Dua strategi pokok meningkatkan efisiensi tataniaga yaitu : memperluas pasar komoditi dan memperkecil margin tataniaga yaitu : perluasan komoditi ditempuh dengan dua cara yaitu memperbesar permintaan konsumen akhir dan melaksanakan tataniaga tertata yaitu dengan memanfaatkan secara maksimal potensi pasar yang ada dengan mengatur penyaluran barang kedalam pasar menurut waktu, tempat, pemakaian dan golongan konsumen.

10 C. Saluran Tataniaga Menurut Kotler (2002), saluran tataniaga adalah serangkaian lembaga yang melakukan semua fungsi yang digunakan untuk menyalurkan produk dan status kepemilikannya dari produsen ke konsumen. Produsen memiliki peranan utama dalam menghasilkan barangbarang dan sering melakukan sebagian kegiatan pemasaran, sementara itu pedagang menyalurkan komoditas dalam waktu, tempat, bentuk yang diinginkan konsumen. Hal ini berarti bahwa saluran tataniaga yang berbeda akan memberikan keuntungan yang berbeda pula kepada masing-masing lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga tersebut. Saluran tataniaga dari suatu komoditas perlu diketahui untuk menentukan jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur yang dapat ditempuh. Selain itu saluran pemasaran dapat mempermudah dalam mencari besarnya margin yang diterima tiap lembaga yang terlibat. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang produsen ke konsumen. Hal ini mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan pemilikian yang memisahkan barang atau jasa dari orang-orang yang membutuhkan atau menginginkannya. Adanya jarak antara produsen dengan konsumen maka proses penyaluran produk dari produsen ke konsumen melibatkan beberapa perantara mulai dari produsen sendiri.

11 Menurut Alfi (2012), ada lima macam pola saluran distribusi yang digunakan untuk menyampaikan barang dalam dari produsen ke konsumen yaitu : 1. Produsen Konsumen Bentuk saluran distribusi yang paling sederhana, saluran ini disebut sebagai distribusi langsung. 2. Produsen Pengecer Konsumen Disini pengecer langsung melakukan pembelian pada produsen. 3. Produsen Pedagang besar Pengecer Konsumen Disini penjual hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang besar saja. 4. Produsen Distributor Pengecer Konsumen Pola saluran ini produsen memilih distributor sebagai penyalurnya yang kemudian distributor tersebut memilih sasaran penjual terutama ditujukan kepada pengecer besar. 5. Produsen Distributor Pedagang besar Pengecer Konsumen Dalam saluran ini prodsen mennggunakan distributor sebagai perantara untuk menyalurkan barangnya kepada pedagang besar dan menjualnya kepada toko-toko.

12 Panjang pendeknya saluran tataniaga menurut Saefudin dan Hanifah (1983) tergantung pada : 1. Jarak produsen dan konsumen 2. Skala produksi 3. Cepat tidaknya produksi rusak 4. Posisi keungan usaha. D. Fungsi dan Lembaga Tataniaga Menurut Lutfiarifin (2013), fungsi dan lembaga tataniaga yang bertujuan untuk menyampaikan proses penyampaian barang dan jasa. Adapun fungsi tataniaga terdiri dari tiga fungsi pokok, yaitu: 1. Fungsi pertukaran a. Penjualan : Mengalihkan barang ke pembeli dengan harga yang memuaskan. b. Pembelian : Mengalihkan barang dari penjual dan pembeli dengan harga yang memuaskan. 2. Fungsi pengadaan secara fisik a. Pengangkutan : Pemindahan barang dari tempat produksi produksi atau tempat penjualan ke tempat-tempat dimana barang tersebut akan terpakai (kegunaan tempat).

13 b. Penyimpanan : Penahanan barang selama jangka waktu antara dihasilkan atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu). 3. Fungsi pelancar a. Pembiayaan : Mencari dan mengurus modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor produksi sampai sektor konsumsi. b. Risiko : Usaha untuk mengelak atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang yang rusak, hilang, turunnya harga dan tingginya biaya. c. Standardisasi dan Grading : Penentuan atau penetapan dasar penggolongan (kelas atau derajat) untuk barang dan memilih barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan jalan standardisasi. d. Informasi Pasar : Mengetahui tindakan-tindakan yang berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta, menafsirkan fakta dan mengambil kesimpulan akan fakta yang terjadi. Menurut Lutfiarifin (2013), lembaga tataniga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dengan nama barangbarang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen akhir. Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran memenuhi

14 keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balasan jasa kepada lembaga pemasaran berupa margin pemasaran. Memperlancar arus barang/jasa dari produsen ke konsumen terdapat salah satu faktor yang tidak boleh diabaikan, yaitu memilih secara tepat saluran distribusi (channel of distribution) yang digunakan dalam rangka usaha penyaluran barangbarang/jasa-jasa dari produsen ke konsumen. E. Konsep Margin Tataniaga Sudiyono (2001) mendefinisikan marjin merupakan kurva permintaan primer yang berpotongan dengan kurva penawaran turunan, membentuk harga ditingkat pengecer. Sedang permintaan turunan berpotongan dengan kurva penawaran primer membentuk harga di tingkat petani. Margin tataniaga sama dengan selisih harga di tingkat pengecer dengan harga ditingkat petani Marjin tataniaga diformulasikan sebagai berikut : M = Hj-Hb Keterangan : M = Margin tataniaga Hj = Harga jual Hb = Harga beli Perhitungan Margin tataniaga sebagai berikut : M = ( Cij + Qj )

15 Keterangan : M = Margin tataniaga. Cij = Biaya tataniaga untuk melaksanakan tataniaga ke 1 oleh lembaga tataniaga ke j. Qj = Keuntungan yang diperoleh lembaga tataniaga ke j. Besaranya margin tataniaga dipengaruhi oleh jalur tataniaga komoditi yang bersangkutan. Perbedaan harga ini merupakan penyebaran harga yang mencangkup semua biaya pergerakan barang dan keuntungan yang didapat oleh pedangang perantara mulai dari pedagang pengepul sampai ke pedagang pengecer. Sifat umum margin tataniaga menurut Azzaino (1982) adalah : 1. Margin tataniaga berbeda-beda antara satu komoditas satu dengan komoditas yng lain 2. Margin tataniaga akan cenderung naik dalam jangka panjang seiring dengan menurunnya bagian petani 3. Margin tataniaga relatif lebih stabil dalam jangka panjang terutama dalam hubungannya dengan harga produk pertanian F. Profit Margin Keuntungan atau laba sering disebut dengan profit margin, setiap lembaga yang tergabung dalam proses tataniaga pasti mengharapkan keuntungan sebagai balas jasa terhadap peran yang diberikan, profit margin

16 adalah laba-laba bersih dari suatu usaha dibagi dengan nilai penjualan dan dinyatakan dalam persen. Profit magin dapat ditingkatkan yaitu dengan memperbesar nilai penjualan dan memperkecil biaya yang dikeluarkan. Menurut Weston dan Copeland (1998) semakin besar profit margin semakin efisien dalam mengeluarkan biaya-biaya sehubungan dengan kegiatan operasinya. Lembaga tataniaga akan berusaha untuk menekan biaya dalam margin dan meningkatkan profit marginnya. Apabila hal tersebut telah tercapai, maka ditinjuau dari sudut ekonomi sistem tataniaga tersebut efisien. G. Efisiensi Tataniaga Mulyamah (1987), menyatakan efisiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan rencana penggguna masukan dengan pengguna yang direalisasikan atau perkataam lain penggunaan yang sebenarnya. Efisiensi akan terjadi jika : 1. Biaya pemasaran bisa ditekan sehingga ada keutungan. 2. Pemasaran dapat lebih tinggi. 3. Prosentase pembedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi. 4. Tersedianya fasilitas fisik pemasaran. Suherty (2009), menyatakan analisis efisiensi biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat optimalisasi dalam proses tataniaga. Dalam mengukur efisiensi tataniaga faktor kuncinya adalah kesejahteraan bagi semua pihak

17 yang terlibat dalam kegiatan tataniaga yaitu produsen, lembaga dan konsumen. Tataniaga dapat dikatakan efisien apabila manfaat aliran komoditi dalam kegiatan tataniaga dapat dirasakan oleh semua kegiatan agribisnis. Sistem tataniaga dikatakan efisien apabila mampu meneruskan permintaan kepada produsen dengan wajar dan penawaran dari produsen kepada konsumen dengan biaya tataniaga yang minimum. Mekanisme tataniaga tersebut dapat meneruskan informasi harga, kualitas dan kuantitas komoditi dari produsen dan sebaliknya selain itu harga yang layak dan rasional baik di pihak produsen, lembaga tataniaga maupun konsumen adalah keharusan untuk mencapai efisiensi tataniaga. Menurut Zahari (2010), sistem tataniaga yang efisien akan mendorong rendahnya margin tataniaga sehingga perbaikan pendapatan di pihak produsen, harga relatif murah bagi konsumen serta keuntungan yang normal bagi para pelaku kegiatan tataniaga akan tercapai. Sebuah sistem tataniaga dikatakan efisien apabila semua kegiatan tataniaga berjalan dengan biaya yang minimum. Menurut Thamizhselvan dan Murugan (2012), untuk menghitung efisiensi tataniaga dapat dianalisis dengan menggunakan empat metode, yaitu : 1. Metode Shepherd 1

18 Dimana: ME = Efisiensi tataniaga V = Harga konsumen I = Biaya tataniaga Nilai ME akan semakin efisien apabila nilai efisiensi tataniaga semakin kecil dan sebaliknya. 2. Metode Acharya dan Aggarwal Dimana: ME = Efisiensi tataniaga FP = Harga produsen MC = Biaya tataniaga PM = Marjin keuntungan Nilai ME akan semakin efisien apabila nilai efisiensi tataniaga semakin kecildan sebaliknya. 3. Metode Composite Index Method Pada metode ini digunakan tiga indikator yaitu share produsen, biaya tataniaga, dan marjin keuntungan. Adapun rumusnya sebagai berikut: Dimana: MEI Rj Nj = Indeks efisiensi pemasaran = Total skor indikator setiap saluran = Jumlah indikator

19 Nilai MEI akan semakin efisien apabila nilai efisiensi tataniaga semakin kecildan sebaliknya. 4. Marketing Efficiency Index Method 1 Nilai ME akan semakin efisien apabila nilai efisiensi tataniaga semakin kecildan sebaliknya. Keterangan : EP MK BT = Efisiensi tataniaga = Margin keuntungan (Rp/Kg) = Biaya tataniaga (Rp/Kg) Kaidah keputusan pada efisiensi tataniaga menurut Soekartawi (2002) adalah : 1. EP > 5 maka tingkat usaha tidak efisien. 2. EP < 5 maka tingkat usaha efisien.