BAB II KERANGKA TEORI II.1. Teori Modernisasi Teori ini lahir di tahun 1950-an di Amerika yang didorong para ilmuan sosial dalam mengembangkan teori untuk memahami negara Dunia Ketiga yang baru lahir, yang pada dasarnya teori modernisasi dan pembangunan sebagai gagasan perubahan sosial menjadi sebuah ideologi. Modernisasi sebagai gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner (perubahan cepat dari tradisional ke modern). Berwatak kompleks (melalui banyak cara dan disiplin ilmu), sistematik, gerakan global melalui tahapan menuju homogenitas (convergency) dan bersifat progresif, Teori ini banyak digunakan dikalangan interdisiplin sehingga lahirlah modernisasi dalam sosiologi. Di dunia akademik sendiri istilah-istilah modernisasi sering ditukarbalikkan dengan development/pembangunan, sehingga modernisasi memiliki kesamaan arti dengan pembangunan (Fakih, 2001 : 52-54). Wilbert Moore berpendapat konsep modernisasi ialah suatu transformasi menyeluruh masyarakat traditional atau masyarakat pramodern menjadi masyarakat yang corak teknologi serta organisasi sosialnya berkaitan seperti apa yang terdapat di negara maju dan makmur dari segi ekonomi dan secara relatif stabil dari segi politik (Moore, 1963 : 89).
Sedangkan menurut pendapat Soerjono Soekanto modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning (Soerjono, 2009 : 204,206). Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut. Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu. Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa. Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial. II.1.1. Lima Tahap Pembangunan (The Five Stage Scheme) Teori ini dikemukakan oleh W.W Rostow (Budiman, 2000 : 26) dalam bukunya The Stage of Economic Growth, disini mencakup proses pembangunan juga dalam kajian sosiologi. Bagi Rostow pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam garis lurus, yakni dari masyarakat yang terbelakang menuju masyarakat yang
maju. Proses ini, dengan pelbagai variasinya pada dasarnya berlangsung sama dimanapun dan kapanpun. Variasi yang ada bukanlah mendasar, hanya berlangsung dipermukaan saja. Lima tahapan pembangunan (Rostow, 1966 : 4-11) tersebut adalah; 1. Masyarakat Tradisional Pada fase ini dimasyarakat ilmu pengetahuan masih belum banyak dikuasai, karena masyarakat semacam ini dikuasai oleh kepercayaan tentang kekuatan diluar kekuasaan manusia, disini manusia sangat tunduk kepada alam. Masyarakat cenderung bersifat statis, kemajuan pada fase masyarakat ini berjalan lambat. Produksi hanya untuk konsumsi semata bukan sebagai investasi, pola kehidupan generasi kedua sama seperti generasi sebelumnya. 2. Prakondisi Untuk Lepas Landas Pada fase ini meskipun sangat lambat, masyarakat tradisional bergerak menuju prakondisi untuk lepas landas. Biasanya ini terjadi karena adanya campur tangan dari luar, yaitu dari masyarakat yang lebih maju. Adanya goncangan pada masyarakat tradisional membuat berkembangnya ide pembaharuan ditengah masyarakat.
3. Lepas Landas Periode ini di tandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan/pembangunan, karena dianggap sebagai kewajaran. Industri-industri dan pemakaian teknologi mulai berkembang dengan pesat. Pertanian bukan hanya sekedar gaya hidup tapi juga sebagai mata pencaharian. Peningkatan produktivitas pertanian merupakan hal penting, karena modernisasi masyarakat memerlukan hasil pertanian yang banyak, agar ongkos perubahan dapat ditanggulangi. 4. Bergerak Ke Kedewasaan Pada periode ini negara memantapkan posisinya dalam perekonomian global, komoditi yang tadinya diimpor kini diproduksi di dalam negeri, impor baru menjadi kebutuhan jika ekspor barang-barang dapat mengimbangi impor. Setelah 60 tahun (40 tahun setelah periode lepas landas berakhir), tingkat kedewasaan biasanya tercapai. Perkembangan industry bukan saja teknik-teknik produksi, tapi juga barang yang diproduksi, termasuk produksi barang modal. 5. Zaman Konsumsi Massal Yang Tinggi Karena kenaikan pendapatan masyarakat, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, juga kebutuhan yang lebih tinggi. Industri berubah dari produksi kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Pada tahap pencapaian kedewasaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik
yang ada dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dari penambahan dana sosial. Pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan, yang bisa menopang kemajuan terus-menerus. Menurut Rostow (dalam Arief Budiman, 2000 : 29,30) titik terpenting dalam kemajuan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya adalah periode lepas landas. Selain itu juga menurut Rostow adanya sekelompok wiraswastawan yang melakukan tindakan pembaharuan, yakni sekelompok generasi muda yang gerah dengan sikap konvensional generasi sebelum mereka yang lembut menanggapi perubahan zaman. Aspek lepas landas ini tentang aspek nonekonomi yaitu dengan meningkatnya investsi di sektor produktif, tumbuhnya sektor industry manufaktur yang penting yang tinggi dan munculnnya lembaga-lembaga politik dan sosial yang mana diharapkan membuat pertumbuhan menjadi proses yang berkesinambungan (Rostow, 1971 : 147,148). II.1.2. The Need For Achievement (N ach) Teori ini diutarakan oleh McClelland (Fakih, 2001 : 59) yaitu nafsu untuk bekerja secara lebih baik, bekerja bukan untuk demi pengakuan sosial/gengsi, tapi dorongan kerja demi memuaskan batin dari dalam. Bagi mereka yang mempunyai dorongan N ach yang tinggi akan bekerja lebih keras, belajar lebih cepat, mempunyai banyak kreativitas, dan lainnya yang diharapkan memberi pengaruh yang positif dimasyarakat.
Dalam pendekatan psikologi sosial (mikro), faktor pendorong perubahan sosial dan pembangunan bukan karakteristik masyarakat pada tingkat makro, tetapi karakterisitik masyarakat pada tingkat mikro. David McClelland sering dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam teori modernisasi. Jika teori pertumbuhan Rostow lebih merupakan teori ekonomi, teori modernisasi McClelland berangkat dari perspektif psikologi social. Dalam bukunya, The Achievement Motif in Ekonomic Growth, McClelland (1984) memberikan dasar-dasar tentang psikologi dan sikap manusia kaitannya dengan bagaimana perubahan sosial terjadi. Secara jelas menceritakan sejarah manusia sejak awal selalui ditandai dengan jatuh bangunnya suatu kebudayaan. Selanjutnya, dalam teori yang dikembangkan McClelland tentang motivasi berprestasi, pertanyaan yang ingin dijawabnya adalah bagaimana beberapa bangsa tumbuh sangat pesat di bidang ekonomi sementara bangsa yang lain tidak. Umumnya pertumbuhan ekonomi selalu dijelaskan karena faktor ekternal, tetapi menurut McClelland lebih merupakan faktor internal yakni nilai-nilai dan motivasi yang mendorong untuk mengeksploitasi peluang, untuk meraih kesempatan. Pendeknya dorongan internal untuk membentuk dan merubah nasib sendiri. Pandangan lain didasarkan pada studi McClelland, Inkeles dan Smith terhadap tesis Weber mengenai Etika Protestan dan pertumbuhan kapitalisme. Berdasarkan tafsiran McClelland atas tesis Max Weber, jika Etika Protestan menjadi pendorong pertumbuhan kapitalisme di Barat, analogi yang sama juga bisa untuk melihat
pertumbuhan ekonomi. Apa rahasia pikiran Weber atas Etika Protestan menurutnya adalah the need for achievement (N ach). Alasan mengapa dunia ketiga terbelakang menurutnya karena rendahnya need for achevement tersebut. Sekali lagi, sikap dan budaya manusia yang dianggap sebagai sumber masalah dan prototipe the achieving society yang pada dasarnya adalah ciri-ciri watak dan motivasi masyarakat kapitalis. Teori McClelland didasarkan pada studinya yang dilandaskan pada teori psiko analisis Freued tentang mimpi. McClelland melakukan studi di Amerika yang memfokuskan pada studi tentang motivasi dengan mencatat khayalan orang melalui pengumpulan bentuk cerita dari sebuah gambar. Kesimpulannya bahwa khayalan ada kaitannya dengan dorongan dan perilaku dalam kehidupan mereka, yang dinamakan the need for achievement (N ach) yakni nafsu untuk bekerja secara baik, bekerja tidak demi pengakuan sosial atau gengsi, tetapi dorongan kerja demi memuaskan batin dari dalam. Bagi mereka yang mempunyai dorongan N ach yang tinggi akan bekerja lebih keras, belajar dengan lebih giat, dan sebagainya. Perhatian ditujukan pada orang yang mempunyai N ach tinggi dan mempunyai pengaruh yang besar pada masyarakat sekitarnya McClelland tertarik pada analisis Max Weber tentang hubungan antara Protestanisme dan Kapitalisme. Weber berpendapat bahwa ciri wiraswastawan Protestan Calvinisme tentang takdir mendorong mereka untuk merasionalkan kehidupan yang ditujukan oleh Tuhan. Mereka memiliki N ach yang tinggi. Yang dimaksud Weber dengan semangat
kapitalisme itu adalah dorongan need for achievement yang tinggi. Jadi, N ach sesungguhnya penyebab pertumbuhan ekonomi di Barat, yang umumnya lahir dari keluarga yang dalam pendidikannya menekankan pentingnya kemandirian. McClelland berpendapt bahwa N ach selalu berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.dari studi itu, dia berpendapat adanya pengaruh dan kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan tinggi rendahnya motive yang lain yakni need for power (N power) dan need for affiliation (N affiliation). McClelland menolak pandangan bahwa dorongan utama wirasawatawan adalah profit motive. Baginya perilaku wiraswasta tidak semata sekedar cari uang, melainkan dorongan achivement tadi. Satu hal yang menjadi catatan penting adalah bahwa N ach tidak diturunkan McClelland, dia berpendapat bahwa N ach selalu berkaitan dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dan masyarakat. Sehingga timbul apa yang dimaksud dengan perilaku-perilaku mandiri dalam berusaha atau akrab yang disebut denga wiraswasta. Pada dasarnya para wiraswastawan yang ingin dicapai adalah prestasi gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu berusaha dan berfikir untuk menemukan cara-cara baru unuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya yang juga untuk pembangunan di sekitarnya. Kemandirian wiraswastawan ini menjadi contoh baik dan cocok diterapkan untuk mewujudkan manusia modern yang selalu gerah dengan ketertinggalan. Berusaha sendiri dan bekerja keras selain untuk memenuhi kebutuhannya juga ada taste tersendiri bila bekerja dengan kepuasan bathin tersebut.
II.2. Manusia Modern Ide pembangunan mengharuskan adanya perubahan watak manusia, yaitu suatu alat untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut lagi, karena perubahan tersebut juga merupakan tujuan besar proses pembangunan itu sendiri. Tanda-tanda kemodern itu sendiri ada dua yaitu kemodernan dari dalam diri / masyarakat dan kemodernan dari luar diri / masyarakat. Sementara ciri-ciri manusia modern itu adalah, 1. Kesediaannya untuk menerima pengalaman-pengalaman yang terbilang baru dan keterbukaanya bagi pembaharuan dan perubahan. 2. Kesanggupan membentuk/mempunyai pendapat mengenai sejumlah persoalan yang ada baik di dalam maupun di luar lingkupnya. Semakin seseorang itu berpendididikan maka semakin maju wilayahnya, semakin besar pula kesediaannya untuk mengemukakan pendapat. 3. Menghargai waktu. Disini jelas sekecil apapun atau sesempit apapun waktu yang ada akan dipergunakan semaksimal mungkin untuk kemajuan. 4. Mempunyai perencanaan, baik itu perencanaan yang sifatnya jangka pendek maupun perencanaan yang sifatnya jangka panjang semua direncanakan agar tersistematis untuk kedepannya. 5. Kemampuan menyakini kemampuan manusia. 6. Keadaan dapat diperhitungkan ( bukan semua tergantung pada nasib, sehingga keadaan suatu dunia yang cukup tertib bisa di bawah kendali manusia ). 7. Mempunya harga diri.
8. Percaya pada ilmu dan teknologi, sekalipun pada bentuk yang paling primitif. Disini jelas ilmu dipandang penting karena sesuatu yang bersifat ilmu atau pengetahuan umum dan teknologi dapat diterapkan untuk kemajuan suatu peradaban dan pembangunan bagi masyarakat yang terbuka kepada sesuatu yang baru. 9. Menjunjung tinggi suatu sikap dimana imbalan sesuai dengan prestasi yang diberikan. ( dalam Weiner, 1983 :90-93 ).