BAB I PENDAHULUAN. asas demokrasi ekonomi. Jelas hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1)

dokumen-dokumen yang mirip
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KOPERASI. Usaha Mikro. Kecil. Menengah. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93)

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan

A. Kesimpulan BAB I PENDAHULUAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN TINGKAT KEMISKINAN DI SUMATERA SELATAN (KEADAAN SEPTEMBER TAHUN 2015)

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN SEPTEMBER 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat pertumbuhan ekonominya.

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017

BPS PROVINSI LAMPUNG

Undang-Undang tentang LKM tersebut mengamanatkan beberapa materi pengaturan teknis lebih lanjut terkait perizinan usaha, kelembagaan LKM, sert

TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten)

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN TINGKAT KEMISKINAN DI SUMATERA SELATAN MENURUN DARI SEPTEMBER 2015 KE MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA FORUM GROUP DISCUSSION UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017

BAB I PENDAHULUAN. rangkaian dari kegiatan pembangunan yang terdahulu, bahwa pembangunan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2014 TENTANG

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT

KONDISI KEMISKINAN DI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan tersebut adalah sektor negara, swasta dan koperasi. Untuk

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. tercipta masyarakat yang adil dan makmur, sesuai dengan tujuan. menengah yaitu memberikan bantuan kredit. Oleh sebab itu, sangat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014

BUPATI LOMBOK UTARA PERATURAN BUPATI LOMBOK UTARA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Pendahuluan. kemiskinan di Indonesia masih di atas rata-rata. Kondisi ini semakin parah setelah

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016

I. PENDAHULUAN. makmur yang merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017

KREDIT TANPA JAMINAN

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Proses tersebut melibatkan banyak pihak dimana pihak yang satu dengan yang

KONDISI KEMISKINAN DI KALIMANTAN SELATAN SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN 184,16 RIBU ORANG

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan penggerak ekonomi yang fungsinya tidak dapat dipisahkan dari

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPSPROVINSI JAWATIMUR

BAB I PENDAHULUAN bagian Menimbang huruf (a). Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan kegiatan usaha yang

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. akan berkaitan dengan istri atau suami maupun anak-anak yang masih memiliki

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

Mengenal OJK & Lembaga Keuangan Mikro

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PEMANFAATAN ALAT BANTU PRODUKSI LOKAL BAGI USAHA BIDANG PEREKONOMIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BPS PROVINSI LAMPUNG

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN. lembaga yang menghimpun dana (Funding) dari masyarakat yang. kembali kepada masyarakat yang kekurangan dana (Deficit unit) untuk

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

LANDASAN TEORI Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. negara negara anggota dan masyarakat Muslim pada umumnya.

BPSPROVINSI JAWATIMUR

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia konstitusi negara memberikan landasan bagi penyusunan dan pengelolaan ekonomi nasional dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada seluruh warga negara Republik Indonesia dengan asas demokrasi ekonomi. Jelas hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Dalam arti yang lebih luas, dirumuskan pada Pasal 33 Ayat (4) UUD 45, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Salah satu lembaga yang mengakomodasi prinsip dan asas Pasal 33 UUD 45 adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM dan lembaga keuangan pada umumnya sangat diperlukan dalam membangun ekonomi, sesuai dengan definisi lembaga keuangan tersebut, yaitu: Lembaga Keuangan adalah badan usaha yang mempunyai kekayaan dalam bentuk aset keuangan (financial assets) 21

Kekayaan berupa aset keuangan ini digunakan untuk menjalankan usaha di bidang jasa keuangan, baik penyediaan dana untuk membiayai usaha produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan. Jadi, dalam kegiatan usahanya Lembaga Keuangan lebih menekankan pada fungsi keuangan, yaitu jasa keuangan pembiayaan dan jasa keuangan bukan pembiayaan.. Lembaga keuangan Bank merupakan lembaga keuangan yang diharapkan dapat menjadi sumber pembiayaan utama bagi pelaku ekonomi yang membutuhkan dana untuk menunjang kegiatannya. Namun dalam menjalankan fungsinya (mengumpulkan dan menyalurkan dana) tersebut, perbankan masih belum bisa menjangkau semua lapisan masyarakat terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro. LKM merupakan sumber alternatif pembiayaan yang mampu menjangkau ke daerah pelosok-pelosok pedesaan yang dalam kegiatannya yaitu menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan pengusaha kecil dan mikro yang tidak terlayani oleh perbankan. Merujuk kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang LKM maka lembaga ini merupakan lembaga yang menjadi bagian dari penataan ekonomi nasional. Hal ini berarti bahwa dalam kegiatannya LKM turut serta dalam mengambil bagian bagi tercapainya kehidupan ekonomi yang sejahtera, baik bagi orang-orang yang menjadi anggotanya sendiri maupun untuk Nasabah dan masyarakat di sekitarnya. LKM sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk 22

memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi dalam mengembangkan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. LKM yang sering disebut sebagai pelaksana ekonomi kerakyatan ini, secara lebih tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) UULKM sebagai berikut: Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Dari pasal tersebut tersirat bahwa lingkup usaha LKM serupa dengan lingkup usaha perbankan yaitu memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat baik melalui pinjaman atau pembiayaan kepada anggota dan masyarakat. Merujuk pada tujuan LKM seperti disebutkan diatas yaitu ingin mempermudah akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, seharusnya diatur tentang persyaratan pemberi pinjaman terhadap masyarakat miskin. Namun, dalam UULKM tidak menyebutkan satu pasalpun yang mengatur mengenai bagaimana persyaratan dan 23

prosedur masyarakat miskin dan/atau berpengasilan rendah ini dapat mengakses pendanaan dari LKM. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 89 tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman atau imbalan hasil pembiayaan dan luas cakupan wilayah usaha lembaga keuangan mikro sebagai pelaksana dari UULKM juga tidak menyebutkan satu pasalpun tentang persyaratan dan prosedur bagaimana masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah dapat mengakses pendanaan. Dalam Peraturan tersebut hanya menyebutkan suku bunga pinjaman atau imbalan hasil pembiayaan dan luas cakupan wilayah usaha lembaga keuangan mikro saja, tanpa menyebutkan persyaratan dan prosedur pinjaman. Padahal merujuk pada sifat dan luas lingkup LKM, maka LKM karakteristiknya sama dengan perbankan, yaitu lingkup usahanya meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha. Apabila persyaratan pinjaman yang diberikan oleh LKM sama dengan persyaratan yang diberikan oleh bank, yaitu 5C (Character/watak, Capacity/kemampuan, Capital/modal, Collateral/jaminan, Condition/kondisi), maka masyarakat akan kesulitan mengakses pinjaman atau permodalan. Apabila LKM itu bukan perbankan maka seharusnya dalam pinjaman atau pembiayaannya lebih mudah dan tidak berbelit. 24

Dengan persyaratan yang dilakukan oleh perbankan, maka sudah jelas bahwa masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah akan sulit untuk mendapatkan dana tersebut. Hal ini disebabkan masyarakat tidak mempunyai agunan/jaminan yang harus terpenuhi, terlebih lagi masyarakat miskin bukan tidak mempunyai kemampuan untuk membayar, melainkan membutuhkan toleransi waktu dan kemudahan dalam mengangsur pinjaman. Padahal di dalam perundang-undangan khususnya dalam UULKM tidak secara spesifik menjelaskan persyaratan pinjaman atau permodalan. Secara lebih jelas pasal 24 UULKM menyebutkan sebagai berikut : Untuk kepentingan pengguna jasa, LKM harus menyediakan informasi terbuka kepada masyarakat paling sedikit mengenai: a. Wewenang dan tanggung jawab pengurus LKM b. Ketentuan dan persyaratan yang perlu diketahui oleh Penyimpan dan Peminjam; dan c. Kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi LKM dengan pihak lain. Pasal tersebut tidak menyebutkan bahwa harus adanya agunan, syarat administratif, prosedur berbelit dan yang lain sebagainya. Artinya, seharusnya meminjam dana kepada lembaga keuangan mikro mudah, tidak seperti yang dirasakan masyarakat. Dari tujuan dan fungsi lembaga keuangan itu sendiri, lembaga keuangan ini menyediakan jasa permodalan kepada masyarakat yang membutuhkan dana atau dapat dikatakan masyarakat miskin dan kurang mampu. Seharusnya, sedikit banyak jumlah 25

masyarakat miskin berkurang dengan keberadaan LKM ini. Namun, berdasarkan data dari BPS disebutkan bahwa presentase penduduk miskin maret 2015 mencapai 11,22 persen, data tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 8,16 persen, naik menjadi 8,29 persen pada Maret 2015. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015. Selama periode September 2014 Maret 2015, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 0,29 juta orang (dari 10,36 juta orang pada September 2014 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2015), sementara di daerah perdesaan naik sebanyak 0,57 juta orang (dari 17,37 juta orang pada September 2014 menjadi 17,94 juta orang pada Maret 2015). Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, 26

pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2015 tercatat sebesar 73,23 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2014 yaitu sebesar 73,47 persen. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan relatif sama dengan di perdesaan, diantaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe, tahu, dan kopi. Sedangkan, untuk komoditi bukan makanan diantaranya adalah biaya perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi. Pada periode September 2014 Maret 2015, baik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) cenderung mengalami kenaikan. Dari data masyarakat yang dikategorikan miskin tersebut, banyak sekali masyarakat miskin yang ada di Indonesia ini yang masih sulit untuk membutuhkan dana dari bank, sehingga masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah dalam memperoleh pinjaman berpindah kepada tengkulak/rentenir. Hal ini disebabkan karena tengkulak/rentenir tidak mensyaratkan seperti halnya yang diberikan oleh bank. Seperti halnya para petani mengaku masih sulit mendapatkan kredit dari pemerintah atau perbankan. Sampai saat ini, masih banyak petani yang mengandalkan rentenir dalam meminjam modal. Para tengkulak/rentenir memudahkan kepada para 27

masyarakat untuk memperoleh permodalan, akan tetapi rentenir/tengkulak itu menetapkan bunga yang sangat besar. Masyarakat tidak begitu memperhatikan akan bunga yang besar itu, karena masyarakat berfikirnya asal mendapatkan pinjaman yang tidak susah dan berbelit maka mereka akan menerimanya. Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membuat suatu tulisan ilmiah yang berjudul : HUBUNGAN HUKUM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) DENGAN NASABAH USAHA SKALA MIKRO DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT MISKIN DAN/ATAU BERPENGHASILAN RENDAH MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG JASA KEUANGAN. B. Identifikasi masalah Berdasarkan apa yang telah diuraikan sebelumnya didalam latar belakang penelitian, maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan pada dua permasalahan pokok, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam doktrin pembedaan bermacam-macam Lembaga Keuangan? 28

2. Bagaimana hubungan hukum antara nasabah dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dihubungkan dengan tujuan peningkatan pendapatan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk memecahkan masalah yang akan diteliti, maka dari itu tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kedudukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam doktrin pembedaan bermacam-macam lembaga keuangan. 2. Untuk menganalisis hubungan hukum antara nasabah dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dihubungkan dengan tujuan peningkatan pendapatan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Kegunaan teoritis 29

Dalam rangka mengembangkan bidang ilmu hukum pada umumnya, khususnya hukum Ekonomi Pembangunan, Perbankan, Lembaga Keuangan dan juga sebagai sumbangan pemikiran bagi pendidikan ilmu hukum dalam rangka pencapaian tujuan hukum yaitu untuk menciptakan kepastian hukum. 2. Manfaat praktis Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan, terutama kepada Pemerintah, Lembaga Keuangan Mikro, Pemerintah Daerah dan khusus untuk masyarakat. E. Kerangka Pemikiran Usaha skala Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman dan tertib dalam lingkungan yang merdeka, bersahabat, dan damai. Pembangunan nasional yang mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa diselenggarakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat menjadi pelaku utama pembangunan, dan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing, melindungi, serta menumbuhkan suasana dan iklim yang menunjang. 30

Melalui UU UMKM pemerintah mencoba memberikan pemberdayaan terhadap UMKM, yang salah satu adalah mempermudah akses pembiayaan dan permodalan. Dengan mempermudah akses permodalan kepada UMKM maka akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. UMKM sangat membutuhkan dukungan dari lembaga keuangan baik itu perbankan maupun non-bank dalam memudahkan usahanya dan mengakses permodalan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan merumuskan pengertian Perbankan, sebagai berikut : Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, perbankan mempunyai fungsi intermediasi yaitu menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya yang lazim dilakukan bank dalam lalu lintas pembayaran. Kedua fungsi itu tidak bisa dipisahkan. Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban untuk menjaga 31

kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan memperluas kesempatan kerja. Dalam memperoleh dana dari lembaga keuangan, maka terdapat perjanjian antara pemberi pinjaman dengan nasabah. Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian riil, perjanjian baru terjadi setelah ada penyerahan, selama benda (uang) yang dipinjamkan belum diserahkan maka Bab XIII KUH Perdata belum dapat diterapkan. Perbankan sendiri merujuk kepada sistem perbankan yang mensyaratkan 5C yaitu ; Character/watak adalah data tentang kepribadian dari calon pelanggan seperti sifat-sifat pribadi, kebiasaan hidup, keadaan, dan latar belakang keluarga maupun hobinya. Capacity/kemampuan adalah kemampuan calon nasabah dalam mengelola usahanya yang dapat dilihat dari pendidikannya, pengalaman mengelola usaha, dan sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami masa mulit atau tidak, bagaimana mengatasi kesulitan), Capital/modal adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelola, hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan 32

rugi-laba, struktur permodalan, rasio keuntungan yang diperoleh seperti return on equity dan pengembalian investasi pada usaha yang berskala besar, Collateral/jaminan adalah barang yang dapat diserahkan oleh peminjam sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya, dan Condition/kondisi adalah mencakup situasi dan kondisi politik, sosial ekonomi dan budaya yang dapat mempengaruhi kelancaran usaha dari pihak yang memperoleh kredit. LKM pada dasarnya dibentuk berdasarkan semangat yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) serta Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Keberadaan LKM pada prinsipnya sebagai lembaga keuangan yang menyediakan jasa Simpanan dan Pembiayaan skala mikro, kepada masyarakat, memperluas lapangan kerja, dan dapat berperan sebagai instrumen pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Berdasarkan hal tersebut, untuk memenuhi kebutuhan layanan keuangan terhadap masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, perlu disusun suatu undang-undang tentang LKM untuk memberikan landasan hukum dan kepastian hukum terhadap kegiatan lembaga keuangan mikro. Penyusunan Undang-Undang ini bertujuan: 1. mempermudah akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk memperoleh Pinjaman/Pembiayaan mikro; 2. memberdayakan ekonomi dan produktivitas masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah; dan 33

3. meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Undang-Undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan lingkup LKM, konsep Simpanan dan Pinjaman/Pembiayaan dalam definisi LKM dan asas. Pengertian LKM menurut UULKM yaitu: Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Sedangkan asas LKM dalam UULKM yaitu a. keadilan, b. Kebersamaan, c. Kemandirian, d. Kemudahan, e. Keterbukaan, f. Pemerataan, g. keberlanjutan dan h. kedayagunaan dan kehasilgunaan. UULKM juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian, bentuk badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan. Bentuk badan hukum LKM menurut Undang-Undang ini adalah Koperasi dan Perseroan Terbatas. LKM yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Selain itu, UULKM mengatur juga mengenai kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan 34

Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha, serta cakupan wilayah usaha suatu LKM yang berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multi-licensing). Untuk memberikan kepercayaan kepada para penyimpan, dapat dibentuk lembaga penjamin simpanan LKM yang didirikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan/atau LKM. Dalam hal diperlukan, Pemerintah dapat pula ikut mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM bersama Pemerintah Daerah dan LKM. Selanjutnya UULKM mengatur pula ketentuan mengenai perlindungan kepada pengguna jasa LKM, pembinaan dan pengawasan LKM, diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. Agar implementasi UULKM dapat terlaksana dengan baik, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, termasuk Pemerintah Daerah, kementerian yang membidangi urusan perkoperasian, dan kementerian yang membidangi fiskal, perlu bekerja sama untuk melakukan sosialisasi Undang-Undang ini. F. Metode Penelitian Dalam melaksanakan pendekatan permasalahan yang berhubungan dengan judul yang penulis buat ini, di gunakanlah metode sebagai berikut : 1. Metode Pendekatan 35

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Aturan hukum mengenai LKM sebagai analisis kasus yang dimunculkan dalam kaitannya tentang persyaratan yang diberikan oleh LKM. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analisis yang bertujuan menggambarkan secara tepat, yaitu untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai kedudukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam struktur lembaga keuangan baik itu perbankan ataupun non-bank, serta menganalisis persyaratan pinjaman atau permodalan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bagi usaha skala mikro dihubungkan dengan tujuan peningkatan pendapatan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah menurut peraturan perundang-undangan. 3. Tahap Penelitian a) Penelitian kepustakaan (library research) Dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mencari data sekunder yang mencangkup dalam : 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Dasar 1945, 36

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman Atau Imbal Hasil Pembiayaan Dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Perubahan Bentuk Hukum Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan Hasil Konsolidasi atau Merger Menjadi Perseroan Terbatas Lembaga Keuangan Mikro (LKM). 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, antara lain pendapat para ahli hukum, buku-buku ilmiah, artikel makalah, jurnal, dan literatur internet. 3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia. b) Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data dilakukan melalui Library Research (Data Kepustakaan), yaitu untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, 37

pendapat-pendapat, ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. c) Metode Analisis Data Dalam menganalisis data dilakukan dengan menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dihadapi dengan tidak menggunakan rumus maupun data statistik. BAB II HUBUNGAN HUKUM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) BAGI USAHA SKALA MIKRO MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN TUJUAN DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT A. Hubungan Hukum menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata 1. Pengertian Hubungan Hukum menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata 38