BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

resep, memberikan label dan memberikan KIE secara langsung kepada pasien. 4. Mahasiswa calon apoteker yang telah melaksanakan PKPA di Apotek Kimia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan masyarakat. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan terhadap pemuas kebutuhan manusia semakin meningkat dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa setiap orang berhak atas kesehatan, dimana pada pasal 5 ayat 2 juga

KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI PENUTUP. korelasi sebesar 72,2%, variabel Pelayanan informasi obat yang. mendapat skor bobot korelasi sebesar 74,1%.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masa kehamilan (Prawirohardjo, 2000). Menurut Manuaba (2001), tujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. darahnya biasanya disebabkan perilaku mereka(alwani, 2012).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN APOTEK DI KOTA JAMBI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA), pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, sedangakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang menyebabkan terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tujuan pendidikan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

ANALISIS TINGKAT KECEMASAN IBU KEHAMILAN PERTAMA DALAM MENGHADAPI PERSALINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. angka kematian bayi, angka kelahiran, dan angka kematian ibu.( A.Gde Munin

BAB II TINJUAN PUSTAKA. a. Standar Kompetensi Sarjana Farmasi

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

BAB I PENDAHULUAN. Terciptanya masyarakat yang sehat tidak terlepas dari pentingnya menjaga

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Agnesyanti Dwi Pujiawardani (2013) yang berjudul Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Apoteker dalam Pelaporan Efek Samping Obat di Apotek Wilayah Kabupaten Banyumas. Dengan jenis penelitian observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang di adaptasi dari penelitian sebelumnya. Analisis menggunakan analisis univariat dan bivariat (Uji Spearman). Hasilnya menunjukkan bahwa 31% apoteker memiliki pengetahuan tinggi, 51,7% apoteker memiliki pengetahuan sedang, dan 17,2% apoteker memiliki pengetahuan rendah dalam pelaporan efek samping obat (ESO) di apotek, 62,1% apoteker memiliki sikap yang baik dan 37,9% apoteker memiliki sikap yang tidak baik dalam pelaporan efek samping obat (ESO) di apotek, 52% apoteker memiliki perilaku yang baik dan 48% apoteker tidak memiliki perilaku yang baik dalam pelaporan ESO di apotek. Terdapat pengaruh antara pengetahuan dengan sikap apoteker dalam pelaporan ESO dan tidak ada pengaruh antara sikap dengan perilaku apoteker dalam pelaporan ESO. Hasil penelitian Rustanti dan Kusuma (2014) yang berjudul Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Apoteker dalam Pekerjaan Kefarmasian di Rumah Sakit di Wilayah Karesidenan Banyumas dari 32 responden, 12,5% apoteker kadangkadang melakukan monitoring efek samping obat dan 87,5% apoteker tidak pernah melakukan monitoring efek samping obat. Penelitian dilakukan dengan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dengan responden apoteker yang bekerja di Rumah Sakit. Penelitian yang akan dilakukan peneliti yaitu Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Apoteker Terhadap Perilaku Apoteker dalam Monitoring Efek Samping Obat di Apotek Kabupaten Banyumas. Dengan jenis penelitian obesravisonal analitik dengan desain penelitian cross sectional. Pengumpulan data menggunakan wawancara terstruktur. Data diolah dengan menyusun transkrip wawancara, kemudian diinterpretasikan dan di skoring. Analisis menggunakan analisis 4

univariat dan bivariat (Uji Chi Square) untuk mengetahui pengaruh antara pengetahuan dan sikap apoteker terhadap perilaku apoteker dalam monitoring efek samping obat. Responden penelitian yaitu apoteker di Apotek Kabupaten Banyumas. B. Landasan Teori 1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari proses belajar atau pengalaman (Abdullah, et al. 2010). Pengetahuan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmojo, 2007). Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain (Notoatmojo, 2010). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Wawan dan Dewi, 2010). Menurut Notoatmojo 2011, terdapat beberapa tingkatan dari pengetahuan yakni: a. Tahu Tahu diartikan hanya sebagai memanggil memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Aplikasi dalam dilakukan dalam beberapa hal seperti penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip. d. Analisis Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponenkomponen yang 5

terdapat dalam suatu masalah. Salah satu tanda seseorang sudah mencapai tahap ini adalah orang tersebut mampu membedakan, memisahkan, mengelompokkan, atau membuat diagram terhadap suatu obyek. e. Sintesis Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Secara lebih sederhana, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. f. Evaluasi Evaluasi adalah kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap obyek tertentu. Penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau yang telah ada sebelumnya. 2. Sikap Menurut Notoatmojo (2011), sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap objek. Pengukuran sikap secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernytaaan hipotesis kemudian dinyatakan pendapat responden melalui kuesioner. Sikap itu tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya (Sarwono, 2007). Menurut Notoadmodjo (2011) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: a. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). b. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang tersebut menerima ide itu. 6

c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. 3. Perilaku Perilaku adalah suatu respon terhadap stimulus yang berkaitan dengan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan kesehatan. Perilaku dapat dinilai dari pengetahuan dan sikap responden (Wawan dan Dewi, 2010). Respon seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif ( melakukan tindakan) (Sarwono, 2007). Menurut Notoadmodjo (2011) ditinjau dari bentuk respons dari stimulus, perilaku dapat dibedakan menjadi: a. Perilaku tertutup (covert behavior) Respons atau reaksi yang bersifat tertutup atau terselubung. Respons atau reaksi terhadap stimulus masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. b. Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus pada perilaku ini sudah dalam bentuk tindakan atau praktek (practice). 4. Profesi Apoteker Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Pelayanan kefarmasian merupakan pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk 7

meningkatkan kualitas hidup dari pasien, oleh karena itu apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam melakukan interaksi langsung dengan pasien (Depkes RI, 2006). Berdasarkan pedoman pelayanan kefarmasian apoteker memiliki peran dalam melakukan pemantauan dan melaporkan hasil monitoring efek samping obat dan kesalahan pengobatan. Apoteker memastikan bahwa dokter telah menginformasikan setiap kemungkinan munculnya efek samping obat. Efek samping yang muncul dapat dijadikan indikator mutu pelayanan dan monitoring efek samping obat harus menjadi bagian dari program pelayanan secara terus menerus. Reaksi efek samping yang serius dan masalah tekait obat harus dilaporkan ke Badan POM RI (Depkes RI, 2006). Menurut WHO, apoteker memiliki tujuh peran penting dengan istilah the seven stars of pharmacist, yaitu a. Care Giver (Pemberi Layanan) Apoteker memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk pelayanan klinis, analisis, teknis yang sesuai dengan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan kefarmasian apoteker maupun berinterkasi dengan individu atau populasi. Apoteker harus memiliki intergitas dan kesinambungan dengan tenaga kesehatan lainnya, serta memiliki kualitas dalam melakukan pelayanan. b. Desicion Maker (Pembuat Keputusan) Pekerjaan kefarmasian memiliki dasar dalam melakukan pekerjaannya yaitu, penggunaan obat yang efektif, efikasi dan biaya yang efisien sehingga untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kemampuan untuk mengevaluasi, mensintesis dan membuat keputusan dalam bertindak. c. Communicator (Komunkatif) Apoteker memiliki peran penting dalam menghubungkan anatra pasien dengan dokter. Oleh sebab itu, apoteker harus memiliki pengetahuan yang luas dan percaya diri dalam berinteraksi dengan tenaga kesehatan lain dan masyarakat. Komunikasi baik meliputi komunikasi verbal, non verbal dan memiliki kemampuan dan pendengar yang baik. d. Leader (Pemimpin) 8

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. e. Manager Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Apoteker jug aharus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal yang berhubungan dengan obat. f. Teacher (Pengajar) Apoteker bertanggung jawab untuk membantu pendidikan dan pelatihan bagi calon apoteker dan masyarakat umum. Selain memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain, apoteker juga menyediakan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan yang baru dan menyempurnakan keterampilan yang telah dimiliki. g. Life-long learner (Pelajar Seumur Hidup) Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan ketrampilannya selalubaru dalam melakukan praktek profesi. 5. Apotek Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Apotek harus memiliki : a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 9

b. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. c. Ruangan tertutup untuk konseling pasien dilengkapi dengan meja, kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medis pasien. d. Ruang racikan. e. Tempat pencucian alat (Depkes RI, 2006) 6. Efek Samping Obat (ESO) Morbiditas dan mortalitas iatrogenik pada pasien umunya disebabkan oleh reaksi efek samping dari suatu obat. Banyak obat yang berpotensi menyebabkan reaksi efek samping. Efek samping obat (ESO) didefinisikan sebagai efek berbahaya yang tidak diinginkan dari suatu obat. Pasien yang beresiko terhadap efek samping obat yaitu : a. Pasien usia lanjut (lansia). b. Pediatrik (anak-anak). c. Pasien dengan gangguan ginjal. d. Pasien dengan gangguan hati. e. Pasien dengan kelainan genetik. Cara menghindari efek samping obat : a. Meresepkan obat hanya bila diperlukan, pemberian sedapat mungkin dalam waktu singkat dan dalam dosis yang serendah mungkin. b. Pada saat meresepkan gunakan obat yang dikenal dan biasa digunakan hal tersebut merupakan salah satu menghindari efek samping obat yang diberikan. c. Memberikan informasi pada pasien tentang efek samping yang umumnya timbul dari obat tersebut. d. Variasi genetik masih dalam proses penelitian dan mungkin dimasa yang kan datang akan disesuaikan dengan terapi yang diberikan (Constable, et al,.2007). 10

7. Klasifikasi Efek Samping Obat (ESO) Efek samping obat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Tipe A (Tergantung Dosis) Efek samping obat disebabkan oleh respon yang berlebihan terhadap obat tersebut dan bergantung pada dosis yang diberikan. Hal tersebut diakibatkan oleh masalah farmakokinetik dan farmakodinamik. Efek samping obat dapat diprediksi dari obat yang telah diketahui efeknya dan tergantung pada dosis. Misalnya, hipoglikemia pada pasien diabetes dengan terapi insulin, hipotesi pada pasien yang mengunakan obat antihipertensi. Efek samping obat pada tipe A dapat diatasi dengan memodifikasi dosis yang diberikan. b. Tipe B (Tidak Tergantung Dosis) Efek samping tipe B tidak dapat diprediksi dari obat yang telah diketahui efeknya dan tidak tergantung dosis. Efek samping obat tipe ini jarang terjadi tetapi sangat penting untuk diketahui karena reaksi efek samping pada tipe B sangat serius. Penyebab yang paling sering terjadi karena munculnya reaksi imunologi, tidak ada hubungannya dengan dosis obat. Efek samping pada tipe B dapat diatasi dengan mengganti obat yang diberikan. c. Tipe C (Terapi Jangka Panjang) Semakin lama penggunaan suatu obat maka akan semakin tinggi resiko efek samping yan didapat. Efek samping obat ini disebabkan oleh adaptasi reseptor yang sensitif. Misalnya muncul gejala efek samping pada penggunaan levodopa atau penggunaan NSAID jangka panjang dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal. d. Tipe D ( Efek Tertunda) Efek smaping obat yang muncul beberapa tahun setelah terapi dihentikan. Misalnya pada penggunaan sulfadiazin dapat menyebabkan infertilitas pria beberapa tahun mendatang. e. Tipe E (Withdrawal Syndrome) Efek samping obat yang akan muncuk setelah penggunaan obat jangka panjang kemudian penggunaan obat dihentikan secara tiba-tiba. Withdrawal syndrome akan terlihat ketika penghentian selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). Efek samping obat tipe E dapat diatasi dengan mengehntikan penggunaan obat secara perlahan (mengurangi dosis obat secara bertahap) (Constable et al., 2007). 11

C. Kerangka Konsep Pengetahuan apoteker Perilaku apoteker dalam MESO Sikap apoteker D. Hipotesis Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang diteliti (Sarwono, 2006). Berdasarkan penelitian Pujiawardani (2013), pengetahuan mempengaruhi sikap apoteker dalam pelaporan ESO ditunjukkan dengan nilai p sebesar 0,21 dan sikap tidak mempengaruhi perilaku apoteker dalam pelaporan ESO ditunjukkan dengan nilai p sebesar 0,841. Hipotesis peneliti yaitu terdapat pengaruh antara pengetahuan, sikap dan perilaku apoteker terhadap Monitoring Efek Samping Obat. Dimana hipotesis operasionalnya : H1 : Ada pengaruh antara pengetahuan, dan sikap apoteker terhadap perilaku apoteker dalam melakukan monitoring efek samping obat. 12