PENDAHULUAN Latar Belakang Ditinjau dari aspek pertanaman maupun nilai produksi, cabai (Capsicum annuum L. ) merupakan salah satu komoditas hortikultura andalan di Indonesia. Tanaman cabai mempunyai luas panen terluas di antara tanaman hortikultura lainnya yaitu 187,236 ribu ha dan 202,079 ribu ha untuk tahun 2005 dan 2006 (BPS 2007). Rata-rata produksi cabai di Indonesia pada tahun 2004 sebesar 5,67 ton/ha dan pada tahun 2005 sebesar 5,84 ton/ha (DBPH 2007). Hasil produksi tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan potensi produksinya yang dapat mencapai 20 ton/ha (Duriat et al. 1999). Rendahnya produksi cabai antara lain disebabkan oleh adanya hama dan penyakit. Hama dan penyakit pada tanaman cabai merupakan pembatas utama produksi cabai (Suryaningsih et al. 1996). Menurut Widodo (2007), terdapat 11 hama dan penyakit yang menyerang pertanaman cabai di Indonesia. Diketahui bahwa serangan penyakit antraknosa di Indonesia menempati urutan kedua setelah serangan tungau. Penyakit antraknosa pada cabai disebabkan oleh enam spesies Colletotrichum, yaitu C. gloeosporioides, C. capsici, C. dematium, C. coccodes, C. acutatum dan Glomerella cingulata (Kim et al. 1989). Cendawan Colletotrichum yang menyerang pertanaman cabai di Indonesia adalah C. capsici dan C. gloeosporioides (Suryaningsih et al. 1996). Namun pada tahun 2007, diketahui bahwa C. acutatum banyak ditemukan menyerang pertanaman cabai di Indonesia (Widodo 2007). Cendawan Colletotrichum ini menyerang tanaman cabai selama musim pertumbuhan dan tetap laten sampai buah masak (Agrios 1997; Suryaningsih et al. 1996). Cendawan ini terutama menyerang buah cabai masak. Gejala penyakit pada buah diawali dengan terbentuknya bercak kecil berlekuk, dan berwarna kehitaman. Bercak kecil tersebut kemudian meluas menjadi bentuk yang agak bulat memanjang dengan diameter 2,5 cm atau lebih. Pada tengah bercak terdapat kumpulan seta dan konidia cendawan. Dalam cuaca lembab, cendawan
2 membentuk aservulus, membentuk massa konidia berwarna merah jambu (Semangun 1994, Holliday 1980). Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan terutama pada musim hujan. Hal ini terutama disebabkan perkecambahan konidia Colletotrichum dan keparahan penyakit antraknosa sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara yang tinggi (Hong & Hwang 1998). Penyakit antraknosa ini kurang dijumpai pada musim kemarau atau di lahan yang mempunyai drainase dan gulma yang terkendali dengan baik (Semangun 1994). Kehilangan hasil di lapangan akibat penyakit antraknosa pada musim hujan mencapai 80%, sedangkan pada musim kemarau berkisar 20 sampai 35% (Widodo 2007). Namun demikian, petani tetap menanam cabai pada musim penghujan, karena harga cabai sangat tinggi (Setiadi 1992). Lingkungan yang kondusif ini menyebabkan penyakit antraknosa berkembang sampai tingkat yang merugikan. Kultivar cabai komersial yang dianggap tahan terhadap penyakit antraknosa sampai saat ini masih belum ada. Hasil pengujian Setiamiharja dan Qosim (1991) di Lembang dengan menggunakan 36 kultivar yang beredar di Jawa Barat menunjukkan bahwa belum ditemukan kultivar yang benar-benar tahan terhadap penyakit antraknosa. Dalam kondisi seperti ini, fungisida dapat berfungsi sebagai penyelamat yang diperlukan untuk menekan kerugian akibat kejadian penyakit antraknosa. Fungisida yang banyak digunakan oleh petani di Indonesia adalah propineb, acylbenzolar e-methyl+mancozeb, dan mancozeb. Beberapa petani juga menggunakan fungsida chlorotolanil dan azoxistrobin + difenoconazole. Pada musim hujan, penggunaan fungisida lebih intensif yaitu sedikitnya sekali dalam waktu kurang dari 7 hari. Oleh karena itu, pada musim hujan petani harus menyediakan dana untuk fungsida lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau yaitu mencapai 10 sampai 40% dari biaya total penanaman cabai (Widodo 2007). Pengendalian antraknosa secara hayati juga telah diteliti. Konsep pengendalian hayati adalah pengurangan kepadatan inokulum atau aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit, baik dalam stadium aktif atau dorman,
3 dengan menggunakan satu atau lebih organisme. Hal tersebut dapat terjadi secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang, atau antagonis, atau melalui introduksi massa satu jenis antagonisme atau lebih (Baker & Cook 1974). Pengendalian hayati terhadap penyakit antraknosa pada cabai telah dilaporkan dengan menggunakan C. gloeosporioides avirulen. Induksi cendawan ini dapat meningkatkan ketahanan tanaman cabai kultivar Teropong yang rentan menjadi agak tahan (Istikorini 2000). Perlakuan benih dengan campuran Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) yaitu Pseudomonas fluorescens PG 01 dan Bacillus polymixa BG 25 mampu menekan kejadian penyakit antraknosa pada cabai kultivar Lokal Brebes dan kultivar Tit Super (Sutariati 2006). Pengendalian penyakit antraknosa pada cabai dengan agens hayati berupa cendawan endofit belum pernah dilaporkan. Cendawan endofit adalah cendawan yang hidup pada bagian dalam jaringan tanaman sehat tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tanaman inang. (Carroll 1990). Potensi cendawan endofit sebagai agen pengendali hayati, antara lain karena endofit hidup dalam jaringan tanaman sehingga dapat berperan langsung dalam menghambat perkembangan patogen dalam tanaman (Niere 2002). Peranan penting endofit dalam perlindungan tanaman telah dibuktikan oleh beberapa peneliti. Cendawan endofit diketahui bersifat toksik terhadap herbivora, misalnya insekta, mamalia dan kutu daun (Clay 1988; Johnson et al. 1985). Cendawan endofit juga bersifat toksik terhadap nematoda patogen (Nordmeyer & Sikora 1983; Kimmons et al., 1990; Sinclair & Cerkauskas 1996) dan cendawan patogen (Amin et al. 1997; Bragmann & Schonbech 1992; Sinclair & Cerkauskas 1996; White & Cole 1985). Pada rumput-rumputan, cendawan endofit dapat memperbaiki respon tanaman terhadap kekeringan (Sinclair & Cerkauskas 1996). Cendawan endofit Trichoderma sp. dan Fusarium sp. berpotensi dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat (Amin et al. 1997). Cendawan endofit berpotensi sebagai agen pengendalian hayati, antara lain karena keberadaan cendawan endofit ini sangat beragam dan berlimpah, dapat
4 ditemukan baik pada tanaman pertanian maupun pada rumput-rumputan (Faeth 2002). Cendawan endofit dalam tanaman diketahui dapat menyebabkan berkurangnya kerusakan pada sel atau jaringan tanaman, meningkatkan kemampuan bertahan hidup dan fotosintesis sel jaringan tanaman yang terinfeksi patogen tular tanah (Sinclair & Cerkauskas 1996). Kolonisasi cendawan endofit pada rumput menyebabkan terinduksinya metabolit sekunder yang bersifat antagonis terhadap herbivora insekta (Carroll 1995). Selain itu, kolonisasi dari cendawan endofit juga dapat meningkatkan senyawa fenol dan mungkin senyawa lain seperti pathogenesis-related protein (PR-Protein) dalam inang. Senyawa fenol dapat menghambat patogen secara langsung atau dengan produk oksidasinya dan juga dengan meningkatkan perubahan metabolik kompleks seperti senyawa yang dapat membentuk barrier pertahanan (Agrios 1997; Gazoni & Stegman 1997). Mekanisme penghambatan cendawan endofit terhadap patogen dapat secara langsung dengan mekanisme antagonis dan secara tidak langsung dengan mekanisme ketahanan terinduksi. Perlindungan tanaman dengan ketahanan terinduksi didasarkan pada rangsangan mekanisme ketahanan oleh adanya perubahan metabolik yang memungkinkan tanaman untuk lebih mengefektifkan ketahanannya. Diperkirakan ketahanan terinduksi dapat berkembang apabila selsel tanaman mampu menghasilkan enzim-enzim baru yang mengaktifkan gen tanaman yang bertanggung jawab dalam mekanisme ketahanan tanaman tersebut (Agrios 1997). Ketahanan terinduksi biasanya memerlukan periode waktu untuk mengembangkan ketahanan. Induksi ketahanan pada tembakau dengan Pseudomonas tabaci avirulen dilakukan 24 jam sebelum inokulasi dengan P. tabaci virulen (Goodman et al. 1967). Salah satu respon ketahanan dikenal sebagai systemic acquired resistance (SAR). Mikroorganisme nonpatogen, komponen struktural atau metabolit mikrobia diketahui dapat menginduksi aktivasi SAR. Pada umumnya SAR dipicu oleh infeksi lokal dan dapat memberikan perlindungan pada tanaman terhadap bermacam-macam patogen dalam jangka waktu panjang. Respon SAR berkorelasi dengan aktivasi satu set gen-gen inang yang berperan dalam mekanisme
5 ketahanan yaitu gen-gen PR-protein. Respon SAR memerlukan keterlibatan molekul signal asam salisilat (SA) (Chasan 1995; van Loon 1997). Di Indonesia penelitian tentang cendawan endofit serta potensinya sebagai agen pengendali hayati masih sedikit dilakukan, bahkan belum pernah dilaporkan adanya penelitian tentang cendawan endofit pada cabai dan potensinya sebagai agen pengendali hayati penyakit antraknosa. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian potensi cendawan endofit untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai. Selanjutnya, juga dikaji komponen struktural cendawan endofit yang diduga juga dapat menginduksi ketahanan tanaman. Tujuan Penelitian Mengingat pentingnya pengendalian penyakit antraknosa yang berbasis mempertahankan keseimbangan biologi maka pemanfaatan cendawan endofit sebagai agen pengendali hayati perlu dikembangkan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mendapatkan cendawan endofit dari tanaman cabai dan teki (Cyperus rotundus) sebagai agen pemacu pertumbuhan (biofertilizer) dan sebagai agen hayati potensial dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada tanaman cabai. 2. Mengevaluasi komponen struktural cendawan endofit yang berperan sebagai elisitor ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit antraknosa, dan pengaruh anticendawan dari elisitor tersebut secara in vitro dan in vivo terhadap spesies Colletotrichum penyebab penyakit antraknosa pada cabai. 3. Mengevaluasi mekanisme cendawan endofit dalam meningkatkan ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa melalui peningkatan enzim peroksidase, senyawa fenol dan asam salisilat. Kerangka Penelitian Kerangka pemikiran dari penelitian ini ditunjukkan melalui bagan alir tahap-tahap kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 1.
POTENSI CENDAWAN ENDOFIT UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annuum L.) PENELITIAN 1 Eksplorasi cendawan endofit PENELITIAN 2 dan 3 Seleksi cendawan endofit dan komponen struktural endofit PENELITIAN 4 Analisis biokimia pada tanaman - Isolasi cendawan endofit, dan identifikasi - Uji patogenisitas - Reisolasi cendawan endofit - Pengamatan histologi - Evaluasi cendawan endofit terhadap karakter agronomis - Produksi elisitor dan evaluasi terhadap aktivitas peroksidase - Uji daya hambat secara langsung dan tidak langsung terhadap patogen - Evaluasi kejadian penyakit antraknosa - Evaluasi terhadap kejadian penyakit antraknosa - Evaluasi terhadap aktivitas total fenol - Evaluasi terhadap asam salisilat Keluaran: - Isolat cendawan endofit yang nonpatogenik Keluaran: Cendawan endofit dan komponen struktural cendawan yang efektif : mampu memacu pertumbuhan dan mengendalikan patogen Keluaran: Mekanisme ketahanan tanaman cabai besar yang telah diinduksi melalui perubahan biokimia tanaman Gambar 1 Diagram alir tahap-tahap kegiatan penelitian 6