BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya penggunaan hutan dan beragamnya alih fungsi hutan di Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan di Indonesia saat ini berada dalam satu fase tekanan yang sangat serius akibat dari perkembangan ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan perubahan iklim. Kondisi menurunnya potensi sumberdaya hutan tersebut jika dibiarkan secara terus menerus akan menyebabkan Indonesia sulit untuk mempertahankan hutannya kembali. Penanganan terhadap kondisi tersebut harus dilakukan dengan cerdas, sistematis, berani, kalkulatif, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengelolaan hutan berkelanjutan pada hutan di Indonesia (Awang, 2010). Pengelolaan hutan yang berkelanjutan memiliki tujuan untuk menjaga kelestarian hutan guna untuk menjamin kemanfaatannya bagi umat manusia yang sering disebut juga dengan pengelolaan kelestarian hutan. Salah satu prinsip kelestarian hutan yaitu perlunya adanya peran serta para pihak yang bergerak di bidang kehutanan agar terciptanya suatu pola hubungan kelembagaan dalam rangka pengurusannya dan pengelolaan sumberdaya hutan serta menjalankan prinsip prinsip supermasi hukum, akuntanbilitas, tranparansi, dan demokratisasi serta yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi aktif dari para pihak kehutanan (Priyadi et.al., 2007). 1
Menurut Awang (2003) pengelolaan hutan secara lestari memerlukan suatu dukungan strategi, kebijakan (policy), instrumen kebijakan, dan kelembagaan yang memadai untuk mencapainya. Kebijakan yang diperlukan adalah membagi tanggung jawab pengelolaan tersebut yang dikuasai oleh negara yaitu kepada 3 lembaga yaitu : (1) Badan Usaha Milik Negara (2) Badan Usaha Milik Swasta dan (3) Kelompok masyarakat. Jaminan pandangan yang lebih optimis bahwa hutan Indonesia akan lestari tergantung kepada kemauan dan peran para pihak, baik rimbawan, pemerintah, politisi, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat, akademisi, dan lain-lain. Salah satu pihak yang terlibat di dalam pengelolaan hutan lestari adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) khususnya yang bergerak pada bidang kehutanan. LSM adalah organisasi atau lembaga yang anggotanya adalah warga negara Republik Indonesia yang beraktifitas atas motivasi dan swadaya yang bangkit dari kesadaran terhadap keadaan sosial di masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8 tahun 1990. LSM adalah organisasi formal (secara profesional) yang independen serta mampu mengakomodasi inisiatif-inisiatif lapisan bawah (Martens, 2002). Oleh karena itu, keberadaan LSM dalam membangun keswadayaan atau partisipasi masyarakat terhadap program-program pembangunan sudah banyak terbukti dalam tindakan konkrit. LSM keberadaannya saat ini sangat mewarnai kehidupan politik di Indonesia. Ruang politik yang semakin terbuka lebar pada era reformasi telah 2
memberikan kesempatan pada kelompok masyarakat untuk dapat berekspresi dalam berbagai bentuk organisasi sosial politik non pemerintah dengan mengusung berbagai asas dan tujuan masing-masing. Peningkatan jumlah LSM di Indonesia telah terjadi sejak era reformasi. Menurut Departemen Dalam Negeri diperkirakan jumlah LSM pada tahun 1997 ditaksir ada sekitar 4000 7000 LSM dan pada tahun 2002 jumlah tersebut mengalami peningkatan menjadi 13.500 LSM. Diperkirakan sampai pada saat ini ada lebih dari 13.500 LSM yang telah beroperasi di Indonesia baik di tingkat nasional, propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Adanya perkembangan politik, demokrasi dan kemajuan teknologi juga menjadi faktor yang mendorong terus bertambahnya keberadaan jumlah LSM di Indonesia. Dengan kehadiran era reformasi telah menghantarkan terhadap peningkatan penyaluran terhadap aspirasi masyarakat. Kebebasan dalam menyampaikan pendapat, berekspresi, berserikat dan berkumpul yang telah dijamin oleh peraturan undang -undang. Pada mulanya, LSM tidak terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Keberadaan LSM pada awalnya hanya sebagai perantara masyarakat untuk menyampaikan aspirasi terhadap pemerintah dan ikut serta membantu memperjuangkan hak hak masyarakat. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan terhadap isu isu lingkungan menjadi semakin meningkat, sehingga menyebabkan LSM telah mengalami perubahan entitas. Entitas baru LSM pada dekade ini yaitu, partisipasi LSM dalam politik lingkungan global semakin mulai meningkat (Betsil & Elisabeth,2001; Kruse 2002). Isu isu lingkungan yang semakin meningkatmenyebabkan kepedulian 3
LSM terhadap isu-isu lingkungan menjadi meningkat. Salah satunya isu lingkungan terhadap bidang kehutanan. LSM kini telah memiliki entitas yang baru yaitu dapat menjadi penyalur aspirasi hingga mampu berkolaborasi bersama pemerintah dalam proses pengambil kebijakan. Selain itu, LSM kini mampu melakukan upaya upaya secara langsung bersama masyarakat dalam upaya pengelolaan sumber daya hutan. LSM yang lebih bersifat pribadi, kelompok anti kekerasan yang memiliki tujuan tertentu ke publik, secara langsung maupun tidak langsung mencari jalan untuk memperngaruhi kebijakan politik seperti Greenpeace, Oxfam, Amnesty International, World Wildlife Fund (WWF), dan Pax Christi. LSM berskala internasional seperti Greenpeace, WWF dan World Rainforest Movement telah memulai kampanye di seluruh dunia untuk menghentikan praktek deforestasi, dan memasukkan isu tersebut ke dalam agenda politik global (Arts,2004). Hal tersebut telah menunjukkan bahwa partisipasi aktif LSM baik yang berskala internasional maupun lokal tersebut dalam upaya pengelolaan terhadap sumberdaya hutan telah menunjukkan entitas LSM sebagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kemunculan LSM dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia merupakan reaksi dari bentuk kepedulian terhadap melemahnya peran kontrol lembaga lembaga negara dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan hutan. Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia belum mencerminkan terhadap praktek praktek hutan yang lestari. Sumberdaya hutan di Indonesia saat ini berada dalam satu fase yang sangat serius yang diakibatkan dari 4
perkembangan ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan perubahan iklim. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya areal hutan alam yang mengalami perubahan fungsi menjadi lahan kosong, kritis, dan tidak produktif, sebagai akibat dari campur tangan manusia yang tidak terkontrol. Ideologi politik ekonomi yang sangat berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi makro mendorong eksploitasi terhadap sumberdaya hutan yang berlebihan. Sehingga sampai saat ini, eksploitasi yang berlebihan tersebut kurang memberikan kemanfaataan bagi sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat yang berada di sekitar hutan (Awang, 1999). Secara normatif, masyarakat yang berada di sekitar hutan seharusnya merupakan masyarakat yang dapat merasakan manfaat langsung dari sumberdaya hutan tersebut. Namun pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang masih merupakan bagian masyarakat yang tertinggal dibandingkan dengan kelompok lainnya masih kurang mendapatkan kemanfaatan dari hutan tersebut. Menyadari permasalahan tersebut, maka kemunculan LSM dalam pengelolaan sumber daya hutan juga diikutsertakan dengan upaya memberdayakan masyarakat. Apabila LSM benar benar mampu mewujudkan pemberdayaan tersebut maka LSM telah mampu mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan (Awang, 2000). Sebagai contoh, Greenpeace yang merupakan salah satu LSM yang berskala tingkat internasional yang bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan. Greenpeace telah melakukan kampanye terhadap perlindungan hutan sejak tahun 2007 hingga sampai saat ini. Greenpeace memiliki hampir tiga juta simpatisan dari seluruh dunia dan tiga puluh ribu pendukung dari Indonesia (Arts,2004). Pada 5
awal tahun 2013, Greenpeace pada awal tahun 2013 telah berhasil menghentikan upaya pembukaan lahan yang akan dilakukan oleh Asia Pulp & Paper pada kawasan High Conservation Value Forest (HCVF). Greenpeace juga menyerahkan hasil investigasi yang menyebutkan bahwa APP secara sistematis telah menebangi ramin (Gonystylus bancanus Kurz) yang merupakan spesies langka dan mendapatkan perlindungan internasional (CITES). Salah satu LSM yang memberikan bukti konkrit terhadap tindakan nyata adalah Perhimpunan Shorea. Perhimpunan Shorea merupakan salah satu LSM kehutanan yang berbasis di Yogyakarta. Perhimpunan Shorea telah melakukan pendampingan kepada masyarakat desa hutan Gunung Kidul sejak tahun 2007. Pendampingan tersebut telah berhasil mengadvokasi masyarakat untuk memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK Hkm) yang telah ditandatangani oleh Menteri Kehutanan. Selain itu, LSM Perhimpunan Shorea yang juga telah menerima hibah dari luar negeri untuk menjalankan program restorasi ekosistem dan berperan aktif sebagai mediator dalam mengakomodasi kepentingan para pihak, eksekutor program, fasilitator program, serta dinamisator dalam membangun keswadayaan dan partisipasi masyarakat di Desa Kepuharjo (Novianto, 2012). Salah satu contoh peran LSM dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia telah dibuktikan oleh keterlibatan aktif yaitu, LSM Yayasan Ekosistem Basah. Yayasan LEBAH merupakan lembaga swadaya masyarakat lokal Aceh yang bergerak dibidang lingkungan dan kehutanan. Bersama Wetlands International Indonesia Programme (WIIP), WWF Indonesia, dan Yayasan Lebah 6
melakukan kegiatan bersama dalam kegiatan pengelolaan mangrove dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan. Melalui pendanaan dari proyek Green Coast, LSM tersebut banyak memberikan kontribusi terhadap kegiatan rehabilitasi mangrove dan pemberdayaan masyarakat yang merupakan korban dari peristiwa tsunami. Salah satu desa yang menjadi objek kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dan pemberdayaan masyarakat adalah Desa Kajhu. Letak desa berbatasan langsung dengan bibir pantai, yang menyebabkan desa ini mengalami kerusakan yang sangat parah akibat hantaman gelombang tsunami. Kerusakan yang terjadi tersebut yaitu, kerusakan pada kawasan mangrove, kerusakan pada lingkungan fisik, dan ketidakberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat pasca terjadinya tsunami. Luas total pantai yang berpotensi untuk direhabilitasi di Desa Kajhu adalah 79,5 ha. Dari luasan ini, seluas 39,5 ha direhabilitasi oleh LSM Yayasan Lebah melalui pendanaan dari proyek Green Coast dan sisanya di rehabilitasi oleh pihak Pemerintah (WIIP, 2006). LSM merupakan salah satu stakeholder di dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Keberadaan LSM sampai pada saat ini, sudah memiliki perubahan entitas yaitu adanya keterlibatan langsung LSM terhadap program pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Dalam hal ini khusunya pada kegiatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan di Desa Kajhu. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis terhadap Peran Serta Lembaga Swadaya Masyarakat khususnya Yayasan Lebah dalam kegiatan Pengelolaan Mangrove yang berkelanjutan sebagai entitas baru bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 7
1.1 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini : 1. Bagaimana peran LSM Yayasan Lebah terhadap pengelolaan kawasan mangrove yang berkelanjutan? 2. Bagaimana peran LSM Yayasan Lebah terhadap pemberdayaan masyarakat pasca tsunami? 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Peran LSM Yayasan Lebah terhadap pengelolaan kawasan mangrove yang berkelanjutan 2. Peran LSM Yayasan Lebah terhadap pemberdayaan masyarakat pasca tsunami. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini : 1. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan memberikan tambahan wacana guna pengembangan ilmu pengetahuan pada ilmu kehutanan 2. Manfaat Praktis. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang sistematis dan dinamis, sekaligus untuk meningkatkan kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama menimba ilmu di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. 8