BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum, kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 1 abad (1900-2012), tercatat lebih dari 212,000 orang meninggal, lebih dari 16 juta orang terdampak, dan lebih dari 215 triliun rupiah kerugian ekonomi timbul karena bencana di Indonesia. Data tersebut belum memasukkan bencana-bencana kecil yang terjadi secara periodik dan jumlah korban jiwanya di bawah 10 orang per kejadian (EMDAT The International Disaster Database, 2012). Ronan and Johnston (2005) menyampaikan, ancaman bencana alam merupakan salah satu problem dan keprihatinan dunia yang semakin meningkat bahkan PBB memperkirakan populasi manusia yang terpapar oleh ancaman bencana alam pada tahun 2050 jumlahnya akan menjadi 1/5 dari populasi dunia atau 2 miliar orang. Walaupun secara umum jumlah korban jiwa menunjukkan kecenderungan menurun, kerugian ekonomis yang ditimbulkan bencana sebaliknya, menunjukkan peningkatan (United Nations, 2011). Selain itu, tsunami di Jepang tahun 2011 menjadi salah satu bukti terkini yang menunjukkan bahwa bencana yang terjadi di negara maju dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian yang lebih besar dan bahwa pembangunan harus selalu mempertimbangkan risiko bencana dan upayaupaya mitigasinya. Banyaknya kejadian bencana dalam 1 dasa warsa terakhir mendorong terjadinya perubahan paradigma dalam penanganan bencana dari yang berfokus pada respon kedaruratan (relief response) ke penanganan yang berorientasi pada peningkatan resiliensi terhadap bencana, baik di tingkat individu, komunitas, negara bahkan kawasan regional dan global (dunia). Salah satu yang mendorong perubahan tersebut adalah fakta bahwa respon kegawatdaruratan membutuhkan dana yang jauh lebih besar, sedangkan setiap 1 USD yang digunakan untuk program pengurangan risiko bencana untuk meningkatkan resiliensi dapat menghemat 7 USD dana untuk kegawatdaruratan (United Nations, 2012). 1
2 Terdapat beberapa penjelasan untuk istilah atau terminologi resiliensi dalam bencana tetapi yang digunakan secara luas dan sederhana di sini adalah resiliensi (terhadap bencana) dipahami sebagai kemampuan negara, komunitas dan individu untuk mengelola perubahan dengan mempertahankan atau mengubah standar penghidupan saat ada guncangan atau tekanan seperti gempa, kekeringan atau konflik kekerasan tanpa mengorbankan kelanjutan kehidupan ke depan (DFID 2011). Dalam buku yang sama, dijelaskan definisi resiliensi dari UNISDR (United Nations for International Strategy for Disaster Reduction), kemampuan sebuah sistem, komunitas atau masyarakat yang terpapar pada bencana untuk menahan, menyerap, mengakomodasi dan pulih dari dampak sebuah bencana secara tepat waktu dan efisien. Terdapat beberapa alasan konsep resiliensi saat ini menjadi pusat perhatian dan bahan diskusi dalam isu pembangunan, adaptasi perubahan iklim dan penanganan bencana. Jumlah orang terdampak bencana tampaknya tidak semakin berkurang dan hal tersebut menyebabkan kefrustrasian karena bantuan kemanusiaan yang masif harus diberikan berulang kali untuk bencana yang kurang lebih sama. Semakin disadari pentingnya melihat kerentanan yang menjadi akar masalah timbulnya bencana. Membangun resiliensi sebagai salah satu cara untuk mencegah agar penderitaan manusia tidak semakin buruk, menjadi prinsip antara United Nations (UN), donor dan non government organizations (NGOs) melalui biaya respon bencana yang lebih sedikit dan menjadikan adaptasi perubahan iklim sebagai arus utama dalam praktik pembangunan (Levine et al., 2012). Fokus dilaksanakan melalui promosi dengan orientasi kepada resiliensi terhadap bencana yang lebih efektif, mempunyai perspektif jangka panjang dan mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan (United Nations, 2011). DFID (2012) menyampaikan, terdapat 4 tantangan besar dalam mempromosikan pendekatan program humanitarian dan development yang berorientasi pada resiliensi bencana. Pertama adalah kurangnya akses informasi tentang risiko bencana untuk para pembuat kebijakan. Kedua, kurangnya bukti dan data tentang intervensi yang paling efektif. Ketiga, sumber pendanaan untuk
3 penanganan bencana semakin sulit sementara kapasitas pemerintah dan komunitas lokal sebagai kelompok rentan masih perlu ditingkatkan. Tantangan terakhir adalah tidak adanya sistem pendukung yang memastikan bahwa data dan bukti resiliensi tersedia dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Senada dengan pendapat DFID, penelitian oleh Global Network of Civil Society Organizations for Disaster Reduction/GNDR (2011) menemukan bahwa jika masyarakat terlibat dan mampu berpartisipasi, kapasitas lokal terdukung, informasi risiko tersedia dan akuntabilitas jelas, maka implementasi pengurangan risiko bencana di tingkat lokal akan menunjukkan dampak positif. Pemerintahan lokal dengan tata kelola yang baik merupakan kunci mata rantai tersebut. Tata kelola yang baik tersebut meliputi koordinasi sumber daya (termasuk pendanaan) pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak dan manajemen komunikasi informasi konsultasi multi pihak untuk memastikan alokasi pendanaan yang berfokus pada pengurangan risiko untuk meningkatkan resiliensi komunitas. Hal tersebut menjadi tantangan mengingat bahwa cara pandang dan kebijakan yang berorientasi pada resiliensi bencana belum menjadi prioritas, dan koordinasi untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya dalam program-program yang berjalan juga belum dapat dilakukan secara terintegrasi dan strategis. Penelitian GNDR sebelumnya di tahun 2009 menemukan bahwa kemajuan yang cukup signifikan dalam hal penyusunan kebijakan dan peraturan penanganan bencana di tingkat pemerintah nasional dan regional bahkan global belum diikuti dengan aksi nyata yang membawa dampak positif di tingkat masyarakat akar rumput. Hasil survei partisipatif yang diikuti oleh lebih dari 20. 000 orang di 69 negara, termasuk Indonesia, tersebut menguatkan bahwa pengurangan risiko bencana untuk meningkatkan resiliensi komunitas terhadap bencana masih menjadi tantangan. Padahal, di saat yang sama tingkat konteks kerentanan Indonesia sangat tinggi terhadap ancaman gangguan alam. Menurut UNISDR (2012), Indonesia dikategorikan sebagai negara yang paling rentan terhadap tsunami (dari 265 negara yang disurvei) dengan jumlah jiwa yang rentan terhadap risiko langsung tsunami sejumlah 5.402.239 orang, sedangkan untuk kategori ancaman gempa, Indonesia menduduki rangking 3 (dari
4 153 negara yang rentan gempa) dengan jumlah penduduk terpapar ancaman gempa 11. 056. 806 orang. Di tahun 2010 saja, Indonesia mengalami sekitar 644 bencana yang tersebar di berbagai wilayah, di antaranya terjadi 3 bencana besar yang hampir bersamaan di penghujung tahun, yaitu banjir bandang Wasior, gempa bumi dan tsunami di Mentawai, serta letusan Gunung Merapi yang telah menyebabkan lebih dari 1,000 orang meninggal dunia dan kerugian triliunan rupiah (BNPB, 2011). Gempa bumi berkekuatan 7,2 SR (atau 7,5 SR menurut USGS) yang terjadi di Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 25 Oktober 2010 telah memicu terjadinya gelombang tsunami yang mengakibatkan 509 orang meninggal dunia, 17 orang mengalami luka berat, dan masyarakat mengungsi sebanyak 11,425 jiwa. Gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai telah menimbulkan kerusakan dan kerugian Rp. 349 miliar dan biaya yang dibutuhkan untuk rehabilitasi dan pemulihan berjumlah Rp. 1,16 triliun, terutama untuk pemulihan ekonomi dan sarana prasarana. Indeks risiko potensi ancaman bencana alam di Kepulauan Mentawai ini tergolong tinggi baik berupa bencana alam gempa bumi (tektonik), tsunami maupun abrasi pantai. Hampir 90% desa dari 43 desa yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai terletak di daerah pesisir yang merupakan kawasan rawan terhadap bencana tsunami dan abrasi pantai (Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB dan Bappenas, 2010). Letusan Gunung Merapi telah menimbulkan kerusakan dan kerugian mencapai Rp. 3,56 triliun. Selama kurun tahun 2010 dari 644 bencana besar dan kecil yang terjadi telah memaksa Pemerintah Indonesia untuk menganggarkan sedikitnya Rp 15 triliun guna kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dampak lahar dingin Merapi di Kabupaten Magelang telah menyebabkan 4,559 orang mengungsi dan tinggal di hunian sementara selama lebih dari 2 tahun dan 422 rumah dinyatakan rusak atau hilang. Biaya yang dikeluarkan untuk masa tanggap darurat tahun pertama saja mencapai Rp. 70 miliar (Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB dan Bappenas, 2010). Kompleksitas bencana alam bukan hanya merupakan fenomena alam, tetapi juga fenomena sosial yang terkait dengan fenomena alam tersebut.
5 Kesiapan, respon dan penyesuaian (coping) manusia terhadap bencana alam, bencana teknologi atau konflik kekerasan sangat terkait dengan kemampuan masyarakat tersebut untuk lenting kembali (bounce back) setelah mengalami bencana. Hal itu membuat resiliensi atau kemampuan mandiri masyarakat untuk menghadapi dan pulih menjadi salah satu perhatian dan prioritas kebijakan. Negara maju seperti Amerika juga telah menempatkan resiliensi masyarakat sebagai faktor penting dalam sistem kesehatan dan keamanan nasional. Kebijakan dengan menempatkan resiliensi masyarakat sebagai aspek penting didasari bahwa sumber daya pemerintah tidak selalu dapat mencukupi dan tersedia saat bencana terjadi, sehingga kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana dan secara jangka panjang dapat memulihkan diri dengan kemampuan yang ada, menjadi kebutuhan penting. Masyarakat yang resilien menjadi faktor penting dalam menciptakan masa pemulihan (recovery) yang efektif dan efisien. Masyarakat dengan resiliensi rendah mengakibatkan proses recovery membutuhkan dana yang lebih besar dan waktu yang lebih lama. Negara-negara yang tertinggal dalam pembangunannya juga mempunyai ketangguhan yang lebih rendah dalam menghadapi ancaman bencana. Kerentanan geografis, konsekuensi finansial dan jiwa seperti dijelaskan di atas seharusnya menjadi salah satu motivasi utama berbagai pihak untuk mempromosikan resiliensi bencana dalam seluruh aspek penghidupannya (Ronan and Johnston, 2005). Menurut Simpson and Katirai (2006), indeks resiliensi ditentukan oleh indeks kesiapsiagaan terhadap bencana dan indeks kerentanan. Sementara DFID (2011) memberikan batasan 4 elemen penting yang mempengaruhi tingkat resiliensi bencana yaitu konteks, gangguan, kapasitas adaptasi dan reaksi akhirnya terhadap gangguan yang ada yang diakui dalam praktiknya elemen-elemen tersebut tidak dengan mudah dapat dibedakan dan hubungannya sangat fluktuatif. Situasi pascabencana adalah momen yang tepat untuk melakukan analisis tingkat resiliensi komunitas terhadap bencana sebelumnya, karena hal tersebut akan membantu berbagai pihak melihat kapasitas adaptasi komunitas. Selain itu, informasi tentang tingkat resiliensi bencana komunitas sangat penting bagi pemerintah dalam merancang program-program rehabilitasi pascabencana untuk
6 memastikan bahwa investasi pembangunan berikutnya akan lebih efisien dan efektif serta lestari (sustainable development) (United Nations, 2012). Wilayah Mentawai dan Magelang mempunyai konteks dan paparan bencana yang berbeda. Kepulauan Mentawai memiliki karakteristik bencana gempa tektonik dan tsunami dengan wilayah yang relatif terisolasi dibandingkan dengan wilayah terdampak bencana Gunung Merapi seperti di Kabupaten Magelang. Kondisi tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut perbedaan dan hubungannya dalam konteks resiliensi komunitas. Dengan mengetahui faktorfaktor resiliensi bencana yang ada di kedua komunitas tersebut, diharapkan dapat menjadi bukti dan contoh pembelajaran bagi pihak yang berwenang untuk membuat kebijakan dan strategi yang tepat bagi proses rehabilitasinya. B. Perumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah tingkat resiliensi komunitas di daerah pasca bencana Mentawai yang relatif terisolasi dibandingkan dengan di Magelang yang relatif tidak terisolasi serta bagaimanakah gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat resiliensi komunitas di kedua komunitas tersebut? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat resiliensi komunitas di daerah pascabencana dengan karakteristik wilayah dan jenis bencana yang berbeda. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui tingkat resiliensi komunitas terhadap bencana di daerah yang relatif terisolasi (Mentawai) dan di daerah yang relatif tidak terisolasi (Magelang). b. Mengetahui kapasitas adaptasi yang mempengaruhi tingkat resiliensi komunitas di daerah pasca bencana di daerah yang relatif terisolasi (Mentawai) dan daerah yang relatif tidak terisolasi (Magelang)
7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini akan memberikan informasi tentang tingkat resiliensi dan faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi komunitas pascabencana sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi program penanganan bencana. Bagi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat pemerhati masalah bencana, diharapkan penelitian ini akan memberikan informasi untuk bahan pertimbangan dalam menentukan strategi, advokasi kebijakan dan kerjasama lokal dan internasional dalam pengembangan tingkat resiliensi komunitas di daerah risiko bencana. 2. Manfaat ilmiah Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan masukan bagi peneliti lain yang akan meneliti topik yang berhubungan dengan promosi resiliensi masyarakat terhadap bencana. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang resiliensi komunitas sudah banyak dilakukan, berikut disampaikan beberapa penelitian dengan topik serupa atau subjek serupa : 1. UNDP (United Nations for Development Program) dan BNPB melakukan penelitian Baseline Survey Longitudinal Study Monitoring Pasca Erupsi Gunung Merapi (2010) dengan tujuan di antaranya mengidentifikasi dinamika perubahan beserta pengaruh bencana Gunung Merapi pada komunitas, monitoring perkembangan pemulihan kehidupan masyarakat, perkembangan ketangguhan masyarakat di wilayah berisiko tinggi. Penelitian berjalan sampai tahun 2014 dan telah dihasilkan instrument assessment dan manualnya serta kategorisasi wilayah terdampak di 4 kabupaten terdampak. 2. Penelitian tentang dampak ekonomi bencana alam di Ethiopia dan Honduras oleh Carter, et al (2006) dari International Food Policy Research and Institute. Penelitian ditujukan untuk melihat dampak jangka panjang bencana di kedua negara tersebut dalam bidang ekonomi dan sejauhmana gangguan,
8 sensitivitas dan resiliensi berpengaruh dalam mata pencaharian mereka dan implikasinya pada kebijakan dan program ekonomi pasar dan jaring sosial pemerintah. Metode penelitian: studi kasus dan pemetaan aset komunitas. 3. Penelitian berjudul Membangun Resiliensi Komunitas terhadap Bencana: Sebuah Upaya ke depan untuk Memperkuat Sistem Keamanan Kesehatan Nasional oleh Chandra et al. (2011) dilaksanakan di wilayah Amerika Serikat dengan menggunakan literature reviews, FGD dan wawancara semi terstruktur. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi elemenelemen yang penting bagi resiliensi komunitas untuk mendukung kebijakan kesehatan nasional yang berguna untuk memperkuat resiliensi komunitas sebelum bencana. 4. Penelitian tentang pengaruh tsunami di Mentawai terhadap kebijakan publik tentang peringatan dini tsunami dilakukan oleh Pariatmono (2011). Penelitian dilakukan dengan melalui literature review kebijakan Pemerintah Indonesia tentang peringatan dini, komponen dan performance indicatornya. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai hal yang harus ditingkatkan adalah isi pesan peringatan harus memuat perkiraan waktu ketibaan dan tinggi gelombang serta komponen budaya lokal. 5. Penelitian tentang aplikasi Operations Research and Management Science (OR/MS) dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Merapi 2010 yang dilakukan oleh Aman et al. (2010) untuk meminimalkan biaya dan waktu pemulihan pasca bencana khususnya dalam hal logistik dan pengerahan tenaga kemanusiaan. Metode yang digunakan adalah teori pengambilan keputusan, sistem dinamis dan teknik optimalisasi yang digunakan untuk menyusun model alokasi sumber daya komprehensif yang terdiri dari distribusi bantuan logistik dan distribusi tenaga kemanusiaan yang dilakkan di daerah bencana di Gunung Merapi dan daerah tidak terkena bencana. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pendekatan operations research and management science (OR/MS) tidak hanya menyelesaikan masalah distribusi logistik dan tenaga kemanusiaan secara efektif dan optimal namun juga menawarkan fleksibilitas
9 dalam memecahkan masalah dalam respon kegawat-daruratan dan masa pemulihan. Tabel 1. Persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya Judul Penelitian Persamaan Perbedaan Baseline Survey Topik penelitian serupa, Tujuan dan metode Longitudinal Study yaitu resiliensi masyarakat penelitian, luasan wilayah (4 Monitoring & Evaluasi pascaerupsi Merapi di kabupaten, 43 desa), fokus Rencana Aksi Rehabilitasi wilayah Jawa Tengah pada monitoring dan dan Rekonstruksi Pasca evaluasi dan ErupsiGunung Merapi kemanfaatannya (BNPB, 2010). Shocks, Sensitivity and Resilience Tracking the Economic Impacts of Environmental Disaster on Assets in Ethiopia and Honduras (Carter, et al., 2006) Building Community Resilience to Disasters : A Way Forward to Enhance National Health Security (Chandra et al., 2011) Aplikasi Operations Research and Management Science (OR/MS) dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Merapi Aman, et al. (2010) Penelitian tentang pengaruh tsunami di Mentawai terhadap kebijakan publik tentang peringatan dini tsunami Pariatmono (2011) Topik penelitian serupa yaitu resiliensi komunitas terhadap bencana alam Topik penelitian pada elemen-elemen penting dalam menciptakan masyarakat yang tangguh Lokasi penelitian di wilayah terdampak Gunung Merapi. Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Mentawai. Scope nya sama yaitu mengenai tsunami 2010 (penyusunan indeks) Framework resiliensi yang digunakan berbeda, metodologi, lokasi dan luasan berbeda. Ancaman bencana yang dipilih yaitu hanya yang terkait dengan iklim Wilayah, metode penelitian, fokus padaketangguhan masyarakat di sektor keamanan kesehatan nasional Tujuan penelitian, metode penelitian dan rancangan penelitian Tujuan penelitian, metode penelitian, rancangan penelitian