BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

Empowerment in disaster risk reduction

KERENTANAN (VULNERABILITY)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PB

BAB I PENGANTAR. Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

I. Permasalahan yang Dihadapi

Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website, 2011)

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Bencana alam menjadi salah satu permasalahan kompleks yang saat ini

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdasarkan data dunia yang dihimpun oleh WHO, pada 10 dekade terakhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang masih ada hingga sampai saat ini. Kerugian material yang ditimbulkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

Ringkasan Eksekutif. Laporan Kemajuan MDF Desember 2009 Ringkasan Eksekutif

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

Powered by TCPDF (

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rawan bencana. maupun buatan manusia bahkan terorisme pernah dialami Indonesia.

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

Outline Presentasi. PRB dan API dalam Draft Sasaran Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015 dan HFA II. Proses Penyusunan SDGs. Proses Penyusunan SDGs

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perencanaan Partisipatif Kelompok 7

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia akhir-akhir ini. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

Deklarasi Dhaka tentang

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Bantuan logistik. Pedoman. Perubahan.

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN SITUBONDO

Catatan Untuk Pengetahuan MDF - JRF Pelajaran dari Rekonstruksi Pasca Bencana di Indonesia

DUKUNGAN PENINGKATAN ALOKASI ANGGARAN SEBAGAI PERWUJUDAN PENINGKATAN INVESTASI PENANGGULANGAN BENCANA MELALUI KEBIJAKAN POLITIK ANGGARAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN KENDAL

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANGKAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KERTAS POSISI SEKOLAH/MADRASAH AMAN DARI BENCANA

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

PENURUNAN INDEKS RISIKO BENCANA DI INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DUKUNGAN ANGGARAN DALAM RANGKA PENANGGULANGAN RISIKO BENCANA

PENGANTAR LOKAKARYA MANAJEMEN KEDARURATAN DAN PERENCANAAN KONTINJENSI. Painan, 29 November 3 Desember 2005 BAKORNAS PBP KABUPATEN PESISIR SELATAN

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGADA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Versi 27 Februari 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAMBI

Siaran Pers BNPB: BNPB Menginisiasi Pencanangan Hari Kesiapsiagaan Bencana Selasa, 25 April 2017

KONDISI TEKTONIK INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum, kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 1 abad (1900-2012), tercatat lebih dari 212,000 orang meninggal, lebih dari 16 juta orang terdampak, dan lebih dari 215 triliun rupiah kerugian ekonomi timbul karena bencana di Indonesia. Data tersebut belum memasukkan bencana-bencana kecil yang terjadi secara periodik dan jumlah korban jiwanya di bawah 10 orang per kejadian (EMDAT The International Disaster Database, 2012). Ronan and Johnston (2005) menyampaikan, ancaman bencana alam merupakan salah satu problem dan keprihatinan dunia yang semakin meningkat bahkan PBB memperkirakan populasi manusia yang terpapar oleh ancaman bencana alam pada tahun 2050 jumlahnya akan menjadi 1/5 dari populasi dunia atau 2 miliar orang. Walaupun secara umum jumlah korban jiwa menunjukkan kecenderungan menurun, kerugian ekonomis yang ditimbulkan bencana sebaliknya, menunjukkan peningkatan (United Nations, 2011). Selain itu, tsunami di Jepang tahun 2011 menjadi salah satu bukti terkini yang menunjukkan bahwa bencana yang terjadi di negara maju dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian yang lebih besar dan bahwa pembangunan harus selalu mempertimbangkan risiko bencana dan upayaupaya mitigasinya. Banyaknya kejadian bencana dalam 1 dasa warsa terakhir mendorong terjadinya perubahan paradigma dalam penanganan bencana dari yang berfokus pada respon kedaruratan (relief response) ke penanganan yang berorientasi pada peningkatan resiliensi terhadap bencana, baik di tingkat individu, komunitas, negara bahkan kawasan regional dan global (dunia). Salah satu yang mendorong perubahan tersebut adalah fakta bahwa respon kegawatdaruratan membutuhkan dana yang jauh lebih besar, sedangkan setiap 1 USD yang digunakan untuk program pengurangan risiko bencana untuk meningkatkan resiliensi dapat menghemat 7 USD dana untuk kegawatdaruratan (United Nations, 2012). 1

2 Terdapat beberapa penjelasan untuk istilah atau terminologi resiliensi dalam bencana tetapi yang digunakan secara luas dan sederhana di sini adalah resiliensi (terhadap bencana) dipahami sebagai kemampuan negara, komunitas dan individu untuk mengelola perubahan dengan mempertahankan atau mengubah standar penghidupan saat ada guncangan atau tekanan seperti gempa, kekeringan atau konflik kekerasan tanpa mengorbankan kelanjutan kehidupan ke depan (DFID 2011). Dalam buku yang sama, dijelaskan definisi resiliensi dari UNISDR (United Nations for International Strategy for Disaster Reduction), kemampuan sebuah sistem, komunitas atau masyarakat yang terpapar pada bencana untuk menahan, menyerap, mengakomodasi dan pulih dari dampak sebuah bencana secara tepat waktu dan efisien. Terdapat beberapa alasan konsep resiliensi saat ini menjadi pusat perhatian dan bahan diskusi dalam isu pembangunan, adaptasi perubahan iklim dan penanganan bencana. Jumlah orang terdampak bencana tampaknya tidak semakin berkurang dan hal tersebut menyebabkan kefrustrasian karena bantuan kemanusiaan yang masif harus diberikan berulang kali untuk bencana yang kurang lebih sama. Semakin disadari pentingnya melihat kerentanan yang menjadi akar masalah timbulnya bencana. Membangun resiliensi sebagai salah satu cara untuk mencegah agar penderitaan manusia tidak semakin buruk, menjadi prinsip antara United Nations (UN), donor dan non government organizations (NGOs) melalui biaya respon bencana yang lebih sedikit dan menjadikan adaptasi perubahan iklim sebagai arus utama dalam praktik pembangunan (Levine et al., 2012). Fokus dilaksanakan melalui promosi dengan orientasi kepada resiliensi terhadap bencana yang lebih efektif, mempunyai perspektif jangka panjang dan mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan (United Nations, 2011). DFID (2012) menyampaikan, terdapat 4 tantangan besar dalam mempromosikan pendekatan program humanitarian dan development yang berorientasi pada resiliensi bencana. Pertama adalah kurangnya akses informasi tentang risiko bencana untuk para pembuat kebijakan. Kedua, kurangnya bukti dan data tentang intervensi yang paling efektif. Ketiga, sumber pendanaan untuk

3 penanganan bencana semakin sulit sementara kapasitas pemerintah dan komunitas lokal sebagai kelompok rentan masih perlu ditingkatkan. Tantangan terakhir adalah tidak adanya sistem pendukung yang memastikan bahwa data dan bukti resiliensi tersedia dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Senada dengan pendapat DFID, penelitian oleh Global Network of Civil Society Organizations for Disaster Reduction/GNDR (2011) menemukan bahwa jika masyarakat terlibat dan mampu berpartisipasi, kapasitas lokal terdukung, informasi risiko tersedia dan akuntabilitas jelas, maka implementasi pengurangan risiko bencana di tingkat lokal akan menunjukkan dampak positif. Pemerintahan lokal dengan tata kelola yang baik merupakan kunci mata rantai tersebut. Tata kelola yang baik tersebut meliputi koordinasi sumber daya (termasuk pendanaan) pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak dan manajemen komunikasi informasi konsultasi multi pihak untuk memastikan alokasi pendanaan yang berfokus pada pengurangan risiko untuk meningkatkan resiliensi komunitas. Hal tersebut menjadi tantangan mengingat bahwa cara pandang dan kebijakan yang berorientasi pada resiliensi bencana belum menjadi prioritas, dan koordinasi untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya dalam program-program yang berjalan juga belum dapat dilakukan secara terintegrasi dan strategis. Penelitian GNDR sebelumnya di tahun 2009 menemukan bahwa kemajuan yang cukup signifikan dalam hal penyusunan kebijakan dan peraturan penanganan bencana di tingkat pemerintah nasional dan regional bahkan global belum diikuti dengan aksi nyata yang membawa dampak positif di tingkat masyarakat akar rumput. Hasil survei partisipatif yang diikuti oleh lebih dari 20. 000 orang di 69 negara, termasuk Indonesia, tersebut menguatkan bahwa pengurangan risiko bencana untuk meningkatkan resiliensi komunitas terhadap bencana masih menjadi tantangan. Padahal, di saat yang sama tingkat konteks kerentanan Indonesia sangat tinggi terhadap ancaman gangguan alam. Menurut UNISDR (2012), Indonesia dikategorikan sebagai negara yang paling rentan terhadap tsunami (dari 265 negara yang disurvei) dengan jumlah jiwa yang rentan terhadap risiko langsung tsunami sejumlah 5.402.239 orang, sedangkan untuk kategori ancaman gempa, Indonesia menduduki rangking 3 (dari

4 153 negara yang rentan gempa) dengan jumlah penduduk terpapar ancaman gempa 11. 056. 806 orang. Di tahun 2010 saja, Indonesia mengalami sekitar 644 bencana yang tersebar di berbagai wilayah, di antaranya terjadi 3 bencana besar yang hampir bersamaan di penghujung tahun, yaitu banjir bandang Wasior, gempa bumi dan tsunami di Mentawai, serta letusan Gunung Merapi yang telah menyebabkan lebih dari 1,000 orang meninggal dunia dan kerugian triliunan rupiah (BNPB, 2011). Gempa bumi berkekuatan 7,2 SR (atau 7,5 SR menurut USGS) yang terjadi di Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 25 Oktober 2010 telah memicu terjadinya gelombang tsunami yang mengakibatkan 509 orang meninggal dunia, 17 orang mengalami luka berat, dan masyarakat mengungsi sebanyak 11,425 jiwa. Gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai telah menimbulkan kerusakan dan kerugian Rp. 349 miliar dan biaya yang dibutuhkan untuk rehabilitasi dan pemulihan berjumlah Rp. 1,16 triliun, terutama untuk pemulihan ekonomi dan sarana prasarana. Indeks risiko potensi ancaman bencana alam di Kepulauan Mentawai ini tergolong tinggi baik berupa bencana alam gempa bumi (tektonik), tsunami maupun abrasi pantai. Hampir 90% desa dari 43 desa yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai terletak di daerah pesisir yang merupakan kawasan rawan terhadap bencana tsunami dan abrasi pantai (Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB dan Bappenas, 2010). Letusan Gunung Merapi telah menimbulkan kerusakan dan kerugian mencapai Rp. 3,56 triliun. Selama kurun tahun 2010 dari 644 bencana besar dan kecil yang terjadi telah memaksa Pemerintah Indonesia untuk menganggarkan sedikitnya Rp 15 triliun guna kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dampak lahar dingin Merapi di Kabupaten Magelang telah menyebabkan 4,559 orang mengungsi dan tinggal di hunian sementara selama lebih dari 2 tahun dan 422 rumah dinyatakan rusak atau hilang. Biaya yang dikeluarkan untuk masa tanggap darurat tahun pertama saja mencapai Rp. 70 miliar (Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB dan Bappenas, 2010). Kompleksitas bencana alam bukan hanya merupakan fenomena alam, tetapi juga fenomena sosial yang terkait dengan fenomena alam tersebut.

5 Kesiapan, respon dan penyesuaian (coping) manusia terhadap bencana alam, bencana teknologi atau konflik kekerasan sangat terkait dengan kemampuan masyarakat tersebut untuk lenting kembali (bounce back) setelah mengalami bencana. Hal itu membuat resiliensi atau kemampuan mandiri masyarakat untuk menghadapi dan pulih menjadi salah satu perhatian dan prioritas kebijakan. Negara maju seperti Amerika juga telah menempatkan resiliensi masyarakat sebagai faktor penting dalam sistem kesehatan dan keamanan nasional. Kebijakan dengan menempatkan resiliensi masyarakat sebagai aspek penting didasari bahwa sumber daya pemerintah tidak selalu dapat mencukupi dan tersedia saat bencana terjadi, sehingga kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana dan secara jangka panjang dapat memulihkan diri dengan kemampuan yang ada, menjadi kebutuhan penting. Masyarakat yang resilien menjadi faktor penting dalam menciptakan masa pemulihan (recovery) yang efektif dan efisien. Masyarakat dengan resiliensi rendah mengakibatkan proses recovery membutuhkan dana yang lebih besar dan waktu yang lebih lama. Negara-negara yang tertinggal dalam pembangunannya juga mempunyai ketangguhan yang lebih rendah dalam menghadapi ancaman bencana. Kerentanan geografis, konsekuensi finansial dan jiwa seperti dijelaskan di atas seharusnya menjadi salah satu motivasi utama berbagai pihak untuk mempromosikan resiliensi bencana dalam seluruh aspek penghidupannya (Ronan and Johnston, 2005). Menurut Simpson and Katirai (2006), indeks resiliensi ditentukan oleh indeks kesiapsiagaan terhadap bencana dan indeks kerentanan. Sementara DFID (2011) memberikan batasan 4 elemen penting yang mempengaruhi tingkat resiliensi bencana yaitu konteks, gangguan, kapasitas adaptasi dan reaksi akhirnya terhadap gangguan yang ada yang diakui dalam praktiknya elemen-elemen tersebut tidak dengan mudah dapat dibedakan dan hubungannya sangat fluktuatif. Situasi pascabencana adalah momen yang tepat untuk melakukan analisis tingkat resiliensi komunitas terhadap bencana sebelumnya, karena hal tersebut akan membantu berbagai pihak melihat kapasitas adaptasi komunitas. Selain itu, informasi tentang tingkat resiliensi bencana komunitas sangat penting bagi pemerintah dalam merancang program-program rehabilitasi pascabencana untuk

6 memastikan bahwa investasi pembangunan berikutnya akan lebih efisien dan efektif serta lestari (sustainable development) (United Nations, 2012). Wilayah Mentawai dan Magelang mempunyai konteks dan paparan bencana yang berbeda. Kepulauan Mentawai memiliki karakteristik bencana gempa tektonik dan tsunami dengan wilayah yang relatif terisolasi dibandingkan dengan wilayah terdampak bencana Gunung Merapi seperti di Kabupaten Magelang. Kondisi tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut perbedaan dan hubungannya dalam konteks resiliensi komunitas. Dengan mengetahui faktorfaktor resiliensi bencana yang ada di kedua komunitas tersebut, diharapkan dapat menjadi bukti dan contoh pembelajaran bagi pihak yang berwenang untuk membuat kebijakan dan strategi yang tepat bagi proses rehabilitasinya. B. Perumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah tingkat resiliensi komunitas di daerah pasca bencana Mentawai yang relatif terisolasi dibandingkan dengan di Magelang yang relatif tidak terisolasi serta bagaimanakah gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat resiliensi komunitas di kedua komunitas tersebut? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat resiliensi komunitas di daerah pascabencana dengan karakteristik wilayah dan jenis bencana yang berbeda. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui tingkat resiliensi komunitas terhadap bencana di daerah yang relatif terisolasi (Mentawai) dan di daerah yang relatif tidak terisolasi (Magelang). b. Mengetahui kapasitas adaptasi yang mempengaruhi tingkat resiliensi komunitas di daerah pasca bencana di daerah yang relatif terisolasi (Mentawai) dan daerah yang relatif tidak terisolasi (Magelang)

7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini akan memberikan informasi tentang tingkat resiliensi dan faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi komunitas pascabencana sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi program penanganan bencana. Bagi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat pemerhati masalah bencana, diharapkan penelitian ini akan memberikan informasi untuk bahan pertimbangan dalam menentukan strategi, advokasi kebijakan dan kerjasama lokal dan internasional dalam pengembangan tingkat resiliensi komunitas di daerah risiko bencana. 2. Manfaat ilmiah Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan masukan bagi peneliti lain yang akan meneliti topik yang berhubungan dengan promosi resiliensi masyarakat terhadap bencana. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang resiliensi komunitas sudah banyak dilakukan, berikut disampaikan beberapa penelitian dengan topik serupa atau subjek serupa : 1. UNDP (United Nations for Development Program) dan BNPB melakukan penelitian Baseline Survey Longitudinal Study Monitoring Pasca Erupsi Gunung Merapi (2010) dengan tujuan di antaranya mengidentifikasi dinamika perubahan beserta pengaruh bencana Gunung Merapi pada komunitas, monitoring perkembangan pemulihan kehidupan masyarakat, perkembangan ketangguhan masyarakat di wilayah berisiko tinggi. Penelitian berjalan sampai tahun 2014 dan telah dihasilkan instrument assessment dan manualnya serta kategorisasi wilayah terdampak di 4 kabupaten terdampak. 2. Penelitian tentang dampak ekonomi bencana alam di Ethiopia dan Honduras oleh Carter, et al (2006) dari International Food Policy Research and Institute. Penelitian ditujukan untuk melihat dampak jangka panjang bencana di kedua negara tersebut dalam bidang ekonomi dan sejauhmana gangguan,

8 sensitivitas dan resiliensi berpengaruh dalam mata pencaharian mereka dan implikasinya pada kebijakan dan program ekonomi pasar dan jaring sosial pemerintah. Metode penelitian: studi kasus dan pemetaan aset komunitas. 3. Penelitian berjudul Membangun Resiliensi Komunitas terhadap Bencana: Sebuah Upaya ke depan untuk Memperkuat Sistem Keamanan Kesehatan Nasional oleh Chandra et al. (2011) dilaksanakan di wilayah Amerika Serikat dengan menggunakan literature reviews, FGD dan wawancara semi terstruktur. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi elemenelemen yang penting bagi resiliensi komunitas untuk mendukung kebijakan kesehatan nasional yang berguna untuk memperkuat resiliensi komunitas sebelum bencana. 4. Penelitian tentang pengaruh tsunami di Mentawai terhadap kebijakan publik tentang peringatan dini tsunami dilakukan oleh Pariatmono (2011). Penelitian dilakukan dengan melalui literature review kebijakan Pemerintah Indonesia tentang peringatan dini, komponen dan performance indicatornya. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai hal yang harus ditingkatkan adalah isi pesan peringatan harus memuat perkiraan waktu ketibaan dan tinggi gelombang serta komponen budaya lokal. 5. Penelitian tentang aplikasi Operations Research and Management Science (OR/MS) dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Merapi 2010 yang dilakukan oleh Aman et al. (2010) untuk meminimalkan biaya dan waktu pemulihan pasca bencana khususnya dalam hal logistik dan pengerahan tenaga kemanusiaan. Metode yang digunakan adalah teori pengambilan keputusan, sistem dinamis dan teknik optimalisasi yang digunakan untuk menyusun model alokasi sumber daya komprehensif yang terdiri dari distribusi bantuan logistik dan distribusi tenaga kemanusiaan yang dilakkan di daerah bencana di Gunung Merapi dan daerah tidak terkena bencana. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pendekatan operations research and management science (OR/MS) tidak hanya menyelesaikan masalah distribusi logistik dan tenaga kemanusiaan secara efektif dan optimal namun juga menawarkan fleksibilitas

9 dalam memecahkan masalah dalam respon kegawat-daruratan dan masa pemulihan. Tabel 1. Persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya Judul Penelitian Persamaan Perbedaan Baseline Survey Topik penelitian serupa, Tujuan dan metode Longitudinal Study yaitu resiliensi masyarakat penelitian, luasan wilayah (4 Monitoring & Evaluasi pascaerupsi Merapi di kabupaten, 43 desa), fokus Rencana Aksi Rehabilitasi wilayah Jawa Tengah pada monitoring dan dan Rekonstruksi Pasca evaluasi dan ErupsiGunung Merapi kemanfaatannya (BNPB, 2010). Shocks, Sensitivity and Resilience Tracking the Economic Impacts of Environmental Disaster on Assets in Ethiopia and Honduras (Carter, et al., 2006) Building Community Resilience to Disasters : A Way Forward to Enhance National Health Security (Chandra et al., 2011) Aplikasi Operations Research and Management Science (OR/MS) dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Merapi Aman, et al. (2010) Penelitian tentang pengaruh tsunami di Mentawai terhadap kebijakan publik tentang peringatan dini tsunami Pariatmono (2011) Topik penelitian serupa yaitu resiliensi komunitas terhadap bencana alam Topik penelitian pada elemen-elemen penting dalam menciptakan masyarakat yang tangguh Lokasi penelitian di wilayah terdampak Gunung Merapi. Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Mentawai. Scope nya sama yaitu mengenai tsunami 2010 (penyusunan indeks) Framework resiliensi yang digunakan berbeda, metodologi, lokasi dan luasan berbeda. Ancaman bencana yang dipilih yaitu hanya yang terkait dengan iklim Wilayah, metode penelitian, fokus padaketangguhan masyarakat di sektor keamanan kesehatan nasional Tujuan penelitian, metode penelitian dan rancangan penelitian Tujuan penelitian, metode penelitian, rancangan penelitian