BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

Kata Kunci: Psikologis Komunikasi, Remaja Broken home, Konsep Diri, Keterbukaan Diri.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

Definisi keluarga broken home menurut Gerungan (2009:199) adalah:

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berperan bagi kehidupan seseorang dikarenakan intensitas dan frekuensinya yang

BAB IV ANALISIS DATA. umumnya para remaja, tak terkecuali para remaja Broken Home, baik pada saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. pemberian rangsangan pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, 2011). Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Pentingnya kehidupan keluarga yang sehat atau harmonis bagi remaja

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

KONSEP DIRI SISWA YANG BERASAL DARI KELUARGA BROKEN HOME

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

POLA ASUH KELUARGA BROKEN HOME DALAM PROSES PERKEMBANGAN ANAK DI DESA SUMBEREJO, KECAMATAN MADIUN, KABUPATEN MADIUN ABSTRAK

BAB II LANDASAN TEORI. A. Interaksi Sosial. Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode kehidupan penuh dengan dinamika, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang pendidikan, maka berbicara pula tentang perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB III OBJEK PENELITIAN. terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari hasil pembahasan pada bab IV, oleh peneliti rumuskan suatu. kesimpulan, kesimpulan umum dan kesimpulan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis.

Oleh: SITI SULAIKAH LATIF NPM : PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sosial di lingkungan sekolah. Dalam melaksanakan fungsi interaksi sosial, remaja

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA. Naskah Publikasi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial yang setiap harinya menjalin hubungan

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

Membangun Konsep Diri Positif Pada Anak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua adalah komponen keluarga yang di dalamnya terdiri dari ayah dan ibu, dan

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diri dan lingkungan sekitarnya. Cara pandang individu dalam memandang dirinya

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG SUAMINYA MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingkat perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. hal

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

LAMPIRAN. repository.unisba.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 KONTEKS MASALAH Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia yang tidak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Kita mengetahui bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dimana manusia memiliki akal dan pikiran dalam bertindak dan berperilaku dikehidupan sosialnya. Sebagai makhluk sosial, manusia pada hakekatnya membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup sekaligus saling berinteraksi dengan sesamanya, satu-satunya cara untuk dapat berinteraksi adalah dengan berkomunikasi. Komunikasi juga dapat diartikan sebagai aspek terpenting dan kompleks bagi kehidupan manusia(morisan,2009:1). Dengan berkomunikasi manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam komunikasi, melalui komunikasi dapat terjalin interaksi manusia. Interaksi manusia yang paling dasar terjadi didalam sebuah keluarga. Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan satu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan yang lainnya. Dari dimensi darah dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti, Sedangkan dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis (Soekanto, 1990:70-71). Pengertian secara psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri. Pengertian keluarga secara umum menurut Friedman dan Suprajitno, keluarga merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang saling hidup bersama dengan ketertarikan aturan dan emosional dan

memiliki peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Soelaeman,1994:5-10). Beberapa pendapat ahli yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia yang telah diikat dengan tali perkawinan. Di dalam keluarga manusia pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerjasama, tolong-menolong, dan lain-lain. Pengalaman interaksi sosial di dalam keluarga turut menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain. Apabila interaksi sosialnya didalam keluarga berjalan lancar maka besar kemungkinan memiliki tingkah laku yang bagus didalam bermasyarakat. Begitupun sebaliknya, jika interaksi sosial di dalam keluarga tidak berjalan lancar maka besar kemungkinan tingkah lakunya tidak disenangi oleh masyarakat. Di dalam suatu keluarga tidak jarang terjadi suatu perselisihan dan keributan, hal ini dirasa cukup wajar terjadi. Perbedaan pendapat dan perselisihan terjadi di dalam keluarga karena dalam sebuah keluarga terdapat beberapa kepala dengan pemikiran yang berbeda-beda. Keharmonisan dalam keluarga pun sering terjadi kerusakan karena adanya sikap emosional antara sesama anggota keluarga. Keharmonisan didalam keluarga akan tetap terjalin apabila sesama anggota keluarga saling memahami, menghormati dan menjalankan perannya masingmasing, namun jika dalam keluarga tidak ada saling menghargai dan menghormati akan berakibat perpecahan dalam keluarga tersebut. Keluarga Broken Home biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua yang tidak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anakanaknya, baik masalah di rumah, sekolah sampai pada perkembangan pergaulan di masyarakat. Namun broken home juga bisa diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian dan akan sangat berdampak kepada anak-anaknya khusunya remaja.(riset.umrah.ac.id/.../emmi-solina-broken-home).

Ditinjau dari psikologi (dalam Ahmadi,2007:221), remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal dewasa yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada 18 tahun hingga 22 tahun. Dari sudut batas usia saja sudah tampak bahwa golongan remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transasional. Artinya, keremajaan merupakan gejala sosial yang bersifat sementara, oleh karena berada antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak mereka sudah dianggap dewasa sedangkan oleh orang dewasa mereka masih dianggap anak-anak. Kesulitan-kesulitan mengadakan hubungan yang serasi antara orang tua dengan remaja pasti akan ada, akan tetapi kesulitan-kesulitan itu ada yang dengan mudah teratasi, namun ada pula yang sulit untuk diatasi. Walaupun tidak selalu demikian, akan tetapi ada kecenderungankecenderungan umum mengenai masalah-masalah yang sulit atau kurang sulit untuk ditanggulangi. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah itu, Misalnya keadaan sosial-ekonomis, mentalistis, pekerjaan, lingkungan sosial dan seterusnya. Keluarga yang utuh adalah keluarga yang dilengkapi dengan anggotaanggota keluarga, yaitu : ayah, ibu dan anak-anak. Sebaliknya keluarga yang terpecah atau dikenal dengan istilah broken home terjadi dimana tidak hadirnya salah satu orang tua karena kematian atau perceraian atau tidak hadirnya keduaduanya. Antara keluarga yang utuh dan pecah mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan anak. Keluarga yang utuh tidak sekedar utuh dalam arti berkumpulnya ayah dan ibu akan tetapi utuh dalam arti yang sebenar-benarnya yaitu disamping utuh dalam fisik juga utuh dalam psikis. Keluarga yang utuh memiliki suatu kebulatan orang tua terhadap anaknya. Keluarga yang utuh memiliki perhatian yang penuh atas tugas-tugasnya sebagai orang tua. Sebaliknya keluarga yang pecah atau broken home perhatian terhadap anaknya bisa jadi tidak sepenuh keluarga yang utuh. Didalam keluarga anak memerlukan pertimbangan perhatian, kasih sayang dari orang tuanya. Selain keutuhan di dalam struktur keluarga dimaksud pula keutuhan dalam interakasi keluarga agar di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar (harmonis). Apabila orangtuanya sering bertengkar dan menyatakan sikap saling bermusuhan dengan disertai

tindakan-tindakan yang agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh. (soekanto,1990:73). Di Indonesia tidak sedikit keluarga yang mengalami perpecahan. perpecahan dalam keluarga dapat terjadi baik antar sesama orang tua, orang tua dengan anak, maupun antar anak dengan anak. Perpecahan orang tua itu dapat berakibat pada perpisahan atau perceraian orang tua dan dalam kenyataannya perceraian orang tua selalu berakibat pada anak-anaknya. Anak-anak selalu menjadi korban atas perceraian orang tuanya. Akibat dari perceraian orang tua itu ada anak-anak yang bisa tetap bangkit dan tidak dijadikan beban hidup atas perceraian orang tuanya. Namun, tidak sedikit pula yang terpuruk atas perceraian orang tuanya. Anak-anak yang terpuruk akibat perceraian orang tua sering menjadi anak-anak yang tidak bisa bangkit dan menjadikan hal ini beban didalam kehidupannya. Psikologis komunikasi pada anak remaja yang berasal dari keluarga broken home juga mengalami perubahan. Sikap anak broken home dengan anak yang berasal dari keluarga utuh bisa saja berbeda karena kurangnya komunikasi, perhatian dan bimbingan dari kedua orang tua. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak dapat mempengaruhi perubahan sikap anak baik dalam keluarga, teman-teman maupun lingkungannya. Remaja dalam hal ini mempunyai kelabilan sehingga peran keluarga sangat mempengaruhi mereka dalam bersikap. Perubahan struktur didalam keluarga membuat anak harus membiasakan diri atas perbedaan peran orang tuanya, tidak semua anak mampu dalam membiasakan perubahan struktur tersebut, sebagian anak mengalami ketertekanan ketika salah seorang dari orang tua harus pergi meninggalkannya, ketertekanan tersebut berdampak pada sikap mereka yang suka melakukan pelanggaran, egois dan sebagainya, dan adapula anak-anak yang cenderung lebih pendiam dan murung atas perceraian kedua orang tua yang dialaminya. K.Gotchaldt, Leipzig 1950 (dalam Gerungan,1993:186), mendapatkan bahwa 70,8% dari anak-anak yang sulit dididik yang ia selidiki berasal dari keluarga-keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. Maud A.Merril, Boston, 1949 mendapatkan bahwa 50% dari anak-anak delinkuen (anak-anak yang menyeleweng) berasal dari keluarga

broken home, demikian pula sekurang-kurangnya 50% dari anak-anak di Prayuwana (lembaga atau perkumpulan anak-anak nakal yang pernah melakukan kejahatan) dan penjara anak-anak di Indonesia berasal dari keluarga broken home, dimana hal ini terjadi karena kebebasan pergaulan yang dialami oleh anak-anak broken home. Hal ini merupakan hal yang memprihatinkan, walau tak semua anak dari keluarga broken home mengalami hal tersebut. Tidak hanya berakhir pada penilaian orang lain tentang keluarga broken home, anak remaja yang berasal dari keluarga broken home pun memberikan pandangan dan perasaan tentang dirinya sendiri atau disebut dengan konsep diri. Konsep diri merupakan pandangan atau persepsi kita mengenai siapa diri kita dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Persepsi tentang diri boleh bersifat psikologi sosial dan fisik. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian tentang diri sendiri. Setiap manusia memiliki konsep dirinya masing-masing begitupun pada anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home ini. Pembentukan konsep diri bisa jadi berubah karena telah menjadi anak broken home atau sama ketika posisinya sebagai anak yang berasal dari keluarga yang utuh. Penilaian terhadap diri sendiri dapat menimbulkan berbagai perilaku yang berbeda-beda dari setiap orang termasuk pada anak remaja yang berasal dari keluarga broken home. Orang lain merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam pembentukan konsep diri. Konsep diri kita yang paling dini dipengaruhi oleh keluarga, teman dekat dan lingkungan tempat kita tinggal. Harry Stack Sullivan (dalam Ahmadi:111) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri kita, maka kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, jika orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita maka kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita. Anak yang termasuk dalam keluarga broken home memiliki konsep diri tersendiri yang membuat mereka menimbulkan perilaku yang berbeda-beda. Banyak anak yang termasuk dalam keluarga broken home memiliki tingkah laku yang baik karena konsep diri yang terbentuk baik, sehingga terjadinya perceraian pada orang tua tidak mempengaruhinya untuk menjadi anak yang berprilaku baik, namun tidak sedikit

juga anak yang termasuk dalam keluarga broken home memiliki perilaku yang tidak disenangi masyarakat karena kebebasannya dalam bergaul. Perbedaan perilaku pada anak yang termasuk dalam keluarga broken home ini dikarenakan perbedaan dan konsistensi mereka dalam membentuk konsep dirinya masingmasing. Konsep diri dapat mempengaruhi pada komunikasi interpersonal (Rakhmat 2007:104-109), yaitu: a. Nubuat yang dipenuhi diri sendiri : setiap orang cenderung bertingkah laku sesuai dengann konsep diri. Bila seseorang berpikir dia bodoh, maka akan benar-benar menjadi orang bodoh. Positif atau negatifnya seseorang tergantung pada konsep diri yang terbentuk. Menurut William D.Brooks dan Philip Emmert ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif : (1) peka terhadap kritik, (2) responsif terhadap pujian, (3) sikap hiperkritis, (4) selalu merasa tidak disenangi orang lain, (5) bersikap pesimis. Sebaliknya orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan : keyakinan akan kemampuan mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, kesadaran akan perasaan orang lain dan kemampuan memeperbaiki diri karena merasa sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya. b. Membuka diri : pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pngalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cermat memandang diri kita dan orang lain. c. percaya diri (self confidence) : ketakutan dalam berkomunikasi disebabkan oleh kurangnya percaya diri. Percaya diri adalah yang paling menentukan. Keinginan untuk menutup diri, selain karena konsep diri yang negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan sendiri. Orang yang tidak menyenangi dirinya merasa bahwa dirinya tidak akan mampu mengatasi persoalan. Orang yang kurang percaya diri seedapat mungkin menghindari situasi komunikasi.

d. selektivitas : konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita, karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apakah seseorang bersedia membuka diri (terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif) dan apa yang kita ingat (ingatan selektif). Penelitian ini lebih mengkhususkan pada pengaruh konsep diri terhadap keterbukaan diri seorang anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home. keterbukaan diri dapat terlihat dari cara mereka berkomunikasi dengan orang lain, bekerjasama dan lain sebagainya. Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi dan self disclosure (keterbukaan diri) seseorang. Menurut Morton (dalam Dayakisni, 2003:87) keterbukaan diri (Self disclosure) merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi didalam keterbukaan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar, seperti: jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang kita suka atau hal-hal yang kita sukai atau kita benci. Keterbukaan diri dapat berupa berbagai topik, seperti informasi perilaku, sifat, perasaan, keinginan, motivasi dan ide. Kedalaman dari keterbukaan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Tidak sama semua self disclosure setiap orang termasuk pada anak remaja yang berasal dari keluarga broken home, bisa jadi anak tersebut sangat terbuka atau bahkan sebaliknya mereka menjadi sosok yang tertutup dalam berinteraksi dengan orang lain, hal ini terjadi karena adanya tekanan dan rasa malu akan kondisi keluarga yang seharusnya utuh menjadi perceraian, dampak dari sikap tertutup ini bisa berakibat fatal pada anak, mereka seolah memendam masalah sendiri sampai terjadi tekanan mental yang bisa berakibat pada stres atau bahkan pada kematian karena beban yang begitu berat dirasakan didalam kehidupannya. Berbeda dengan anak broken home yang tetap terbuka walaupun keluarganya sudah mengalami perceraian, terkadang keterbukaan ini bisa saja membuat anak lebih tenang karena perceraian orang tuanya tidak menjadi beban baginya, mereka tetap tegar dalam menjalani kehidupan sosialnya. Namun terkadang sikap yang terlalu terbuka membuat anak menjadi lebih bebas dalam pergaulan, mereka merasa tidak lagi

mendapatkan perhatian penuh dari orang tua sehingga anak tidak dapat memilih pergaulan yang positif maupun pergaulan yang negatif. Berdasarkan uraian yang dikemukakan, peneliti tertarik meneliti mengenai Psikologis Komunikasi Anak Broken Home Terhadap Konsep diri dan Keterbukaan Diri dengan menggunakan studi Deskriptif Kualitatif. Informan didalam penelitian ini berlokasi di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Tanjung Beringin yang merupakan lokasi yang terdiri dari delapan desa dengan jumlah penduduk 41.841 jiwa. Melayu disusul dengan Karo menjadi suku mayoritas dikecamatan ini. (http://www.serdangbedagaikab.go.id/bappeda/index.php?mod=home&opt=hasil_ pencarian&id_content= 303). penduduk di kecamatan ini memiliki banyak pasangan suami istri yang menikah muda, selain itu di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai ini memiliki tingkat keluarga yang mengalami perceraian baik cerai mati maupun cerai hidup sekitar 27%, hal ini menunjukkan lebih dari seperempat penduduk mengalami perceraian dari berbagai latar belakang permasalahan (Sumber: Kepala Lorong Dusun V kecamatan Tanjung Beringin, Kamis, 9 Oktober 2014). 1.2 FOKUS MASALAH Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Psikologis Komunikasi Remaja Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai? 1.3 PEMBATASAN MASALAH Untuk memperjelas lingkup permasalahan yang akan diteliti agar tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut: 1. Peneliti hanya terbatas pada anak remaja usia 10-22 tahun yang termasuk dalam keluarga broken home di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. Usia remaja secara psikologis bermula dari usia 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Ahmadi,2007:221).

2. Penelitian ini ingin melihat psikologis komunikasi, konsep diri dan keterbukaan diri dari anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home. 3. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2014 10 Januari 2015. 1.4 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui psikologis komunikasi anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home terhadap konsep diri Dan keterbukaan diri di kecamatan Tanjung Beringin kabupaten Serdang Bedagai. 1.5 MANFAAT PENELITIAN Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah : 1. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan dan pembuktian terhadap beberapa teori yang membahas tentang Konsep diri khususnya pada anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home. 2. Secara akademis, penelitian ini menambah pengetahuan dan memperkaya bahan penelitian serta dapat dijadikan sebagai sumber bacaan bagi mahasiswa FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi. 3. Secara praktis, penelitian ini dijadikan sebagai pengetahuan bagi pembaca dalam memahami keterbukaan diri anak remaja yang berasal dari keluarga broken home untuk menjalin hubungan yang positif.