BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan rhodamin

ANALISIS PEWARNA RHODAMIN B DALAM ARUM MANIS SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis DI DAERAH SUKOHARJO DAN SURAKARTA

METODE PENELITIAN. Metode penelitian ini merupakan deskriptif laboratorium yaitu dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

ANALISIS KANDUNGAN RHODAMIN B SEBAGAI PEWARNA PADA SEDIAAN LIPSTIK IMPOR YANG BEREDAR DI KOTA MAKASSAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.

GAMBARAN ZAT WARNA RHODAMIN B PADA KOSMETIK PEMERAH BIBIR YANG BEREDAR DIPASAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Spektrum Derivatif Metil Paraben dan Propil Paraben

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas antioksidan pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Dari 100 kg sampel kulit kacang tanah yang dimaserasi dengan 420 L

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan

tetapi untuk efektivitas ekstraksi analit dengan rasio distribusi yang kecil (<1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut baru pada

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fase gerak : dapar fosfat ph 3,5 : asetonitril (80:20) : panjang gelombang 195 nm

BAB 3 METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September 2015 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODE PERCOBAAN. Yang dilakukan mulai 26 Januari sampai 26 Februari Pemanas listrik. 3. Chamber. 4. Kertas kromatografi No.

BAB II METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metodologi Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

BAB V HASIL PENELITIAN. 5.1 Penyiapan Bahan Hasil determinasi tumbuhan yang telah dilakukan di UPT Balai

ANALISA KANDUNGAN RHODAMIN B SEBAGAI PEWARNA PADA SEDIAAN LIPSTIK YANG BEREDAR DI MASYARAKAT TAHUN 2011

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

ANALISIS KANDUNGAN ZAT PEWARNA TARTRAZIN DALAM MINUMAN JAJANAN DI SEKOLAH DASAR KECAMATAN WARA KOTA PALOPO

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Surat Identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-Bogor.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

UJI KUANTITATIF DNA. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Ahli Pertama

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan dengan metode uji toleransi glukosa.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

EKSTRAKSI Ekstraksi padat-cair Ekstraksi cair-cair Ekstraksi yang berkesinambungan Ekstraksi bertahap Maserasi metode ekstraksi padat-cair bertahap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A

3 Metodologi Penelitian

III. BAHAN DAN METODA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

III. METODOLOGI PERCOBAAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai Juni 2015 di

BAB III. eksperimental komputasi. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yang

Standardisasi Obat Bahan Alam. Indah Solihah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :

IDENTIFIKASI RHODAMIN B PADA SAUS TOMAT YANG BEREDAR DI PASAR PAGI SAMARINDA. Eka Siswanto Syamsul, Reny Nur Mulyani, Siti Jubaidah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

VALIDASI METODE ANALISIS PENENTUAN KADAR HIDROKINON DALAM SAMPEL KRIM PEMUTIH WAJAH MELALUI KLT-DENSITOMETRI

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III METODE PENELITIAN. penelitian Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data penetapan kadar larutan baku formaldehid dapat dilihat pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah cincau hijau. Lokasi penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

BAB III BAHAN DAN METODE. Lokasi pengambilan sampel diambil dibeberapa toko di kota Medan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan, pada umumnya zat warna yang ditambahkan dalam sediaan lipstik antara 0,5-3,0% dari berat total sediaan. Oleh karena itu penyarian zat warna dalam sampel lipstik tidak dapat dilakukan secara langsung, dalam arti sampel harus dipreparasi terlebih dahulu. Metode ekstraksi rhodamin B dalam penelitian ini mengacu pada prosedur ektraksi standar Ditjen POM RI (2006), yaitu dengan metode ekstraksi cair-cair. Prinsipnya adalah penyarian zat warna rhodamin B dalam sampel berdasarkan sifat kelarutan bahan pewarna terhadap pelarut tertentu sehingga dapat mengidentifikasi secara spesifik. Sifat asam dan basa suatu senyawa akan memberikan profil pemisahan yang efisien. Pada saat senyawa mengalami ionisasi maka profil kelarutan senyawa tersebut akan berubah. Jika suatu senyawa ditambahkan pada sepasang pelarut yang tidak saling bercampur, maka senyawa akan terdistribusi dengan sendirinya di antara dua pelarut tersebut sesuai dengan afinitasnya pada masingmasing pelarut. Dalam hal ini afinitas senyawa dapat dipengaruhi oleh perubahan ph. 35

36 Proses penyarian bertujuan agar zat warna rhodamin B yang kemungkinan terdapat dalam sampel dapat diidentifikasi secara spesifik karena bahan pewarna ditambahkan dalam kosmetika dapat berupa zat tunggal maupun campuran. Maka prosedur ekstraksi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa pewarna merah yang terdapat pada sampel belum tentu zat warna rhodamin B. Pemilihan isolasi zat warna rhodamin B dalam sampel kosmetika dengan metode ekstraksi cair-cair lebih baik daripada metode benang wol karena rhodamin B merupakan zat warna yang bersifat basa. Sifat tersebut menyebabkan rhodamin B sukar terikat pada serat benang wol, sehingga ekstraksi rhodamin B dalam sampel menjadi kurang sempurna. Jenis ekstraksi merupakan ekstraksi tunggal dengan melakukan penggojogan larutan uji dalam pelarut air dan pelarut organik di dalam corong pisah kemudian fase organik dipisahkan dengan fase air. Pelarut yang digunakan tentunya dipilih berdasarkan prinsip like dissolves like atau disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa rhodamin B. Sampel yang berupa sediaan padat digerus dan dihomogenkan terlebih dahulu pada proses preparasi untuk meningkatkan luas permukaan partikel agar ekstraksi dapat berlangsung dengan baik. Semakin kecil ukuran partikel dari bahan ekstraksi, maka proses perpindahan massa dengan cara difusi akan semakin baik. Ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut.

37 Tahap awal penyarian zat warna dilakukan dengan proses maserasi, yang bertujuan untuk melarutkan semua komponen zat warna yang terdapat dalam sampel. Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam sampel dalam cairan penyari yang sesuai selama beberapa waktu tertentu. Teknik maserasi merupakan teknik penyarian sederhana dan mudah dilakukan, serta tidak memerlukan peralatan yang kompleks. Rhodamin B merupakan zat warna bersifat basa yang larut dalam etanol (Anonim, 2009 b ). Maserasi sampel lipstik dilakukan dengan menggunakan pelarut amonia 2% dalam etanol 70%. Etanol merupakan salah satu jenis pelarut organik. Senyawa dalam bentuk basa akan mudah terekstraksi ke dalam pelarut organik dalam suasana basa. Maka pada tahap maserasi ini diharapkan hanya golongan zat warna yang bersifat basa saja yang akan tersari ke dalam pelarut etanol. Maserasi dilakukan selama semalam atau 24 jam untuk memperoleh hasil yang maksimal. Filtrasi yang dilakukan pada tahap akhir maserasi bertujuan untuk memisahkan komponen padat yang tidak larut. Filtrasi dilakukan dengan menggunakan kertas saring whattman No. 42. Dasar pemisahan adalah perbedaan ukuran partikel antara pelarut dengan zat terlarutnya. Penyaring akan menahan zat padat yang mempunyai ukuran partikel yang lebih besar dari pori-pori penyaring dan akan meneruskan pelarut. Padatan yang tidak larut tersebut dapat berupa pengotor dan komponen lemak yang terdapat dalam komposisi sediaan lipstik. Filtrat hasil maserasi kemudian diuapkan di atas tangas air pada suhu 65 0 C di mana pada suhu tersebut masih menjamin kestabilan senyawa rhodamin B dalam larutan. Proses evaporasi ini ditujukan untuk menguapkan pelarut maserasi

38 sehingga diperoleh residu berupa larutan pekat, yaitu larutan yang mengandung zat warna. Pada tahap ini diharapkan diperoleh ekstrak zat warna bersifat basa yang stabil pada pemanasan hingga suhu 65 0 C. Isolasi zat warna rhodamin B dengan metode ekstraksi cair-cair dimulai setelah larutan pekat tersebut ditambahkan dengan pelarut aquadest. Senyawa rhodamin B sangat mudah larut dalam aquadest. Dengan demikian pada tahap ini hanya zat warna bersifat polar saja yang akan larut ke dalam aquadest. Tujuan penambahan aquadest pada awal ekstraksi cair-cair adalah sebagai pelarut pertama ekstraksi dan juga untuk memaksimalkan hasil ekstraksi cair-cair dengan penambahan volume pelarut. Kondisi awal ekstraksi cair-cair yang dilakukan di dalam corong pisah adalah senyawa rhodamin B berada dalam pelarut air. Kemudian dengan menambahkan basa kuat yaitu NaOH 10% b/v, akan menyebabkan kelarutan rhodamin B dalam air menjadi berkurang. Pada saat ditambahkan pelarut ekstraksi yaitu dietil eter disertai dengan penggojogan, rhodamin B akan lebih larut dalam eter sehingga rhodamin B akan tersari ke dalam fase eter. Rhodamin B merupakan golongan pewarna yang bersifat basa. Dalam keadaan tidak terionisasi atau pada ph tinggi senyawa basa cenderung larut dengan baik dalam pelarut organik non polar. Penambahan NaOH 10% b/v pada proses ekstraksi menyebabkan kenaikan ph pada fase air sehingga kelarutan rhodamin B dalam air menjadi berkurang. Tersarinya rhodamin B dalam fase eter ditandai dengan warna lapisan eter menjadi berwarna merah muda, sedangkan pada lapisan air berwana kuning atau

39 hampir bening. Hal ini menunjukkan sifat spesifik rhodamin B dalam larutan, yaitu pada konsentrasi rendah dapat memberikan warna merah muda pada larutan (Anonim, 2009). Maka pada tahap ini dapat diketahui kemungkinan zat warna yang tersari selama proses ekstraksi. Pencucian ekstrak eter menggunakan larutan NaOH 0,5% dimaksudkan untuk menghilangkan residu atau pengotor, di mana residu ini akan larut pada fase air dan kemudian dibuang melalui kran corong pisah. Penambahan HCl 0,1 N pada tahap akhir ekstraksi akan menyebabkan rhodamin B tersari ke dalam fase air yang ditandai dengan larutan pada fase air menjadi berwarna merah muda setelah dilakukan penggojogan. Sesuai dengan teori sifat senyawa basa, di mana pada ph rendah senyawa tersebut akan larut dalam pelarut polar. HCl 0,1 N yang ditambahkan menyebabkan terjadinya penurunan ph sehingga rhodamin B akan tersari ke dalam fase air. Hasil ekstraksi merupakan larutan berwarna merah muda yang kemudian ditampung dan digunakan sebagai larutan uji. Menurut Wonorahardjo (2012), ekstraksi cair-cair merupakan cara untuk praperlakuan sampel atau clean up untuk memisahkan dan memurnikan analit dari komponen pengotor sehingga larutan uji yang diperoleh dapat secara langsung digunakan dalam analisis kuantitatif karena analit sudah berada dalam bentuk tunggal.

40 B. Identifikasi Rhodamin B dalam Sampel Uji kualitatif atau identifikasi Rhodamin B pada sampel dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Keuntungan dari metode ini adalah metode ini sudah dapat digunakan untuk pemisahan campuran, menggunakan peralatan dan teknik yang lebih sederhana, serta waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama. Identifikasi secara KLT adalah teknik pemisahan fisik suatu campuran kimia yang berdasar pada perbedaan migrasi dari masing-masing komponen campuran yang terpisah pada fase diam di bawah pengaruh pergerakan fase gerak. Teknik KLT merupakan teknik pemisahan senyawa yang bersifat sensitif, misalnya pada ph, temperatur, dan tekanan. Maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya kemurnian zat dan pelarut yang digunakan, serta prosedur kerja pada masing-masing langkah. Pemilihan fase gerak merupakan salah satu hal penting yang digunakan karena dapat mempengaruhi gerakan noda atau bercak yang ditimbulkan selama elusi berlangsung atau dengan kata lain fase gerak juga dapat mempengaruhi harga R f. Pemilihan fase gerak dilakukan berdasarkan prinsip like dissolves like, di mana rhodamin B yang bersifat polar akan lebih mudah terdistribusi pada fase yang lebih polar. Fase gerak yang digunakan yaitu fase gerak sistem F yang tercantum dalam Ditjen POM RI (2011) untuk senyawa merah K10 (Rhodamin B) yaitu n-butanol : etil asetat : amonia 25% dengan perbandingan (55:20:25) v/v/v yang cenderung bersifat polar.

41 Menurut penelitian Tangka dkk (2012), fase gerak tersebut dapat digunakan dalam analisis kualitatif senyawa rhodamin B secara KLT dan menghasilkan nilai R f yang baik. Nilai R f yang diberikan berada pada rentang 0,75-0,88 sehingga memberikan profil pemisahan yang optimal dan mudah untuk diamati. Sebagai fase diam digunakan plat silika gel GF 254. Fase diam jenis ini telah digunakan secara luas dan dapat digunakan dalam pemisahan senyawa bersifat asam, basa, dan netral. Pada silika gel GF 254 ditambahkan indikator fluoresen yang akan mengemisikan fluoresensi hijau ketika disinari dengan lampu UV pada panjang gelombang 254 nm sehingga akan memudahkan visualisasi atau pengamatan noda senyawa yang telah berhasil dipisahkan secara KLT. Hasil pemeriksaan kualitatif rhodamin B ditunjukkan pada Tabel II Tabel II. Hasil Pemeriksaan Kualitatif Rhodamin B pada Sampel Secara KLT Sampel Visual Sinar UV 254 nm 366 nm Nilai R f Rhodamin B standard Merah muda Merah muda Kuning 0,78 S Merah muda Merah muda Kuning 0,77 MF No. 02 Merah muda Merah muda Kuning 0,77 P Merah muda Merah muda Kuning 0,76 EL No. 01 - - - - U - - - - Ch No. 01 - - - - C - - - - Deteksi senyawa rhodamin B secara KLT dilakukan dengan pengamatan warna noda secara visual dan di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm. Sesuai dengan parameter Ditjen POM RI (2011), senyawa rhodamin B jika diamati secara visual akan berwarna merah muda. Jika dilihat di bawah lampu UV 366 nm

42 memberikan fluoresensi kuning dan pada UV 254 nm memberikan warna merah muda. Berdasarkan identifikasi, terdapat tiga sampel yang memberikan hasil positif jika diamati secara visual serta fluoresensi yang ditunjukkan pada pengamatan di bawah lampu UV 366 nm dan 254 nm. Hasil visualisasi dapat dilihat dalam lampiran No. 1. Untuk mengidentifikasi senyawa secara KLT juga dapat dilakukan berdasarkan pengamatan nilai R f -nya. Dikatakan positif jika senyawa yang dianalisis dibandingkan dengan senyawa standar pembanding pada lapisan yang sama memiliki nilai R f yang sama atau mendekati. Parameter positif berdasarkan Depkes RI (1988) adalah apabila warna bercak antara standar dengan sampel sama dan harga R f antara sampel dengan standar sama atau saling mendekati dengan selisih harga 0,2. Ketiga sampel S, MF No. 02, dan P di atas memberikan nilai R f yang mendekati senyawa rhodamin B standar. Sampel S dan MF No.02 memberikan nilai R f sebesar 0,77 dan R f sampel P sebesar 0,76. Maka berdasarkan pemeriksaan kualitatif sampel S, MF No. 02, dan P positif mengandung senyawa rhodamin B. C. Analisis Kuantitatif Rhodamin B 1. Panjang Gelombang Maksimum Larutan Rhodamin B Penentuan panjang gelombang maksimum larutan Rhodamin B dilakukan pada konsentrasi 2 ppm dengan rentang panjang gelombang

43 400 800 nm. Menurut Sudjadi (2007), sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400 750 nm. Untuk memperoleh panjang gelombang maksimum dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi larutan dengan panjang gelombang. Tujuan pengukuran gelombang maksimum adalah untuk memperoleh panjang gelombang yang memiliki kepekaan pengukuran maksimum senyawa rhodamin B. Dengan pengukuran pada panjang gelombang maksimum maka jika terjadi penyimpangan kecil panjang gelombang dari cahaya masuk hanya akan menyebabkan kesalahan pengukuran yang kecil. Kurva serapan maksimum larutan rhodamin B dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Kurva Panjang Gelombang Maksimum Larutan Rhodamin B Penentuan panjang gelombang maksimum larutan rhodamin B dengan konsentrasi 2 ppm diperoleh panjang gelombang maksimum pada 556 nm. Berdasarkan penelitian Silalahi dan Rahman (2011) panjang gelombang maksimum larutan rhodamin B adalah 557 nm. Perbedaan panjang gelombang sebesar 1 nm masih dalam batas toleransi yang

44 diperkenankan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), yaitu lebih kurang 3 nm. Hal ini berarti bahwa panjang gelombang ini dapat digunakan dalam analisis kuantitatif rhodamin B secara spektrofotometri UV-Vis. Perbedaan panjang gelombang kemungkinan disebabkan karena perbedaan kondisi alat yang digunakan dan pemantauan temperatur pada saat pengukuran. 2. Waktu Kerja (Operating time) Larutan Rhodamin B Tujuan pengukuran waktu kerja atau operating time adalah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil, terutama apabila senyawa yang dianalisis ditambahkan pereaksi tertentu sehingga membentuk molekul yang dapat menyerap sinar UV. Data penentuan waktu kerja larutan rhodamin B tertera dalam lampiran No. 2. Pengukuran absorbansi senyawa menggunakan spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada saat waktu operasional karena semakin lama waktu pengukuran ada kemungkinan senyawa menjadi rusak atau terurai sehingga intensitas senyawa akan turun, dan absorbansinya juga turun. Hal ini menyebabkan hasil pengukuran menjadi tidak akurat. Waktu operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan. Hasil penentuan waktu kerja yaitu diperoleh waktu pengukuran yang menghasilkan absorbansi maksimal pada menit ke-1. Artinya waktu pengukuran serapan terbaik untuk larutan rhodamin B adalah pada menit pertama.

45 Hasil pengukuran waktu operasional cukup singkat karena tidak dilakukan prosedur reaksi tertentu terhadap larutan rhodamin B sebelum diukur serapannya dengan spektrofotometri UV-Vis. Senyawa rhodamin B merupakan senyawa berwarna yang memiliki serapan pada panjang gelombang 557 nm dalam bentuk larutan dalam air. Dengan demikian waktu kerja larutan rhodamin B yang diperoleh pada pengukuran menggunakan spektrofotometri UV-Vis ini sangat singkat. 3. Kurva Baku Larutan Rhodamin B Analisis kuantitatif rhodamin B dalam sampel menggunakan metode kurva kalibrasi, yaitu dengan membuat kurva hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi. Pembuatan kurva baku larutan rhodamin B dilakukan dengan membuat seri larutan dengan variasi konsentrasi. Digunakan lima titik atau lima seri konsentrasi larutan baku dalam penelitian ini yaitu 2; 2,5; 3,5; 4; dan 5 ppm, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 556 nm. Kurva baku larutan rhodamin B tertera pada lampiran No. 3. Persamaan regresi kurva baku yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungan adalah y = 0,128 x 0,001 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,999. Kurva baku dapat digunakan dalam analisis kuantitatif rhodamin B pada penelitian ini berdasarkan nilai r hitung yang diperoleh yaitu 0,999 lebih besar dari nilai r tabel pada taraf kesalahan 5% yaitu 0,878 dan 1% yaitu 0,959. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi yang

46 positif antara konsentrasi dan absorbansi. Artinya, dengan meningkatnya konsentrasi maka absorbansi juga akan meningkat. 4. Kadar Rhodamin B dalam Sampel Penentuan kadar rhodamin B secara spektrofotometri UV-Vis berdasarkan prinsip interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan suatu analit dalam sampel, di mana dengan adanya interaksi tersebut menyebabkan terjadinya perpindahan elektron valensi ke tingkat orbital yang lebih tinggi. Jumlah intensitas radiasi yang diserap oleh sampel dihubungkan dengan konsentrasi analit dalam sampel tersebut, sehingga jumlah atau kadar analit dalam sampel dapat ditentukan. Analisis kuantitatif rhodamin B pada sampel menunjukkan bahwa senyawa tersebut digunakan dalam sediaan lipstik pada kadar tertentu. Hasil penetapan kadar rhodamin B dalam sampel menggunakan spektrofotometri UV-Vis tertera pada Tabel III. Perhitungan kadar rhodamin B dalam sampel tertera dalam lampiran No. 5. Tabel III. Hasil Perhitungan Kadar Rhodamin B pada Sampel Sampel Replikasi Absorbansi Kadar (% b/b) Rata-rata kadar ± SD (x10-3 ) S MF No. 02 P 2. 0,5004 3,13 x 10-3 3,11 ± 0,002 1. 0,4985 3,12 x 10-3 3. 0,4944 3,09 x 10-3 2. 0,4940 2,86 x 10-3 2,59 ± 0,048 1. 0,4948 2,87 x 10-3 3. 0,3492 2,03 x 10-3 2. 0,2999 2,07 x 10-3 2,09 ± 0,002 1. 0,3062 2,12 x 10-3 3. 0,2994 2,07 x 10-3

47 Gambar 6. Hasil Analisis Kuantitatif Rhodamin B pada Sampel Ditinjau dari penggunaan sediaan lipstik tentunya hal ini dapat membahayakan konsumen karena risiko iritasi, bahkan kemungkinan efek toksik akan terjadi jika senyawa tersebut masuk ke dalam tubuh. Disebutkan dalam Formularium Kosmetika Indonesia (1985), struktur anatomi bibir memiliki kulit jangat yang tipis, stratum germinativum yang lebih menonjol, dan banyaknya aliran darah di daerah permukaan kulit bibir, menunjukkan kulit bibir memiliki sifat lebih peka dibandingkan bagian kulit lainnya. Sifat yang lebih peka ini memungkinkan mudahnya zat asing untuk berpenetrasi ke dalam tubuh. Bahan pewarna rhodamin B dilarang penggunaannya pada sediaan kosmetika sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 239 tahun 1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya. Rhodamin B tidak boleh terdapat dalam jumlah berapapun pada commit produk to user kosmetika.

48 Menurut Wasitaatmadja (1997), pada awalnya produk diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau mineral. Pemilihan pewarna sintetik untuk menggantikan pewarna alami adalah karena kestabilan dalam penyimpanan, intensitas warna yang diberikan cukup baik, serta harganya yang lebih murah. Warna hasil produksi suatu bahan sangat berpengaruh bagi pemakainya, sebagai contoh, warna suatu kosmetika sangat berperan secara psikologis bagi pemakainya terhadap pembentuk kecantikan sehingga warna pada produk akan menjadi kriteria tersendiri bagi konsumen untuk memilih produk. Kontrol kualitas sediaan kosmetika yang beredar di masyarakat sangat penting dilakukan guna mencegah terjadinya penyalahgunaan yang dapat membahayakan konsumen. Pengawasan terhadap peredaran kosmetika harus lebih ditingkatkan, terutama pada produk-produk yang tidak mencantumkan izin edar dan nomor registrasi BPOM. Izin edar merupakan bentuk persetujuan pendaftaran kosmetik yang diberikan oleh Kepala Badan POM RI untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia (Ditjen POM RI, 2003). Maka setiap produk kosmetika yang beredar harus memiliki izin edar agar kosmetika tersebut dapat dinilai keamanannya. Terhadap produk yang tidak mencantumkan izin edar, kemungkinan produk tersebut memang tidak terdaftar atau tidak

49 memenuhi prosedur khusus pre market di Badan POM RI, sehingga terhadap keamanan produk tersebut perlu diwaspadai. Dengan demikian pengawasan post market terhadap produk kosmetika yang telah beredar di masyarakat melalui sampling dan pengujian laboratorium dapat dilakukan sebagai upaya monitoring peredaran kosmetika di masyarakat. Sampel kosmetika di masyarakat diobservasi berdasarkan kriteria tertentu kemudian dianalisis melalui uji kualitatif dan kuantitatif di laboratorium.