BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, Indonesia dihadapkan pada berbagai macam permasalahan, baik ekonomi, pendidikan, sosial maupun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Seks bebas adalah hubungan seksual terhadap lawan jenis maupun

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB I PENDAHULUAN. baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial. Batasan usia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

BAB I PENDAHULUAN. ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1: PENDAHULUAN. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan pertumbuhan tubuh.

BAB 1 : PENDAHULUAN. sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB I PENDAHULUAN. tentang kesehatan reproduksi ini penting untuk. diberikan kepada remaja, melihat semakin meningkatnya kasus-kasus remaja

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. peka adalah permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kematangan seksual

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. depan. Keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat. tergantung pada masa remajanya (BKKBN, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan reproduksi remaja (Kemenkes RI, 2015). reproduksi. Perilaku seks berisiko antara lain seks pranikah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai individu yang berada pada rentang usia tahun (Kemenkes RI, 2014).

Pentingnya Sex Education Bagi Remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Sarwono, 2001)

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pendahuluan dalam babi secara garis besar memuat penjelasan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut, remaja cenderung untuk menerima tantangan atau coba-coba melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB I PENDAHULUAN. kelompok umur tahun dengan total jiwa, jenis kelamin

Berbincang Kesehatan Reproduksi PKBI DIY

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

Pendidikan seksualitas remaja. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada masa remaja umumnya anak telah mulai menemukan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. penduduk dunia. Menurut World Health Organization sekitar seperlima dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA. By : Basyariah Lubis, SST, MKes

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah remaja usia tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri kenyataan bahwa remaja sekarang sudah berperilaku seksual secara bebas.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Aspek biopsikososial higiene...irmatri Ariyani, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Pada

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan proses yang normal dan alamiah pada seorang wanita

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali setiap individu akan mengalami masa peralihan ini.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

(e) Uang saku rata-rata perbulan kurang dari Rp ,- (64,8%) dan sisanya (35,3%) lebih dari Rp per bulan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan tahap kehidupan seseorang mencapai proses

Pendidikan Agama Katolik

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa. Sebesar 63,4 juta jiwa diantaranya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan sistem

Hubungan Karakteristik Remaja dengan Pengetahuan Remaja Mengenai Kesehatan Reproduksi di Kota Cimahi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. baik fisik, psikologis, intelektual maupun sosial. Baik buruknya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. di Nigeria (79%), Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%) (WHO,

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah remaja, dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, Indonesia dihadapkan pada berbagai macam permasalahan, baik ekonomi, pendidikan, sosial maupun kesehatan. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian MDGs (Millenium Development Goals) memiliki pekerjaan rumah yang banyak untuk mencapai target MDGs hingga tahun 2015. Sebanyak 3 dari 8 tujuan yang terdapat dalam MDGs berkaitan erat dengan kesehatan reproduksi. Ketiga tujuan tersebut adalah menurunkan angka kematian ibu/maternal, menurunkan angka kematian anak dan bayi serta menurunkan angka penderita HIV/AIDS (Wilopo, 2010). Permasalahan kesehatan reproduksi yang dialami wanita saat ini di antaranya adalah : seks pranikah, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi ilegal, kekerasan seksual, dan penyakit menular seksual. Data SDKI 2007 menunjukkan dari 801 remaja yang telah melakukan hubungan seks pranikah, sebanyak 81 orang (11%) berakhir dengan kehamilan yang tidak diharapkan. Di antara remaja yang hamil tersebut, sekitar 50% mengakhiri kehamilannya dengan aborsi (Listyaningsih dan Satiti, 2010). Berdasarkan pencapaian MDG s tahun 2011, jumlah kumulatif kasus HIV yang terlaporkan adalah 77.779 kasus. Angka yang tidak terlaporkan jauh lebih besar dari yang terlaporkan (BAPPENAS, 2012). Kasus kekerasan seksual pun makin meningkat di Indonesia, dan parahnya yang menjadi korbannya bukan lagi usia remaja, melainkan anak-anak usia sekolah dasar, bahkan lebih muda dari itu. Menurut Peraturan Meneg PP&PA No 08 Tahun 2012, kekerasan seksual adalah tindakan kekerasan yang dialami oleh anak yang diarahkan pada alat reproduksinya, sehingga mengakibatkan terganggunya tumbuh kembang anak secara fisik, psikis maupun sosial anak. Jenis tindak kekerasan seksual tersebut antara lain adalah hubungan seksual secara paksa/tidak wajar (pemerkosaan/percobaan pemerkosaan, incest, sodomi), penjualan anak untuk pelacuran/pornografi, pemaksaan untuk menjadi pelacur, atau pencabulan/pelecehan seksual serta memaksa anak untuk menikah. Sering kali media-media menayangkan kasus kekerasan seksual pada anak. Komnas 1

2 Perlindungan Anak merilis bahwa tahun 2009 telah menerima pengaduan sebanyak 1.998 kasus kekerasan pada anak. Kasus ini meningkat dibandingkan dengan laporan kasus tahun 2008. Sebanyak 62,7% dari kasus yang dilaporkan tersebut adalah kasus kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaan, incest dan pencabulan (Kementrian PP&PA, 2012) Menurut Sensus Penduduk tahun 2011, diperkirakan jumlah anak usia 6-17 tahun adalah 82,7 juta atau sekitar 33,9% dari total seluruh penduduk Indonesia, dengan 51,3% adalah anak perempuan dan 48,7% adalah anak laki-laki. Berdasarkan Profil Anak Indonesia tahun 2012, 60% korban eksploitasi seksual adalah anak-anak, yang mayoritasnya adalah perempuan. Hampir di semua wilayah Indonesia ditemukan kasus eksploitasi komersial anak. Eksploitasi komersial adalah anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual dan pornografi. Diperkirakan, 30% dari total pekerja seks komersial di Indonesia adalah anak-anak (Yusuf et al., 2012). Berdasarkan Riskesdas 2010, umur pertama berhubungan seksual adalah 8 tahun, yang merupakan umur anak sekolah dasar. Saat ini, berdasarkan laporan yang sama, rata-rata usia menarche (usia anak pertama kali mendapatkan menstruasi) adalah 12,4 tahun dengan 0,3% nya terjadi di usia 9 tahun. Kelompok umur 10-14 tahun adalah kelompok terendah yang mendapatkan penyuluhan kesehatan, yaitu 13,7%, dibandingkan dengan kelompok umur lainnya (Balitbangkes, 2010). Hingga saat ini masih sangat sulit untuk mendapatkan data yang akurat dan aktual tentang kekerasan seksual pada anak di Indonesia. Menurut data Susenas tahun 2006, telah terjadi 2,81 juta kasus kekerasan secara nasional, dan 2,29 juta kasus tersebut korbannya adalah anak-anak. Selama kurun waktu tahun 2009, Komnas Perlindungan Anak mencatat tindak kekerasan anak di sekolah sebanyak 382 kasus. Kekerasan tersebut terjadi baik secara psikis, fisik maupun seksual. Jumlah kekerasan seksual menduduki urutan kedua, yaitu 108 kasus (Kemeneg PP & PA, 2010). Semakin meningkatnya kasus yang berhubungan dengan perilaku seksual disertai dengan umur menarche yang semakin muda, menuntut peran yang besar,

3 baik dari pemerintah, sekolah maupun orangtua, untuk mengatasi keadaan ini. Terlebih kasus-kasus kekerasan seksual saat ini banyak melibatkan anak-anak usia dini sebagai korbannya. Oleh karena itu, sudah seharusnya anak-anak ini memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dan menjaga dirinya. Pendidikan seks adalah upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis dan psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pendidikan seks merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika serta komitmen agama agar tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut (Surtiretna, 2001). Berdasarkan definisi UNESCO, pendidikan seks adalah sebuah pendekatan yang dilakukan untuk mengajarkan seks yang dilakukan dengan menyesuaikan umur sasaran serta budaya setempat melalui penyediaan informasi yang akurat secara keilmuan, realistis dan tidak menghakimi. Pendidikan seks dilakukan dengan memberi kesempatan bagi masing individu untuk menggalinya sesuai dengan nilai dan sikap yang dianut dan ditujukan untuk membangun kemampuan membuat keputusan, berkomunikasi serta mengurangi risiko dari berbagai aspek yang berhubungan dengan seksualitas (UNESCO, 2009). Di era teknologi seperti saat ini, arus informasi menjadi tak terbendung. Akses internet yang semakin mudah membuat setiap anak dengan sangat mudah mendapatkan informasi mengenai seksualitas, termasuk anak-anak. Mereka bisa saja terpapar informasi yang salah. Oleh karena itu, peran orangtua sangat penting dalam memberikan informasi mengenai pendidikan seks yang benar. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan utama dari seorang individu. Sejak seseorang lahir sampai datang masanya ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intesif dan paling awal terjadi adalah keluarga (Sarwono, 2002). Keluarga memiliki akses yang tidak terbatas kepada seorang anak. Orangtua adalah agen bersosialisasi yang memiliki kekuatan yang sangat besar bagi seorang remaja. Orangtua memiliki posisi yang sangat kuat dalam mempertajam sikap dan perilaku serta menolong anak agar

4 hidup sehat. Posisi orangtua yang kuat ini, memberikan pengaruh yang lebih besar dalam mempromosikan kesehatan reproduksi dibandingkan dengan sumber informasi lainnya (Crosby and Miller, 2002). Melalui perannya yang sangat besar, orangtua seharusnya menjadi rujukan utama seorang anak dalam berbagai hal, termasuk informasi kesehatan reproduksi yang tepat dan benar. Pembicaraan tentang topik kesehatan reproduksi tidak bisa dilakukan dalam sekali dialog, namun harus berkelanjutan. Kesempatan ini dipegang oleh orangtua. Pembicaraan tentang topik kesehatan reproduksi dilakukan sedini mungkin, berkesinambungan dan secara berturut-turut (Crosby and Miller, 2002). Berdasarkan penelitian Opara, dkk. melalui kuesioner kepada 158 orang wanita usia 30-49 tahun, sebanyak 80% dari responden setuju bahwa anak-anak membutuhkan pendidikan seks, tetapi hanya 15%nya saja yang memiliki pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks. Sebanyak 111 responden mengatakan setuju bahwa pendidikan seks adalah tanggung jawab orangtua untuk mengedukasi anaknya. Sebanyak 70% dari responden mengatakan bahwa rumah adalah tempat terbaik untuk pendidikan seks (Opara et al., 2010). Menurut Elizar (2010), peran orangtua dan keluarga merupakan bagian penting dari lingkungan sosial yang sangat dibutuhkan sebagai pusat perkembangan remaja menuju kematangan seksual. Hal ini sebagai upaya pencegahan perilaku seksual berisiko, sedangkan keterlibatan orangtua untuk pencegahan dan menjelaskan perilaku berisiko pada kesehatan sangat diperlukan (Elizar, 2010). Semakin mudanya usia menarche serta tingginya angka kekerasan seksual pada anak menuntut orangtua untuk semakin dini berani membicarakan pendidikan seks pada anak. Namun, yang terjadi di masyarakat adalah justru orangtua melarang pembicaraan tentang pendidikan seks, karena dianggap tabu. Menurut hasil penelitian LD FEUI (1999) & Situmorang (2001), banyak remaja yang tidak yakin terhadap yang terjadi dengan mereka pada saat mereka mendapatkan menstruasi atau mimpi basah. Menurut mereka, menstruasi adalah darah kotor dan sesuatu yang kotor harus disembunyikan. Anak laki-laki juga

5 merasa bersalah ketika pertama kali mendapatkan mimpi basah, karena mereka percaya bahwa bermimpi melakukan hubungan seksual adalah sebuah dosa. Halhal ini memperkecil keinginan remaja Indonesia untuk belajar lebih banyak tentang aspek kesehatan dari fungsi alami tubuh mereka (Situmorang et al., 2013). Mengawali pemberian pendidikan seks sesuai dengan usianya merupakan langkah yang baik. Pendidikan seks akan menolong anak memahami tubuhnya. Komunikasi yang terbuka sejak dini dan jujur akan membuat anak merasa nyaman untuk membicarakan banyak hal termasuk seks, depresi, hubungan dengan lawan jenis dan penyalahgunaan obat dan alkohol. Penelitian Fentahur, dkk. (2012) menunjukkan bahwa menurut guru dan siswa, usia untuk memperkenalkan pendidikan seks adalah 5 tahun, sedangkan menurut orangtua, usia untuk memperkenalkan pendidikan seks di sekolah adalah usia 7 tahun (Fentahur et al., 2012). Hal ini senada dengan hasil penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa 6-10 tahun adalah usia ideal untuk memulai pendidikan seks (Opara et al., 2010). Pendidikan seks di Indonesia saat ini masih terfokus pada remaja. Pada tahun 2002 pemerintah mencanangkan program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), yaitu sebuah pelayanan yang dibentuk oleh Kemenkes di unitunit pelayanan masyarakat yang ditujukan untuk remaja. Program ini merupakan program penyempurna dari program pelayanan kesehatan remaja yang telah dibentuk di tahun-tahun sebelumnya. Pelayanan ini dijalankan oleh puskesmaspuskesmas dengan harapan akan semakin mendekatkan remaja dengan akses pelayanan kesehatan yang bersifat pribadi dan konfidensial (KKR, 2005). Hasil penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia mengenai pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan seks yang selama ini telah diberikan ternyata belum mampu mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas yang diberikan kepada remaja masih menekankan pada aspek biologis sematamata. Selain itu, masih ada anggapan bahwa pendidikan seks adalah hal yang tabu untuk diberikan di sekolah, meskipun banyak pihak yang merasakan bahwa

6 pendidikan seksualitas perlu disampaikan kepada remaja (Pakasi dan Wati, 2013). Dalam keluarga Indonesia, pembicaraan tentang pendidikan seks masih merupakan hal yang tabu. Jarang sekali ditemukan pendidikan seks menjadi sebuah tema perbincangan dalam keluarga. Pendidikan seks pun belum menjadi sebuah pelajaran yang masuk dalam kurikulum sekolah, padahal peran keluarga terlebih orangtua sangatlah besar. Ketika orangtua membicarakan seks, anak-anak akan memastikan bahwa mereka akan mendapatkan informasi yang benar. Orangtua harus menjadi sumber informasi pertama mengenai seks oleh anak. Memahami informasi yang benar akan mencegah mereka dari perilaku berisiko ketika mereka tumbuh dewasa nantinya. Mengawali percakapan tentang seks sejak dini dan berkelanjutan sejak anak mulai tumbuh adalah strategi terbaik untuk memberikan pendidikan seks. Pembicaraan akan lebih mudah jika berawal dari pengalaman atau kejadiankejadian hidup seperti melihat wanita yang hamil atau seorang bayi. Persepsi orangtua terhadap pendidikan seks akan sangat mempengaruhi keinginannya dalam memberikan pendidikan seks kepada anak sejak dini. Persepsi adalah proses mengatur dan menerjemahkan informasi sensoris, sehingga memungkinkan untuk mengenal objek dan memahami peristiwa yang berarti. Persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh sistem sensor biologis tubuh dan oleh pengalaman di masa lampau dan pengaruh budaya setempat (Myers, 2007). Menurut Notoatmojo (1997), perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi memberikan pengaruh terhadap seseorang dalam bertindak. Berdasarkan penelitian, persepsi seorang remaja terhadap pendidikan seksual yang ia terima dari orangtua menjadi lebih baik bila orangtuanya sering melakukan diskusi interaktif tentang hal-hal seputar seksualitas. Semakin sering orangtua melakukan diskusi, semakin baik pula penerimaan remaja terhadap pendidikan seksual yang diberikan oleh orangtuanya. Hal ini dimungkinkan karena remaja merasa bahwa diskusi interaktif dengan orangtua tentang seksualitas adalah

7 pertanda bahwa orangtua merasa nyaman dengan topik tersebut (Foster et al., 2011). Berkaitan dengan persepsi, teori perubahan perilaku yang dikenal dengan Health belief model menjelaskan pengaruh persepsi seseorang terhadap suatu penyakit dengan keinginannya untuk mencegah penyakit tersebut. Health Belief Model (HBM) adalah sebuah pendekatan teori yang digunakan untuk menjelaskan sebuah perilaku kesehatan dilakukan oleh seseorang dengan memahami kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan (Davies and Macdowall, 2006). Merasa terancam dengan sebuah kondisi tertentu ternyata adalah fondasi perubahan perilaku yang memiliki relevansi yang sangat tinggi pada perubahan perilaku seseorang. Keinginan untuk melakukan sebuah perilaku akan menjadi besar apabila dipengaruhi perasaan terancam, merasa sangat diuntungkan dan halangan untuk melakukan perilaku tersebut rendah (Glanz et al., 2008). Dengan diketahuinya perasaan atau persepsi tersebut, akan mampu menjelaskan faktorfaktor yang melatarbelakangi perubahan perilaku seseorang termasuk faktorfaktor yang menyebabkan orangtua mau memberikan pendidikan seksualitas dini kepada anak mereka. Menurut data Mabes Polri, hingga pertengahan tahun 2014 Provinsi Riau tercatat memiliki laporan tertinggi kasus kekerasan seksual pada anak, yaitu 104 kasus. Pekanbaru menduduki urutan pertama, yaitu 25 kasus, sedangkan Kota Dumai menduduki urutan ketiga, yaitu 12 kasus. Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Dumai, pada tahun 2012 terdapat 8 kasus kekerasan seksual pada anak. Di tahun 2013 dilaporkan meningkat menjadi 10 kasus, dan di awal tahun 2014 ini, telah dilaporkan 5 kasus kekerasan seksual pada anak. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah rentang usia anak yang menjadi korban kasus kekerasan seksual tersebut adalah di bawah 10 tahun. Jumlah kasus ini adalah kasus yang terlaporkan, mungkin yang tidak terlaporkan melebihi angka tersebut, mengingat tindak kekerasan seksual merupakan kasus yang cukup sensitif. Kesadaran masyarakat akan perlunya melaporkan kasus tersebut ke pihak yang berwenang masih sangat rendah (Badan KB, PP&PA, 2013).

8 Adanya peningkatan kasus ini harus menjadi perhatian bersama. Orangtua, sekolah, pemerintah dan semua pihak haruslah menjadi pelindung anak dari berbagai hal, termasuk perlindungan terhadap penyimpangan seksual. Seringkali kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang terdekat anak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya anak memiliki bekal perlindungan diri yang cukup semenjak dini. Berdasarkan uraian di atas, cukup menarik untuk melihat persepsi orangtua terhadap pendidikan seksual pada anak usia dini. Mengetahui persepsi ini nantinya akan sangat menunjang langkah-langkah intervensi yang akan dilakukan dalam mengatasi permasalahan penyimpangan seksual melalui peran orangtua. B. Perumusan Masalah Bagaimana persepsi orangtua tentang pendidikan seks dini pada anak di Kota Dumai? 1. Tujuan umum C. Tujuan Penelitian Untuk mengeksplorasi persepsi orangtua di Kota Dumai tentang pendidikan seksualitas dini pada anak 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui persepsi orangtua tentang pendidikan seksualitas dini pada anak b. Untuk mengetahui persepsi orangtua tentang kasus kekerasan seksual pada anak c. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat orangtua memberikan pendidikan seksualitas dini pada anak d. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong orangtua dalam memberikan pendidikan seksualitas dini pada anak

9 D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Dumai, khususnya Dinas Kesehatan Kota Dumai, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Daerah serta instansi lainnya yang berkaitan dengan perlindungan anak dalam membuat program untuk orangtua yang sesuai untuk melindungi anak dari perilaku seksual menyimpang 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi orangtua terhadap pentingnya pendidikan seksualitas dini pada anak 3. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi sekolah terhadap pentingnya pendidikan seksualitas dini pada anak 4. Mendapatkan data faktual mengenai persepsi orangtua terhadap pendidikan seksualitas dini pada anak E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini di antaranya adalah : 1. Wilson et al. (2010) melakukan penelitian dengan judul Parents Perspectives on Talking to Preteenage Children about Sex. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua percaya bahwa berbicara tentang seks kepada anak-anak mereka adalah hal yang sangat penting. Namun, masih banyak orangtua yang belum melakukan hal tersebut. Halangan terbesar yang menyebabkannya adalah persepsi orangtua yang berpikir bahwa anak-anak mereka masih terlalu muda dan orangtua tidak mengetahui cara berbicara kepada anak mereka. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama meneliti persepsi orangtua terhadap pendidikan seks. Perbedaan penelitiannya terletak pada lokasi dan karakteristik sasaran. 2. Noshirma (2010) melakukan penelitian mengenai analisis persepsi orangtua terhadap kebutuhan pendidikan kesehatan reproduksi untuk anak SD. Penelitian dilakukan pada orangtua siswa kelas 4 SD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50,9% orangtua memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi, 47,3% orangtua berpersepsi bahwa media cetak

10 yang banyak digunakan untuk sosialisasi pendidikan kesehatan reproduksi adalah buku, media elektronik dan radio. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama meneliti persepsi orangtua terhadap pendidikan seks. Perbedaannya terletak pada metode dan lokasi penelitiannya. 3. Fentahur et al. (2012) melakukan penelitian dengan judul Parents s Perception, Student s and Teacher s Attitude towards School Sex Education. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seks itu penting. Siswa, guru dan orangtua memiliki kesamaan pandangan tentang hal ini. Usia untuk memperkenalkan pendidikan seks di sekolah menurut siswa dan guru adalah 15 tahun, sedangkan menurut orangtua adalah 7 tahun. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada tema, yaitu persepsi orangtua terhadap pendidikan seks, sedangkan perbedaannya terletak pada lokasi dan metode penelitiannya. 4. Opara et al.(2010) melakukan penelitian dengan judul Mothers Perception of Sexuality Education for Children. Penelitian tersebut dilakukan pada 158 orang wanita. Sebanyak 70% responden mengatakan bahwa mereka setuju bahwa pendidikan seks memang merupakan tanggung jawab kedua orangtua. Sebanyak 70% responden juga mengatakan bahwa rumah adalah tempat terbaik bagi anak untuk mendapatkan pendidikan seks. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada tema penelitiannya. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada lokasi, metode dan sasaran penelitian.