BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam satu dekade terakhir, internet semakin menjadi primadona teknologi informasi. Keberadaan internet mengubah pola penyajian berita menjadi lebih cepat, baik sebagai teks berita maupun digitalisasi audio visual. Dengan internet, informasi atau berita bisa disebarkan melalui berbagai perangkat, yakni desktop (personal computer/pc), gadget atau handphone atau juga dikenal sebagai smartphone. Di satu sisi, keberadaan internet ini memberikan berkah bagi manusia dengan adanya berbagai kemudahan dalam mengakses informasi dan berinteraksi dengan orang lain. Di sisi lain, bagi bisnis media cetak, kemudahan orang dalam mengakses informasi ini membuat oplah media cetak berkurang. Data di Bagian Sirkulasi Harian Umum Solopos menunjukkan bahwa jumlah oplah semua koran yang beredar di eks Karesidenan Surakarta menurun antara 1-4 % (data tanggal 18 September 2015). Di dunia internasional, tiras koran juga terus mengalami penurunan. Di Jepang, oplah koran pada tahun 2000 sebanyak 53,7 juta eksemplar, namun pada tahun 2011 turun menjadi 48,3 juta eksemplar. Penurunan jumlah oplah koran 1
2 juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Lembaga pengamat media di AS, Paper Cuts, mengumumkan sejak 2008 hingga 2013, lebih dari 166 surat kabar di negara tersebut tutup (Antaranews.com, 2013). Seperti media cetak lainnya, Harian Umum Solopos juga menghadapi masalah penurunan oplah karena pembaca mulai terbiasa menikmati informasi melalui internet. Solopos juga telah melakukan langkah terobosan dengan menambah platform atau program penyajian informasi lain. Berdasarkan data dari Pusat Data & Litbang Solopos, Solopos mendirikan Radio Solopos FM yang mengusung format radio berita pada12 April 2004, meluncurkan portal berita Solopos.com sejak 19 September 2007, dan meluncurkan televisi berbasis internet dengan nama Solopos.tv mulai 17 November 2013. Penurunan oplah surat kabar berbanding terbalik dengan pertumbuhan pemakaian internet di Indonesia. Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis hasil riset nasional bekerja sama dengan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) FISIP Universitas Indonesia, yang menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia tahun 2014 mencapai 88,1 juta orang. Dibandingkan dengan jumlah pengguna internet tahun 2013 yakni sebanyak 71,9 juta, dalam satu tahun jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat 34,9% atau sebanyak 16,2 juta. Disebutkan pula, proporsi pertumbuhan pengguna internet melalui smartphone meningkat dari 65% pada tahun 2013 menjadi 85% pada tahun 2014. APJII juga mencatat bahwa pada tahun 1998 pengguna internet di Indonesia hanya berjumlah 0,5
3 juta orang, tahun 2011 tumbuh menjadi 55 juta pengguna dan 63 juta pengguna di tahun 2012 serta mencapai 139 juta pada 2015 (http://tekno.liputan6.com/read/2197413/ jumlah-pengguna-internet-indonesiacapai-881-juta) Keberadaan internet yang semakin mudah diakses menjadi tantangan tersendiri bagi industri media cetak yang hanya bisa menyajikan berita keesokan harinya. Hal ini mendorong pengelola bisnis media melakukan perubahan model bisnis. Selain tetap menerbitkan koran cetak, pengelola media juga menyajikan berita berbasis internet, yakni media online. Semua sajian informasi, baik data, teks, foto hingga video bisa disajikan dalam media online. Situasi ini kemudian dikenal sebagai konvergensi media. Briggs dan Bourke (dalam Dwyer, 2010) mengatakan pada awalnya istilah konvergensi diaplikasikan pada perkembangan teknologi digital yang paling sering terjadi, yaitu integrasi teks, angka, gambar, dan suara atau digitalisasi. Meskipun demikian, hal itu hanyalah bagian kecil dari perubahan pengelolaan media saat ini. Keberadaan internet telah mengubah pola produksi, distribusi dan konsumsi konten. Konvergensi juga diartikan sebagai integrasi horisontal dari perusahaan media melalui lintas distribusi saluran seperti melalui radio, cetak, atau televisi. Namun sekarang konvergensi harus dilihat dengan cara yang lebih luas. Konvergensi dimaksudkan sebagai suatu penyatuan langkah perusahaan yang di dalamnya terjadi serangkaian diskontinyuitas di bidang teknologi, infrastruktur, perilaku konsumen,
4 dinamika kompetisi, yang terus menerus berhadapan dengan kompetitor baru, perubahan model bisnis, penemuan baru seputar bisnis media, telekomunikasi, dan teknologi (Rose et al., 2007). Konvergensi media bukanlah semata internetisasi dan digitalisasi, melainkan ada implikasi pada newsroom, yakni pengelolaan berbagai konten berita ke dalam ruang berita yang sama, yang kemudian didistribusikan ke berbagai kanal yang ada, misalnya koran, radio, televisi, media online, dan media lain yang disesuaikan dengan dengan segmen tertentu (Krotz et al., 2008). Salah satu hal yang mendasar dalam konvergensi media adalah adanya empat fase konvergensi media, yakni proses produksi terintegrasi (integrated production), Sumber Daya Manusia (SDM) profesional yang mempunyai sejumlah keahlian (multiskilled professional), pola pengiriman yang beragam (multiplatform delivery), dan audiens yang aktif (active audience) (Domingo et al., 2007). Seperti disebutkan Domingo et al., (2007), konvergensi media menunutut pekerja profesional yang multiskilled atau bukan hanya menguasai satu jenis keahlian. Konvergensi menuntut perubahan kualitas SDM media, dalam hal ini reporter dan redaktur, dari hanya menguasai satu keahlian menjadi menguasai berbagai keahlian. Jika semula reporter hanya bertugas membuat berita tulis, kini reporter diharuskan membuat berita video atau berita audio. Jika sebelumnya redaktur hanya bertugas menyunting berita tulis, kini juga dituntut mampu mengedit berita dengan format online, video, dan lain sebagainya.
5 Dalam penelitian ini, reporter dan redaktur dipilih sebagai obyek pengamatan karena kedua posisi ini yang pertama terkena dampak perubahan pengelolaan newsroom dalam kerangka besar konvergensi media. Dalam era konvergensi media, reporter atau redaktur harus melengkapi diri dengan kemampuan baru yang semula belum dimiliki. Terdapat perbedaan ragam penulisan antara media cetak, media online dan media elektronik. Berdasarkan pengamatan dapat diketahui, bahwa menulis untuk media cetak biasanya mempunyai jumlah karakter lebih banyak, lebih mendalam, dan bisa menjadi tulisan yang tuntas. Sedangkan menulis untuk media online biasanya tulisan lebih pendek, kurang mendalam karena satu tulisan bisa diikuti tulian berikutnya secara terpisah, sehingga untuk menjadi berita yang tuntas memerlukan rangkaian beberapa berita. Demikian juga dengan pekerjaan mengedit berita. Redaktur yang mengedit berita untuk media cetak mempunyai rentang waktu penggarapan lebih banyak karena diterbitkan esok hari. Sedangkan mengedit untuk media online sangat dibatasi waktu, karena prinsip kerja media online adalah kecepatan mengunggah berita ke portal berita atau website, karena keterlambatan dalam mengunggah akan membuat berita kalah bersaing dengan media online lain. Gambaran tentang perubahan kemampuan yang perlu dimiliki reporter dan redaktur terlihat dalam Tabel 1.1.
6 Tabel 1.1. Perubahan keahlian SDM redaksi sebelum konvergensi dan setelah konvergensi media. Jabatan Tugas Lama Tugas Baru Reporter Reporter foto Redaktur - Membuat berita tulis - Membuat berita foto - Mengedit berita tulis. Sumber: Observasi - Membuat berita tulis dan berita video. - Membuat berita tulis dan berita audio. - Membuat berita untuk media cetak. - Membuat berita untuk media on line. - Membuat berita foto dan video. - Membuat berita foto untuk media cetak dan untuk media on line. - Mengedit berita tulis dan berita video. - Mengedit berita tulis dan berita audio. - Mengedit berita tulis untuk media cetak dan media on line. B. Permasalahan Penelitian Pelaksanaan konvergensi media di berbagai perusahaan media tidak semudah membalik telapak tangan, demikian juga dengan yang terjadi di Solopos. Konvergensi media yang menuntut peningkatan kemampuan SDM redaksi, tidak bisa dilakukan dengan mudah. Hal ini menyangkut keharusan mengubah pola kerja yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, mengubah kebiasaan kerja yang telah dilakukan sepanjang karier, dan permasalahan lain menyangkut pengelolaan SDM. Sebagian besar reporter dan redaktur sudah terbiasa dengan standard operating procedure (SOP) kerja media cetak. Awak redaksi telah terpola dengan mindset media cetak yang meliput, menyunting dan menerbitkan berita untuk edisi esok hari. Sementara media online atau media digital harus tayang secepat mungkin. Pola kerja dan pola pikir yang berbeda ini dimungkinkan menghadapi kendala,
7 misalnya resistensi SDM redaksi dan kendala lain dalam pelaksanannya. Berdasarkan pengamatan pendahuluan, sejumlah perubahan yang menimbulkan resistensi adalah pola libur yang berubah bagi pengelola online. Jika redaktur koran cetak mendapat jatah libur sehari sebelum hari libur nasional, redaktur online liburnya bergantian dengan rekan kerja yang lain. Hal ini mengingat media online tidak mengenal istilah tidak terbit sebagaimana halnya koran cetak. Hasil pengamatan lainnya, reporter yang mendapat tugas tambahan membuat berita video terpaksa menambah jam liputan sehingga menambah jam kerja. C. Rumusan Masalah Konvergensi media menimbulkan perubahan pola kerja SDM redaksi. Perubahan pola kerja menimbulkan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana proses perubahan pola kerja itu harus dilakukan? 2. Kemampuan apa yang diperlukan untuk menjalankan kebijakan konvergensi media? 3. Bagaimana dampak proses perubahan pola kerja tersebut? 4. Bagaimana konsekuensi kebijakan terkait perubahan pola kerja tersebut? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah:
8 1. Untuk mengetahui proses perubahan pola kerja yang dialami SDM redaksi akibat konvergensi media. 2. Untuk mengetahui kemampuan ideal SDM redaksi dalam menjalankan konvergensi media. 3. Untuk mengetahui dampak perubahan pola kerja bagi SDM redaksi akibat pelaksanaan konvergensi media. 4. Untuk mengetahui konsekuensi kebijakan terkait perubahan pola kerja tersebut. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi dunia akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran wajah industri media di Tanah Air yang bertransformasi dari media cetak ke konvergensi media. 2. Penelitian ini bermanfaat bagi Solopos untuk pengelolaan SDM menghadapi era konvergensi media. 3. Penelitian ini bermanfaat bagi Solopos untuk pengembangan bisnis media pada masa mendatang. 4. Pola konvergensi media yang dilakukan Solopos bisa menjadi role model sekaligus pembanding bagi media cetak lain untuk melakukan konvergensi.