BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

dokumen-dokumen yang mirip
PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Kekerasan

PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN SIDOARJO PASCA BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. kita jumpai di berbagai macam media cetak maupun media elektronik. Kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan masalah sosial yang perlu segera diatasi, secara kualitas maupun

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat semakin

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

Lembaga Akademik dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Margaretha Hanita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam dirinya untuk menikah dan membangun rumah tangga bersama pasangannya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

1 LATAR 3 TEMUAN 7 KETIDAKMAMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. bahkan menjadi tolak ukur kemajuan Negara. Secara umum, Indonesia merupakan

"Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR"

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

Bentuk Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme dan ideologi

BAB I PENDAHULUAN. dan pengendalian diri setiap orang di lingkup rumah tangga tersebut. 1

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia, tujuan

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB I PENDAHULUAN. dasar dari susunan masyarakat, untuk itulah lahir Undang-undang Nomor 1

PENELITIAN KAJIAN WANITA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi (Mahendra, 2006: 45). Perempuan Indonesia merupakan kelompok penduduk mayoritas dalam jumlah, namun dalam berbagai bidang kehidupan masih tetap menduduki posisi minoritas. Keadaan apapun perempuan selalu menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban kekerasan. Hal ini disebabkan oleh faktor ketidakberdayaan perempuan termasuk anak-anak dalam beberapa aspek seperti fisik, ekonomi, psikis dan keberanian mempertahankan hak dan lain-lain (Relawati, 2011: 95). Kekerasan dalam Rumah Tangga telah menjadi isu global dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, hal ini terdapat di dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Perserikatan Bangsa- Bangsa, 1993 yang berbunyi: "Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi" ( YLBHI, 2007: 23).

Seorang pembantu yang bekerja selama 25 tahun, sebut saja namanya Butet. Ia mengalami penyiksaan sebagai pembantu rumah tangga. Ia adalah anak transmigran yang dirawat oleh keluarga tersebut sejak kira-kira berusia 5 tahun. Butet hingga kini tak bisa membaca dan menulis, hingga tak bisa dengan pasti menyebutkan berapa umurnya. Butet mengaku tak pernah mendapat upah. Tak hanya itu, warga Jalan Brigjen Katamso Gang Datuk, Medan ini pun mengaku kerap mendapat perlakukan kasar, hingga penganiayaan. Akses interaksi Butet pun ditutup total, layaknya hidup di penjara. Identitas Butet bahkan diubah oleh pihak majikan. Hal ini dibuktikan dengan sebuah kartu keluarga yang dibuat oleh sang majikan, hingga akhirnya Butet melarikan diri dari tempat kerjanya dan segera melaporkan ke kantor polisi (Kompas, 2012: 1-2). Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2010 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai Tindak Kekerasan dalam rumah tangga terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1% (pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili); 19,6%(pelaku: tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku: rekan kerja); 0,2% (pelaku: guru); dan 8,0% (pelaku: lainnya) ( Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2010: 23). Gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentuk kekerasan dalam rumah tangga sangat mendominasi, yakni dengan pelaku adalah suami (tertinggi), kemudian pelaku kekerasan adalah orang tua/mertua, anak/cucu dan famili, dan menyusul pelaku adalah atasan/majikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.

Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa seseorang korban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Hal ini terjadi, bukan saja pada saat itu belum ada payung hukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya sudah merupakan bentuk kekerasan. Hampir tidak pernah ada kejadian/kasus KDRT dilaporkan kepada pihak yang berwajib, bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutup-tutupi. Korban pun hanya diam seribu bahasa meratapi kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan-perasaan lain yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum. Berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan terkait erat dengan adanya akar budaya patriarkhi yang muncul dalam banyak wajah. Budaya patriarkhi ini telah menempatkan laki-laki dalam posisi sosial yang lebih tinggi dari perempuan. Perempuan dengan berbagai alasan, terpaksa menerima situasi yang serba tidak menguntungkan dalam relasinya dengan laki-laki (Silawati, 2001: 12). Dalam konsep domestic violence, cakupan atas tindakan yang dikategorikan sebagai bentuk kekerasan, lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh

orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal, yang bisa dilakukan oleh teman dekat, bisa pacar, atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah maupun di luar perkawinan. Kelompok yang dianggap rentan menjadi korban kekerasan adalah perempuan dan anak, dan kekerasan tersebut dapat terjadi di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, bahkan di lingkungan keluarga atau yang kita kenal di Indonesia sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (sumber : http://ditjenpp.kemenkumham.go.id, Diakses pada tanggal 18 februari 2014, Pada Pukul 10.43 WIB). Kekerasan dalam Rumah Tangga yang banyak terjadi adalah kekerasan fisik, intimidasi, deprivasi, ekonomi dan hubungan seksual. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga lebih dipicu oleh kondisi latar belakang sosial ekonomi dalam keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang paling parah adalah terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian ( Relawati, 2011: 95). Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payung hukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain (Mahendra, 2006: 49). Pemerintah merumuskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), yang diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan

terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga. Hal ikhwal KDRT bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik, maka dalam penanganannya pun diharapkan dapat dilakukan secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku. Hal ini pun sudah dijamin perlindungannya dalam konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun Undang-Undang PKDRT juga tidak mampu membuat pelaku-pelaku KDRT jera, ditambah lagi faktor budaya, ekonomi yang seakan akan kurang berpihak kepada anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan (Sumber: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/, Diakses pada tanggal 18 februari 2014, Pada Pukul 10.43 WIB). Sepanjang tahun 2009, berdasarkan hasil pemantauan Perkumpulan Sada Ahmo terhadap berbagai berita dari media lokal (Medan) tentang isu Kekerasan dalam Rumah Tangga, tercatat ada 81 orang atau 42 persen perempuan mengalami kekerasan seksual, sementara 17 orang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). selama tahun 2009, dari 100 kasus yang ditangani, sebanyak 61 kasus atau 61 persen kasus yang muncul adalah kekerasan dalam rumah tangga. Sementara kasus pelecehan seksual berjumlah 20 kasus atau 20 persen (Sumber: http://female.kompas.com/read/2010/03/09/03190551/kdrt.dan.kekerasan.seksual.mendominasi, Diakses pada tanggal 24 Februari 2014, pada pukul 14.30 WIB). Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun pandangan masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga melingkupi cara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya praktis sama yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan

gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korban menjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal keluarga (Silawati, 2001: 12). Demikian halnya bahwa belum tersedianya mekanisme untuk penanganan korban, karena memang tidak/belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau anak (Mahendra, 2006: 48). Di kota Medan terdapat banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam upaya perlindungan terhadap anak dan perempuan korban kekerasan, salah satunya adalah Yayasan Pusaka Indonesia. Sejak awal pendirinya telah melakukan berbagai aktivitas mendukung pencapaian visi dan misi dalam mendorong terjadinya/ lahirnya kebijakan publik yang signifikan dalam mendukung penegakan, serta perlindungan hak anak dan perempuan dengan melakukan serangkaian kegiatan advokasi, kampanye dan sosialisai. Sepanjang tahun 2010 ada 21 kasus yang ditangani Yayasan Pusaka Indonesia dan 4 di antaranya adalah kasus KDRT, 2011 sebanyak 22 kasus dan 3 kasus KDRT, 2012 sebanyak 21 kasus dan 6 kasus KDRT, serta 2013 sebanyak 25 kasus dan 6 kasus KDRT. Dimana setiap tahun mengalami peningkatan kasus ( Profil Yayasan Pusaka Indonesia, 2008: 11). Yayasan Pusaka Indonesia dalam pemecahan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan berkoalisi dan berjejaring untuk melakukan kegiatan advokasi dan menjalin koordinasi dengan Non Government Organization (NGO)

lainnya, pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/ kotamadya, kecamatan, kelurahan/desa) dan pihak swasta. Prinsip tersebut didasarkan atassebuah kesadaran bahwa perubahan sosial hanya bisa dicapai jika mampu membangun satu pemahaman utuh di tataran komunitas dan pemerintah akan pentingnya kolaborasi untuk tujuan bersama. Yayasan Pusaka Indonesia juga menerapkan prinsip keterbukaan dan kesadaran keterbatasan yang dimiliki. Kondisi tersebutlah yang membuat Yayasan Pusaka indonesia selalu merujuk kepada lembaga lain untuk penanganan selanjutnya jika tidak ada kapasitas di lembaga. Adapun beberapa kegiatan yang telah dilakukan sepanjang tahun 2013 diantaranya Penanganan Kasus anak dan perempuan, Sosialisasi Isu KDRT, Trafiking, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di lingkungan Sekolah, Ibu PKK di Kota Medan, Advokasi Perda KTR Kota Medan, Advokasi Kebijakan Penanganan Anak Berhadapan Dengan Hukum Dalam Mencapai Keadilan Restoratif Berdasarkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Advokasi Penanganan Anak Pemakai dan Pengguna Narkotika dalam proses hukum. Berdasarkan alasan-alasan tersebutlah, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Yayasan Pusaka Indonesia. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang dapat dirumuskan oleh penulis dalam penelitian ini adalah Bagaimana hasil advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia. 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka: a. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan permasalahan Kekerasan dalam Rumah Tangga b. Pengembangan kebijakan dan model pelayanan pihak yang terkait. 1.4. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan di teliti, kerangka penelitian, defenisi konsep dan defenisi operasional. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti. BAB V : ANALISIS DATA Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya. BAB IV : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis yang penulis berikan sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.