1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et al. 1999; Parnum et al. 2004). Seiring dengan meningkatnya eksploitasi terhadap biota laut, manajemen lingkungan laut yang efektif menjadi penting untuk kelestarian lingkungan. Peta dasar (base maps) biologis sebagaimana sumberdaya fisik dan geologis diperlukan untuk manajemen lingkungan secara efektif. Pada sisi lain, pemetaan sumberdaya laut masih lebih banyak didapat dari hasil pencitraan satelit berdasarkan kondisi permukaan laut. Sementara penggunaan teknik akustik masih banyak digunakan pada pendugaan stok pada daerah pelagis, dan hanya dalam beberapa waktu terakhir ini teknik akustik banyak digunakan untuk memetakan dasar perairan dan kandungan sumber daya hewan bentik yang ada di daerah dasar (Siwabessy et al. 1999). Para ahli lainnya seperti dari bidang geologi, pertambangan, arkeolog, perusahaan konstruksi dan badan pengawasan lingkungan turut memanfaatkan bidang ilmu akustik dasar laut (Mindell & Bingham 2001; Kim et al. 2004; Bentrem et al. 2006). Aspek yang dikaji dapat bertujuan untuk mengetahui struktur sedimen, jenis atau tipe dasar laut, serta akumulasi gas pada sedimen (Reynolds 1990). Militer terutama angkatan laut sangat fokus terhadap performa dari sonar, khususnya pendeteksian ranjau dan kapal selam yang berada di dasar perairan (Waite 2002). Semenjak akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan karakteristik dasar perairan, sejumlah penelitian lanjutan mengenai dasar perairan pun dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar perairan membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan karakteristik dasar perairan menggunakan metode akustik. Padahal seperti yang diketahui bahwa metode akustik merupakan solusi yang cepat dan efektif untuk menduga objek yang ada di bawah air (Jackson et al. 1986).
2 1.2 Perumusan Masalah Hingga saat ini metode untuk mempelajari kaitan antara sifat-sifat geoakustik dan sifat-sifat dari dasar laut terus dikembangkan. Sebelum metode hidroakustik digunakan secara luas, pendugaan sifat fisik dasar perairan lebih banyak dilakukan dengan menggunakan metode coring atau diambil langsung oleh penyelam disertai foto bawah air. Banyaknya sampel melalui coring yang harus diambil membuat metode ini menjadi tidak efektif dan efesien karena kajian dalam skala spasial yang luas akan membutuhkan banyak waktu dan biaya yang dikeluarkan (Siwabessy et al. 1999; Kim et al. 2004; Bentrem et al. 2006). Memahami sifat sinyal akustik dari dasar perairan adalah sesuatu hal yang rumit untuk dilakukan. Variasi yang begitu besar dari parameter fisik sedimen membutuhkan beragam pemodelan yang rumit pula untuk menerjemahkan proses yang terjadi (Tolsma et al. 2001). Parameter seperti ukuran butiran sedimen, relief dasar perairan, serta sejumlah variasi lainnya pada dasar perairan mempengaruhi proses hamburan sinyal akustik (Thorne et al. 1988; Moustier & Matsumoto 1993; Chakraborty et al. 2007). Sebagian besar kesulitan untuk melakukan pemodelan pada daerah perairan dangkal adalah adanya variabilitas yang sangat ekstrim dibandingkan dengan perairan dalam. Perairan dangkal memiliki lapisan tebal yang terdiri dari pasir dengan campuran lumpur (mud) yang menjadi penyangga dan tempat hidup dari kehidupan biologis, sedangkan pada perairan dalam hanya terdiri dari lumpur (ooze) yang melapisi dasar yang keras (bedrock). Perairan dangkal memiliki kisaran tingkat kekasaran (roughness) dasar perairan yang sangat luas karena keberadaan cangkang kerang (shell), ombakan pasir (sand waves), bahkan sampah yang berada di dasar. Terlebih lagi, keberadaan mahluk hidup di laut yang terkadang membuat nilai volume backscattering strength dalam reverberasi yang didapat lebih besar dibandingkan kontribusi yang diberikan oleh dasar perairan itu sendiri (McCammon 2004). Penjelasan di atas dapat menggambarkan kondisi sebagian perairan Indonesia, yang memiliki perairan dengan kedalaman relatif dangkal. Terlebih lagi sebagian perairan Indonesia memiliki habitat terumbu karang, sehingga variabilitas dasar perairan yang dihasilkan tentu menjadi lebih kompleks. Namun
3 penelitian mengenai dasar perairan dan habitat bentik menggunakan metode hidroakustik masih sangat jarang dilakukan. 1.3 Kerangka Pemikiran Hewan bentik memiliki hubungan erat dengan jenis dasar perairan yang mereka tempati. Oleh karena itu bidang perikanan membutuhkan klasifikasi sedimen dan dasar perairan untuk memetakan habitat bagi hewan bentik (Orlowski 2007). Penggunaan quantitative echosounder untuk mendeteksi dasar laut menjadikan penelitian ini lebih efesien, karena menggunakan echosounder yang sama untuk mendeteksi ikan (Manik et al. 2006). Metode konvensional seperti sampling menggunakan coring merupakan metode yang sudah dapat diterima secara luas. Tetapi di saat kebutuhan sampling sedimen mencakup daerah yang luas, tentunya mentode ini akan membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Didasari oleh adanya keterkaitan antara sejumlah parameter fisik sedimen dan akustik memberikan gambaran bahwa metode akustik dapat digunakan untuk menduga sifat-sifat fisik sedimen (Urick 1983). Berdasarkan laporan Applied Physics Laboratory, University of Washington (APL-UW 1994), dijelaskan bahwa Jackson et al. (1986b) telah merumuskan sejumlah parameter yang mempengaruhi proses hambur balik (backscattering) dari dasar perairan, yang kemudian dikenal sebagai model Jackson. Pengembangan terhadap model Jackson mampu memberikan pemodelan terhadap nilai backscattering yang dihasilkan oleh berbagai tipe sedimen. Salah satunya adalah menggunakan pendekatan Kirchhoff (Kirchhoff approximation), yang bekerja baik pada tipe sedimen berpasir hingga sedimen yang sangat halus seperti lanau dan lempung (Mulhearn 2000). Lokasi penelitian dipilih pada perairan goba di gugusan Pulau Pari yang memiliki variabilitas tinggi karena berdekatan dengan habitat terumbu karang dan padang lamun. Sounding akustik dilakukan untuk mendapatkan nilai backscattering dasar perairan, kemudian pengambilan sampel sedimen dilakukan sebagai ground truth sampling pada lokasi tersebut. Pengambilan sampel tersebut untuk memperoleh ukuran butiran rata-rata dan densitas sedimen. Pengolahan data akustik sendiri dilakukan dengan memasukkan sejumlah parameter sebagai koreksi radiometrik. Selanjutnya data dibersihkan dari noise
4 dengan cara memberikan minimum threshold sebesar -60 db, yang merupakan batas pendeteksian terhadap dasar perairan. Penapisan terhadap noise juga dilakukan pada reverberasi di sekitar permukaan perairan, dimana daerah ini merupakan zona near field yang memiliki intensitas yang sangat tinggi. Analisis terhadap model Jackson dilakukan melalui perbandingan model dan data pada nilai backscattering dasar laut dan densitas. Sehingga efektifitas model Jackson terhadap kondisi fisik dasar perairan Pulau Pari dapat diuji. Secara diagramatik kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Kebutuhan klasifikasi dasar perairan Hubungan sifat-sifat sedimen dan akustik Survei akustik SIMRAD EY60 scientific echosounder Raw data Echo logging software α, koef. absorbsi c, kecepatan suara t, suhu s, salinitas TVG Sedimen Sampling Echo post processing software GPS Noise filtering Ukuran butir Densitas sedimen volume backscattering, (Sv, SV) surface backscattering, (Ss, SS) Model Jackson Hubungan antara model dan data Kirchhoff approximation Gambar 1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian
5 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk: 1) Mendapatkan pola sebaran sifat fisik sedimen berpasir pada lokasi penelitian di sekitar goba perairan gugusan Pulau Pari. 2) Mengukur keakuratan model Jackson terhadap nilai backscattering strength yang dihasilkan oleh tipe sedimen berpasir. 3) Mengukur keakuratan model Jackson dalam memprediksi densitas dasar perairan pada sedimen berpasir. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan untuk mendapatkan pola sebaran nilai kekuatan hambur balik atau backscattering strength yang dihasilkan oleh sediment berpasir. Pola yang didapatkan dari nilai backscattering strength ini kemudian dapat digunakan untuk memetakan dan klasifikasi sebaran sedimen di suatu wilayah. Hasil dari penelitian ini nantinya dapat pula dikaitkan dengan hubungan habitat bentik dan hewan di daerah demersal terhadap tipe sedimen.