BAB III LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Kajian Pola Operasi Jalur Kereta Api Ganda

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Tipikal Tata Letak dan Panjang Efektif Jalur Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Tipikal Tata Letak Dan Panjang Jalur Di Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan bentuk Tata Letak Jalur pada Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI

NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR STUDI POLA OPERASI JALUR KERETA API GANDA SEMBAWA-BETUNG 1

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

ANALISIS CONFLICT RATE PADA PERHITUNGAN KAPASITAS SISTEM INTERLOCKING YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN FORMULASI KAPASITAS STASIUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III LANDASAN TEORI

REKAYASA JALAN REL. MODUL 11 : Stasiun dan operasional KA PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Rancangan Tata Letak Jalur Stasiun Lahat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Perancangan Tata Letak Jalur di Stasiun Betung

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analaisis Tata Letak Jalur pada Stasiun Muara Enim

P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API

WESEL (SWITCH) Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

REKAYASA JALAN REL MODUL 6 WESEL DAN PERSILANGAN PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : PM. 35 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA DAN STANDAR PEMBUATAN GRAFIK PERJALANAN KERETA API

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI. mendekati kapasitas lintas maksimum untuk nilai headway tertentu. Pada

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Moda Transportasi Kereta Api Nasional

REKAYASA JALAN REL. MODUL 8 ketentuan umum jalan rel PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran Dan Karakteristik Moda Transportasi Kereta Api Nasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API DARI STASIUN PEKALONGAN KE STASIUN TEGAL

MODUL 12 WESEL 1. PENGANTAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2013, No Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir deng

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 22 TAHUN 2003 TENTANG PENGOPERASIAN KERETA API. MENTERI PERHUBUNGAN,

*35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

maupun jauh adalah kualitas jasa pelayanannya. Menurut ( Schumer,1974 ),

LAMPIRAN C DAFTAR ISTILAH

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. angkutan kereta api batubara meliputi sistem muat (loading system) di lokasi

BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 110 TAHUN 2017 TENTANG

STUDI POLA OPERASI JALUR GANDA LINTAS LAYANAN PALEMBANG SEMBAWA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Naskah Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2018, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086), sebagaimana telah diubah dengan Perat

Kajian Pola Operasi Jalur Ganda Kereta Api Muara Enim-Lahat

BAB III LANDASAN TEORI. Tujuan utama dilakukannya analisis interaksi sistem ini oleh para

TUGAS AKHIR STUDI POLA OPERASI JALUR KERETA API GANDA LINTAS LAYANAN BETUNG SUPAT BABAT SUPAT SUMBER AGUNG

PERENCANAAN JALUR LINTASAN KERETA API DENGAN WESEL TIPE R54 PADA EMPLASEMEN STASIUN ANTARA PASURUAN - JEMBER ( KM KM ) TUGAS AKHIR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TUGAS PERENCANAAN JALAN REL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENDUKUNG OPERASIONAL JALUR KERETA API GANDA MUARA ENIM LAHAT

Perencanaan Jalur Ganda Kereta Api Surabaya -Krian

BAB III LANDASAN TEORI A. Struktur Jalur Kereta Api

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PERANCANGAN DAN REALISASI. blok diagram dari sistem yang akan di realisasikan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTRAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN...

TUGAS AKHIR STUDI POLA OPERASI JALUR KERETA API GANDA SUMBER AGUNG-SUNGAI LILIN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM. 36 TAHUN 2011 TENTANG PERPOTONGAN DAN/ATAU PERSINGGUNGAN ANTARA JALUR KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN

BAB I PENDAHULUAN. murah, aman dan nyaman. Sebagian besar masalah transportasi yang dialami

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR PK. 04/BPSDMP-2016 TENTANG

KAJIAN GEOMETRIK JALUR GANDA DARI KM SAMPAI DENGAN KM ANTARA CIGANEA SUKATANI LINTAS BANDUNG JAKARTA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN OBJEK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

REKAYASA JALAN REL. Modul 2 : GERAK DINAMIK JALAN REL PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sejalan dengan perkembangan teknologi automotif, metal, elektronik dan

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i ABSTRAK...ii DAFTAR ISI...iii. A. DAOP III Cirebon... II-1

ANALISIS KELAYAKAN KONSTRUKSI BAGIAN ATAS JALAN REL DALAM KEGIATAN REVITALISASI JALUR KERETA API LUBUK ALUNG-KAYU TANAM (KM 39,699-KM 60,038)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB III LANDASAN TEORI A. Kajian Pola Operasi 1. Jenis dan Kegiatan Stasiun Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2011 tentang Jenis, Kelas, dan Kegiatan di Stasiun Kereta Api pada Bab II pasal 2 menyebutkan bahwa stasiun kereta api merupakan prasarana kereta api yang difungsikan sebagai tempat pemberangkatan dan pemberhentian kereta api, selanjutnya pada pasal 3 dijelaskan menurut jenisnya Stasiun Kereta Api terdiri atas: a. Stasiun penumpang Stasiun penumpang merupakan stasiun kereta api yang difungsikan untuk keperluan naik turun penumpang. b. Stasiun barang Stasiun barang merupakan stasiun kereta api yang difungsikan untuk keperluan bongkar muat barang. c. Stasiun operasi Stasiun operasi merupakan stasiun kereta api yang difungsikan untuk keperluan pengoperasian kereta api. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2011 tentang Jenis, Kelas, dan Kegiatan di Stasiun Kereta Api pada Bab II pasal 9 menyebutkan bahwa kegiatan di stasiun kereta api meliputi: a. Kegiatan pokok Kegiatan pokok di stasiun meliputi: 1) Melakukan pengaturan perjalanan kereta api. 2) Memberikan pelayanan kepada pengguna jasa kerta api. 3) Menjaga keamanan dan ketertiban. 4) Menjaga kebersihan lingkungan. b. Kegiatan usaha penunjang. Kegiatan usaha penunjang stasiun dilakukan untuk mendukung penyelenggaraan perkeretaapian. Kegiatan usaha penunjang dapat 13

14 dilakukan oleh pihak lain dengan ketentuan/persetujuan penyelenggara perkeretaapian, dengan ketentuan: 1) Tidak mengganggu pergerakan kereta api. 2) Tidak mengganggu pergerakan penumpang dan atau barang. 3) Menjaga ketertiban dan keamanan. 4) Menjaga kebersihan lingkungan. Penyelenggara prasarana perkeretaapian dalam kegiatan pelaksanaan usaha penunjang arus mengutamakan pemanfaataan ruang untuk keperluan kegiatan pokok stasiun. c. Kegiatan jasa pelayanaan khusus Kegiatan jasa pelayanaan khusus di stasiun dilakukan oleh pihak lain dengan persetujuan penyelenggara prasarana perkeretaapian yang berupa jasa pelayanan sebagai berikut: 1) Ruang tunggu penumpang. 2) Bongkar muat barang. 3) Pergudangan. 4) Perkir kendaraan. 5) Penitipan barang. Penyelenggara prasarana perkeretaapian dapat mengenakan tarif kepada pengguna jasa pelayanan khusus. Persetujuan tersebut dapat diberikan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian apabila fasilitas stasiun, keselamatan, dan operasional kereta api terpenuhi. 2. Kelas Stasiun Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2011 tentang Jenis, Kelas, dan Kegiatan di Stasiun Kereta Api pada Bab IV pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa stasiun penumpang dikelompokkan sebagai berikut ini: a. Kelas besar. b. Kelas sedang. c. Kelas kecil. Pengelompokan kelas stasiun kereta api berdasarkan pengelompokan stasiun penumpangnya pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut ini:

15 a. Fasilitas operasi. b. Jumlah jalur. c. Fasilitas penunjang. d. Frekuensi lalu lintas. e. Jumlah penumpang. f. Jumlah barang. Penentuan kelas stasiun pada ayat (3) diperhitungkan berdasarkan perkalian bobot setiap kriteria dan nilai komponennya. 3. Fungsi Stasiun Fungsi stasiun, dikelompokkan sebagai berikut ini: a. Stasiun Operasi (SO) Stasiun operasi yaitu stasiun dengan pelayanan opersi perjalanan kereta api yang berjalan langsung maupun persilangan atau penyusulan tetapi tidak untuk keperluan naik dan turun penumpang atau untuk muat dan bongkar penumpang. b. Stasiun Penumpang (SP) Stasiun penumpang yaitu stasiun khusus yang melayani angkutan penumpang, dilengkapi dengan palayanan operasi kereta api. c. Stasiun Barang (SB) Stasiun barang yaitu stasiun khusus yang melayani angkutan barang, dilengkapi dengan pelayanan operasi kereta api. d. Stasiun Penumpang dan Barang (SPB) Stasiun penumpang dan barang yaitu stasiun yang melayani jasa angkutan penumpang dan angkutan barang, dilengkapi dengan pelayanan operasi kereta api. e. Stasiun Antara (SA) Stasiun antara yaitu stasiun yang berada di antara dua stasiun yang bersebelahan atau diapit oleh stasiun di kiri dan kanan stasiun tersebut, dapat difungsikan sebagai stasiun penumpang, barang, operasi, bahkan terminal.

16 f. Stasiun Terminal (ST) Stasiun terminal sudah dipastikan sebagai stasiun operasi, dengan operasi perjalanan kereta apinya berakhir dan berawal di stasiun ini menuju ke suatu tujuan atau beberapa tujuan stasiun, umumnya stasiun bantu (rel tanpa ada penerusnya). g. Stasiun Antara dan Terminal (SAT) Stasiun antara dan terminal sudah dipastikan sebagai stasiun operasi, artinya sebagian kereta api berawal dan berakhir di stasiun ini, dan sebagian lagi meneruskan perjalanan baik ke arah hilir maupun ke arah udik. h. Stasiun Persimpangan (SPr) Stasiun persimangan yaitu stasiun sebagai tempat dimulainya perubahan jalur menuju dua atau lebih tujuan stasiun akhir dan sudah dipastikan stasiun ini melayani operasi perjalanan kereta api. Namun stasiun penumpang ini tidak melayani jasa angkutan kereta api barang maupun penumpang. 4. Lokasi Stasiun Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 21 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Trase Jalur Kereta Api pada Bab III pasal 15 menjelaskan bahwa beberapa hal mengenai pembangunan lokasi stasiun harus memperhatikan: a. Potensi angkutan berupa pergerakan penumpang dan/atau barang. b. Pengoperasian kereta api. c. Kepentingan pelayanan. d. Keterpaduan dan moda transportasi lain. e. Kondisi geografis. B. Tipikal Tata Letak dan Panjang Jalur Efektif Stasiun 1. Tipikal Tata Letak Jalur KA Penentuan tata letak jalur kereta api harus disesuaikan dengan rencana trase jalur kereta api yang sudah ditetapkan, hal ini dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lapangan, yaitu:

17 a. Kondisi stasiun pada wilayah relatif datar Jalur operasi kereta api di stasiun jalur ganda minimal 3 atau 4 jalur, dengan maksud dapat dilakukan persilangan dan atau penyusulan dalam waktu yang hampir bersamaan. Kelengkapan jalur lain: 1) Jalur simpan Jalur simpan sebaiknya disediakan setiap selang satu stasiun operasi, yang berfungsi untuk menyimpan mesin-mesin alat berat perawatan jalan rel (Mesin Pecok, MTT, dsb) dengan maksud apabila dilakukan pelaksanaan perawatan tidak banyak membutuhkan waktu untuk melakukan pengiriman alat-alat berat mesin perawatan dari stasiun yang cukup jauh atau dapat juga digunakan untuk menyimpan sarana yang mengalami gangguan saat melakukan perjalana, sehingga secara terpaksa harus dilepas dari rangkaian kereta api dan dapat diparkir di jalur simpan. 2) Jalur luncur Jalur luncur difungsikan untuk kereta api datang dan berhenti yang meluncur pada stasiun yang tidak dilengkapi dengan jalur tangkap, gelundungan sarana kereta api dapat diarahkan ke jalur luncur jika tidak ada tindakan lain yang dapat memberhentikan. 3) Jalur langsir Jalur langsir berada di stasiun kereta api yang mengawali dan mengakhiri perjalanan agar jalur kereta api tetap berfungsi semestinya. b. Kondisi stasiun pada wilayah turunan 1) Jumlah minimal jalur kereta api Jalur operasi kereta api di stasiun jalur ganda minimal 3 atau 4 jalur, dengan maksud dapat dilakukan persilangan dan atau penyusulan dalam waktu yang hampir bersamaan. 2) Jalur tangkap Kondisi turunan adalah topografi menjelang masuk stasiun memiliki turunan lebih dari 10 permil. Letak jalur tangkap sangat bergantung pada letak turunan yang menuju stasiun tersebut dan

18 dilakukan pemasangan pada wesel pertama dari arah turunan menuju jalur tangkap. Menurut (Utomo, 2009) menyebutkan bahwa kategori emplasemen stasiun menurut ukuran dibedakan atas: a. Emplasemen stasiun kecil Emplasemen pada stasiun kecil terdiri dari dua atau tiga rel, yang dengan satu jalan rel terusan dan satu atau dua jalan rel bersilangan/susulan, yang memungkinkan kereta api melakukan silangan atau susulan. Contoh skema emplasemen stasiun kecil dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3. 1. Contoh skema emplasemen stasiun kecil (Sumber: Utomo, 2009) b. Emplasemen stasiun sedang Emplasemen pada stasiun sedang memiliki jumlah rel yang lebih banyak jika dibandingkan dengan stasiun kecil. Contoh skema empalsemen stasiun sedang dapat dilihat pada Gambar 3.2. Gambar 3. 2. Contoh skema emplasemen stasiun sedang (Sumber: Utomo, 2009)

19 c. Emplasemen stasiun besar Emplasemen pada stasiun besar tidak semua letaknya berdampingan, biasanya stasiun penumpang, peayanan barang dan langsiran dipisahkan. Pemisahan ini dimaksudkan untuk dapat memudahkan cara memasang jalan rel isolasi. Contoh skema emplasemen stasiun besar dapat dilihat pada Gambar 3.3. Gambar 3. 3. Contoh skema emplasemen stasiun besar (Sumber: Utomo, 2009) d. Emplasemen barang Emplasemen barang dikhususkan untuk pelayanan pengiriman dan penerimaan barang. Sesuai dengan kegunaan dan fungsinya maka emplasemen barang biasanya terletaak di dekat daerah industri, perdaganagan atau pergudangan. Contoh emplasemen barang dapat dilihat pada Gambar 3.4. Gambar 3. 4. Contoh skema emplasemen barang (Sumber: Utomo, 2009)

20 e. Emplasemen Langsir Pembuatan emplasemen langsir (Marshaling yard) difungsikan sebagai fasilitas untuk menyusun kereta/gerbong (dan lokomotifnya) dengan tanpa mengganggu operasi kereta api yang lain. Kebutuhan angkutan tertentu (misalnya pada kereta barang) gerbong yang akan ditarik oleh lokomotif perlu disusun sedemikian sehingga sesuai dengan stasiun/tempat tujuannya. Kegiatan langsir yang dilakukan di emplasemen langsir pada umumnya yaitu sebagai berikut: 1) Gerbong-gerbong yang datang dipisah (dilepas dari rangkaian kereta api). 2) Gerbong-gerbong tersebut, setelah dipisah kemudian dipilah menurut jurusan yang akan dituju. 3) Gerbong-gerbong yang dipilih sesuai jurusannya dipilah dan dikelompokkan sesuai urutan stasiun tujuan. 4) Gerbong-gerbong yang telah terpilah sesuai jurusan dan terkelompokkan sesuai dengan stasiun tujuan dirangkai menjadi rangkaian kereta api yang siap diberangkatkan. Fasilitas kegiatan langsir sangat didukung oleh susunan emplasemen langsir yang terdiri atas susunan jalan rel (sepur) yaitu sebagai berikut: 1) Susunan sepur kedatangan. 2) Susunan sepur untuk pemilihan jurusan. 3) Susunan sepur untuk pemilihan menurut stasiun. 4) Susunan sepur keberangkatan. Gambar 3.5. memberikan contoh skema dasar emplasemen langsir. Berdasarkan gambar yang dimaksud terlihat tiga pengelompokkan tempat langsiran, yaitu: 1) Langsiran kedatangan. 2) Langsiran pemisahan. 3) Langsiran pemilahan dan keberangkatan.

21 Gambar 3. 5. Contoh skema emplasemen langsir (Sumber: Utomo, 2009) Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 Tahun 2012 mengenai perencanaan konstruksi jalur kereta api harus direncanakaan sesuai persyaratan teknis sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara teknis yang diartikan konstruksi jalur kereta api harus aman dilalui sarana perkeretaapian dengan tingkat kenyamanan tertentu selama umur konstruksinya, sedangkan ekonomis diharapkan agar pembangunan dan pemeliharaan konstruksi tersebut dapat diselenggarakan dengan tingkat harga yang sekecil mungkin dengan output yang dihasilkan kualitas terbaik dan tetap menjamin keamanan dan kenyamanan. Perencanaan konstruksi jalur kereta api ditentukan oleh jumlah beban, kecepatan maksimum, beban gandar dan pola operasi. Beban gandar merupakan besarnya beban yang diterima oleh jalan rel dari satu gandar. Beban gandar ditentukan berdasarkan lebar jalan rel, umumnya di Indonesia digunakan 1067 mm pada semua kelas jalur sebesar 18 ton. Informasi mengenai indikator kelas jalan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

22 Tabel 3. 1. Kelas jalan rel dengan lebar 1067 mm Sumber: PM No. 60 tahun 2012 Menurut Peraturan Dinas Nomor 10 Tahun 1986 tentang Perencanaan Konstruksi Jalan Rel pada pasal 2 menjelaskan bahwa wesel merupakan salah satu perangkat jalan KA sebagai penghubung dua atau tiga track yang difungsikan mengalihkan arah jalannya kereta api dari sepur ke sepur lainya. Wesel dibedakan dalam beberapa jenis, sebagai berikut ini: a. Wesel biasa. Wesel biasa berfungsi untuk mengarahkan perpindahan KA menuju sepur lurus atau bengkok. Terdapat dua jenis wesel standar yaitu: 1) Wesel biasa. a) Wesel kanan (Gambar 3.6. a) b) Wesel kiri (Gambar 3.6. b) 2) Wesel dalam lengkung. a) Wesel searah lengkung (Gambar 3.7. a) b) Wesel berlawanan arah lengkung (Gambar 3.7. b) c) Wesel simetris (Gambar 3.7. c) b. Wesel tiga jalan. 1) Wesel biasa. a) Wesel biasa searah (Gambar 3.8. a) b) Wesel biasa berlawanan arah (Gambar 3.8. b)

23 2) Wesel dalam lengkung. a) Wesel searah tergeser (Gambar 3.9. a) b) Wesel berlawanan arah tergeser (Gambar 3.9. b) 3) Wesel Inggris. Wesel inggris yaitu wesel yang dilengkapi dengan gerakan-gerakan lidah serta sepur-sepur bengkok. a) Wesel inggris lengkap (Gambar 3.10. a) b) Wesel inggris tak lengkap (Gambar 3.10. b) (a) Gambar 3. 6. Wesel biasa (a) wesel kanan, (b) wesel kanan (b) (a) (b) (c) Gambar 3. 7. Wesel biasa (a) dalam lengkung, wesel searah lengkung, (b) wesel berlawanan arah lengkung, (c) wesel simetris (a) Gambar 3. 8. Wesel biasa (a) searah, (b) wesel biasa berlawan arah (b)

24 (a) (b) Gambar 3. 9. Wesel dalam lengkung (a) searah tergeser, (b) berlawanan arah tergeser (a) (b) Gambar 3. 10. Wesel inggris (a) lengkap, (b) tak lengkap 2. Panjang Jalur Efektif Kereta Api Panjang Jalur efektif menurut Peraturan Dinas Nomor 10 Tahun 1986 adalah jalur aman untuk penempatan rangkaian sarana kereta api dari kemungkinan terkena senggolan pergerakan kereta api atau langsiran yang berasal dari jalur sisi sebelahnya. Jalur efektif di emplasemen dibatasi oleh: sinyal, patok bebas wesel, bantalan putih, rambu batas berhenti kereta api, ataupun track sirkuit. Panjang jalur efektif pada tiap emplasemen harus tercantum dalam daftar penggunaan jalur kereta api dan RPS (Reglemen Pengalaman Setempat), hal ini diketahui untuk dapat memperhitungkan panjang rangkaian kereta api dalam keadaan aman yang akan disilang/susul. Detail panjang jalur efektif dapat dilihat pada Gambar 3.11. Data data yang diperlukan dalam perhitungan jalur efektif yaitu: berat maksimal angkutan, panjang rangkaian kereta disesuaikan dengan jenis jasa

25 pelayanannya (KA barang/gerbong, KA penumpang, lokomotif). Contoh perhitungan panjang sepur efektif sebagai berikut: Panjang tiap lokomotif = A Jumlah gerbong lokomotif = Y Panjang tiap gerbong = B Jumlah gerbong lokomotif = Z Panjang sepur efektif = (Y x A) + (Z x B) Gambar 3. 11. Panjang jalur efektif di emplasemen (Sumber: Peraturan Dinas No. 10 ) C. Pengaturan Lalu Lintas Kereta Api di Stasiun Menurut Peraturan Menteri Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api menyebutkan bahwa pengaturan perjalanan kereta api dilaksanakan oleh penyelenggara perkereataapian, harus mendapat persetujuan dari penyelenggara prasarana perkeretaapian. Proses perijinan perjalanan kereta api dibutuhkan hubungan blok agar suatu kereta api dapat masuk ke petak blok antara dua stasiun bersebelahan. Prinsipnya dalam satu petak blok hanya ditentukan untuk satu kereta api. Hubungan blok sangat berkaitan dengan fasilitas operasi kereta api, terutama persinyalan. Sistem persinyalan dilengkapi dengan sistem hubungan blok untuk mengatur proses mulai dari permintaan blok, ijin buka blok, kereta api berangkat dan masuk blok, kereta api masuk stasiun, selesai.

26 Sistem jaringan blok dilengkapi dengan sistem telekomunikasi, terutama telekomunikasi untuk kepentingan perjalanan kereta api. Hubungan blok dalam petak blok antara dua stasiun untuk perjalanan terdiri atas: 1. Hubungan manual Hubungan manual yang dimaksud adalah persinyalan mekanik, terbagi dalam: a) Telegraf. b) Blok elektromekanis. c) Blok elektris. 2. Hubungan otomatis Hubungan otomatis terbagi dalam: a) Otomatis tertutup. b) Otomatis terbuka. D. Rute rute Perjalanan Kereta Api 1. Rute Terbentuk Rute terbentuk merupakan sejumlah rute yang dibuat dan disesuaikan dengan kebutuhan dari rute yang direncanakan untuk pengoperasian perjalanan kereta api. 2. Rute Terpakai Rute terpakai merupakan sejumlah rute yang digunakan dari rute terbentuk untuk pengoperasian perjalanan kereta api. 3. Rute Berkonflik (Conflict Rate) Perhitungan conflict rete, tata letak dari susunan interlocking dibagi menjadi unsur-unsur tata-letak yang lebih kecil, biasanya dianggap sebagai sistem lintas tunggal. Undur tata letak tersebut tidak diperbolehkan mengandung beberapa kemungkinan terjadinya rute-rute pararel (Gambar 3.12). Hal ini menunjukan bahwa rute dari setiap kereta api yang berjalan melalui unsur tata letak lintasan tunggal tersebut akan berkonflik dengan ruterute dari semua kereta api lain yang melalui unsur tata-letak lintasan yang sama.

27 Gambar 3. 12. Pembagian Interlocking menjadi elemen tunggal penggunaan. (Sumber: Pachl, 2000) Kelebihan dari analisis perhitungan ini yaitu memperoleh informasi tentang unsur-unsur penting dalam susunan interlocking yang kompleks yang berkaitan dengan kapasitas stasiun. Sebaliknya, permasalahan yang harus dihadapi adalah saling ketergantungan diantara unsur-unsur tata-letak sepur KA di stasiun yang belum dipertimbangkan. Ketika dua rute mengalami konflik pada unsur lintasan tunggalnya, kemungkinan dua rute tersebut juga mengalami rute konflik dengan rute ketiga yang tidak menyentuh lintasan ini. Rute 1 berkonflik dengan rute 2 pada unsur A. Kedua rute juga berkonflik dengan rute 3 di luar unsur A. Jadi, ketika headway minimum diantara kereta api pada rute 1 dan rute 2 pada unsur A harus ditentukan, pengaruh dari suatu kereta api yang berjalan pada rute 3 tidak dapat diabaikan. Bisa dimungkinkan akan terjadi slot-slot waktu pada rute 1 dan rute 2 diblok, meskipun unsur A tidak dipakai. Hal ini berarti, kereta pada rute 3 bisa menghasilkan beberapa jenis pemakaian tidak langsung pada unsur A. Contoh hubungan saling keterkaitan diantara 3 rute dapat dilihat pada Gambar 3.13. Gambar 3. 13. Contoh hubungan saling keterkaitan diantara 3 rute (Sumber: Pachl, 2000)

28 Permasalahan ini hanya dapat diselesaikan dengan baik melalui metode simulasi. Tipikal penyelesaian tersebut dapat digunakan Tabel Konflik Rute Pergerakan KA di Stasiun. Rute dipresentasikan dalam baris dan kolom seperti yang dicontohkan pada Gambar 3.14. Selanjutnya Gambar 3.15. menunjukkan notasi asal tujuan rute, dan untuk perhitungan rute berkonflik ditunjukkan pada persamaan 3.1. Gambar 3. 14. Tabel rute konflik (Sumber: Pachl, 2000) Gambar 3. 15. Notasi asal dan tujuan rute (Sumber: Pachl, 2000)

29 Setiap contoh rute dalam tabel diselesaikan dengan lebel huruf tunggal pada jalan masuk dan keluar. Beberapa rute huruf yang digunakan pada tingkat konflik yang ditentukan sebagai jumlah dari kombinasi rute berkonflik, dibagi dengan jumlah total dan kombinasi rute, yaitu dijelaskan berikut: a. No Conflict (N) = hubungan antara 2 Ka yang saling bergerak pada rute yang berbeda (Asal dan tujuan berbeda). b. Self correlation (S) = hubungan antara 2 KA yang bergerak pada rute yang sama atau tumpang-tindih (asal yang sama, dan tujuan yang sama atau 2 rute yang sama). c. Convergen (C) = hubungan antara 2 KA yang bergerak dari asal yang berbeda, tetapi tujuan sama, bisa diselingi dengan/tanpa persilangan terlebih dahulu (2 rute yang menyatu). d. Divergen (D) = hubungan antara 2 KA yang bergerak dari asal yang sama, tetapi tujuan yang berbeda (2 rute yang bercabang). e. Crossing (X) = hubungan antara 2 KA yang bergerak dari asal yang berbeda, dan juga tujuan yang berbeda (rute saling bersilang). f. CR r = (cij ) r 2...( 3.1) g. CR = Derajat atau persentase rute konflik h. cij = pembentukan kombinasi rute ij i. Conflict = c ij =1 ; j. No conflict = cij = 0 k. r = total rute Rute berkonflik merupakan presentase rute yang saling berkonflik satu sama lain, tergantung dari asal dan tujuan rute serta layout emplasemen (sistem interlocking dan posisi wesel) dan menentukan presentase efisiensi pergerakan KA di stasiun (ef). Beberapa contoh rute berkonflik dapat dilihat pada Gambar 3.16, Gambar 3.17, dan Gambar 3.18.

30 Gambar 3. 16. Rute Divergen A-B (Sumber: Pachl, 2000) Gambar 3. 17. Rute Convergen A-E (Sumber: Pachl, 2000) Gambar 3. 18. Rute Crossing B-C (Sumber: Pachl, 2000)