PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan tanaman pangan yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine max (L) Merril). Berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, dibudidayakan mulai abad ke-17 sebagai tanaman pangan dan pupuk hijau. Penyebaran tanaman kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria, Jepang (Asia Timur) dan ke negara-negara lain di Amerika dan Afrika (Kantor Deputi Menegristek, 2011). Kedelai kaya akan protein yang memiliki arti penting sebagai sumber protein nabati untuk peningkatan gizi dan mengatasi penyakit kurang gizi seperti busung lapar. Perkembangan manfaat kedelai di samping sebagai sumber protein, makanan berbahan kedelai dapat dipakai juga sebagai penurun cholesterol darah yang dapat mencegah penyakit jantung. Oleh karena itu, ke depan proyeksi kebutuhan kedelai akan meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat tentang makanan sehat. Produk kedelai sebagai bahan olahan pangan berpotensi dan berperan dalam menumbuhkembangkan industri kecil menengah bahkan sebagai komoditas ekspor (Simatupang et al. 2005). Kedelai dapat dikembangkan sebagai suatu komoditas unggul. Hal ini disebabkan tersedianya potensi sumber daya lahan dan manusia yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang pengembangan komoditas ini. Demikian juga bahwa secara nasional kebutuhan akan jenis produk ini masih cukup tinggi, sehingga diperkirakan bahwa peluang pasarnya cukup baik (DPP & LP, 2006).
Menurut Deptan (2006), kebutuhan akan kedelai meningkat tiap tahunnya, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Komoditas per kapita kedelai saat ini ± 8 kg/kapita/tahun. Diperkirakan setiap tahunnya kebutuhan akan kedelai adalah ± 1,8 juta Ton dan bungkil kedelai sebesar ± 1,1 juta Ton. Luas panen dan produksi tanaman kedelai Indonesia 5 tahun terakhir adalah: tahun 2006 mencapai 747.611 Ton dengan luas panen 580.534 Ha, tahun 2007 mengalami penurunan yaitu 592.534 Ton dengan luas panen 459.116 Ha, tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu 775.710 Ton dengan luas panen 590.956 Ha, berlanjut di tahun 2009 mencapai 974.512 Ton dengan luas panen 722.791 Ha, tahun 2010 kembali mengalami penurunan yaitu 907.031 Ton dengan luas panen 660.823 Ha (BPS, 2011). Luas panen dan produksi tanaman kedelai Sumatera Utara 5 tahun terakhir adalah: tahun 2006 mencapai 7.042 Ton dengan luas panen 6.311 Ha., tahun 2007 mengalami penurunan yaitu 4.345 Ton dengan luas panen 3.747 Ha, tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu 11.647 Ton dengan luas panen 9.597 Ha, yang kemudian berlanjut di tahun 2009 mencapai 14.206 Ton dengan luas panen 11.494 Ha, dan tahun 2010 mengalami penurunan yaitu 9.439 Ton dengan luas panen 7.803 Ha (BPS, 2011). Berbagai upaya telah dilakukan untuk memacu peningkatan produksi menuju swasembada kedelai. Penggalian potensi sumber pertumbuhan produksi kedelai kembali digiatkan terutama perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Produksi kedelai saat ini belum dapat mencukupi permintaan kedelai di Indonesia sehingga tanaman palawija ini perlu ditingkatkan produksinya karena memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai
bahan pangan dan pakan ternak yang mengandung protein nabati tinggi (Nasikhah, 2008). Menurut Martoredjo (1992), salah satu penghambat dalam peningkatan produksi kedelai adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur patogen. Jamur merupakan patogen terpenting karena jumlahnya yang sangat banyak dan beberapa jenis jamur menjadi patogen pada beberapa komoditas pertanian. Sclerotium rolfsii merupakan salah satu jamur patogen, jamur tersebut merupakan penyebab penyakit layu. Penyakit yang disebabkan oleh S. rolfsii merupakan penyakit potensial pada tanaman kedelai karena tanaman yang terserang akan mati dan patogen dapat bertahan lama di dalam tanah dalam bentuk sklerotia. Penyakit ini sering ditemukan pada tanaman kedelai baik lahan kering, tadah hujan maupun pasang surut dengan intensitas serangan sebesar 5-55%. Tingkat serangan lebih dari 5 % di lapang sudah dapat merugikan secara ekonomi, tanaman kedelai yang terserang hasilnya akan rendah atau sama sekali gagal panen (Semangun, 2004). Menurut Agrios (1997), S. rolfsii adalah penyebab penyakit busuk batang, merupakan patogen tular tanah yang dapat menyerang kedelai, kubis-kubisan, tanaman famili Cucurbitaceae, seledri, jagung manis, selada, okra, bawang, lada, kentang, tomat, krisan, kapas, tembakau dan sebagainya Patogen tular tanah pada tanaman dapat secara signifikan mengurangi hasil dan kualitas dari tanaman. Infeksi simultan dari patogen tular tanah ini terkadang beberapa diantaranya mengakibatkan penyakit kompleks yang dapat lebih merusak tanaman. Banyak penyakit yang disebabkan oleh patogen ini sulit untuk diprediksi, dideteksi dan didiagnosa. Selain itu tanah, merupakan
lingkungan sangat kompleks, sehingga menjadi tantangan untuk memahami semua aspek penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah ini (Koike et al. 2003). Usaha untuk menurunkan nilai kerusakan yang disebabkan oleh jamur S. rolfsii telah banyak dilakukan. Penggunaan fungisida kimiawi sering menjadi pilihan utama dalam mengendalikan penyakit busuk pangkal batang S. rolfsii, Namun fungisida dapat memberikan dampak negatif baik pada pengguna, sasaran maupun terhadap lingkungan (Wudianto, 1997). Melihat kenyataan yang demikian, maka diperlukan upaya pengendalian yang lebih ramah lingkungan. Cara pengendalian yang saat ini sedang dikembangkan dan merupakan alternatif yang aman dibandingkan dengan menggunakan cara kimia adalah mengendalikan secara hayati dengan menggunakan mikroorganisme antagonis (Nasikhah, 2008). Menurut Hasanuddin (2003), mikroorganisme yang bersifat antagonis mempunyai pengaruh berlawanan terhadap mikroorganisme patogenik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai suatu komponen dalam upaya pengendalian. Pengendalian hayati adalah pemberian mikroba antagonis dan perlakuan tertentu untuk meningkatkan aktivitas mikroba tanah seperti pemberian bahan organik yang bertujuan agar mikroba antagonis menjadi tinggi aktivitasnya. Mikroba antagonis adalah mikroba yang aktivitasnya berdampak negatif terhadap kehidupan patogen (Abadi, 2003). Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah dengan menggunakan mikroorganisme antagonis belum banyak dilakukan di Indonesia, karena masih terbatasnya mikroorganisme yang berpotensi sebagai agens
pengendali hayati. Untuk itulah, dalam usaha mengintroduksi agens pengendali hayati, banyak metode yang saat ini dapat dilakukan salah satunya dengan mengisolasi strain nonpatogenik, baik itu berasal dari tanah supresif terhadap penyakit layu (Alabouvette et al. 1996), dari jaringan akar tanaman (Yamaguchi et al. 1992), atau dari tipe liar (wild type) patogen itu sendiri yang dibuat menjadi mutan melalui berbagai perlakuan mutasi (Freeman et al. 2002). Penggunaan sinar ultraviolet (UV) untuk memutasi strain patogenik (liar) menjadi strain nonpatogenik sudah dipraktekkan sejak lama. Sinar UV diketahui mampu menginduksi terjadinya mutasi pada mikroba, baik pada kondisi alamiah maupun laboratorium (Pelczar & Chan, 1986). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan isolat mutan S. rolfsii dalam menghambat pertumbuhan koloni isolat tipe liar S. rolfsii di laboratorium. Hipotesis Penelitian Isolat mutan S. rolfsii dapat menjadi agen hayati antagonis terhadap isolat tipe liar (patogen S. rolfsii) di laboratorium. Kegunaan Penelitian Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.