RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: - Achmad Rifai MA, S.H.,, dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 30 Juli 2015 II. OBJEK PERMOHONAN - Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut UU 8/1981. - Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi selanjutnya disebut UU 30/2002. III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum ; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; IV. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON - Pemohon adalah Bupati Kanupaten Morotai Periode 2012-2016 yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana suap terkait pemenangan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum kepala
daerah Kabupaten Morotai tahun 2011, yang merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137 serta Pasal 143 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut UU 8/1981. - Pengujian Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi selanjutnya disebut UU 30/2002. V. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA MATERIIL 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana - Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) (2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umu; (3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan. - Pasal 82 ayat (1) huruf d (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:.. (d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur; - Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. - Pasal 143 ayat (1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. ii. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Pasal 1 angka 3 - Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) (1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri;
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan untuk diperiksa dan diputus B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 - Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Negara Indonesia adalah Negara Hukum. - Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. - Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. - Pasal 28G ayat (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. - Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) UU 8/1981 Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Berdasarkan yang dialami oleh Pemohon, kata segera cenderung disalahartikan dan disalahgunakan oleh Penyidik maupun penuntut umum yakni dengan mempercepat proses penyerahan tahap I dan tahap II oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, hal ini terbukti dengan menyerahkannya tahap II berkas Pemohon dengan atau tanpa melaksanakan Pemeriksaan saksi yang merupakan hak dari Pemohon; 2. Menurut Pemohon ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur dapat diterima sepanjang dimaknai sebelum adanya proses praperadilan, apabila terdapat tindakan sewenangwenang oleh Penyidik maupun Penuntut Umum dengan mempercepat
proses dengan atau tanpa prosedur yang sesuai dengan KUHAP, maka akan cenderung bertentangan dengan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; 3. Bahwa ketentuan Pasal 137 UU 8/1981 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili, sepanjang dimaknai sebelum adanya proses praperadilan, maka penuntut umum harus menunggu proses praperadilan yang sedang berlangsung diajukan oleh Pemohon, bukan malah mempercepat proses tahapan pelimpahan ke Pengadilan dengan tujuan menggugurkan permohonan praperadilan yang sedang berlangsung, atau malah menunda-menunda sidang praperadilan yang sedang berlangsung dengan tujuan untuk menggugurkan proses praperadilan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 sepanjang dimaknai sebelum adanya permohonan praperadilan. 4. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 143 ayat (1) UU 8/1981 Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan, sepanjang dimaknai sebelum adanya permohonan praperadilan, maka akan cenderung bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Hal itu dikarenakan kata segera akan cenderung disalahgunakan oleh Penuntut umum dengan menyegerakan pelimpahan perkara ke Pengadilan. 5. Bahwa menurut Pemohon Pemaknaan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU 30/2002, harus diartikan sepanjang belum ada gugatan praperadilan. Hal itu mengingat banyak disalahgunakan oleh Penyidik dan Penuntut Umum untuk mencari celah hukum agar segera menyerahkan tahapan penyidikan atau penuntutan dengan tujuan agar menggugurkan proses prapedilan yang sedang berlangsung. VII. PETITUM 1. Menerima seluruh permohonan Pemohon; 2. Menyatakan Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak dimaknai segera dimajukan ke Pengadilan adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 3. Menyatakan Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai segera dimajukan ke Pengadilan adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan;
4. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak dimaknai maka permintaan tersebut gugur adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 5. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai maka permintaan tersebut gugur adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 6. Menyatakan Pasal 137 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak dimaknai melimpahkan perkara ke pengadilan adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 7. Menyatakan Pasal 137 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai melimpahkan perkara ke pengadilan adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 8. Menyatakan 143 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak dimaknai melimpahkan perkara ke pengadilan negeri adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 9. Menyatakan 143 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai melimpahkan perkara ke pengadilan negeri adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 10. Menyatakan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak dimaknai wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 11. Menyatakan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 12. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak dimaknai Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan untuk diperiksa dan diputus adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 13. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi
Pemberantasan untuk diperiksa dan diputus adalah sebelum adanya gugatan Praperadilan; 14. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aquo et Bono); Catatan: - Dalam alasan permohonan pemohon menyebutkan Pasal 50 ayat (1) UU 8/1981 namun bunyi pasal yang disebutkan Pemohon adalah Bunyi Pasal 50 ayat (2) UU 8/1981.