BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kehidupan manusia saat ini tidak terlepas dari alat elektronik seperti televisi, radio, handphone, mesin cuci, kulkas, dan komputer. Seiring perkembangan zaman dan semakin meningkatnya populasi kehidupan manusia maka peralatan elektronik pun makin bertambah banyak dan bervariasi macamnya. Jumlah penggunaan peralatan elektronik mengalami peningkatan yang cukup drastis selama beberapa tahun terakhir ini (Voshchinin dkk., 2012). Peningkatan jumlah limbah elektronik tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi limbah elektronik sudah menjadi permasalahan negara-negara maju. Jerman menghasilkan limbah elektronik sebanyak 1,8 juta ton per tahun. Austria menghasilkan limbah elektronik 85 ton per bulan dan 5 ton merupakan limbah yang berbahaya. Polandia menghasilkan 3 ton per tahun sejak 2005 dan terjadi peningkatan 3-5% per tahun sampai sekarang (Gramatyka dkk, 2007). Benda-benda yang termasuk dalam kategori limbah elektronik adalah benda dari peralatan elektronik yang telah rusak atau tidak dikehendaki lagi. Beberapa komponen dalam limbah elektronik pada umumnya terdapat PCB (Printed Circuit Board) yang mengandung logam berat seperti Cr, Zn, Au, Ag, Sn, Pb dan Cu. Selain itu terdapat pula CRT (Chatoda Ray Tube) yang mengandung oksida logam. Limbah-limbah elektronik tersebut jika dibiarkan menumpuk akan menjadi permasalahan yaitu terjadinya pencemaran yang ditimbulkan oleh logam-logam berat yang terkadung dalam limbah tersebut. Limbah elektronik tidak dapat disamakan dengan limbah biasa. Sebagai contoh limbah elektronik yang berasal dari komputer, satu unit komputer terdiri dari beragam komponen elektronik yang sulit diuraikan oleh mesin pelebur sampah seperti insinerator. Salah satu contoh logam tembaga yang merupakan logam dominan dalam limbah elektronik dapat memicu polusi jika diinsinerasi melalui proses pembakaran. Logam berat jika dimasukkan ke dalam insinerator akan menghasilkan uap logam khususnya logam merkuri yang berbahaya bagi kesehatan (Mary, 2003).
Salah satu logam berharga yang terdapat dalam limbah elektronik adalah emas. Penelitian yang telah dilakukan oleh perusahaan Jepang, Yokohama Metal Co Ltd menemukan bahwa 1 ton bahan tambang emas setelah diolah rata-rata hanya menghasilkan 5 g emas, sedangkan 1 ton ponsel bekas dapat menghasilkan 150 g emas atau lebih. Dengan berat yang sama, emas hasil dari limbah elektronik dapat mencapai 30 kali lebih banyak dibandingkan dengan emas hasil pertambangan. Pabrik daur ulang ponsel di Jepang, Eco-system Recycling Co., menghasilkan emas batangan antara 199,58 299,37 kg/bulan yang nilainya berkisar US$ 5,9 juta US$ 8,8 juta. Hasil yang hampir sama dengan sebuah penambangan emas skala kecil, dengan resiko dan modal yang lebih kecil. Emas dari limbah elektronik dapat diisolasi atau diambil kembali (recovery). Metode isolasi emas yang banyak digunakan dalam skala industri adalah metode sianida dan metode amalgamasi (Supriyadjaja dan Widodo, 2009). Metode sianida menggunakan natrium sianida yang beracun, memberikan dampak negatif terhadap kualitas air dan sedimen di sekitar lokasi pengolahannya. Beberapa metode yang ekonomis dan efisien telah banyak digunakan untuk mengambil kembali emas, yaitu co-precipitation (Zhao, 2006), pertukaran ion (Gomes dkk., 2001; Al-Merey dkk., 2003; Alguacil dkk., 2005), ekstraksi pelarut (Kordosky dkk., 1992; Akita dkk., 1996), dan adsorpsi material fase padat (Chang dan Chen, 2006; Lam dkk., 2007) yang telah digunakan untuk memisahkan dan menghilangkan ion Au(III) dari larutan berair. Beberapa teknologi tersebut, metode adsorpsi oleh padatan telah menjadi metode yang dipercayai untuk menghilangkan dan/atau recovery ion logam termasuk emas dengan keuntungan efisien yang tinggi dan proses yang sederhana. Hamamoto dkk. (2009) telah melakukan reduksi ion emas menjadi logam emas menggunakan turunan fenol dan menunjukkan hasil bahwa gugus hidroksil pada senyawa turunan fenol bekerja secara efesien dalam mereduksi ion emas menjadi logam emas. Adsorpsi didasarkan pada interaksi ion logam dengan gugus fungsional yang ada pada permukaan adsorben melalui interaksi pembentukan kompleks dan biasanya terjadi pada permukaan padatan yang kaya gugus fungsional seperti OH, NH, SH, dan COOH (Stum dan Morgan, 1996). Bahan-
bahan alam banyak memiliki gugus OH fenolat yang terikat pada cincin aromatik. Adsorben yang berasal dari turunan fenol, lignofenol, dan humin kaya akan gugus hidroksil yang terikat pada cincin aromatik (Gaffney dkk., 1996). Adsorpsi adalah proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat pada suatu padatan dan akhirnya membentuk lapisan tipis pada permukaan padatan tersebut (Worch, 2001). Keunggulan dari proses adsorpsi adalah pengunaannya umum sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang, misalnya dalam penyerapan gas beracun, penjernihan limbah, pengolahan air minum, dan lain-lain. Selain kelebihan terdapat juga kelemahan dari proses adsorpsi, misalnya pada karbon aktif, yaitu proses pembuatannya harus dikarakterisasi sesuai tujuan penggunaanya (Girgis, 2001). Pada beberapa tahun belakangan ini telah mulai dikembangkan metode adsorpsi yang ramah lingkungan, yaitu menggunakan adsorben yang berasal dari bahan alam, seperti kitosan (Qu dkk., 2009), turunan kitosan (Wang dkk., 2012), asam humat (Prasasti, 2012), ampas tebu (Rubcumintara, 2014). Bioadsorben ini dirasa memiliki kelimpahan yang cukup banyak di alam serta tidak menggunakan bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari lingkungan. Salah satu adsorben biomassa yang bersifat ramah lingkungan adalah adsorben dari bagian buah salak (kulit dan biji). Konsumsi salak yang cukup besar menyebabkan limbah yang dihasilkan dari kulit salak juga banyak. Pada saat ini kulit salak sebagian besar hanya menjadi limbah karena belum banyak diolah untuk menghasilkan suatu produk yang berguna (Soetomo, 2001). Kulit salak ini dapat berperan sebagai adsorben yang dapat mengadsorpsi logam seperti logam emas, platinum, besi, nikel, timbal, seng, perak. Pemanfataan salah satu biomassa menjadi adsorben dengan metode maserasi sudah dilakukan oleh Harumi (2015), menggunakan kulit manggis (Garcinia mangostana L.) untuk mengadsorpsi emas. Selulosa merupakan komponen struktur utama pada dinding sel tumbuhan dan unsur yang paling berlimpah. Struktur kimia selulosa berupa rantai yang tidak bercabang dan tersusun atas satuan-satuan β-d-gluko-piranosa, dengan ikatan glikosida 1,4. Perbedaan struktur kimia selulosa dengan struktur kimia amilosa hanya dalam konfigurasi glikosidanya. Analisis sinar-x membuktikan bahwa
selulosa berupa rantai-rantai panjang sejajar yang terikat menjadi satu oleh ikatan hidrogen. Hal ini menyebabkan selulosa berbentuk serat-serat panjang. Selulosa berupa zat padat amorf dan kristalin, berwarna putih, yang tidak larut dalam air dan pelarut organik umum. Pelarut yang baik untuk selulosa adalah pereaksi Cross (larutan zink klorida dari campuran natrium klorida dengan karbon tetraklorida) (Sumardjo, 2008). Pemanfaatan kulit buah salak sudah pernah dilakukan sebelumnya seperti efektivitas arang aktif kulit salak pada pemurnian minyak goreng bekas (Mangallo, 2014), uji efektifitas ekstrak kulit buah salak terhadap penurunan kadar gula darah tikus putih jantan galur wistar (Rattus norvegicys L.) yang diinduksikan sukrosa (Kanon 2013). Penelitian ini difokuskan pada perbandingan adsorben kulit salak yang dibagi berdasarkan metode pembuatannya, metode taut silang dan metode ekstraksi berdasarkan pada isoterm adsorpsi Au(III) dengan variasi suhu 28, 40, 50, dan 60 C serta variasi konsentrasi 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 mm yang kemudian dapat ditentukan model isoterm adsorpsi dan parameter termodinamikanya. Pada penelitian ini kulit salak yang akan digunakan sebagai adsorben dipreparasi sesuai metode yang sudah dipilih, yaitu metode taut silang dan metode ekstraksi. Adsorben kulit salak direaksikan dengan ion Au(III) menggunakan variasi konsentrasi dan suhu sehingga dapat ditentukan isoterm adsorpsi dan parameter termodinamiknya, seperti perubahan energi bebas Gibbs (ΔG), perubahan entropi (ΔS), perubahan entalpi (ΔH), serta dapat ditentukan jenis ikatan yang terjadi antara adsorben dengan Au(III).
I.2 Tujuan Penelitian 1. Membandingkan kemampuan adsorpsi oleh adsorben selulosa taut silang dari kulit salak dan adsorben ekstrak kulit salak. 2. Menentukan nilai perubahan energi bebas Gibbs (ΔG), perubahan entalpi (ΔH), serta perubahan entropi (ΔS) adsorpsi emas oleh adsorben selulosa taut silang dari kulit salak dan adsorben ekstrak kulit salak. 3. Menentukan jenis ikatan (fisika atau kimia) yang terjadi antara adsorben selulosa taut silang asam dari kulit salak dengan emas dan adsorben ekstrak kulit salak dengan emas. I.3 Manfaat Penelitian 1. Memberikan alternatif solusi adsorben untuk mengadsorpsi emas yang murah, mudah diperoleh dan ramah lingkungan. 2. Memberikan pengetahuan dan informasi mengenai kemampuan kulit salak dalam mengadsorpsi emas dalam aspek termodinamika. 3. Memberikan alternatif solusi dalam pengolahan limbah organik (kulit salak) menjadi adsorben untuk mengadsorpsi emas.