HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB l PENDAHULUAN. berikut : pernikahan adalah ikatan lahir batin antara suami istri denga tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

KECEMASAN PADA WANITA YANG HENDAK MENIKAH KEMBALI

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

OPTIMISME MASA DEPAN ABDI DALEM KERATON KASUNANAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA (STUDI BK KELUARGA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau yayasan, orangtua, guru, dan juga siswa-siswi itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA. Skripsi

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Definisi Perkawinan, Perceraian serta akibat-akibat Hukumnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME MASA DEPAN DAN KONFORMITAS TEMAN SEKOLAH DENGAN MOTIVASI BELAJAR PADA SISWA DI SMK

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. Haiti (Liputan 6, 2015) mengemukakan bahwa dari hasil pemeriksaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyenangkan dan muncul dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat kesulitan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya. Seseorang yang mengalami peristiwa membahagiakan seperti dapat

HUBUNGAN ANTARA SUASANA KELUARGA DENGAN MINAT BELAJAR PADA REMAJA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di

BABI. PENDAillJLUAN. Seorang anak selalu membutuhkan peran orangtua. Sejak dulu sampai saat

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa sekolah bagi anak adalah masa yang paling dinantikan. Anak bisa

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi kehidupan manusia. Banyak orang mengeluhkan dirinya merasa tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Pendahuluan. Masa remaja secara psikologi merupakan masa peralihan dari masa anak

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing orang selalu menginginkan harga diri yang tinggi.

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat

Transkripsi:

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh : ADHI BASKORO K F 100 020 188 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 i

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi perkembangan penyesuaian individu. Keluarga juga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang, terutama anak. Keluarga berfungsi sebagai seleksi budaya luar dan mediasi hubungan anak dengan lingkungannya (Yusuf, 2002). Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan rumah tangga sebagai suami-istri tidak selamanya berada dalam situasi yang damai dan tenteram. Perceraian adalah salah satu keadaan yang tidak ada satupun pasangan suami-istri senang menghadapinya. Namun terkadang perceraian tetap tidak dapat dihindarkan meski berbagai upaya telah dicoba. Sebelum perceraian terjadi, biasanya didahului dengan banyak konflik dan pertengkaran. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa ditutup-tutupi sehingga anak tidak tahu, namun tidak jarang anak bisa melihat dan mendengar dengan jelas pertengkaran tersebut. Pertengkaran orang tua, apapun alasan dan bentuknya akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orang tuanya bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya merasa takut, sedih, dan bingung. Kalau sudah terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran orang tua, anak dapat mulai menjadi

2 pemurung. Karenanya, sangat penting untuk tidak bertengkar di depan anakanak. Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orang tua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai dengan yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik dari pada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk. Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, orang tua seharusnya mengetahui tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh orang tua untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Dengan kata lain bagaimana orang tua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian. Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orang tua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam batin anak-anak. Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Orang tua yang bercerai ada yang siap menghadapi perceraian tersebut namun ada juga yang tidak siap menghadapinya. Pada umumnya bagi yang digugat akan merasa lebih tidak siap dibanding yang menggugat. Berbeda dengan anak-anak. Anak-anak lebih merasa tidak siap dengan perceraian yang terjadi pada orang tua mereka. Mereka tiba-tiba saja harus menerima

3 keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Tiba-tiba saja papa tidak lagi pulang ke rumah atau mama pergi dari rumah atau tiba-tiba bersama mama atau papa pindah ke rumah baru. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah orang tua sering bertengkar, bahkan mungkin ada anak yang tidak pernah melihat orang tuanya bertengkar karena orang tuanya benar-benar rapi menutupi ketegangan antara mereka berdua agar anak-anak tidak takut. Angka perceraian di Indonesia termasuk meninggi kian waktu. Banyak perkawinan berakhir dengan perceraian, apalagi kalau melihat berita-berita tentang perceraian selebritis Indonesia akhir-akhir ini. Menurut Holmes dan Rahe (2005), perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi setelah kematian pasangan hidup. Dalam enam tahun terakhir, rata-rata ada terjadi 1,8 juta pernikahan setiap tahunnya. Dalam enam tahun terakhir ini pula, rata-rata terjadi 143 ribu perceraian setiap tahunnya. Jumlah perceraian itu mencapai delapan persen dari total jumlah pernikahan. Kalau angka ini dibaca dari sudut agama, bahwa perceraian adalah sesuatu yang Allah benci, maka ada delapan persen keluarga yang melakukan perbuatan yang dibenci Allah. Perceraian adalah suatu peristiwa hebat bagi individu, merupakan pengalaman sedih, dan adanya suatu keinginan untuk mengakhiri perkawinan, dimana ada kesedihan pada suami-istri maupun anak-anak (Meichati, 1983). Perceraian orang tua disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : a). Masalah keperawanan, b). Ketidaksetiaan salah satu pasangan hidup, c). Tekanan kebutuhan ekonomi keluarga, d). Tidak mempunyai keturunan, e).

4 Salah satu dari pasangan hidup meninggal dunia, f). Perbedaan prinsip, ideologi atau agama (Dariyo, 2004). Penyebab perceraian di atas akan membawa resiko yang cukup berat. Resiko tersebut tidak hanya dialami suami atau istri-istri saja tetapi anak-anak juga akan menanggung resiko tersebut. Salah satu resiko dari perbuatan perceraian yang ditanggung anak-anak adalah mereka merasakan telah kehilangan salah satu tumpuan kasih sayang yang sebelum perceraian terjadi mereka terima dari bapak dan ibunya. Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk didalamnya adalah anak-anak. Ada akibat positif dan ada akibat negatif yang ditimbulkan dari perceraian tersebut. Sebagai contoh dari akibat positif perceraian adalah adanya anak korban perceraian yang berprestasi di bidang akademiknya. Anak tersebut merasa bahwa walaupun orang tua mereka telah bercerai, namun ia tidak boleh patah semangat ataupun terpuruk kehidupannya. Hal ini ditunjukkan dengan baiknya prestasi akademik di sekolah. Kemudian salah satu akibat negatif perceraian adalah adanya anak yang menjadi sangat nakal setelah kedua orang tuanya bercerai. Anak tersebut tidak mau berangkat sekolah karena teman-temannya selalu menanyakan kasus perceraian orang tuanya. Sehingga kehidupan anak tersebut menjadi tidak terarah yang disebabkan oleh perceraian kedua orang tuanya ( Kompas, 2005). Kenyataan perceraian orang tua, tak dapat dihindari ketika terjadi masalah pada orang tua, baik pada pihak bapak atau pihak ibu. Selain itu dapat pula

5 perceraian disebabkan oleh adanya pihak ketiga. Bagi anak, apapun penyebab perceraian orang tuanya merupakan pukulan psikologis yang cukup berat, sehingga dapat menyebabkan disharmonisasi hubungan anak-orangtua dan disorientasi anak. Dalam hal ini, sering dikenal anak-anak korban broken home. Namun demikian, tidak semua anak korban perceraian mengalami disorientasi masa depan. Hal ini, bergantung kepada persepsi anak tentang perceraian orang tuanya. Menurut Solso (1995) terdapat dua kemungkinan persepsi anak terhadap perceraian yaitu : a). Anak mempunyai persepsi yang baik terhadap perceraian, karena anak mendapat perhatian, perlindungan dan cinta kasih yang cukup dari orangtuanya, dan b). Anak mempunyai persepsi yang tidak baik terhadap perceraian, karena dari perceraian orang tuanya, anak tidak mendapatkan perhatian, perlindungan dan cinta kasih yang dibutuhkan anak, sehingga anak memandang perceraian orang tua bukan merupakan hal yang perlu dipikirkan. Perceraian orangtua dianggap sebagai salah satu penyebab utama kegagalan masa depan anak. Anak dapat kehilangan orientasi masa depan karena kehilangan kasih sayang orang tua. Pada umumnya setiap anak menginginkan keutuhan keluarga. Menurut Wardoyo (1990) perceraian merupakan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami-istri. Perceraian merupakan pengalaman yang menyedihkan dan menyakitkan pada suami, istri maupun anak-anak.

6 Korban perceraian yang memiliki persepsi baik terhadap perceraian akan merasa lebih optimis menghadapi masa depan. Namun mereka yang memiliki persepsi negatif terhadap perceraian tentunya akan merasa tidak optimis dalam menghadapi masa depan (Fatayat, 2008). Tingkah laku dan penyesuaian diri individu ditentukan oleh persepsinya. Individu melakukan sesuatu hal, tergantung bagaimana individu tersebut menanggapi sesuatu itu dengan persepsinya. Kebahagiaan ataupun kesengsaraan seseorang ditentukan oleh persepsi-persepsi dan sikap-sikap dirinya tentang kejadian-kejadian dari luar dirinya. Menurut Chaplin (2001) istilah persepsi berasal dari serapan bahasa Inggris perception yang artinya pengamatan. Dalam disiplin psikologi persepsi didefinisikan sebagai suatu proses pemberian arti terhadap lingkungan individu. Masing-masing individu akan memberikan arti terhadap stimulus dengan cara berbeda-beda, meskipun obyek yang dipersepsikan sama. Begitu juga persepsi seseorang terhadap perceraian tergantung dari bagaimana individu tersebut menanggapi perceraian dengan persepsinya. Persepsi anak terhadap perceraian sangatlah beragam. Ada yang memiliki persepsi negatif terhadap perceraian, namun ada juga yang memiliki persepsi positif terhadap perceraian. Persepsi seorang anak dapat mempengaruhi optimisme masa depannya. Jika seorang anak memiliki persepsi yang tidak baik terhadap perceraian, maka hal itu akan berpengaruh buruk terhadap optimisme masa depannya.

7 Seperti, seorang anak korban perceraian yang prestasi disekolahnya menurun setelah orang tuanya bercerai (Gregor, 2005). Namun bagi anak yang memiliki persepsi baik terhadap perceraian orang tuanya akan berpengaruh baik terhadap optimisme masa depannya. Ia merasa lebih baik dalam menghadapi masa depannya (Realita, 2007). Walaupun perceraian orang tua terjadi, namun masa depan anak merupakan hal yang utama. Karena itu, diperlukan pendampingan terhadap anak korban perceraian untuk menjaga optimisme masa depannya. Menurut Seligman (Goleman, 2002) individu yang optimis selalu memandang kegagalan sebagai sesuatu yang dapat diperbaiki dan diubah, sehingga individu tersebut dapat berhasil di masa mendatang. Individu yang optimis cenderung menyikapi segala sesuatu dengan respon aktif dan tidak putus harapan, merencanakan suatu tindakan atau berusaha mencari pertolongan dan nasihat. Sebaliknya, individu yang pesimis menerima kegagalan sebagai kesalahannya sendiri, menganggapnya berasal dari pembawaan yang telah mendarah daging dan tidak dapat diubah. Optimisme merupakan pola kepribadian yang menjadi salah satu aspek kekuatan pada diri individu (Aldita, 2004). Kekuatan dari rasa optimis pada masing-masing individu memang berbeda, ada yang sangat kuat dan ada yang sangat lemah. Menurut Ginnis (1995), orang yang optimis adalah orang yang merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuatan untuk mengendalikan dunia

8 mereka. Rasa optimis merupakan perpaduan antara dorongan-dorongan fisik dan psikis dalam mempertahankan diri dan pengembangan diri yang ada pada setiap perkembangan manusia. Begitu juga anak korban perceraian. Mereka akan memiliki optimisme masa depan apabila pandangan negatif tentang perceraian tidak tertanam dalam dirinya. Weinstein (1980) menyatakan bahwa optimisme merupakan kecenderungan untuk memandang segala sesuatu dari segi dan kondisi baiknya dan mengharapkan hasil yang paling memuaskan. Hanya orang yang optimis yang memandang masa depan dengan penuh semangat dan harapan, akan mampu meraih keberhasilan dan mengembangkan diri secara maksimal. Optimisme yang dimiliki seseorang juga akan mengarahkan perilakunya untuk mewujudkan keinginannya. Orang yang mempunyai sikap optimis akan mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan ketekunan dan kemampuan berfikir atau berimajinasi atau berapresiasi dan sikap tidak mudah menyerah atau putus asa. Collilns dan Read (1990) menambahkan bahwa individu yang optimis akan merasa lebih percaya diri, nyaman, ekspresif, memandang dunia sosial lebih positif, merasa orang lain dapat dipercaya dan tidak merasa takut akan ditinggalkan oleh orang lain. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi seseorang terhadap perceraian mempunyai hubungan terhadap optimisme masa depan. Semakin baik persepsi seseorang terhadap perceraian, semakin baik pula optimisme masa depan seseorang.

9 Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah bahwa perceraian bukan merupakan sesuatu hal yang tabu lagi dilakukan. Banyak sekali terjadi perkawinan yang telah dijalin selama beberapa waktu sebelumnya, ternyata harus diakhiri dengan pengalaman yang menyakitkan hati di antara keduanya. Dari perceraian tersebut tentunya akan membawa akibat-akibat yang dirasakan oleh beberapa pihak baik suami, istri, bahkan anak-anak sekalipun. Ada akibat positif dan ada juga akibat negatif. Pada umumnya akibat yang ditimbulkan dari terjadinya perceraian pada anak adalah akibat negatif, seperti anak tidak mau lagi sekolah, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, terjerumus dalam pergaulan bebas yang semua itu dapat mengakibatkan kegagalan menuju masa depan yang cerah. Namun perceraian orang tua juga dapat membawa akibat positif pada anak, di mana anak menjadi lebih optimis dalam menghadapi masa depannya. Dalam hal ini anak memiliki prestasi yang bagus dalam bidang akademiknya, anak memiliki kemampuan dalam berorganisasi di mana semua itu merupakan bukti bahwa perceraian tidak selalu berakibat negatif, namun dapat pula berakibat positif. Berdasarkan uraian di atas maka timbul permasalahan bahwa apakah benar persepsi terhadap perceraian orang tua mempengaruhi optimisme masa depan pada remaja?. Untuk menjawab permasalahan di atas maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan mengambil judul HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN.

10 B. Tujuan penelitian Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Hubungan antara persepsi terhadap perceraian orang tua dengan optimisme masa depan pada remaja korban perceraian. 2. Tingkat persepsi remaja terhadap perceraian orang tua. 3. Tingkat optimisme masa depan pada remaja korban perceraian. 4. Sumbangan efektif variabel persepsi terhadap perceraian orang tua terhadap optimisme masa depan pada remaja. C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun secara praktis : 1. Manfaat teoritis Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya psikologi sosial. 2. Manfaat praktis a. Memberikan informasi pada orang tua bahwa perceraian akan memberikan berbagai akibat pada remaja. b. Memberikan informasi pada remaja mengenai persepsi negatif dan persepsi positif pada perceraian. c. Memberikan informasi bagi remaja mengenai hubungan antara persepsi terhadap perceraian dengan optimisme masa depan.