Bab 2 Tinjauan Pustaka 2. Krisis Energi Sejak dimulainya revolusi industri di Eropa, konsumsi energi dunia cenderung bertambah secara konstan. Pada tahun 9, konsumsi energi dunia mencapai,7 TerraWatt (7 x 2 Watt) per tahun. Seratus enam tahun kemudian, yaitu pada tahun 26 konsumsi energi dunia mencapai 5 TerraWatt dengan 86 % nya berasal dari energi fosil. Dengan demikian, pertumbuhan rata-rata konsumsi energi dunia adalah sebesar 2%. [http://en.wikipedia.org/wiki/world energy resources and consumption, akses 26/6/8] Era pemanfaatan bahan bakar fosil sebagai sumber energi bagi berbagai industri dan alat transportasi telah membuat dunia mengeksploitasi perut bumi secara berlebihan. Hal ini dipicu oleh meningkatnya kebutuhan atau permintaan akan minyak mentah yang sebanding dengan bertambahnya populasi dunia yang juga meningkat secara tak terkendali. Pemanfaatannya di seluruh sektor kehidupan membuat energi fosil memiliki posisi yang sangat vital. leh sebab itu, adanya gangguan terhadap persediaan dan pasokan energi fosil akan membuat banyak aktivitas manusia yang menggunakan bahan bakar fosil tidak dapat berjalan. Tentu hal ini sangat berpeluang bagi terjadinya gejolak sosial, ekonomi, bahkan politik. Energi fosil merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbarui dan memiliki ambang batas produksi. Sampai saat ini, cadangan minyak bumi yang tersedia di dalam perut bumi diperkirakan sekitar 9,8 trilyun barrel. Produksi sejak tahun 25-28 rata-rata mencapai 84-85 milyar barrel per tahun, dan pada tahun 29 diprediksi mencapai 87,7 milyar barrel. Penggunaan minyak bumi oleh manusia ternyata ribu kali lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan untuk proses pembentukannya. [http://en.wikipedia.org/wiki/world energy resources and consumption, akses 26/6/8] Eksploitasi besar-besaran terhadap perut bumi selain mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan, juga dapat mempercepat tercapainya puncak minyak (peak oil), yaitu kondisi ketika produksi minyak dunia telah maksimum dan tidak dapat meningkat lagi. Lewat pada masa itu, produksi minyak dunia cenderung menurun. Pada saat itulah, krisis energi dunia diperkirakan akan terjadi.
2.2 Sumber Energi Alternatif Sebagai konsekuensi dari semakin langkanya energi fosil, maka harus dicari dan dikembangkan jenis sumber energi baru yang dapat menggantikan posisi energi fosil di masa depan. Pentingnya pengembangan sumber energi alternatif ini mulai dirasakan oleh negaranegara maju terutama setelah terjadinya gejolak minyak dunia pertama kali pada tahun 973. Sejak saat itu, berbagai negara di seluruh dunia terus mengembangkan energi alternatif yang sesuai dengan potensi geografis dan kemampuan teknologinya masing-masing. Energi alternatif yang terus dikembangkan mulai dari energi nuklir, energi panas bumi, sinar matahari, angin, sampai sumber energi terbarukan yang berbasiskan tanaman (biofuel) seperti bioetanol, biodiesel, dan lain sebagainya. Sebagian sumber energi tersebut telah dapat dimanfaatkan dan diproduksi secara komersial. Pada tahun 24, dilaporkan bahwa sumber energi terbarukan telah mampu menyumbang sebanyak 7 % terhadap total konsumsi energi dunia. Tahun 25, total investasi negara-negara di seluruh dunia untuk pengembangan energi alternatif yang terbarukan mencapai 38 milyar USD. Penyumbang terbesar adalah Jerman dan Cina dengan investasi masing-masing mencapai 7 USD, diikuti oleh Amerika Serikat, Spanyol, Jepang dan India. [http://en.wikipedia.org/wiki/world energy resources and consumption, akses 26/6/8] Selain sumber-sumber energi alternatif yang telah disebutkan di atas, para peneliti juga tengah mengembangkan suatu perangkat penghasil energi listrik baru pengganti baterai yang menggunakan hidrogen atau metanol sebagai bahan bakar. Perangkat ini dinamakan sel bahan bakar atau fuel cell. Hidrogen dipilih sebagai bahan bakar karena mudah diproduksi dan kelimpahannya cukup tinggi di alam. Begitu juga dengan metanol, sehingga sel bahan bakar ini berpotensi besar sebagai sumber energi terbarukan yang berkelanjutan di masa depan. 2.3 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) Sel bahan bakar (fuel cell) pertama kali diperkenalkan pada tahun 838 oleh Christian Friedrich Schonbein, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman. Lima tahun kemudian, tepatnya pada tahun 843, Willian Robert Groove mengembangkan jenis sel bahan bakar menggunakan elektrolit asam posfat. [5] Pemanfaatan membran sebagai komponen dalam sel bahan bakar, baru dilakukan pertama kali oleh W. Thomas Grubb pada tahun 959. Ia menggunakan polistiren tersulfonasi sebagai membran penghantar ion. Kemudian, pada tahun 962, bekerjasama dengan Leonard 5
Niedrach, seorang ilmuwan yang sama-sama bekerja di General Electric, Grubb berhasil mengembangkan sel bahan bakar komersial dengan nama Grubb-Nieldrach fuel cell. F.T Bacon, seorang ilmuwan berkebangsaan Inggris mengembangkan sistem sel bahan bakar alkali dengan menggunakan elektroda logam yang porous. Sistem sel bahan bakar tersebut kemudian menjadi prototipe pertama NASA Space Fuel Cells yang berhasil membawa manusia ke bulan pada tahun 968. Namun kemudian, perkembangan sistem sel bahan bakar mulai berganti arah. Sel bahan bakar alkali yang sebelumnya menjadi primadona bagi aplikasi pada program-program luar angkasa mulai tergantikan dengan sistem sel bahan bakar asam posfat. Sistem ini nampak lebh sesuai untuk pabrik energi statis seperi pembangkit tenaga listrik.[5] Sampai saat ini, penelitian terhadap sel bahan bakar terus dilakukan oleh banyak ilmuwan di seluruh dunia. Berbagai inovasi berhasil dilakukan dan beragam jenis dan tipe sel bahan bakar telah ditemukan. Beberapa diantaranya dapat dilihat pada Tabel 2.. [http://en.wikipedia.org/wiki/fuel_cell, akses 26/6/8] Tabel 2. Jenis-jenis sel bahan bakar Nama Sel Elektrolit Daya yang Suhu Kerja Efisiensi Bahan Bakar Dihasilkan (perasi) Listrik Sel Alkaline fuel cell Larutan alkali (KH) - kw Di bawah 8 C 6-7% Phosporic asam posfat (H 3 P 4 ) Maksimal 5-2 C 55% acid fuel cell MW Direct methanol fuel cell Polimer membran (ionomer) kw-mw 9-2 C 2-3% Molten carbonate fuel cell Alkali karbonat cair (contoh: NaHC 3 ) MW 6-65 C 55% Tubular solid 2- yang terhubung Sampai 85- C 6-65% oxide fuel cell dengan oksida MW keramik (contoh: Zirkonium dioksida) 6
Tabel 2. Jenis-jenis sel bahan bakar (lanjutan) Nama Sel Elektrolit Daya yang Suhu Kerja Efisiensi Bahan Bakar Dihasilkan (perasi) Listrik Sel Planar solid 2- yang terhubung Sampai 85- C 6-65% oxide fuel cell dengan oksida MW keramik (contoh: Zr 2, Lantanum Nikel ksida La 2 X 4,X= Ni,Co, Cu.) Proton Polimer W-5 kw Nafion (5-5-7% exchange membran/ionomer 2 C) membran fuel cell (PEMFC) (contoh: Nafion, polibenzimidazol/p PBI (25-22 C) BI) 2.4 Polymer Electrolite Membrane Fuel Cells/Proton Exchange Membrane Fuel Cells (PEMFCs) PEMFC bekerja dengan memanfaatkan kemampuan suatu membran bermuatan yang mampu menghantarkan ion dari satu elektroda ke elektroda yang lain. Dalam sel bahan bakar, membran yang dimaksud harus merupakan membran bermuatan yang dapat mengikat proton (ion H + ) dari anoda kemudian mentransfernya ke katoda. 7
Gambar 2. Sel bahan bakar jenis PEMFC dengan bahan bakar hidrogen Reaksi yang terjadi adalah: Anoda: H2( g ) 2H ( aq) 2e E, V Katoda: 22( g ) 2H ( aq) 2e H2 ( l) E,229 V H 2 H E,229 V 2( g ) 2( g ) 2 ( l) sel 2.5 Direct Methanol Fuel Cell (DMFC) Sama seperti PEMFC, DMFC memanfaatkan membran sebagai medium penghantar proton. Hanya saja, dalam DMFC digunakan metanol sebagai bahan bakar. Penggunaan metanol ini lebih menguntungkan dibanding hidrogen karena lebih praktis dan mudah dalam penanganannya. Disamping itu, potensial sel yang dihasilkan dengan bahan baku metanol (,229 V), ternyata tidak jauh berbeda dengan potensial sel yang berbahan baku hidrogen (,23 V). 8
Gambar 2.2 Sel bahan bakar jenis DMFC dengan bahan bakar metanol Reaksi yang terjadi dalam sel bahan bakar tipe ini adalah: Anoda: CH3 H ( l) +H2 ( l) C2( g) 6H ( aq) 6e E, 6 V Katoda: 3 2 2( g ) 6H ( aq) 6e 3H2 ( l) E,229 V CH H H 3 2 C 3H E,23 V 3 ( l) 2 ( l) 2( g ) 2( g ) 2 ( l) sel 2.6 Membran Penghantar Proton untuk Sel Bahan Bakar Sejak pertama kali diperkenalkan, penggunaan membran sebagai komponen elektrolit penghantar proton dalam sistem sel bahan bakar terus menjadi kajian yang menarik di kalangan ilmuwan. Mereka terus mencari material membran yang mampu bekerja secara optimal dan efisien untuk diaplikasikan ke dalam sel bahan bakar. Sebagai membran penghantar proton yang diaplikasikan dalam sel bahan bakar, karakteristik utama yang harus dimiliki oleh suatu material membran adalah tingkat konduktivitas proton yang baik. Selain itu, untuk mendukung dalam aplikasinya, membran tersebut harus juga mampu berperan sebagai pemisah/penyekat (barrier) yang baik antar pereaksi, menjadi isolator elektron, memiliki ketahanan mekanik dan ketahanan termal yang cukup baik agar tidak cepat rusak sehingga sel bahan bakar tersebut dapat bekerja dengan baik. 9
2.7 Konduktivitas Proton Konduktivitas proton suatu membran adalah kemampuan membran tersebut untuk menghantarkan proton dari satu bagian/sisi membran ke bagian/sisi membran lainnya. Semakin besar nilai konduktivitasnya, maka semakin besar kemampuan membran tersebut untuk melewatkan proton. Artinya, membran tersebut akan semakin baik untuk diaplikasikan dalam sel bahan bakar. Dalam perjalanannya menembus membran, proton tersebut akan berinteraksi dengan matriks yang terdapat dalam membran. Interaksi tersebut sangat mempengaruhi konduktivitas proton. Bila interaksinya kuat, maka proton yang berhasil tertarik masuk ke dalam membran akan sulit untuk lepas dan keluar dari membran tersebut. Akibatnya, hal ini malah mempersulit proses perpindahan (transfer) proton yang terjadi. Sedangkan bila interaksinya lemah, maka akan sedikit sekali proton yang dapat tertarik masuk ke dalam membran, yang menyebabkan membran menjadi sangat lambat dalam menghantarkan proton. leh sebab itu, interaksi antara proton (ion H + ) dengan matriks membran haruslah diatur sedemikian rupa sehingga membran tersebut dapat menarik proton dengan baik, namun kemudian mampu mendorongnya dengan cukup baik juga agar proton tersebut dapat melintas cepat melewati membran. Gaya dorong bagi proses transpor ion pada suatu membran penghantar proton adalah perbedaan konsentrasi dari proton tersebut pada kedua sisi membran. Dalam sel bahan bakar, ion hidrogen (proton) akan dihasilkan dari sisi anoda sebagai akibat dari reaksi oksidasi hidrogen atau metanol. Dengan demikian, terdapat kelimpahan yang sangat besar dari ion hidrogen pada sisi anoda. Hal ini mendorong terjadinya migrasi proton dari anoda yang kaya akan proton ke katoda yang miskin konsentrasi proton sehingga dihasilkan gaya dorong bagi terjadinya proses transpor proton melalui membran. 2.8 Mekanisme Transpor Ion pada Membran Pada membran penukar ion, proses transpor ion sangat dipengaruhi oleh jumlah muatan yang ada (fixed charged) dalam membran tersebut. Makin besar jumlah muatannya (fixed charged), umumnya makin banyak ion yang dapat dipertukarkan dan dilewatkan dalam membran. Mekanisme transpor yang terjadi pada membran bergantung pada spesi-spesi yang terdapat dalam matriks membran tersebut. Salah satu contoh mekanisme transpor proton dalam kitosan telah diusulkan oleh Chavez dkk. dapat dilihat pada Gambar 2.3. Mekanisme transpor ini disimulasikan dengan menggunakan program Molecular Dynamics (MD). [7]
Pada membran kitosan yang dimodifikasi dengan gugus sulfat, gugus amina (-NH 2 ) nya dapat terprotonasi sebagian oleh air menjadi bermuatan positif (NH + 3 ) dan membentuk garam amonium. Gugus amonium (-NH + 3 ) pada rantai utama kitosan tersebut berpasangan dengan molekul S 2-4 yang berada di tengah-tengah antara dua rantai polimer kitosan. H 3 + H + + H 2 H NH 3 + S H 2 H 3 + + H 3 N H H 2 matriks membran + H 3 N NH 3 + S H 3 + H 2 H H 3 + H + (dari anoda) H 2 + H 3 + Gambar 2.3 Mekanisme transport proton pada membran kitosan dengan adanya gugus sulfat [7] Dalam mekanisme tersebut dijelaskan bahwa pada saat awal simulasi, spesi-spesi -NH + 3, S 2-4, H 3 +, dan H - akan bergerak mencari pasangannya masing-masing. Ion H - berpasangan dengan H 3 +, sedangkan -NH + 3 berpasangan dengan S 2-4. Dalam sistem sel bahan bakar, ion H + akan dihasilkan dari reaksi oksidasi pada anoda, ion ini akan membentuk ion hidronium dengan molekul air. Ion H 3 + yang baru terbentuk tersebut akan menabrak pasangan H 3 + ---H - sehingga ion H 3 + yang sebelumnya berpasangan dengan ion H - menjadi terlempar dan bermigrasi mencari ion H - untuk dijadikan sebagai pasangan yang barunya. Proses perpindahan ion H 3 + dari satu pasangan H - ke pasangan H - lainnya terus terjadi sampai ion H 3 + tersebut mencapai ujung permukaan membran. Di ujung permukaan membran, ion H 3 + ini kemudian akan terurai menjadi proton (H + ) dan air (H 2 ). [7]
2.9 Ketahanan Termal Daya tahan suatu membran terhadap suhu operasi (suhu ketika membran tersebut diaplikasikan) menjadi hal yang juga penting. Dalam sel bahan bakar, suhu yang cukup tinggi seringkali digunakan agar terjadi reaksi redoks yang diinginkan. Hal ini tentu dapat mempengaruhi kinerja dari membran dalam sel tersebut. Agar sifat membran tidak berubah, maka membran tersebut harus memiliki ketahanan termal yang baik. Ketahanan suatu membran sangat dipengaruhi oleh struktur dan komponen-komponen penyusunnya. Umumnya, material anorganik seperti keramik memiliki ketahanan termal yang cukup tinggi. Seperti dapat dilihat pada tabel 2., zirkonium dioksida (Zr 2 ) mampu tahan sampai suhu C. Sedangkan membran organik, umumnya memiliki daya tahan termal yang lebih rendah. Rata-rata membran organik hanya mampu bertahan sampai pada suhu di bawah 4 C, beberapa ada yang sampai 6 C. Pada suhu yang lebih tinggi, membran mulai mengalami degradasi secara termal dan sifat-sifatnya berubah secara drastis. Dalam sistem sel bahan bakar PEFMC dan DMFC, digunakan suhu operasi yang cukup tinggi sekitar 5-22 C bergantung pada jenis membran yang digunakan. Daya tahan termal suatu polimer seperti kitosan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran Differential Scanning Calorimetry (DSC). Pada metode ini, dilakukan pengukuran jumlah energi yang dibutuhkan untuk melawan perbedaan suhu antara polimer acuan (reference polymer) dengan sampel polimer yang diuji. Kurva yang diperoleh adalah kurva hubungan antara suhu yang diaplikasikan dengan jumlah energi (dq/qt). Polimer kitosan memiliki suhu transisi gelas sebesar 23 C. [9] Suhu tersebut masih cukup jauh dari suhu operasi sel bahan bakar jenis PEMFC atau DMFC dengan menggunakan membran Nafion (Tabel 2.) yang berkisar antara 5-2 C. Jadi, ketahanan termal membran kitosan masih cukup baik selama suhu operasi sel bahan bakar jauh di bawah 23 C. Selain diperoleh informasi tentang suhu transisi gelas, dengan melakukan analisis DSC, dapat juga diperoleh informasi tentang suhu penguapan atau suhu keluarnya air dari matriks membran. Informasi tentang suhu keluarnya air ini sangat penting mengingat molekulmolekul air menjadi komponen yang terlibat dalam proses transpor proton di dalam membran kitosan. 2
2. Sudut Kontak Sudut kontak adalah sudut yang dibentuk antara permukaan membran dengan tetesan air yang menempel pada permukaan tersebut. Membran memiliki tegangan permukaan yang besarnya tertentu, sehingga air yang menetes pada membran tidak akan dengan mudah masuk dan diserap ke dalam membran. Nilai sudut kontak secara tidak langsung dapat menggambarkan tingkat permeabilitas membran terhadap partikel-partikel yang mengenainya. Partikel-partikel yang memiliki karakteristik hidrofilisitas yang mirip akan berinteraksi dengan cukup baik dengan permukaan membran. Bahkan dalam waktu tertentu, partikel tersebut dapat saja terserap dan masuk ke dalam pori-pori membran. Sedangkan untuk partikel-partikel yang memiliki karakteristik hidrofilisitas yang berbeda jauh dengan hidrofilisitas permukaan membran akan cenderung tertahan dan membentuk tetesan dengan luas permukaan kontak yang minimum. Permukaan membran yang cukup polar atau hidrofil akan menyebabkan tetesan air melebar dan membasahi membran. Akibatnya, sudut kontak yang dibentuk antara permukaan dengan tetesan air tersebut kecil. Sedangkan permukaan membran yang kurang polar atau hidrofob cenderung untuk mempersempit kontaknya dengan tetesan air tersebut, sehingga sudut kontaknya besar. 2. Potensial Membran Suatu membran yang bermuatan akan menolak ion yang muatannya sejenis. Akibatnya, ion tersebut akan sulit untuk melewati membran. Gejala ini disebut dengan efek Donnan. Berdasarkan termodinamika kesetimbangan, kita dapat menghitung potensial kimia komponen ionik dalam larutan dan potensial kimia dalam membran.[7] Donn RT _ c _ ln Z F k _ c _ i (2.) Jika membran disisipkan ke dalam dua larutan elektrolit yang berbeda konsentrasinya, maka akan terjadi perpindahan elektrolit dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi rendah. Pergerakan tersebut akan menimbulkan beda potensial. Beda potensial itu disebut dengan potensial membran. [7] Teorrel-Meyer-Siever dalam teorinya menyebutkan bahwa potensial suatu membran yang bermuatan monopolar adalah jumlah gabungan dari potensial Donnan dan potensial difusinya. Sehingga persamaannya secara keseluruhan menjadi seperti pada persamaan 2.2. L R Diff (2.2) 3
Untuk membran bermuatan positif, potensial membrannya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.4, sedangkan untuk membran negatif, menggunakan persamaan 2.3. [7] N 2 2 2c 2c d W RT c Q X ln d Q X RT W ln F c 2 2 F 2c 2c d W Q X Q X 2.3) P 2 2 2c 2c d W RT c Q X ln d Q X RT W ln F c 2 2 F 2c 2c d W Q X Q X (2.4) Dengan: N = potensial membran untuk membran penukar kation P = potensial membran untuk membran penukar anion R T F c d c Q X = tetapan gas universal = suhu = tetapan Faraday = konsentrasi larutan elektrolit pekat = konsentrasi larutan elektrolit encer = muatan efektif 4
2.2 Polimer Alam Alam dengan segala potensinya menyediakan banyak sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumber daya alam tersebut tersedia dalam berbagai macam bentuk, dan umumnya terdiri dari dua kategori yaitu sumber daya yang tidak dapat diperbarui dan sumber daya yang dapat diperbarui. Karet alam, selulosa dan protein merupakan beberapa contoh polimer yang tersedia di alam. Polimer ini disintesis oleh berbagai macam makhluk hidup dan digunakan sebagai sumber makanan, bahan penyusun struktur tubuh, dan fungsi-fungsi lainnya. Polimer-polimer alam biasanya mudah terdegradasi dibandingkan dengan polimer sintetik sehingga lebih ramah lingkungan. leh manusia, polimer-polimer ini banyak digunakan untuk berbagai macam aplikasi. Benang, kain dan pakaian adalah serangkaian produk yang dihasilkan dari pemanfaatan selulosa. Ban sepeda, mobil, motor, karet-karet pada mesin, peralatan elektronik, dan lain sebagainya merupakan aplikasi dari karet alam. Polimer-polimer alam yang dimanfaatkan oleh manusia berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon kapas, pohon randu, dan juga berasal dari hewan seperti ulat. Dari sekian banyak jenis polimer alam yang tersedia terutama di Indonesia, masih terdapat polimerpolimer yang belum dapat termanfaatkan secara optimal. Satu diantaranya adalah polimer kitin yang berasal dari limbah cangkang kulit udang, kepiting, dan lain sebagainya. Berdasarkan data dari Dirjen Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki 7 pusat pengolahan udang dengan kapasitas produksi terpasang sekitar 5. ton per tahun. Pengolahan terhadap udang rata-rata menghasilkan limbah cangkang (bagian kulit dan kepala) sekitar 6-7 % berat total. Jadi, secara keseluruhan Indonesia akan menghasilkan limbah cangkang udang sekitar 325. ton per tahun.[] Limbah dengan jumlah yang sebanyak itu sangat disayangkan jika dibuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan. Padahal, dari limbah udang tersebut, dapat dihasilkan suatu polimer kitin yang banyak manfaat dan aplikasinya untuk berbagai keperluan industri. Kitin dari hasil isolasi pada limbah cangkang udang juga dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan polimer turunannya yaitu kitosan yang aplikasinya dan pemanfaatannya jauh lebih banyak. 5
2.3 Kitin dan Kitosan Kitin atau β-,4(n-asetil-d-glukos-2-amin) merupakan suatu jenis polimer alam yang banyak ditemukan pada dinding sel tanaman jamur, sebagai eksoskeleton pada berbagai macam hewan artrhopoda seperti udang, rajungan, kepiting, serangga, dan lain sebagainya. Kitin termasuk ke dalam jenis polisakarida. Kitin terdiri dari dua bagian utama. Pertama adalah bagian gula (D-glukosa) dan yang kedua adalah gugus N-asetilamin. H H NHCCH 3 H H NHCCH 3 NHCCH 3 H H Gambar 2.4 Struktur molekul kitin Monomer N-asetilglukosamin saling terikat satu sama lain melalui ikatan,4-β membentuk suatu rantai polimer yang panjang. Struktur kitin sangatlah mirip dengan selulosa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kitin adalah selulosa yang tersubstitusi satu gugus hidroksilnya oleh gugus asetilamin. H H H H H H H H H Gambar 2.5 Struktur molekul selulosa Sampai saat ini, kitin telah banyak diproduksi karena manfaatnya cukup luas meliputi berbagai bidang. Dalam bidang industri, kitin dapat dimanfaatkan sebagai salah satu komponen pemurnian air, sebagai bahan aditif pada makanan dan farmasi. Dalam bidang pertanian, kitin digunakan sebagai pupuk yang juga mampu meningkatkan sistem kekebalan tanaman. Kitin juga digunakan sebagai bahan baku untuk membuat kitosan, suatu produk yang banyak aplikasinya dalam dunia pengobatan. Kitosan atau β-,4(d-glukosamin) adalah polimer turunan dari kitin. Kitosan diperoleh dengan melakukan deasetilasi terhadap kitin. Derajat deasetilasi (DD) merupakan parameter yang dapat menggambarkan seberapa besar molekul kitin yang terdeasetilasi menjadi kitosan. Kitosan dibedakan dari kitin berdasarkan pada kelarutannya dalam asam asetat. 6
Kitin yang terdeasetilasi kurang dari 6 % umumnya tidak dapat larut dengan baik dalam asam asetat. Sedangkan kitin yang terdeasetilasi > 6 % menunjukkan hasil kelarutan yang cukup baik. leh sebab itu, kitin dapat dikatakan telah berubah menjadi kitosan seandainya memiliki persen derajat deasetilasi (DD) > 6 %. [8] H H NH 2 H NH 2 H NH 2 H H Gambar 2.6 Struktur molekul kitosan Semakin besar persen DD, maka kelarutannya dalam asam asetat semakin besar. Hal ini diakibatkan oleh semakin banyaknya gugus amina yang terdapat dalam molekul kitosan sehingga molekul-molekul asam asetat semakin mudah masuk dan mensolvasi kitosan tersebut. 2.4 Modifikasi Kitosan Banyak sekali peneliti berupaya meningkatkan karakteristik kitosan dengan melakukan modifikasi terhadap molekul kitosan tersebut. Rata-rata, modifikasi yang dilakukan adalah terhadap gugus amina atau gugus hidroksil yang terdapat dalam molekul kitosan karena gugus itulah yang lebih reaktif dibanding gugus-gugus yang lainnya. 2.5 Benzilasi Kitin dan Kitosan Polimer alam yang saat ini telah berhasil dibenzilasi adalah selulosa. Benzilasi terjadi pada gugus hidroksil dari monomer glukosa pada selulosa. Reaksi benzilasi dilakukan dengan menggunakan pereaksi benzilklorida. Khusus untuk benzilasi kitin, beberapa peneliti pernah mengungkapkan laporannya bahwa benzilkitin dapat dihasilkan dalam suasana basa pada suhu tinggi dengan jumlah benzilklorida yang berlebih, namun tidak dilaporkan persentase perolehan hasilnya. Reaksi benzilasi terhadap molekul kitin sangatlah sulit dilakukan. Derajat substitusi maksimum yang pernah diperoleh Somorin adalah sebesar,75. [6] 7
H H H H H Cl H H H H H Gambar 2.7 Reaksi benzilasi selulosa Kitosan merupakan polimer turunan kitin yang lebih reaktif karena adanya gugus amina yang lebih nukleofilik dibandingkan gugus hidroksil pada molekul kitin, sehingga reaksi benzilasi terhadap molekul kitosan diperkirakan akan berjalan lebih mudah. 8