BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tanaman cabai (Capsicum annum L.) merupakan tanaman perdu yang berasal dari daratan Amerika dan Amerika Tengah, termasuk Meksiko, kirakira sejak 2500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat yang pertama kali memanfaatkan dan mengembangkan cabai adalah orang Inca di Amerika Selatan, orang Maya di Amerika Tengah, dan orang Aztek di Meksiko. Mereka memanfaatkan buah ini sebagai penyedap masakan (Wiryanta, 2006: 1). Cabai adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, dimana nilai jualnya sangat dipengaruhi oleh kualitas buahnya, khususnya penampilan produknya. Komoditas buah cabai banyak ditanam baik di kawasan dataran tinggi, pertengahan, bahkan yang terbanyak di dataran rendah. Pemasaran buah cabai merah cukup baik karena buah cabai merah dapat dijual, baik sebagai buah muda (cabai hijau) maupun tua (cabai merah), baik dalam bentuk segar, bahan industri (giling, kering, tepung), olahan (sambal, variasi bumbu, dan lain-lain), maupun hasil industri ( pewarna, bumbu, rempah, dan lain-lain) (Rukmana dan Yuniarsih, 2005: 8). Namun demikian, menurut Bina Produksi Tanaman Pangan, rata-rata hasil produksi cabai merah tercatat hanya sebesar 3.5 ton/ha. Angka tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan potensi produksinya yang 1
2 dapat mencapai 12 ton/ha (Siswanto et al., 1995: 83). Selain itu, kerusakan cabai dapat terjadi saat dalam proses distribusi, sehingga memberikan kerugian yang tidak sedikit bagi para pedagang maupun petani. Keberhasilan budidaya cabai sendiri dimulai dari pemilihan varietas, perbenihan, pemeliharaan, pertanaman di lapangan, pemanenan dan penanganan pascapanennya (pengemasan). Penanganan yang tepat akan memberikan hasil yang optimal (Hartuti dan Sinaga, 1995: 62). Rendahnya hasil produksi cabai menyiratkan terdapatnya beberapa hambatan dalam meningkatkan nilai produksi. Salah satu hambatan dalam peningkatan nilai produksi maupun kualitas hasil produksi cabai adalah rentannya tanaman cabai untuk terserang penyakit antraknosa. Penyakit ini tersebar luas di seluruh areal perkebunan cabai di kawasan tropika dan subtropika yang dapat menurunkan produksi sebesar 50% sekaligus menurunkan kualitas cabai (Suryaningsih dan Suhardi, 1993: 37). Serangan fungi ini ditandai dengan adanya bercak coklat pada buah yang terus melebar. Pada serangan yang serius, buah akan membusuk. Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya untuk menekan timbulnya penyakit antraknosa pada tanaman cabai. Langkah yang diambil dapat berupa pencegahan timbulnya penyakit (pra-panen) atau saat pengemasan saat akan didistribusikan ke daerah-daerah (pasca-panen). Salah satu langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan fungisida yang tepat untuk menekan pertumbuhan fungi penyebab penyakit antraknosa, yaitu fungi Colletotricum gloesporoides Penz. (Kameumeut, 2006).
3 Selama ini pengendalian penyakit tersebut yang dilakukan menggunakan fungisida sintetis dalam interval satu hari merupakan cara yang sering dilakukan oleh petani-petani cabai di Indonesia, misalnya difolatan, antracol dan daconil sebanyak 2 g/l (Suryaningsih & Suhardi, 1993: 37). Penggunaan fungisida sintetis yang kurang bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan organisme yang bukan sasaran, yaitu berupa resistensi. Resistensi yang ditimbulkan oleh fungisida sintetis ini ditanggapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (InPres) No. 3/1986 yang selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang) Republik Indonesia (UURI) No. 12 tahun 1992 pasal 20 tentang Budidaya Tanaman, yang berbunyi : (1) Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Salah satu tujuan dari sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) tersebut adalah mengurangi penggunaan fungisida sintetis (Untung, 1996: 258). Salah satu langkah yang dapat diambil dalam upaya peningkatan kualitas cabai adalah dengan dikembangkan pengendalian hama penyakit tanaman secara biologis yang dapat menandingi kemampuan fungisida sintetis tanpa menimbulkan dampak negatif baik bagi lingkungan maupun bagi organisme yang bukan sasaran. Menurut Ke-Qiang dan Ariena (dalam Syamsuddin, 2003), pengendalian penyakit tanaman secara biologi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan menggunakan berbagai bahan yang umumnya diketahui berkhasiat sebagai obat, penggunaan produk tanaman
4 yang bersifat antifungi dan penggunaan agen bio kontrol yang diisolasi dari daerah lingkungan penanaman. Penggunaan ekstrak tanaman sebagai fungisida alami mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: tanaman telah tersedia di alam, ramah lingkungan, dan mempunyai resiko yang rendah dalam perkembangan hama resisten, serta mempunyai efek negatif yang rendah bagi organisme nontarget. Selain itu, penggunaan ekstrak tanaman mempunyai kemungkinan yang kecil untuk menimbulkan kembali hama, dan tidak membutuhkan biaya yang mahal, serta pengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman dan kemampuan menghasilkan benih sangat kecil (Huang, 2005) Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tumbuhan yang banyak digunakan oleh bangsa kita, biasa digunakan untuk keperluan dapur (seperti bumbu masak, zat warna makanan), kosmetik, pengobatan tradisional maupun dapat digunakan sebagai anti fungi (fungisida nabati). Beberapa penelitian secara in vitro, membuktikan bahwa senyawa aktif dalam rimpang kunyit mampu menghambat pertumbuhan fungi diantaranya virus, dan bakteri seperti Escherchia coli (Hidayati et al., 2002: 43), Staphylococcus aereus, S. albus dan Bacillus typhosus (Araujo dan Leon, 2001: 3). Beberapa kandungan kimia dari rimpang kunyit yang telah diketahui yaitu minyak atsiri sebanyak 6% yang terdiri dari golongan senyawa monoterpen dan sesquiterpen (meliputi zingiberen, alfa dan betatumerone), zat warna kuning yang disebut curcuminoid sebanyak 5% (meliputi curcumin 50-60%, monodesmetoksicurcumin dan
5 bidesmetoksicurcumin), protein, fosfor, kalium, besi dan vitamin C (Didinkaem, 2007: 1). Pemanfaatan rimpang kunyit dalam mengendalikan fungi C. gloesporioides Penz. belum begitu banyak dilakukan. Oleh karenya, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai: Efektivitas Ekstrak Kunyit dalam Menekan Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai Merah (C. annum L.) di Laboratorium. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah efektivitas ekstrak kunyit dalam menekan penyakit antraknosa pada buah cabai (C. annum L.) di laboratorium? Untuk lebih memperjelas rumusan masalah, maka dikemukakan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh ekstrak kunyit terhadap pertumbuhan fungi C. gloesporioides Penz. pada buah cabai merah? 2. Berapakah konsentrasi efektif ekstrak kunyit yang dapat menghambat pertumbuhan penyakit antraknosa pada buah cabai merah lebih dari 50% pada rentang konsentrasi 2,0%-2,8% di laboratorium? C. Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi oleh hal-hal sebagai berikut :
6 1. Gejala lesio (diameter) antraknosa pada buah cabai merah diamati secara morfologi. 2. Parameter yang diukur adalah lesio pertumbuhan dan persentase penghambatan koloni fungi C. gloesporioides Penz. pada buah cabai merah yang telah diberi tambahan larutan ekstrak kunyit dengan berbagai konsentrasi. 3. Jenis cabai yang digunakan ialah C. annuum L. Varietas TW dari Pasar Induk Caringin yang memiliki ukuran yang relatif sama. 4. Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Tanaman dan Sayuran (BALITSA) Lembang dan Laboratorium PGSM Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia. 5. Konsentrasi ekstrak etanol yang digunakan dalam penelitian adalah 2,0%; 2,2%; 2,4%; 2,6%; 2,8% (b/v) dengan DMSO 10% sebagai larutan pengencer. 6. Pelarut DMSO 10% digunakan sebagai kontrol. 7. Fungi C. gloesporioides Penz. yang digunakan berumur 8 hari (Noveriza dan Tombe, 2003). 8. Pengukuran lesio pertumbuhan koloni fungi menggunakan penggaris dalam satuan centimeter (cm) dan penghitungan persentase penghambatan koloni fungi menggunakan rumus Poisoned Food Techniques (PFT) (Ogbebor et al., 2006: 214) yaitu : (a b) / a X 100% Ket : a = lesio koloni fungi pada kontrol b = lesio koloni fungi pada perlakuan
7 D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh ekstrak kunyit dalam menekan penyakit antraknosa pada buah cabai merah. 2. Menentukan konsentrasi efektif ekstrak kunyit pada rentang 2,0% sampai dengan 2,8% (b/v) yang dapat menghambat pertumbuhan fungi C. gloeosporioides Penz. lebih dari 50% di laboratorium. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat antara lain : 1. Dapat dijadikan sebagai informasi bagi para petani bahwa kunyit dapat digunakan untuk menekan penyakit antraknosa, sehingga dapat mengurangi senyawa kimia yang tidak ramah terhadap lingkungan. 2. Dapat dijadikan sebagai data acuan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan masalah penyakit antraknosa pada buah cabai merah. F. Definisi Operasional Beberapa istilah yang digunakan pada penelitian ini yaitu : 1. Ekstrak kunyit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah 100 gram C. domestica Val. kering yang dilarutkan dalam 500 ml etanol 96% dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator (Nanasombat dan Lohasupthawee, 2005).
8 2. Konsentrasi efektif adalah kemampuan larutan ekstrak kunyit pada konsentrasi terkecil yang dapat menghambat lebih dari 50% pertumbuhan fungi C. gloeosporioides Penz. di laboratorium (Noveriza dan Tombe, 2003: 4). 3. Persentase penghambatan miselia fungi adalah selisih lesio kontrol dengan lesio perlakuan dibagi lesio kontrol dan dikali seratus persen. G. Asumsi Penelitian Asumsi dari penelitian ini adalah: 1. Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh fungi Colletotricum spp. menyerang tanaman cabai (Kim et al., 1986: 84). 2. Ekstrak kasar etanol kunyit memiliki aktivitas fungi (Wuthi et al., 2000: 178). Dalam rimpang kunyit terkandung senyawa minyak atsiri sebanyak 6% yang terdiri dari golongan senyawa monoterpen dan sesquiterpen (meliputi zingiberen, alfa dan beta-tumerone), serta zat warna kuning yang disebut curcumin yang mempunyai sifat lipofil (Didinkaem, 2007: 1). H. Hipotesis H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara diameter lesio antraknosa pada buah cabai merah (C. annum L.) yang diberi berbagai konsentrasi ekstrak kunyit dengan kontrol di laboratorium.